Islam: Spiritualitas yang Membumi
Oleh Titok Priastomo
Islam: Spiritualitas yang Membumi[1]
“Umat Islam “mencari” Allah dalam sejarah. Kitab suci mereka, Quran, telah mengamanatkan kepada mereka sebuah misi historis. Tugas utama mereka adalah mewujudkan masyarakat yang adil, di mana semua anggotanya -bahkan yang paling lemah dan rentan sekalipun- diperlakukan dengan penuh hormat. Pengalaman dalam membangun serta hidup di tengah masyarakat yang seperti itu memberi mereka rasa kedekatan dengan Tuhan, karena dengan demikian mereka akan hidup sesuai kehendak Allah. Seorang Muslim harus membebaskan sejarah, dan itu berarti bahwa urusan negara bukan merupakan saingan dari spiritualitas, tetapi justru menjadi bagian dari agama itu sendiri. Tatanan Politik masyarakat muslim yang baik merupakan salah satu masalah yang paling penting.“ [Karen Armstrong, Islam: a Short History (New York: Modern Library, 2002) hal. xi]
Spiritualitas Sekuler
Islam, suatu kata yang sering kita masukkan ke dalam kotak kategori agama, bersama dengan Yahudi, Kristen, hindu, budha dll. Sayangnya, taktala disebut kata agama, yang segera tersirat di dalam benak adalah sebuah ruang pertemuan yang sangat personal antara hamba dengan Tuhannya, yang sepi dari hiruk-pikuk kehidupan sosial. Ia adalah jembatan vertikal yang menghubungkan manusia dengan penciptanya, lepas dari hubungan horizontal dengan sesama manusia. Oleh karenanya, agama adalah suatu medan sakral yang suci dari atmosfer kehidupan dunia dengan segala problematikanya yang remeh dan kotor. Agama adalah relung yang tenang, damai, hening dan kotemplatif[2] jauh dari hingar-bingar urusan ekonomi, hukum apalagi politik. Semakin total manusia larut dalam beragama, maka ia akan semakin condong ke arah kutub ruhani, semakin mendaki ke arah langit, semakin cenderung asketis[3], bahkan pada gilirannya menjadi monastik[4]. Itulah agama yang ada dalam benak kebanyakan orang saat ini, suatu bilik spiritual di salah satu sudut semesta kehidupan manusia, tempat dimana manusia mengasingkan diri dari kehidupan materi untuk bertemu dengan Sang Maha Pencipta.
Persepsi seperti di atas membuat agama selalu mengambang di awang-awang, tidak mendarat ke permukaan bumi untuk menyatu dengan dinamika kehidupan umat manusia. Agama yang lekat dengan urusan keakhiratan itu seolah menjadi antitesa dari kehidupan dunia. Sebagai hasilnya, urusan negara -yang erat kaitannya dengan politik dan kekuasaan- dianggap sebagai urusan remeh yang jauh terpisah dari lingkup agama; ekonomi dan bisnis yang terkait dengan masalah pemenuhan kebutuhan hidup di dunia, perolehan harta, pengembangan kekayaan dan distribusinya juga tidak boleh mengotori wilayah agama; urusan hukum yang berhubungan dengan sengketa dan perselisihan mengenai berbagai urusan keduniaan juga dianggap tak mungkin dijamah oleh tangan agama yang bersih dan mulia itu.
Demikianlah, manusia hanya membawa serta agama ketika mereka hadir dalam dimensi spiritual –ruang yang mempertemukan mereka dengan Tuhan- yang termanifestasi dalam ajaran moral dan ritualitas. Agama tidak datang dalam urusan politik, ekonomi, hukum, sosial dan urusan keduniaan yang lain. Padahal, secara personal, seorang manusia mungkin bisa hidup tanpa menghiraukan urusan politik, namun secara kolektif umat manusia tidak mungkin bisa hidup harmonis di muka bumi ini tanpa tatanan politik. Seperti kata Ibnu Kholdun, manusia itu secara alami merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kepemimpinan.[5] Manusia secara kolektif juga tidak mungkin bisa hidup tanpa aktivitas dan tatanan ekonomi. Maka sebagai konsekuensi dari absennya agama dari aktivitas sosial, politik, hukum dan ekonomi adalah dijalankannya urusan-urusan tersebut tanpa panduan agama. Inilah yang kita sebut sebagai kehidupan sekuler, tatanan kehidupan dunia yang tidak dikaitkan dengan agama dan urusan keakhiratan.
