Header Ads

Bolehkah Menegakkan Daulah Islam Dengan Kekerasan?

Soal:
Bagaimana pandangan Islam dalam kasus mengangkat senjata untuk menegakkan Daulah Islam?

Jawab:
Ada sejumlah ulama yang menyatakan penolakannya terhadap penggunaan senjata untuk mendirikan Daulah. Mereka, antara lain, adalah SyaikhTaqiyuddin an-Nabhani, Abu al-A'la al-Maududi, Nashiruddin -al-Bani, Said Ramadhan al-Buthi dan Muhammad Khair Haikal.

Argumentasi mereka jelas, bahwa Daulah hanya akan berdiri melalui dakwah secara damai, melalui partai politik. Sebaliknya, cara-cara yang ditempuh dengan jalan peperangan sudah terbukti tidak pernah bisa mewujudkan Daulah sebagaimana yang diharapkan. Bahkan kemungkinan gagal sangat besar. Lebih rinci lagi, Syaikh Muhammad Khair Haikal menyatakan bahwa metode untuk mendirikan Daulah pada zaman sekarang adalah dengan:
1- Menyiapkan kondisi yang bisa menerima dakwah.
2- Mencari Ahli Nushrah yang mempunyai kekuatan.
3- Membaiat orang yang akan dipilih menjadi kepada negara; dengan perlindungan Ahli Nusrah

Menurut beliau. inilah satu-satunya cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Karena itulah, cara-cara peperangan jelas merupakan cara yang salah dari aspek: Pertama, salah dari segi metode perjuangan. Kedua, salah dari segi strategi. Ketiga, menimbulkan dharar, yaitu terjadinya perpecahan dan disintegrasi sosial di tengah-tengah masyarakat.
Pertama: Ketika mendirikan Daulah Madinah, Nabi saw. tidak pernah menggunakan kekerasan, termasuk di dalamnya, mengangkat senjata untuk menyingkirkan simpul-simpul kekuasaan dan menegakkan kekuasaan beliau di sana. Bahkan ketika Ahl an-Nushrah dari Madinah yang telah membaiat Nabi di 'Aqabah menyatakan kesiapannya untuk mengangkat senjata, dengan tegas Nabi saw. menolaknya. 'Abbas bin 'Ubadah berkata:

"Demi Zat Yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, jika Anda berkenan, kami pasti besok akan berangkat menemui penduduk Mina dengan menghunus pedang-pedang kami." Nabi saw. bersabda, "Kita belum diperintahkan untuk itu. Kembalilah kalian ke tunggangan kalian."1

Hadis ini dengan tegas melarang penggunaan senjata. Mungkin ada yang bertanya, "Bukankah konteks hadis ini terkait dengan jihad, dan hukum jihad pada waktu itu memang belum diturunkan, tetapi sekarang berbeda, karena hukum jihad sudah diturunkan?" Memang benar, saat ini hukum jihad sudah diturunkan dan lengkap, tetapi jihad adalah berperang melawan kaum kafir dalam rangka menjunjung tinggi kalimah Allah. Adapun para penguasa yang berkuasa di negeri Islam saat ini yang hendak mereka perangi jelas-jelas adalah Muslim, terlepas dari statusnya zalim atau fasik. Karena itu, hukum jihad -dalam arti perang- melawan penguasa ini jelas tidak relevan.

Mungkin ada yang bertanya lagi, "Bukankah para penguasa yang berkuasa di negeri kaum Muslim saat ini jelas-jelas kafir. karena meraka menerapkan sistem dan hukum kufur? Karenanya, mereka boleh diperangi, sebagaimana hadits yang dituturkan oleh Ubadah bin Shamit?" Jawabannya, memang ada dua hadis, sebagaimana yang dituturkan oleh Ubadah bin Shamit:

"Kami diminta untuk tidak merebut urusan Ini dari pemiliknya, kecuali (sabda Nabi), "Ketika kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kalian mempunyai bukti yang nyata di hadapan Mah SWT."
(HR Muttafaq 'Alaih).

Juga hadis:

Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita tidak boleh memerangi mereka?" Nabi menjawab, "Tidak. Selagi mereka masih menegakkan shaiat (menerapkan hukum-hukum Islam)."
(HR Muslim).

