Header Ads

Khilafah: Membangun Kemandirian dan Kekokohan Infrastruktur Militer

Oleh: Hj. Nida Sa’adah SE,AK (Anggota Pimpinan Pusat Muslimah DPP Hizbut Tahrir Indonesia)

Syabab.Com - Pesawat Hercules milik TNI-AU jatuh lagi. Satu-persatu pesawat TNI-AU berjatuhan. Selain itu, masih belum hilang dari ingatan, tenggelamnya kapal selam TNI pada peristiwa latihan di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Dan lagi-lagi, sekian prajurit TNI menjadi korbannya.


Di tengah duka yang masih mendalam, menyeruak kontroversi seputar anggaran alutsista. Issue ini berkembang menjadi issue politis di tengah situasi jelang pilpres Juli 2009. Alokasi anggaran yang kecil untuk infrastruktur TNI, ditengarai menjadi penyebab semua kejadian ini.

Sebuah ironi. Untuk menjaga kawasan Indonesia seluas sekitar 2 juta kilometer persegi, Indonesia hanya memiliki sekitar 200-an pesawat. Itupun pesawat-pesawat tua, yang hanya 56% nya saja yang siap mengudara. Wajar, kalau kemudian negara luar bisa seenaknya melintasi kawasan negeri ini, sebagaimana yang pernah terjadi 3 Juli 2003, ketika 5 pesawat militer milik AS melintasi kawasan Bawean.

Persoalan lemahnya infrastruktur militer ini tidak akan terjadi jika negara memiliki visi kemandirian yang jelas dalam membangun ketahanan negara dan membangun eksistensi di dunia internasional. Anggaran yang besar akan teralokasikan jika visi yang jelas sudah dimiliki. Tetapi, tidak cukup hanya dengan besarnya alokasi anggaran. Dibutuhkan kemandirian dalam membangun ketahanan suatu negara. Dan membangun industri alat berat secara mandiri adalah strategi yang jitu untuk mewujudkannya.

Daulah Khilafah, sebagai sebuah sistem kenegaraan yang memiliki visi dan misi yang jelas dalam politik luar negerinya –yaitu dakwah dan jihad- akan mengembangkan industri alat berat secara mandiri untuk membangun persenjataan militer.

Upaya Membangun Persenjataan Secara Mandiri

Dalam sistem Negara Khilafah, Departemen Perindustrian adalah departemen yang mengurusi semua masalah yang berhubungan dengan perindustrian, baik yang berhubungan dengan industri berat seperti industri mesin dan peralatan, pembuatan dan perakitan alat transportasi (kapal, pesawat, mobil, dsb), industri bahan mentah dan industri elektronik, maupun yang berhubungan dengan industri ringan; baik industri itu berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Industri dengan berbagai jenisnya itu semuanya harus dibangun dengan berpijak pada politik perang. Sebab, jihad dan perang memerlukan pasukan, sementara pasukan, agar mampu berperang, harus memiliki persenjataan. Agar persenjataan itu terpenuhi bagi pasukan secara memadai hingga pada tingkat yang optimal tentu harus ada industri persenjataan di dalam negeri, khususnya industri perang, karena hubungannya yang begitu kuat dengan jihad.

Agar negara memiliki control atas semua masalah perang dan militer serta jauh dari pengaruh negara lain dalam masalah tersebut, negara harus mendirikan industri persenjataannya sendiri dan mampu mengembangkan persenjataan sendiri. Dengan begitu, negara akan tetap memiliki kendali atas dirinya sendiri untuk mengukuhkan kekuatannya. Negara juga harus sanggup memiliki dan menguasai persenjataan yang paling canggih dan paling kuat sekalipun, bagaimanapun bentuk dan tingginya kecanggihan dan perkembangan persenjataan itu. Dengan begitu, semua bentuk dan tingkat kecanggihan persenjataan yang dibutuhkan negara dapat dikuasai hingga akhirnya bisa menggentarkan musuh-musuh negara, baik musuh nyata maupun musuh laten. Demikian sebagaimana firman Allah Swt dalam QS al-Anfal 60, yang artinya:

“Siapkanlah oleh kalian untuk menghadapi mereka keuatan apa saja yang kalian sangupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang; (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang tidak kalian ketahui sedangkan Allah mengetahuinya”.