Pangkal masalahnya terletak pada persepsi umum yang menganggap bahwa kebutuhan terhadap agama dan hubungan manusia dengan Tuhan merupakan bahan konsumsi jiwa (roh), sedangkan kebutuhan terhadap berbagai urusan duniawi merupakan santapan dari jasad/fisik manusia . Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa sikap manusia dipengaruhi oleh dua unsur yang bersaing untuk mengendalikan arah kecenderungannya, yakni jiwa/roh sebagai unsur ruhani di satu sisi dan jasad/fisik sebagai unsur materi di sisi yang lain. Kedua unsur itu melahirkan kecenderungan yang berbeda. Kecenderungan yang mengarahkan orbit manusia kepada Tuhan -yang diwujudkan dalam penerapan nilai-nilai moral dan aktivitas ritual- dianggap lahir dari pengaruh jiwa/roh (unsur ruhani), sedangkan kekuatan yang mengarahkan orbit manusia kepada dunia, berupa kesenangan fisik dan naluriah -seperti kecenderungan terhadap makanan, harta, seks[6], dan kekuasaan- dianggap sebagai suatu hal yang lahir dari pengaruh jasad (unsur materi). Tak heran, jika kemudian forum-forum keagamaan sering juga dinamakan dengan “bimbingan ruhani” atau “santapan ruhani”.
Sebagian pemuka agama mengajarkan bahwa unsur ruhani cenderung memberi pengaruh yang positif/terpuji, sebaliknya, unsur materi cenderung membawa pengaruh negatif/tercela, atau paling tidak, tidak semulia ruhani. Dari sinilah muncul paham asketisme, ajaran untuk menguatkan pengaruh jiwa/roh (unsur ruhani) agar dapat mengalahkan dan mengendalikan pengaruh jasad melalui serangkaian pelatihan spritual. Muncul pula monastisisme, paham yang ingin berlepas diri secara total dari pengaruh dunia (materi) dan tenggelam sepenuhnya di dalam alam spiritual untuk mengabdi kepada Tuhan. Merekalah yang disebut kaum rohaniwan, seperti para pendeta, biksu, rahib dan sufi ekstrim. Inilah saah satu hal yang bertanggungjawab atas termarginalisasikannya agama dalam kehidupan nyata.
Spiritualitas dalam Islam: Spiritualitas yang membumi
Manusia memang memiliki ruh dalam arti nyawa. Namun pada faktanya, dalam diri manusia tidak ada dua unsur pembentuk yang menarik manusia kepada dua kecenderungan yang berbeda, yakni unsur jasad menarik kearah pemenuhan kepentingan duniawi dan unsur jiwa/roh yang menarik kepada pemenuhan kepentingan ukhrowi (moral dan ritual). Kenyataannya, semua perbuatan manusia dipengaruhi oleh dorongan kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan fisik (al-hajatul ‘udlwiyah) dan kebutuhan-kebutuhan naluriah (al-ghoro’iz). Kebutuhan fisik contohnya adalah kebutuhan untuk makan, minum, buang hajat dan tidur; sedangkan kebutuhan naluri contohnya adalah naluri untuk melestarikan jenis manusia (ghorizatun nau’), naluri untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqo’), dan kebutuhan untuk mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih agung dan sempurna (ghorizatut tadayyun).
