Header Ads

Perjanjian Kerjasama Militer Indonesia-AS dalam Pandangan Islam

Pasca pencambutan embargo militer, Amerika Serikat membuka kembali kerjasama “Internasional Education and Training” (IMET), “Foreign Military Sales” (FMS) ” foreign Military Financing”, (FMF), dan “Defence Export” dengan Indonesia.

Secara khusus, dalam pertemuannya beberapa waktu yang lalu dengan Panglima TNI Jendral Djoko Santoso di Jakarta, komandan pasukan khusus Komando Pasifik AS Laksamana Muda Sean A Pybus menyampaikan bahwa pemerintah AS menjanjikan segera memulihkan kembali kerjasama antar pasukan khusus militer kedua Negara, terutama Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopasus).

Terkait hasil pertemuan itu, Kapuspen TNI Mayjen Aslizar Tanjung dalam rilisnya yang diterima Media Indonesia menyatakan,”Laksamana bintang Dua ini berjanji akan melaporkan hasil pertemuan kepada Panglima US PACOM sehingga dapat segera ditindaklanjuti bentuk kerjasama yang akan dilakukan, khususnya dalam rangka capacity building Satuan Khusus TNI meliputi Kopasus TNI AD dan Denjaka TNI AL serta Kopaskhas TNI AU dalam rangka penanggulangan terorisme”.

Meski terkesan malu-malu nampaknya TNI pun sangat menginginkan kerjasama ini segera terealisasi. Seperti yang tercermin dari pernyataan Panglima TNI Jendral Djoko Santoso,”Mudah-mudahan berhasil. Memang masih ada hambatan di kongres sana. Namun, kita tidak mau mengemis-ngemis,” (Antara, http://www.majalahdefender.com)

AS kerapkali menawarkan kerjasama militer dengan banyak Negara terutama Negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim yang secara geografis sangat strategis semisal Pakistan, Afganistan Banglades termasuk Indonesia dengan dalih menjaga keamanan kawasan dan penanggulangan terorisme.

Meski pada faktanya kehadiran Militer AS di negeri-negeri Islam tidak pernah membawa keamanan bagi penduduknya. Justru sebaliknya, menciptakan banyak terror kerusakan dan pembunuhan bagi warga setempat. Apa yang terjadi di Irak dan Afganistan contoh yang tepat untuk hal itu.

Lalu, Bagaimanakah pandangan Islami terkait kerjasama militer yang dilakukan oleh para penguasa muslim hari ini dengan AS? Lalu bagaimanakah seharusnya para penguasa muslim memposisikan militer yang dimilikinya sebagai salahsatu kekuatan penopang negaranya dihadapan militer Negara Amerika Serikat?.

Sebuah Negara merupakan bagian dari komunitas masyarakat dunia, memungkinkan untuk melakukan kerjasama demi kepentingan negaranya masing-masing, termasuk di dalamnya mengadakan kerjasama militer antar Negara. Hal ini pernah dilakukan oleh Muhammad SAW dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara Islam di Madinah.

Diantara perjanjian yang pernah dilakukan Rasulullah SAW adalah perjanjian beliau SAW dengan Bani Dhamrah. Bani Dhamrah adalah sebuah entitas non-muslim-musyrikin. Inilah naskah perjanjian (Mua’hadah) sebagaimana dinyatakan dalam kitab-kitab sirah:

“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah dokumen dari Muhammad, Rasulullah saw kepada Bani Dhamrah, bahwa mereka mendapatkan jaminan keamanan atas harta benda dan jiwa mereka. Mereka juga berhak mendapatkan bantuan untuk menghadapi siapa saja yang menyerang mereka-maksudnya, yang bermaksud menyerang mereka-kecuali, mereka berperang karena agama Allah, selama masih ada yang membasahi bulu. Dan, bahwa Nabi SAW ketika menyeru mereka untuk menolongnya, maka mereka pun memenuhi seruannya. Dengan demikian, mereka berhak mendapatkan dzimmah Allah dan RasulNya-maksudnya jaminan keamanan keduanya. (Sirah al Halabiyah, Juz II Hal. 134)

Dr Muhammad Haikal mengutip pernyataan Syaikh Munir Muhammad Ghahban ketika mengomentari fakta perjanjian antara Madinah dengan Bani Dzamrah ini menyatakan”Meskipun Dhamrah tetap dengan kesyirikannya, perjanjian tersebut telah menyatakan adanya kemungkinan terjadinya tolong menolong daintara kedua kelompok tersebut, meski tetap terikat dengan perlindungan dari pihak Nabi, jika diserang di Madinah, untuk meminta bantuan mereka”. (Jihad dan Perang, Juz II hal. 384)

