Header Ads

Hizbut Tahrir Sesat Karena Menolak Hadits Ahad, Benarkah?

Hizbut Tahrir Sesat Karena Menolak Hadits Ahad, Benarkah?
Oleh : Ustadz Choirul Anam

Dari semua buku yang saya baca, yang menjelekkan dan menyesat HT (Hizbut Tahrir, -red), terutama adalah tentang hadits ahad. Dikatakan bahwa HT menolak hadits ahad, karena itu HT itu sesat dan menyesatkan. Jika kita telaah kitab-kitab HT secara mendalam, adanya ungkapan-ungkapan tersebut adalah karena kedengkian dan sebagian lagi karena kesalah-pahaman. Maka benarlah penjelasan para ulama salaf, bahwa mengkaji kitab itu harus dengan guru yang benar-benar memahami kitab tersebut, sehingga tidak salah paham.

Masalah ini sebenarnya membutuhkan penjelasan yang panjang agar tuntas. Namun, saya akan berusaha membahas secara singkat, semoga cukup jelas. Bagi yang ingin mengkaji secara mendalam bisa merujuk kitab-kitab ulama salaf atau kitab Asy Syakhsiyyah Al Islamiyaah jilid 1 karya Syeikh Taqiyuddin.



Apakah benar HT menolak hadits ahad?

Jawab: pernyataan itu super-duper keliru. HT tidak pernah dan tidak akan pernah menolak hadits ahad. Bahkan hampir di semua kitab HT, hadits-hadits yang dijadikan rujukan adalah hadits ahad, tentu yang shohih.

Mengapa banyak yang mengatakan hal itu dan mereka merujuk pada kitab HT yaitu kitab Syakhsiyyah Islamiyah Jilid 1?

Jawab: Hal itu terjadi karena kesalah-pahaman memahami kitab tersebut. Coba perhatikan bab yang membahas hadits ahad dalam kitab tersebut. Di sana dikatakan: al ahad laisa bi hujjatin fil aqidah, artinya hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah. Jadi, sama sekali tidak ada penolakan terhadap hadits ahad.

Apa arti bahwa hadits ahad tidak jadi hujjah dalam akidah?

Jawab: artinya masalah akidah itu tidak boleh sembarangan, akidah harus ditetapkan dengan dalil yang qoth'i, yaitu al-quran dan hadits mutawatir. Adapun dalam hal selain akidah, maka hadits ahad tersebut menjadi hujjah, setelah terbukti kesahihannya.

Berarti HT sembrono dengan pernyataannya tersebut?

Jawab: justru HT sangat hati-hati. Masalah akidah adalah masalah iman dan kafir, makanya dalilnya harus benar-benar qoth'i. Dengan pemahaman ini HT tidak berani mengkafirkan orang hanya atas dasar hadits ahad (la yukfaru mungkiruhu). Ini berbeda dengan orang atau kelompok yang menjadikan hadits ahad sebagai dalil akidah, maka mereka menjadi sangat mudah mengkafirkan orang. Dikit-dikit kafir, padahal itu hanya dalam masalah cabang (furu’) yang masih khilafiyah.

Berarti HT tidak membenarkan hadits ahad?

Jawab: HT sangat membenarkan hadits ahad setelah terbukti kesahihannya, hanya tidak menjadikannya sebagai dalil akidah. Maksudnya, HT percaya dengan hadits tersebut, tapi seandainya ada pihak yang tidak percaya, maka HT tidak akan mengkafirkan orang itu. Itulah makna dari AL AHAD LAISA BI HUJJATIN FIL AQOID.

Kalau HT tidak menjadikan sebagai dalil akidah, berarti tidak yakin dengan Rasulullah saw? 