Para rohaniwan cenderung memprimadonakan pemenuhan terhadap naluri yang terakhir, yakni naluri mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih besar dari manusia (gorizatut tadayyun) seraya menganggap pemenuhan terhadap naluri-naluri lain dan kebutuhan fisik manusia sebagai suatu hal yang rendah atau tidak semulia pemenuhan ghorizatud tadayyun. Kenapa demikian? Karena naluri ini memang sangat berkaitan dengan kebutuhan manusia akan kehadiran Tuhan, sementara para rohaniwan ingin sepenuhnya berhubungan dengan Tuhan. Jangan-jangan inilah yang mereka anggap sebagai kekuatan ruhani. Padahal kenyataannya, aktivitas ritual yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar pemenuhan terhadap gejolak naluri yang ada pada diri mereka, yakni ghorizatut tadayyun.
Menurut Islam, kebutuhan-kebutuhan fisik dan naluriah tersebut merupakan sesuatu yang alami dan netral, tidak bisa dengan sendirinya dikatakan bahwa kebutuhan yang satu lebih tinggi derajatnya dari kebutuhan yang lain. Justru cara manusia dalam mengatur dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan itulah yang dapat diberi predikat terpuji atau tercela. Dalam pandangan Islam, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang dijalankan sesuai petunjuk Islam, maka ia akan menjadi perbuatan yang terpuji. Sebaliknya, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang melanggar tuntunan Islam maka ia menjadi perbuatan yang tercela. Kebutuhan akan seks, misalnya, jika dipenuhi dengan berzina maka menjadi suatu hal yang tercela, namun jika dipenuhi dalam bingkai pernikahan yang sah maka akan menjadi bagian dari ibadah yang terpuji. Naluri alami untuk mensucikan dzat yang lebih agung yang mendorong aktivitas ritual keagamaan –yang sering dianggap sebagai aktivitas ruhaniyah itu- jika dijalankan tanpa petunjuk Islam maka akan menjadi bid’ah yang tercela, namun jika dijalankan berdasarkan petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah maka akan menjadi ibadah yang terpuji, berpahala dan diridhoi oleh Allah.
Lantas apa yang mengarahkan manusia kepada aktivitas pemenuhan kebutuhan yang diridhoi oleh Allah? Inilah yang menjadi misteri bagi kebanyakan orang. Mereka merasakan kehadirannya, tapi tidak mampu mengidentifikasi hakekat dari hal di dalam dirinya yang mendorongnya untuk taat kepada Allah itu. Sebagian orang menyangka bahwa yang membawa manusia kepada jalan ketaatan yang diridhoi oleh Allah itu adalah unsur roh atau jiwa yang bersemayam di dalam badannya, karena roh itulah yang menarik manusia untuk mengorbit kepada kepentingan ukhrowi. Anggapan ini sepenuhnya merupakan khayalan yang tidak bisa dibuktikan.
Sebenarnya, yang mendorong manusia untuk cenderung melakukan perbuatan terpuji dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sesuai petunjuk Allah bukanlah suatu unsur halus yang bersemayam dalam diri manusia. Dorongan itu sebenarnya berasal dari kesadaran yang ia miliki akan hubungannya dengan Allah Ta’ala (al idrok lishillatihi billah). Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi inilah yang membuat manusia taat kepadaNya. Ia –kesadaran tersebut- akan menguat tatkala mendengarkan nasehat yang sangat menyentuh, melihat fenomena yang menampakkan keagungan Allah, atau tatkala kita termotivasi oleh orang lain yang melaksanakan ibadah dengan lebih baik. Kesadaran itu pula yang melemah atau hilang tatkala manusia tergoda untuk melaksanakan maksiat atau meninggalkan suatu kewajiban. Kesadaran yang kadang menguat dan kadang pula melemah inilah sebenarnya yang mereka sebut dengan ruh. Disebut ruh karena –secara rancu- kesadaran ini dianggap sebagai salah satu unsur penyusun manusia, berupa jiwa yang bersemayam di dalam diri manusia. Padahal, keberadaan ruh/kesadaran itu jelas bukan merupakan unsur penyusun manusia melainkan hasil dari prestasi manusia dalam memahami, menyadari dan memunculkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi dan dinilai oleh Allah.
Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh perbuatannya dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya, seorang muslim –kemanapun dia pergi- akan selalu berjalan di atas hukum syara’ laksana kereta api yang selalu berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk melaksanakan sholat, haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara’. Hadirnya ruh juga mendorong manusia untuk melaksanakan bisnis, jual-beli, hutang-piutang, bekerja, bergaul, berumah-tangga, sampai menata pemerintahan menggunakan hukum syara’.
Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di tempat-tempat sujud, tidak hanya hadir di sekitar Ka’bah, tidak hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga hadir di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan di kamar kecil sekali pun. Aktivitas spiritual umat islam tidak hanya dimanifestasikan dalam sholat, puasa, haji dan dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan dengan Allah juga teraktualisasikan dalam bisnis, pekerjaan, pergaulan, hukum, politik-pemerintahan bahkan juga terwujud dalam hubungan suami-istri. Umat islam sepenuhnya hidup dalam dimensi spiritual sekaligus menjalani kehidupan yang serba material. Inilah falsafah kehidupan dalam islam, yakni penyatuan antara materi dengan ruh. Yang demikian itu terjadi tatkala semua aktivitas manusia dijalankan dengan hukum-hukum syara’ atas dasar kesadaran akan hubungan mereka dengan Allah.
Inilah spiritualitas dalam islam. Ia adalah spiritualitas yang membumi, menyatu dengan dinamika kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kerohanian dalam islam bukanlah dimensi yang berseberangan dengan kehidupan dunia. Bahkan, ruh -yang kenyataannya adalah kesadaran akan hubungan seorang muslim dengan Allah ini- harus dibawa ke mana pun seorang muslim itu pergi, dalam kondisi apapun, dalam menjalani aktivitas dan urusan apa pun. Inilah makna sejati dari dzikrullah (mengingat Allah), yakni sadar bahwa ia selalu diawasi oleh Allah dalam segenap gerak-geriknya sehingga mendorong seorang muslim untuk selalu hidup dengan syariat Islam tanpa lepas sedikit pun.
Lantas apa hubungan semua ini dengan khilafah? Jawabnya: spiritualitas alias kesadaran yang ada di dalam diri umat islam pasti mendorong mereka untuk menata kehidupan kemasyarakatan mereka dengan syariat Islam demi meraih ridho Allah. Padahal, kehidupan masyarakat itu tidak mungkin bisa sepenuhnya tertata dengan Islam kecuali di bawah naungan negara Islam yang menegakkan syariat Islam sebagai sistem yang mengatur berbagai urusan masyarakat. Itulah negara khilafah Islamiyah. Jadi khilafah merupakan ekspresi spiritualitas umat Islam dalam ranah politik dan pemerintahan .[[al-khilafah.org]] titok/15-16/6/12
=====
[1] Pembahasan ini sangat terinspisari oleh ulasan mengenai ruh dalam kitab Nidzomul Islam dan Mafahim Hizbit Tahrir oleh An Nabhani
[2] Kontemplatif berasal dari Bahasa Latin (contemplore) berarti merenung dan memandang. Kontemplatif merupakan cara hidup yang mengutamakan ketenangan, bermati raga, dan bertapa, sehingga dapat berdoa dan bersemadi dengan lebih mudah.
[3] Asketisme ajaran yang menekankan kebijakan-kebijakan ruhani dengan jalan memenangkan jiwa atas raga
[4] Monastisisme faham yang mementingkan orientasi spiritual sampai pada taraf menjauhi dunia dan menenggelamkan hidup sepenuhnya kedalam alam ruhani, biasa dipraktekkan para rahib atau kaum shufi dalam islam
[5] Abdur Rahman bin Kholdun, Muqodimah Ibn Kholdun, cetakan IX (Beirut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2006) halaman 33
[6] Menurut Thomas Aquinas, perkawinan memang bukan dosa, tetapi sesuatu yang rendah. Hubungan seksuil dengan wanita menyebabkan orang tidak dapat berbuat baik dengan sempurna.