Selain itu beliau SAW juga pernah mengadakan perjanjian dengan entitas di luar muslim lainnya seperti Bani Khuza’ah. Hal itu terangkum dalam perjanjian damai Hudaibiyah antara Mekkah dan Madinah. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian terbuka, yang bisa mencakup kabilah Arab manasaja yang berkeinginan untuk masuk ke pihak Makkah ataupun Madinah. Maka Banu Bakar memilih untuk menjadi sekutu Makkah, sementara Khuza’ah memilih untuk menjadi sekutu Madinah.

Bani Bakar kemudian melakukan pelanggaran terhadap Khuza’ah, mereka merancang untuk menyerangnya, dan membunuh sebagian diantara mereka. Mereka telah dibantu kaum Quraesy secara diam-diam dengan persenjataan. Maka dengan itu, Rasulullah SAW menganggap kaum Quraesy telah mengkhianati perjanjian tersebut, dan beliau membolehkan penyerangan terhadap Bani Bakar bin Wail, membalas mereka atas serangan terhadap sekutunya.

Mengambil faedah dari perjalanan sirah Rasulullah SAW dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara dalam mengadakan perjanjian militer dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Boleh saja seorang kepala Negara muslim melakukan kerjasama militer dengan Negara lain dengan tetap memperhatikan kepentingan Islam dan kemaslahan kaum muslimin juga tidak membahayakannya.

2. Daulah Islam wajib menunaikan perjanjian dengan Negara yang terlibat dalam perjanjian sesuai dengan klausul yang termaktub, sekalipun dengan entitas non-muslim. Selama mereka tidak melakukan pengkhianatan. Allah SWT Berfirman:

يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود


“Wahai orang-orang yang beriman tunaikanlah janji….(QS. Al Maidah [5]:1)

Terkait kerjasama militer yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan AS, umat Islam seharusnya waspada dan memperhatikan fakta penting seputar kebijakan militer pemerintah AS selama ini khususnya terhadap dunia Islam.

Secara factual, AS adalah Negara yang terlibat langsung dalam memerangi negeri-negeri Islam (kafir harbi muhariban filan). Puluhan Ribu tentara AS hingga hari terus dikerahkan dan dimobilisasi dibeberapa Negara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Irak, Afganistan dan Banglades. Meski berdalih dalam rangka membantu pemerintahan Negara yang bersangkutan dalam upaya memerangi terorisme, namun pada faktanya ribuan rakyat sipil yang tidak berdosa telah berjatuhan menjadi korban peluru-peluru panas tentara AS.

Selain itu, secara terbuka rezim AS terus mendukung penuh penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap Negara Palestina. Semua penguasa negeri Islam pun menyadari betul kemunafikan dan standar ganda yang dilakukan Rezim AS selama ini dalam setiap kebijakan luar negerinya.

Untuk itu, sebagai Negara kafir muhariban filan, AS tidak layak dijadikan sebagai kawan oleh para penguasa muslim. Sebaliknya harus diposisikan sebagai lawan yang mengancam dan membahayakan. Melakukan peperangan dengan AS adalah jalan yang disyariatkan oleh Islam.

وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين


“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al Baqarah [2]: 190)

Jika terhadap kafir Dzimmiy dan kafir mu’ahid saja kita wajib membela dan mempertahankan harta benda dan jiwa mereka dari serangan siapa saja yang akan mendholiminya, maka bagaimana terhadap sesama muslim saudara seakidah?. Tentu lebih wajib lagi.

Rasulullah SAW bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ


“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh mendholiminya juga tidak boleh menyerahkannya (Kepada Musuh)” (HR. Al Bukhari)

Walhasil, kerjasama militer yang dilakukan oleh para penguasa negeri Islam termasuk Indonesia dengan Rezim AS satatusnya haram dalam pandangan hukum Islam. Jika pemerintah Indonesia tetap melanjutkan perjanjian militer dengan AS selain akan membahayakan kedaulatan Negara dan membuka celah intervensi dan penjajahan, sebagaimana dialami Negara muslim lainnya, mereka juga telah berkhianat terhadap Allah SWT, RasulNya serta umat Islam semuanya. Wallahu ‘Alam [Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.