Penyesatan dibalik Istilah
Musuh-musuh Islam melakukan berbagai cara untuk memerangi Islam dan kaum Muslim, mulai dari cara yang keras dan kasar (hard power) hingga cara yang halus dan hampir tak terdeteksi (soft power) oleh kaum Muslim. Mereka antara lain melakukan distorsi atau penyesatan terhadap berbagai istilah. Istilah radikal, teroris dan moderat adalah beberapa dari sekian banyak istilah yang digunakan musuh-musuh Islam untuk memuluskan target mereka: memerangi Islam dan kaum Muslim.
Istilah Radikal-Teroris
Kata radikal awalnya berasal dari bahasa latin radix yang artinya akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Dalam kamus Oxford disebutkan istilah radical kalau dikaitkan dengan perubahan atau tindakan berarti: relating to or affecting the fundamental nature of something; far-reaching or through (berhubungan atau yang mempengaruh sifat dasar dari sesuatu yang jauh jangkauannya dan menyeluruh).
Kini, kata radikal menjadi istilah politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Misal: penggunaan istilah Islam radikal yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagamaan) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan Islam radikal kemudian digunakan secara sistematis terhadap pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat.
Adapun menurut Mark Juergensmeyer (1993). radikalisme dalam Islam muncul karena kegagalan nasionalisme sekular yang dianggap tak mampu mengakomodasi aspirasi kalangan agamawan. Kalangan Islam radikal, menurut dia, tidak menolak modernitas dalam arti ilmu pengetahuan atau teknologi, tetapi mereka tidak bisa menerima ideologi di balik itu: sekularisme dan materialisme. Penolakan terhadap sekularisme menguat karena sistem itu tak memberikan tempat bagi ajaran Islam, memarginalisasi kaum Muslim, serta memperparah krisis yang melanda Dunia Islam.
Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Imran Mawardi MA, mengatakan, istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam. (Hidayatullah.com.)
Istilah Moderat
Bertolak belakang dengan istilah radikal-teroris. Dalam wacana keberagamaan sekarang ini, istilah moderat memiliki konotasi yang sangat positif. Moderat adalah kata yang menghipnotis. Islam moderat, misalnya, dimaknai sebagai Islam yang anti-kekerasan dan anti-terorisme.
Kalangan orientalis memberikan pencitraan bahwa Islam moderat itu di satu sisi memiliki pandangan dan sikap mendukung demokrasi, mendukung kebebasan beragama, kesetaraan jender, sistem pemerintahan secular dan HAM; di lain sisi juga menentang supremasi Islam, menentang jihad dan syariah serta kritis terhadap Islam.
Graham E. Fuller dalam bukunya, Freedom and Security: Necessary Conditions for Moderation, mengidentifikasi bahwa padangan non-Muslim melihat moderat yaitu mereka yang meyakini prinsip demokrasi, memiliki sikap toleransi dan memperlakukan perempuan setara dalam persoalan hukum dan sosial.
Pemahaman dalam perspektif Barat tersebut diatas kemudian dimaknai dalam ruang lebih khusus, contohnya dalam persoalan syariah. Para orientalis sering menjustifikasi pandangannya dengan mengatakan bahwa Muslim moderat adalah mereka yang menentang syariah, seperti yang diungkapkan oleh Andrew McCarthy.
Islam moderat kemudian identik dengan Islam yang bersahabat, tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri. Beberapa elit ormas Islam dengan tegas mengklaim sebagai representasi dari Islam yang moderat, bukan liberal dan juga bukan fundamentalis. Landasan teologis-ontologis pun dibangun untuk mengokohkan pilihan ini, seperti dengan menjelaskan bahwa istilah Islam moderat memiliki padanan dengan istilah Arab ummatan wasathan atau ad-din al-wasath (QS 2: 143) yang diartikan “golongan atau agama tengah”, tidak ekstrem.
Dalam konteks percaturan global saat ini, dan juga konteks lokal Indonesia, menjadi Muslim moderat dianggap menjadi pilihan yang pas dan “aman”. Moderate pun dianggap lebih tepat karena berarti medioker; harapan untuk memediasi kelompok atau pihak yang senantiasa terjebak dalam situasi konflik. Bagi berbagai kelompok Islam, mengambil posisi moderat tentu bebas dari berisiko, tak berbahaya dan terkesan taktis.
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy’ari, pendiri NU, tentu bukanlah orang-orang moderat. Nabi Muhammad saw. pasti juga bukan orang moderat. Mereka adalah para revolusioner sejati. Pemaknaan ad-din al-wasath sebagai agama yang moderat atau agamanya orang moderat justru menyesatkan.