Jawab: Tidak ada hubungannya. Ini adalah masalah periwayatan hadits. Hadits itu memang dari Rasulullah saw, kemudian dihafal generasi sahabat, kemudian generasi tabi’in, lalu genetasi tabi’ut tabi’in. Jadi, hal ini adalah masalah periwayatan, benar atau tidak, itu perkataan atau ucapan dari Rasul? Kalau memang benar dari Rasulullah saw, maka itu menjadi dalil akidah yang pasti benarnya. Tapi bagaimana mengeceknya? Nah, disinilah para ulama ahli hadits membuat kriteria berdasarkan jumlah dan kualitas para perawi. Coba anda lihat kitab-kitab mushtolahul hadits.

Membagi hadits menjadi ahad dan mutawatir adalah bid'ah karena tidak ada di zaman Rasulullah saw? 

Jawab: memang klasifikasi itu tidak ada pada zaman Rasulullah saw, sebab pada zaman beliau, kebenaran ucapan dan tindakan beliau bisa langsung dikonfirmasi kepada beliau. Masalah pembagian hadits itu terjadi pada generasi setelah tabi’ut tabi’in. Saat itu, banyak orang yang mengaku meriwayatkan hadits, padahal dia berbohong. Lalu, para ulama bangkit dan meneliti hadits. Lalu hadits dipilah-pilah dan diklasifikasi, salah satunya berdasarkan jumlah dan kualitas para perawi. Maka, kemudian ada hadits shohih, hasan, dhoif dan lain sebagainya. Kalau klasifikasi mutawatir-ahad adalah bid'ah, maka klasifikasi sohih-hasan-dhoif juga bid'ah, karena tidak ada pada zaman Rasulullah saw. Berarti para ahli hadits adalah orang-orang yang ahli bid’ah semua? Kita berlindung diri kepada Allah swt dari anggapan yang sangat keji ini.

Pada zaman Rasulullah saw, Mush'ab bin Umair diutus ke madinah sendirian untuk berdakwah di sana, ini bukti kalau hadits ahad bisa jadi hujjah?

Jawab: tidak ada hubunganya. Itu masalah tabligh bukan masalah periwayatan. Tabligh itu menjelaskan ke orang dengan berbagai penjelasan sehingga orang jadi paham. Dalam tabligh, redaksinya terserah orang yang tablig, yang penting yang didakwahi paham.Sedangkan periwayatan itu menyampaikan APA ADANYA, tidak ada kata yang ditambahkan atau dikurangi. Dalam periwayatan, redaksi tidak boleh di-UBAH oleh perawi. Jadi, sangat berbeda antara tabligh dengan periwayatan.

Tapi pendapat HT itu bertentangan dengan pendapat ulama salaf?

Jawab: justru pendapat HT ini sesuai dengan jumhur ulama salaf. Coba lihat Imam Qorofi dalam kitab Tanqih al-Ushul, Al-Kasai dalam Badaa'i al-Shanaai, Imam Al-Amidy dalam Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul Ila Tahqiqil Haq Min Ulumil Ushul, Syeikh Jamaluddin Al-qasimi dalam Mahasinul Ta'wil, Imam As-Suyuthi dalam Al-itqan fi Ulumil Qur'an, dan masih sangat banyak lainnya. Pendapat HT ini sama dengan jumhur ulama dan imam madzhab. Di sini akan ditampilkan sebagian foto dari kitab al-Ihkam fi ushulil ahkam, karya Imam al-Amidy. Di dalam kitab ini pembahasan tentang hadits ahad, ada di jilid 2, dari halaman 42 hingga 157. Silahkan dibaca sendiri untuk lengkapnya. Memang, di sana ada beberapa perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ulama, tetapi yang rajih, adalah yang mengatakan al ahad la yufiidu al-‘ilma ai al-yaqin.

Tapi kok saya tidak tahu? 

Jawab: Silahkan belajar lagi dan mengkaji kitab-kitab ulama yang muktabar. Sebab, tidak tahu itu bukan dalil. 'Adamul ilmi laisa dalilan. 'Adamul ilmi yadullu bi annaka jahilun.

Wallahu a'lam.
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.