Islam: Spiritualitas yang Membumi[1]
“Umat Islam “mencari” Allah dalam sejarah. Kitab suci mereka, Quran, telah mengamanatkan kepada mereka sebuah misi historis. Tugas utama mereka adalah mewujudkan masyarakat yang adil, di mana semua anggotanya -bahkan yang paling lemah dan rentan sekalipun- diperlakukan dengan penuh hormat. Pengalaman dalam membangun serta hidup di tengah masyarakat yang seperti itu memberi mereka rasa kedekatan dengan Tuhan, karena dengan demikian mereka akan hidup sesuai kehendak Allah. Seorang Muslim harus membebaskan sejarah, dan itu berarti bahwa urusan negara bukan merupakan saingan dari spiritualitas, tetapi justru menjadi bagian dari agama itu sendiri. Tatanan Politik masyarakat muslim yang baik merupakan salah satu masalah yang paling penting.“ [Karen Armstrong, Islam: a Short History (New York: Modern Library, 2002) hal. xi]
Spiritualitas Sekuler
Islam, suatu kata yang sering kita masukkan ke dalam kotak kategori agama, bersama dengan Yahudi, Kristen, hindu, budha dll. Sayangnya, taktala disebut kata agama, yang segera tersirat di dalam benak adalah sebuah ruang pertemuan yang sangat personal antara hamba dengan Tuhannya, yang sepi dari hiruk-pikuk kehidupan sosial. Ia adalah jembatan vertikal yang menghubungkan manusia dengan penciptanya, lepas dari hubungan horizontal dengan sesama manusia. Oleh karenanya, agama adalah suatu medan sakral yang suci dari atmosfer kehidupan dunia dengan segala problematikanya yang remeh dan kotor. Agama adalah relung yang tenang, damai, hening dan kotemplatif[2] jauh dari hingar-bingar urusan ekonomi, hukum apalagi politik. Semakin total manusia larut dalam beragama, maka ia akan semakin condong ke arah kutub ruhani, semakin mendaki ke arah langit, semakin cenderung asketis[3], bahkan pada gilirannya menjadi monastik[4]. Itulah agama yang ada dalam benak kebanyakan orang saat ini, suatu bilik spiritual di salah satu sudut semesta kehidupan manusia, tempat dimana manusia mengasingkan diri dari kehidupan materi untuk bertemu dengan Sang Maha Pencipta.
Persepsi seperti di atas membuat agama selalu mengambang di awang-awang, tidak mendarat ke permukaan bumi untuk menyatu dengan dinamika kehidupan umat manusia. Agama yang lekat dengan urusan keakhiratan itu seolah menjadi antitesa dari kehidupan dunia. Sebagai hasilnya, urusan negara -yang erat kaitannya dengan politik dan kekuasaan- dianggap sebagai urusan remeh yang jauh terpisah dari lingkup agama; ekonomi dan bisnis yang terkait dengan masalah pemenuhan kebutuhan hidup di dunia, perolehan harta, pengembangan kekayaan dan distribusinya juga tidak boleh mengotori wilayah agama; urusan hukum yang berhubungan dengan sengketa dan perselisihan mengenai berbagai urusan keduniaan juga dianggap tak mungkin dijamah oleh tangan agama yang bersih dan mulia itu.
Demikianlah, manusia hanya membawa serta agama ketika mereka hadir dalam dimensi spiritual –ruang yang mempertemukan mereka dengan Tuhan- yang termanifestasi dalam ajaran moral dan ritualitas. Agama tidak datang dalam urusan politik, ekonomi, hukum, sosial dan urusan keduniaan yang lain. Padahal, secara personal, seorang manusia mungkin bisa hidup tanpa menghiraukan urusan politik, namun secara kolektif umat manusia tidak mungkin bisa hidup harmonis di muka bumi ini tanpa tatanan politik. Seperti kata Ibnu Kholdun, manusia itu secara alami merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kepemimpinan.[5] Manusia secara kolektif juga tidak mungkin bisa hidup tanpa aktivitas dan tatanan ekonomi. Maka sebagai konsekuensi dari absennya agama dari aktivitas sosial, politik, hukum dan ekonomi adalah dijalankannya urusan-urusan tersebut tanpa panduan agama. Inilah yang kita sebut sebagai kehidupan sekuler, tatanan kehidupan dunia yang tidak dikaitkan dengan agama dan urusan keakhiratan.
