Header Ads

Jalan Tengah Polemik RUU Pilkada

Jalan Tengah Polemik RUU Pilkada
Oleh Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)

Langsung atau tidak langsung, menjadi polemik dalam penentuan Pilkada. Dewan legislatif pun berbeda pendapat dalam penentuan RUU Pilkada. Di sisi lain, kepala daerah pun di antara setuju dan menolak. Polemik ini didasari atas beberapa evaluasi Pilkada langsung selama ini. Beberapa di antaranya, liberalisasi politik dengan biaya yang mahal. KPU dan calon kepala daerah sama-sama mengeluarkan biaya. Konflik horisontal kerap mewarnai ketidakpuasan segelintir orang dalam meraih sumber kekuasaan. Kerugian materi dan non-materi menjadi pelengkap konflik.


Keinginan beberapa pihak mempertahankan pemilihan langsung demi menghilangkan oligarki politik. Mengingat rakyatlah yang berhak menentukan orang menjadi pemimpin. Masa Orde baru dijadikan pengalaman berharga. DPRD yang merupakan perwakilan rakyat dapat saja menggunakan kewenangan untuk menonjolkan pemimpin dari partainya. Untuk itulah, dengan pilkada langsung demi memutus lingkaran setan kekuasaan segelintir elit.

Berlepas dari itu semua, polemik ini menunjukan jika elit politik tak lagi mengedepankan kepentingan rakyat. Alih-alaih rakyat diurusi dengan baik. Mereka sibuk mempertahankan posisi dan duduk di kursi. Jika terlontar kata “ini demi rakyat”. Itu hanya obat bius untuk menutupi akal bulus mengincar kekuasaan. Selain itu, sistem perundangan di Indonesia karut marut dan tumpang tindih. UU yang dibuat tak lepas dari kepentingan. Begitu pula isi UU terkadang tidak pro rakyat dan jauh dari sempurna. Hal ini dikarenakan sistem perundangan masih mengacu pada akal manusia yang terbatas. Secerdas apa pun perumus UU, selama dia manusia tak akan mampu memuaskan semua.

Sistem politik demokrasi tidak akan pernah memberikan ketenangan bagi rakyat. Demokrasi akan memberikan PR besar. Perdebatan dan saling mencoba memperbaiki kecacatannya. Seolah demokrasi masih sistem terbaik bagi negeri ini. Jika dibandingkan dengan politik Islam, pilkada dalam demokrasi jauh berbeda. Baik dari asas hingga aturan rincinya.

Pilkada dalam Islam

Keunggunalan sistem politik Islam dibanding demokrasi terletak pada definisi dan asasnya. Politik dalam Islam bermakna ri’ayah syu’unil ummah, mengurusi urusan umat. Umatlah yang menjadi obyek untuk diurusi dengan syariah Islam. Asasnya kitabullah dan sunnah rasulullah. Sebaliknya, demokrasi yang digadang-gadang menjadikan rakyat mulia. Justru rakyat hanya dijadikan stempel. Selebihnya, rakyat ditinggal dan terkadang tiada diurusi urusannya. Sudah banyak bukti yang tampak, rakyat gigit jari ketika wakilnya ingkar janji.

Sementara itu, Wali adalah orang yang diangkat oleh khalifah sebagai pejabat (hakim) di salah satu wilayah kekhilafahan serta menjadi pimpinan di sana. Negeri yang diperintah oleh negara Islam dipilah menjadi bebarapa wihdat (bagian) dan masing-masing bagian itu disebut wilayah (setingkat provinsi atau daerah tingkat I). Setiap wilayah dipilah lagi menjadi beberapa wihdat (bagian), dimana masing-masing bagian itu disebut 'imalah (setingkat daerah tingkat II). Sedangkan orang yang memimpin wilayah itu disebut wali dan orang yang memimpin 'imalah disebut 'amil atau hakim.

Karena itu para pejabat daerah itu merupakan hakim (pejabat), sebab wewenang ke-wilayah-annya itu merupakan wewenang pemerintahan. Di dalam kamus Al Muhith dinyatakan: "Wa Waliya As Syai': Dia memiliki wilayah (pemerintahan) dan walayah (kekuasaan). Kata "Wilayah" tersebut merupakan bentuk masdar (gerund). Dengan dikasrah huruf Wau-nya (sehingga dibaca Wilayah), maka maknanya adalah urusan (huttah), kepemimpinan (imarah) serta kekuasaan (as sulthan)."