Program Pesanan Musuh-Musuh Islam
Penyesatan istilah yang dilakukan secara massif bukanlah peristiwa kebetulan belaka. Apalagi muncul anggapan bahwa hal tersebut hanya kekeliruan akademis yang dianggap lazim dalam dunia akademik. Dengan melihat langkah-langkah yang dilakukan yang teratur, terarah dan menuju target tertentu, kita dapat menyimpulkan bahwa ini merupakan sebuah program sistematis yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam baik secara langsng atau melalui agen-agen mereka di negeri-negeri Muslim.
Salah satu indikasinya adalah dengan melihat bagaimana sikap Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang sangat concern dalam masalah pengistilahan. Bagi mereka rumusan kata menjadi sangat penting. Apalagi jika akhirnya melahirkan stigma dan salah paham terhadap suatu agama. Perhatian besar kini diarahkan Pemerintah AS terhadap masalah tersebut.
Contohnya adalah bahwa mereka berupaya untuk tak lagi menggunakan istilah Islam radikal dalam seluruh pidato resmi. Presiden AS, Barack Obama mengungkapkan, persoalan kata ini sangat penting. Sebab, dengan menggunakan kata-kata atau rangkaian kalimat yang mengaitkan Islam dengan ancaman teror justru akan menguntungkan propaganda yang telah dilakukan kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan. Sebaliknya, akan mengalienasi Muslim moderat di AS.
Melalui National Security Strategy, John Brennan, pejabat AS yang menangani masalah kontraterorisme, mengungkapkan perubahan diperlukan untuk menghentikan langkah kelompok al-Qaidah. Selama ini, kata mereka, pemimpin kelompok teror itu menggunakan dan memanfaatkan persepsi yang salah. Para pemimpin kelompok itu menganggap dirinya sebagai pemimpin agama yang mempertahankan kesucian agamanya. Brennan mengatakan, menggambarkan kelompok kelompok seperti al-Qaidah dengan menggunakan term atau istilah yang mengacu pada agama, melahirkan anggapan bahwa AS melakukan perang terhadap Islam.
Komandan pasukan AS di Afganistan, Jenderal David Petraeus, menulis dalam sebuah panduan manual pada 2006, saat pemerintahan George W Bush. Ia melahirkan istilah-istilah Islamic insurgents, Islamic extremists, dan Islamic subversives (Republika.co.id).
Penggunaan istilah negatif terhadap Islam dan umat Islam ini juga didorong oleh kelompok-kelompok Zionis yang memperkenal-kan diri sebagai ahli kontra-teroris Amerika yang tergabung dalam The Washington Institute of Near East Policy (WINEP). Mereka mengatakan bahwa untuk dapat memerangi teroris hendaknya menggunakan definisi yang jelas.
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh lembaga think tank AS Rand Corporation berjudul, “Building Muslim Network,” menyatakan, penting bagi merealisasikan tujuan-tujuan kebijakan AS di Dunia Islam dengan membuat jaringan yang disebut sebagai Muslim Moderat. Sejalan dengan Rand Coorperation, The Heritage Foundation, sebuah lembaga think tank konservatif Washington DC mendorong AS dalam menjalankan kebijakan luar negerinya untuk terus memberikan beasiswa kepada cendekiawan Muslim agar mereka mendapatkan ‘pencerahan’ tentang Islam, dan kemudian pada masa yang akan datang dapat membawakan Islam yang lebih dekat dengan Barat.
Tindakan Lokal
Dalam memuluskan aksinya tentunya dilakukan tidak hanya dalam tataran pembuatan opini secara global. Pembuatan program langsung di negeri-negeri Muslim pun dilakukan dengan memanfaatkan antek-antek mereka yang loyal.
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Pakar Perbandingan Mazhab Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengemukakan bahwa ada kepentingan materi di balik munculnya berbagai paham liberal di masyarakat. Demi dolar. Itulah kata-kata yang tepat untuk sebuah paham yang mengusung liberalisme. Tangan-tangan asing menyokong para pengusung paham liberal itu di Indonesia untuk kepentingan mereka. Dukungan pihak asing tersebut dilakukan melalui berbagai proyek, seperti pengadaan buku-buku, seminar, lokakarya dan penelitian-penelitian, terutama yang mengusung pemikiran liberal.
Perihal kepentingan uang di balik munculnya pemikiran-pemikiran liberal di Indonesia, dapat dicocokkan dengan sejumlah fakta di lapangan. Pada kata pengantar Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), misalnya, secara gamblang, Tim Pengarusutamaan Gender (TPG) Pimpinan Musdah Mulia mengucapkan terima kasih kepada The Asia Foundation (TAF), sebuah LSM internasional yang acap kali memberikan bantuan dana kepada para NGO lokal. Menurut sejumlah kalangan, sudah barang tentu ucapan terima kasih TPG kepada TAF itu bukan sekadar basa-basi, namun benar-benar ada maksudnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat salah seorang pejabat Departemen Agama yang menyatakan, untuk mengegolkan CLD KHI, The Asia Foundation mengucurkan dana sebanyak enam miliar rupiah.