Pangkal masalahnya terletak pada persepsi umum yang menganggap bahwa kebutuhan terhadap agama dan hubungan manusia dengan Tuhan merupakan bahan konsumsi jiwa (roh), sedangkan kebutuhan terhadap berbagai urusan duniawi merupakan santapan dari jasad/fisik manusia . Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa sikap manusia dipengaruhi oleh dua unsur yang bersaing untuk mengendalikan arah kecenderungannya, yakni jiwa/roh sebagai unsur ruhani di satu sisi dan jasad/fisik sebagai unsur materi di sisi yang lain. Kedua unsur itu melahirkan kecenderungan yang berbeda. Kecenderungan yang mengarahkan orbit manusia kepada Tuhan -yang diwujudkan dalam penerapan nilai-nilai moral dan aktivitas ritual- dianggap lahir dari pengaruh jiwa/roh (unsur ruhani), sedangkan kekuatan yang mengarahkan orbit manusia kepada dunia, berupa kesenangan fisik dan naluriah -seperti kecenderungan terhadap makanan, harta, seks[6], dan kekuasaan- dianggap sebagai suatu hal yang lahir dari pengaruh jasad (unsur materi). Tak heran, jika kemudian forum-forum keagamaan sering juga dinamakan dengan “bimbingan ruhani” atau “santapan ruhani”.
Sebagian pemuka agama mengajarkan bahwa unsur ruhani cenderung memberi pengaruh yang positif/terpuji, sebaliknya, unsur materi cenderung membawa pengaruh negatif/tercela, atau paling tidak, tidak semulia ruhani. Dari sinilah muncul paham asketisme, ajaran untuk menguatkan pengaruh jiwa/roh (unsur ruhani) agar dapat mengalahkan dan mengendalikan pengaruh jasad melalui serangkaian pelatihan spritual. Muncul pula monastisisme, paham yang ingin berlepas diri secara total dari pengaruh dunia (materi) dan tenggelam sepenuhnya di dalam alam spiritual untuk mengabdi kepada Tuhan. Merekalah yang disebut kaum rohaniwan, seperti para pendeta, biksu, rahib dan sufi ekstrim. Inilah saah satu hal yang bertanggungjawab atas termarginalisasikannya agama dalam kehidupan nyata.
Spiritualitas dalam Islam: Spiritualitas yang membumi
Manusia memang memiliki ruh dalam arti nyawa. Namun pada faktanya, dalam diri manusia tidak ada dua unsur pembentuk yang menarik manusia kepada dua kecenderungan yang berbeda, yakni unsur jasad menarik kearah pemenuhan kepentingan duniawi dan unsur jiwa/roh yang menarik kepada pemenuhan kepentingan ukhrowi (moral dan ritual). Kenyataannya, semua perbuatan manusia dipengaruhi oleh dorongan kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan fisik (al-hajatul ‘udlwiyah) dan kebutuhan-kebutuhan naluriah (al-ghoro’iz). Kebutuhan fisik contohnya adalah kebutuhan untuk makan, minum, buang hajat dan tidur; sedangkan kebutuhan naluri contohnya adalah naluri untuk melestarikan jenis manusia (ghorizatun nau’), naluri untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqo’), dan kebutuhan untuk mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih agung dan sempurna (ghorizatut tadayyun).