Nabi saw. senantiasa memilih para wali beliau dari kalangan orang-orang yang layak untuk memimpin suatu pemerintahan serta orang-orang yang memiliki keilmuan yang telah dikenal ketakwaannya. Beliau juga memilih mereka berdasarkan kriteria yang paling sempurna dalam menjalankan tugas-tugas yang diurusinya serta mereka yang paling mampu meningkatkan hati rakyat dengan iman dan kecintaan terhadap negara Islam. Dari Sulaiman Bin Buraidah dari bapaknya:

"Adalah Rasulullah saw. apabila mengangkat pimpinan suatu kesatuan pasukan, dinas-dinas rahasia, maka beliau menasehati, khusus kepadanya, dengan nasehat takwa kepada Allah, serta berlaku baik kepada kaum muslimin yang menyertai mereka." (H.R. Imam Muslim)

Jabatan kewaliyan itu harus diserahkan oleh khalifah atau orang yang bisa mewakilinya dalam melakukan penyerahan jabatan. Sehingga wali hanya bisa diangkat secara sah kalau yang melakukannya adalah khalifah. Asal adanya jabatan kewalian atau imarah (kepemimpianan) itu adalah karena adanya af'al Rasulullah saw.. Dimana Rasulullah saw. pernah mengangkat para wali untuk memimpin beberapa wilayah (daerah). Dan mereka diberi hak untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Beliau pernah mengangkat Mu'ad Bin Jabal menjadi wali di Janad, sedangkan Ziyad Bin Labid menjadi wali di Hadramaut, sementara Abu Musa Al Asy'ari di Zabid dan 'Adn.

Seorang wali adalah wakil khalifah, sehingga dia senantiasa melakukan tugas-tugas yang diwakilkan oleh khalifah berdasarkan akad inabah, untuk mewakilinya. Dalam pandangan syara', jabatan wali tidak memiliki batasan yang tegas. Oleh karena itu, siapa saja yang menjadi wakil khalifah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, bisa saja disebut wali dalam tugas itu; sesuai dengan lafadz yang telah ditentukan oleh khalifah dalam pengangkatannya. Hanya saja, daerah teritorialnya ditentukan sebab Rasulullah saw. telah melakukan pembatasan daerah teritorial yang akan dipimpin oleh seorang wali, atau daerah yang akan diserahkan kepemimpinannya kepada amir daerah tersebut.

Jabatan wali tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wali dengan wewenang secara umum, dan khusus. Jabatan wali dengan wewenang secara umum meliputi semua urusan pemerintahan, dimana penyerahannya bisa dilakukan oleh khalifah dengan cara menyerahkan kepemimpinan satu negeri, atau satu provinsi agar dia memimpin semua penduduknya serta mengontrol tugas-tugas yang telah disepakatinya, sehingga wewenangnya umum, meliputi semua urusan. Sedangkan jabatan wali dengan wewenang secara khusus tersebut adalah menjadikan urusan seorang wali terbatas dalam masalah mengurusi pasukan, atau mengurus rakyat, atau melindungi benteng, atau menjaga daerah dan negeri tersebut dari hal-hal yang dilarang. Dimana dia tidak diberi hak untuk memberikan keputusan hukum, maupun hak untuk menarik kharaj dan zakat.

Nabi pernah mengangkat seorang wali dengan wewenang secara umum, dimana beliau pernah mengangkat 'Amru Bin Hazm untuk menjadi wali di Yaman dengan wewenang secara umum. Beliau juga pernah mengangkat Ali Bin Abi Thalib untuk menjadi qadli di Yaman. Para khalifah sepeninggal beliau, banyak melakukan hal tersebut. Mereka pernah mengangkat seorang wali dengan wewenang secara umum. Umar Bin Khattab, misalnya, pernah mengangkat Mu'awiyah Bin Abi Sufyan untuk menjadi wali dengan wewenang secara umum. Dan mereka juga pernah mengangkat seorang wali dengan wewenang secara khusus. Ali Bin Abi Thalib, misalnya, pernah mengangkat Abdullah Bin Abbas untuk menjadi wali di Basrah selain masalah harta benda (mal), sedangkan beliau mengangkat Ziyad untuk menjadi wali yang mengurusi masalah harta benda.