Soal kucuran dana pihak asing tersebut juga diakui sendiri oleh petinggi Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Ia mengaku dapat kucuran dana sebesar 1,4 miliar rupiah pertahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia. TAF yang bermarkas di San Fransisco itu merupakan lembaga internasional yang menjadi payung dana bagi pengembangan ide pluralisme, liberalisme, sekularisme dan HAM. Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia. Pada tahun 2003 lalu, TAF mengucurkan bantuan sebesar 44 juta dolar dan mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya mencapai 28 juta dolar di seluruh wilayah Asia.
Dalam rekomendasi Dirjen Binmas Depag untuk Sosialisasi Islam Moderat direkomen-dasikan Pembentukan Yayasan Ahlusunnah wal Jamaah di Banten 5-8 Juli 2003. Ternyata kegiatan tersebut secara terang disponsori The Asia Foundation.
Penutup
Menyatukan berbagai istilah kunci dalam Islam dengan istilah-istilah asing atau melakukan pendefinisian ulang sesuai dengan kepentingan Barat adalah salah satu cara halus dan efektif yang dilakukan orientalis dalam merusak konsep Islam. Istilah Islam, misalnya, dikaitkan dengan istilah radikal. Padahal istilah radikalisme (termasuk terorisme) sendiri masih diperdebatkan.
Oleh karena itu, dalam menanggapi suatu konsep atau istilah yang datang dari luar kita harus selektif dan tidak mudah terprovokasi. Jangan termakan dengan istilah tertentu yang mengandung muatan jahat menyerang Islam. Wallahualam.
Budi Mulyana: Ketua Lajnah Khas Intelektual Hizbut Tahrir Indonesia/Dosen FISIP UNIKOM Bandung
Istilah Radikal-Teroris
Kata radikal awalnya berasal dari bahasa latin radix yang artinya akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Dalam kamus Oxford disebutkan istilah radical kalau dikaitkan dengan perubahan atau tindakan berarti: relating to or affecting the fundamental nature of something; far-reaching or through (berhubungan atau yang mempengaruh sifat dasar dari sesuatu yang jauh jangkauannya dan menyeluruh).
Kini, kata radikal menjadi istilah politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Misal: penggunaan istilah Islam radikal yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagamaan) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan Islam radikal kemudian digunakan secara sistematis terhadap pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat.
Adapun menurut Mark Juergensmeyer (1993). radikalisme dalam Islam muncul karena kegagalan nasionalisme sekular yang dianggap tak mampu mengakomodasi aspirasi kalangan agamawan. Kalangan Islam radikal, menurut dia, tidak menolak modernitas dalam arti ilmu pengetahuan atau teknologi, tetapi mereka tidak bisa menerima ideologi di balik itu: sekularisme dan materialisme. Penolakan terhadap sekularisme menguat karena sistem itu tak memberikan tempat bagi ajaran Islam, memarginalisasi kaum Muslim, serta memperparah krisis yang melanda Dunia Islam.
Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Imran Mawardi MA, mengatakan, istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam. (Hidayatullah.com.)
Istilah Moderat
Bertolak belakang dengan istilah radikal-teroris. Dalam wacana keberagamaan sekarang ini, istilah moderat memiliki konotasi yang sangat positif. Moderat adalah kata yang menghipnotis. Islam moderat, misalnya, dimaknai sebagai Islam yang anti-kekerasan dan anti-terorisme.
Kalangan orientalis memberikan pencitraan bahwa Islam moderat itu di satu sisi memiliki pandangan dan sikap mendukung demokrasi, mendukung kebebasan beragama, kesetaraan jender, sistem pemerintahan secular dan HAM; di lain sisi juga menentang supremasi Islam, menentang jihad dan syariah serta kritis terhadap Islam.
Graham E. Fuller dalam bukunya, Freedom and Security: Necessary Conditions for Moderation, mengidentifikasi bahwa padangan non-Muslim melihat moderat yaitu mereka yang meyakini prinsip demokrasi, memiliki sikap toleransi dan memperlakukan perempuan setara dalam persoalan hukum dan sosial.
Pemahaman dalam perspektif Barat tersebut diatas kemudian dimaknai dalam ruang lebih khusus, contohnya dalam persoalan syariah. Para orientalis sering menjustifikasi pandangannya dengan mengatakan bahwa Muslim moderat adalah mereka yang menentang syariah, seperti yang diungkapkan oleh Andrew McCarthy.