Para rohaniwan cenderung memprimadonakan pemenuhan terhadap naluri yang terakhir, yakni naluri mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih besar dari manusia (gorizatut tadayyun) seraya menganggap pemenuhan terhadap naluri-naluri lain dan kebutuhan fisik manusia sebagai suatu hal yang rendah atau tidak semulia pemenuhan ghorizatud tadayyun. Kenapa demikian? Karena naluri ini memang sangat berkaitan dengan kebutuhan manusia akan kehadiran Tuhan, sementara para rohaniwan ingin sepenuhnya berhubungan dengan Tuhan. Jangan-jangan inilah yang mereka anggap sebagai kekuatan ruhani. Padahal kenyataannya, aktivitas ritual yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar pemenuhan terhadap gejolak naluri yang ada pada diri mereka, yakni ghorizatut tadayyun.
Menurut Islam, kebutuhan-kebutuhan fisik dan naluriah tersebut merupakan sesuatu yang alami dan netral, tidak bisa dengan sendirinya dikatakan bahwa kebutuhan yang satu lebih tinggi derajatnya dari kebutuhan yang lain. Justru cara manusia dalam mengatur dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan itulah yang dapat diberi predikat terpuji atau tercela. Dalam pandangan Islam, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang dijalankan sesuai petunjuk Islam, maka ia akan menjadi perbuatan yang terpuji. Sebaliknya, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang melanggar tuntunan Islam maka ia menjadi perbuatan yang tercela. Kebutuhan akan seks, misalnya, jika dipenuhi dengan berzina maka menjadi suatu hal yang tercela, namun jika dipenuhi dalam bingkai pernikahan yang sah maka akan menjadi bagian dari ibadah yang terpuji. Naluri alami untuk mensucikan dzat yang lebih agung yang mendorong aktivitas ritual keagamaan –yang sering dianggap sebagai aktivitas ruhaniyah itu- jika dijalankan tanpa petunjuk Islam maka akan menjadi bid’ah yang tercela, namun jika dijalankan berdasarkan petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah maka akan menjadi ibadah yang terpuji, berpahala dan diridhoi oleh Allah.
Lantas apa yang mengarahkan manusia kepada aktivitas pemenuhan kebutuhan yang diridhoi oleh Allah? Inilah yang menjadi misteri bagi kebanyakan orang. Mereka merasakan kehadirannya, tapi tidak mampu mengidentifikasi hakekat dari hal di dalam dirinya yang mendorongnya untuk taat kepada Allah itu. Sebagian orang menyangka bahwa yang membawa manusia kepada jalan ketaatan yang diridhoi oleh Allah itu adalah unsur roh atau jiwa yang bersemayam di dalam badannya, karena roh itulah yang menarik manusia untuk mengorbit kepada kepentingan ukhrowi. Anggapan ini sepenuhnya merupakan khayalan yang tidak bisa dibuktikan.
Sebenarnya, yang mendorong manusia untuk cenderung melakukan perbuatan terpuji dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sesuai petunjuk Allah bukanlah suatu unsur halus yang bersemayam dalam diri manusia. Dorongan itu sebenarnya berasal dari kesadaran yang ia miliki akan hubungannya dengan Allah Ta’ala (al idrok lishillatihi billah). Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi inilah yang membuat manusia taat kepadaNya. Ia –kesadaran tersebut- akan menguat tatkala mendengarkan nasehat yang sangat menyentuh, melihat fenomena yang menampakkan keagungan Allah, atau tatkala kita termotivasi oleh orang lain yang melaksanakan ibadah dengan lebih baik. Kesadaran itu pula yang melemah atau hilang tatkala manusia tergoda untuk melaksanakan maksiat atau meninggalkan suatu kewajiban. Kesadaran yang kadang menguat dan kadang pula melemah inilah sebenarnya yang mereka sebut dengan ruh. Disebut ruh karena –secara rancu- kesadaran ini dianggap sebagai salah satu unsur penyusun manusia, berupa jiwa yang bersemayam di dalam diri manusia. Padahal, keberadaan ruh/kesadaran itu jelas bukan merupakan unsur penyusun manusia melainkan hasil dari prestasi manusia dalam memahami, menyadari dan memunculkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi dan dinilai oleh Allah.
Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh perbuatannya dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya, seorang muslim –kemanapun dia pergi- akan selalu berjalan di atas hukum syara’ laksana kereta api yang selalu berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk melaksanakan sholat, haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara’. Hadirnya ruh juga mendorong manusia untuk melaksanakan bisnis, jual-beli, hutang-piutang, bekerja, bergaul, berumah-tangga, sampai menata pemerintahan menggunakan hukum syara’.
Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di tempat-tempat sujud, tidak hanya hadir di sekitar Ka’bah, tidak hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga hadir di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan di kamar kecil sekali pun. Aktivitas spiritual umat islam tidak hanya dimanifestasikan dalam sholat, puasa, haji dan dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan dengan Allah juga teraktualisasikan dalam bisnis, pekerjaan, pergaulan, hukum, politik-pemerintahan bahkan juga terwujud dalam hubungan suami-istri. Umat islam sepenuhnya hidup dalam dimensi spiritual sekaligus menjalani kehidupan yang serba material. Inilah falsafah kehidupan dalam islam, yakni penyatuan antara materi dengan ruh. Yang demikian itu terjadi tatkala semua aktivitas manusia dijalankan dengan hukum-hukum syara’ atas dasar kesadaran akan hubungan mereka dengan Allah.
Inilah spiritualitas dalam islam. Ia adalah spiritualitas yang membumi, menyatu dengan dinamika kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kerohanian dalam islam bukanlah dimensi yang berseberangan dengan kehidupan dunia. Bahkan, ruh -yang kenyataannya adalah kesadaran akan hubungan seorang muslim dengan Allah ini- harus dibawa ke mana pun seorang muslim itu pergi, dalam kondisi apapun, dalam menjalani aktivitas dan urusan apa pun. Inilah makna sejati dari dzikrullah (mengingat Allah), yakni sadar bahwa ia selalu diawasi oleh Allah dalam segenap gerak-geriknya sehingga mendorong seorang muslim untuk selalu hidup dengan syariat Islam tanpa lepas sedikit pun.
Lantas apa hubungan semua ini dengan khilafah? Jawabnya: spiritualitas alias kesadaran yang ada di dalam diri umat islam pasti mendorong mereka untuk menata kehidupan kemasyarakatan mereka dengan syariat Islam demi meraih ridho Allah. Padahal, kehidupan masyarakat itu tidak mungkin bisa sepenuhnya tertata dengan Islam kecuali di bawah naungan negara Islam yang menegakkan syariat Islam sebagai sistem yang mengatur berbagai urusan masyarakat. Itulah negara khilafah Islamiyah. Jadi khilafah merupakan ekspresi spiritualitas umat Islam dalam ranah politik dan pemerintahan .[[al-khilafah.org]] titok/15-16/6/12
=====
[1] Pembahasan ini sangat terinspisari oleh ulasan mengenai ruh dalam kitab Nidzomul Islam dan Mafahim Hizbit Tahrir oleh An Nabhani
[2] Kontemplatif berasal dari Bahasa Latin (contemplore) berarti merenung dan memandang. Kontemplatif merupakan cara hidup yang mengutamakan ketenangan, bermati raga, dan bertapa, sehingga dapat berdoa dan bersemadi dengan lebih mudah.
[3] Asketisme ajaran yang menekankan kebijakan-kebijakan ruhani dengan jalan memenangkan jiwa atas raga
[4] Monastisisme faham yang mementingkan orientasi spiritual sampai pada taraf menjauhi dunia dan menenggelamkan hidup sepenuhnya kedalam alam ruhani, biasa dipraktekkan para rahib atau kaum shufi dalam islam
[5] Abdur Rahman bin Kholdun, Muqodimah Ibn Kholdun, cetakan IX (Beirut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2006) halaman 33
[6] Menurut Thomas Aquinas, perkawinan memang bukan dosa, tetapi sesuatu yang rendah. Hubungan seksuil dengan wanita menyebabkan orang tidak dapat berbuat baik dengan sempurna.
Tidak ada komentar