Jabatan wali pada masa-masa awal (pemerintahan Islam) dahulu dibedakan menjadi dua, yaitu waliyus shalat dan waliyul kharaj. Oleh karena itu, akan banyak ditemukan buku-buku sejarah menyebut wewenang para pimpinan daerah itu dengan mempergunakan dua bentuk kata tersebut. Pertama, imarah 'alas shalat (kepemimpinan masalah pemerintahan) dan kedua imarah 'alas shalat wal kharaj (kepemimpinan masalah pemerintahan dan harta). Artinya, bisa jadi pimpinan tersebut memimpin "shalat" dan "kharaj" sekaligus atau hanya memimpin "shalat" saja. Yang dimaksud dengan kata "shalat" di sini bukan berarti menjadi imam shalat saja, melainkan memimpin dalam semua urusan selain urusan harta. Sedangkan yang dimaksud dengan kata "shalat" di sini adalah masalah pemerintahan, selain masalah penarikan harta (amwal). Apabila seorang wali memiliki wewenang untuk mengurusi masalah "shalat" dan "kharaj" sekaligus, berarti wewenang wali itu adalah umum. Sedang apabila wewenang wali itu sebatas mengurusi masalah "shalat" atau "kharaj" saja, maka berarti wewenang wali itu adalah khusus.

Wali adalah pimpinan yang memimpin daerahnya sehingga hadits ini bisa berlaku baginya. Sedangkan masalah pemberhentian wali itu tergantung pada khalifah. Kalau dia berpendapat harus diberhentikan, maka dia akan diberhentikan; atau kalau rakyat di wilayahnya atau anggota majelis umat --yang mewakili mereka-- menunjukkan sikap benci dan tidak ridla terhadap wali tersebut, maka dia harus diberhentikan. Sedangkan yang menentukan pemberhentiannya adalah khalifah. Hal itu, karena Rasulullah saw. pernah memberhentikan Mu'ad Bin Jabal dari Yaman, tanpa alasan apapun. Beliau juga memberhentikan Ila' Al Hadhrami yang menjadi amil beliau di Bahrain, hanya karena ada utusan Abdu Qais mengadukannya kepada beliau. Umar Bin Khattab pun pernah memberhentikan seorang wali dengan alasan tertentu dan kadang tanpa alasan apapun. Beliau pernah memberhentikan Ziyad Bin Abi Sufyan tanpa alasan apapun. Beliau juga pernah memberhentikan Sa'ad Bin Abi Waqqash dengan alasan karena orang-orang mengadukan dirinya kepada beliau. Sehingga beliau pernah berkata:

"Aku memberhentikannya bukan karena dia lemah, juga bukan karena dia berhianat."

Semuanya menunjukkan, bahwa khalifah berhak untuk memberhentikan seorang wali sesuka hatinya, kapan saja. Khalifah juga bisa memberhentikannya, karena penduduk daerah yang dipimpinya mengadukannya (kepada khalifah).

Khatimah

Siapapun harus menyadari, perdebatan langsung dan tidak langsung dalam pilkada, tidaklah menyentuh akar solusi bagi rakyat. Meskipun rakyat dilibatkan dalam pemilihan, nyatanya dari 500an kepala daerah sudah 300an dijebloskan ke penjara. Hal ini menunjukan bahwa demokrasi baik dengan keterwakilan ataupun kedaulatan rakyat, gagal menghadirkan pemimpin amanah. Selama dunia masih menjadi tujuan bagi penguasa, selama itu pula niatan awal yang mulia akan berbelok jadi kehinaan di dunia.

Sistem politik Islam menjelaskan jika wali diangkat oleh Khalifah. Pemilihan ini akan menghasilkan penguasa yang baik, karena mereka ditunjuk untuk mengurusi umat dalam segala hal. Berbeda dalam demokrasi, yang terkadang kepala daerah menjadi raja-raja kecil di daerah. Bahkan melangengkan kekuasaan dinasti yang penuh korupsi. Bukankah segala peristiwa menjadi pelajaran. Dinasti Atut di Banten? Jokowi-Ahok Ahok di DKI Jakarta? Kekecewaan Khofifah Indarparawansah-Herman pada Pilgub Jatim? Serta sederet peristiwa lainnya. RUU Pilkada bukanlah jaminan perwujudan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, syariah Islam dalam bingkai Khilafah mewujudkan kesejahteraan untuk semua. Karena Khilafah adalah rumah besar bagi umat manusia.

Sumber Bacaan

  1. Sistem Pemerintahan dalam Islam (Nizhamul Hukmi fil Islam) karya Syaikh Abdul Qodim Zallum
  2. Stuktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi) dikeluarkan Hizbut Tahrir. HTI Press.

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.