Namun, konteks hadis ini terkait dengan para penguasa yang telah menerapkan hukum dan sistem Islam, kemudian hukum dan sistem Islam tersebut mereka tinggalkan. Inilah yang dimaksud oleh kedua hadis di atas. Karena itu, kalaupun status para penguasa yang ada saat ini dianggap kafir, maka konteks kedua hadis ini juga tetap tidak relevan, karena hukum dan sistem mereka, sebelumnya bukan hukum dan sistem Islam.2

Selain itu, Rasul mengajarkan metode praktis untuk mendirikan Daulah Madinah, yaitu melalui thalab an-nushrah, sebagaimana yang beliau lakukan kepada kaum Anshar yang datang membaiat beliau di Aqabah. Saat mereka menunaikan ibadah haji. Inilah satu-satunya metode yang disyariatkan oleh Islam.

Kedua: dari segi strategi, cara peperangan ini juga salah. Negara bukanlah bangunan fisik sehingga hilangnya penghalang fisik, seperti penguasa dan kroninya, tidak dengan sendirinya menjadikan negara tersebut berubah. Kudeta Dewan Jenderal 1952 yang dipimpin oleh Carnal Abdun Naser di Mesir, misalnya, terbukti hanya mengganti Raja Faruk, agen Inggris, dengan Naser, agen Amerika. Adapun hukum dan sistemnya tetap tidak berubah sehingga negaranya pun tidak berubah dari negara sekular menjadi Daulah Islam. Sayid Quthub, yang dikenal sebagai ideolog Ikhwan al-Muslimin, yang ikut membantu Naser menggulingkan Raja Faruk, akhirnya digantung oleh Naser, dengan tuduhan merancang pembunuhan terhadap dirinya. Negara adalah entitas operasional yang menerapkan sekumpulan pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang diterima oleh umat. Karena itu, cara yang harus dilakukan adalah cara yang bisa menjamin perubahan pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang diterima oleh umat. Cara seperti ini tidak mungkin bisa dilakukan melalui peperangan. Cara peperangan ini juga mudah ditunggangi dan dihancurkan. Kasus yang terjadi pada Mujahidin Afganistan, kemudian Taliban, adalah contoh yang paling nyata. Sejak awal mereka tahu, bahwa Amerika di belakang mereka, tetapi mereka beranggapan, bahwa kalau menang, maka Amerika dan antek-anteknya akan mereka singkirkan. Dalam bayangan mereka, Amerika sebodoh yang mereka perkirakan. Padahal justru sebaliknya. Amerika sudah menyusun skenario jangka panjang sehingga bukannya Amerika dan antek-anteknya yang berhasil disingkirkan, malah merekalah yang tersingkir.

Cara ini juga menimbulkan instabilitas di dalam negeri. Akibatnya, intervensi kekuatan asing dengan mudah masuk, dengan alasan mengamankan kepentingan nasional mereka. Ini seperti yang terjadi di Somalia.

Ketiga: dari segi dharar, cara seperti ini juga jelas menimbulkan dharar bagi kaum Muslim. Dampak dari cara-cara peperangan ini adalah terjadinya keresahan dan hilangnya rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Cara-cara seperti ini juga bukan hanya berdampak pada keiompok atau organisasi yang melakukannya, melainkan juga berdampak pada seluruh kaum Muslim. Generalisasi dan stigmatisasi kasus terorisme yang saat ini terjadi jelas merupakan fakta yang tak terbantahkan, sebagai dampak dari cara-cara peperangan seperti ini, Wallahu a'lam. []

Catalan kaki:
1. AI-Baghawi. At Tafsir al-Baghawi, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, t.t., ayat 103; at-Tsa'labi, Tafsir at-Tsa'labi. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut. 1994, ayat'93; al-Khazin. Lubab at-Ta'wil fi Ma'alim at-Tanzil, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Beirut, 2003, ayat 103: Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabat fi Ma'rifat as-Shahabah. Dar al-Ma'rifat. Beirut, 1994, II/542; Ibn Sa'ad. at-Tbahaqat al-Kubra. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Beirut, 1997,I/171.
2. Hizbut Tahrir. Manhaj Hizbut at-Tahrir, hlm. 196

Al Wa'ie No 110 Hal 29

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.