Dengan begitu, negara akan dapat mengendalikan dan memenuhi kehendaknya sendiri; negara akan sanggup memproduksi sendiri persenjataan yang dibutuhkan; negara akan sanggup mengembangkan dan terus mengembangkan semua bentuk persenjataan hingga mampu menguasai persenjataan yang paling canggih dan paling kuat. Pada akhirnya, negara akan dapat secara nyata menggentarkan musuh-musuhnya, baik yang nyata maupun yang laten. Atas dasar ini, negara wajib mendirikan industri-industri persenjataan sendiri. Negara tidak boleh menggantungkan persenjataannya dengan membelinya dari negara-negara lain. Sebab, hal itu akan menjadikan negara-negara pemasok senjata itu akan dapat mendikte serta mengendalikan kehendak dan persenjataan negara, termasuk menentukan perang atau tidaknya.

Realita yang dapat kita saksikan di dunia saat ini menunjukan, bahwa negara-negara yang menjual persenjataan ke negara lain tidak akan menjual semua persenjataannya, khususnya persenjataan canggih. Negara tersebut juga tidak akan menjual persenjataan kecuali disertai dengan syarat-syarat tertentu, termasuk tata cara penggunaan persenjataan yang dijualnya. Negara tersebut juga tidak akan menjual persenjataan kecuali dalam jumlah yang sesuai menurut pandanagannya, bukan menurut permintaan negara yang ingin membeli persenjataan tersebut. Hal-hal itulah yang menjadikan negara pemasok persenjataan menjadi pengendali dan penentu negara pembeli persenjataan. Hal-hal itu pulalah yang memungkinkan negara pemasok senjata mengendalikan kehendak negara pembeli persenjataan, apalagi ketika negara pembeli itu sedang berada dalam situasi perang, negara tersebut akan memerlukan tambahan persenjataan, suku cadang, amunisi, dan sebagainya. Semuanya itu menjadikan ketergantungan negara pembeli terhadap negara pemasok persenjataan semakin bertambah dan ketundukan negara tersebut pada kehendak negara pemasok juga semakin besar. Hal inilah yang membuat posisi negara pemasok semakin kuat sehingga dapat mengendalikan negara pembeli dan mendikte kehendaknya, khususnya ketika negara tengah berada di dalam situasi perang, dan dalam kondisi sangat membutuhkan persenjataan dan suku cadang. Dengan semua itu, negara pembeli itu telah menggadaikan dirinya sendiri, kehendaknya sendiri, peperangannya dan institusi negaranya kepada negara yang memasok persenjataan kepadanya.

Atas dasar semua itu, negara wajib membangun sendiri semua industri persenjataannya dan segala hal yang diperlukan, baik peralatan maujpun suku cadang. Hal itu tidak akan tercapai kecuali negara mengadopsi (kebijakan pembangunan) industri berat. Untuk langkah pertama, Daulah Islam harus membangun industri-industri yang menghasilkan industri-industri berat, baik industri berat militer maupun non-militer. Daulah Islam juga harus memiliki manufaktur-manufaktur untuk memproduksi peresenjataan nuklir, pesawat antariksa, rudal-rudal dengan berbagai jenisnya, satelit-satelit, pesawat, tank, artileri, kapal perang, kendaraan lapis baja, dan anti peluru dengan berbagai macamnya, serta berbagai persenjataan baik senjata berat maupun senjata ringan. Daulah Islam juga wajib memiliki manufaktur-manufaktur yang memproduksi berbagai peralatan, mesin-mesin dengan berbagai jenisnya, amunisi dan industri elektronik. Daulah Islam pun wajib memiliki industri yang berkaitan dengan kepemilikan umum dan industri-industri ringan yang mempunyai kaitan dengan industri militer. Semua itu merupakan bentuk-bentuk persiapan yang wajib dipenuhi oleh kaum Muslim. [opini/syabab.com]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.