Islam moderat kemudian identik dengan Islam yang bersahabat, tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri. Beberapa elit ormas Islam dengan tegas mengklaim sebagai representasi dari Islam yang moderat, bukan liberal dan juga bukan fundamentalis. Landasan teologis-ontologis pun dibangun untuk mengokohkan pilihan ini, seperti dengan menjelaskan bahwa istilah Islam moderat memiliki padanan dengan istilah Arab ummatan wasathan atau ad-din al-wasath (QS 2: 143) yang diartikan “golongan atau agama tengah”, tidak ekstrem.
Dalam konteks percaturan global saat ini, dan juga konteks lokal Indonesia, menjadi Muslim moderat dianggap menjadi pilihan yang pas dan “aman”. Moderate pun dianggap lebih tepat karena berarti medioker; harapan untuk memediasi kelompok atau pihak yang senantiasa terjebak dalam situasi konflik. Bagi berbagai kelompok Islam, mengambil posisi moderat tentu bebas dari berisiko, tak berbahaya dan terkesan taktis.
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy’ari, pendiri NU, tentu bukanlah orang-orang moderat. Nabi Muhammad saw. pasti juga bukan orang moderat. Mereka adalah para revolusioner sejati. Pemaknaan ad-din al-wasath sebagai agama yang moderat atau agamanya orang moderat justru menyesatkan.
Program Pesanan Musuh-Musuh Islam
Penyesatan istilah yang dilakukan secara massif bukanlah peristiwa kebetulan belaka. Apalagi muncul anggapan bahwa hal tersebut hanya kekeliruan akademis yang dianggap lazim dalam dunia akademik. Dengan melihat langkah-langkah yang dilakukan yang teratur, terarah dan menuju target tertentu, kita dapat menyimpulkan bahwa ini merupakan sebuah program sistematis yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam baik secara langsng atau melalui agen-agen mereka di negeri-negeri Muslim.
Salah satu indikasinya adalah dengan melihat bagaimana sikap Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang sangat concern dalam masalah pengistilahan. Bagi mereka rumusan kata menjadi sangat penting. Apalagi jika akhirnya melahirkan stigma dan salah paham terhadap suatu agama. Perhatian besar kini diarahkan Pemerintah AS terhadap masalah tersebut.
Contohnya adalah bahwa mereka berupaya untuk tak lagi menggunakan istilah Islam radikal dalam seluruh pidato resmi. Presiden AS, Barack Obama mengungkapkan, persoalan kata ini sangat penting. Sebab, dengan menggunakan kata-kata atau rangkaian kalimat yang mengaitkan Islam dengan ancaman teror justru akan menguntungkan propaganda yang telah dilakukan kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan. Sebaliknya, akan mengalienasi Muslim moderat di AS.
Melalui National Security Strategy, John Brennan, pejabat AS yang menangani masalah kontraterorisme, mengungkapkan perubahan diperlukan untuk menghentikan langkah kelompok al-Qaidah. Selama ini, kata mereka, pemimpin kelompok teror itu menggunakan dan memanfaatkan persepsi yang salah. Para pemimpin kelompok itu menganggap dirinya sebagai pemimpin agama yang mempertahankan kesucian agamanya. Brennan mengatakan, menggambarkan kelompok kelompok seperti al-Qaidah dengan menggunakan term atau istilah yang mengacu pada agama, melahirkan anggapan bahwa AS melakukan perang terhadap Islam.
Komandan pasukan AS di Afganistan, Jenderal David Petraeus, menulis dalam sebuah panduan manual pada 2006, saat pemerintahan George W Bush. Ia melahirkan istilah-istilah Islamic insurgents, Islamic extremists, dan Islamic subversives (Republika.co.id).
Penggunaan istilah negatif terhadap Islam dan umat Islam ini juga didorong oleh kelompok-kelompok Zionis yang memperkenal-kan diri sebagai ahli kontra-teroris Amerika yang tergabung dalam The Washington Institute of Near East Policy (WINEP). Mereka mengatakan bahwa untuk dapat memerangi teroris hendaknya menggunakan definisi yang jelas.
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh lembaga think tank AS Rand Corporation berjudul, “Building Muslim Network,” menyatakan, penting bagi merealisasikan tujuan-tujuan kebijakan AS di Dunia Islam dengan membuat jaringan yang disebut sebagai Muslim Moderat. Sejalan dengan Rand Coorperation, The Heritage Foundation, sebuah lembaga think tank konservatif Washington DC mendorong AS dalam menjalankan kebijakan luar negerinya untuk terus memberikan beasiswa kepada cendekiawan Muslim agar mereka mendapatkan ‘pencerahan’ tentang Islam, dan kemudian pada masa yang akan datang dapat membawakan Islam yang lebih dekat dengan Barat.
Tindakan Lokal
Dalam memuluskan aksinya tentunya dilakukan tidak hanya dalam tataran pembuatan opini secara global. Pembuatan program langsung di negeri-negeri Muslim pun dilakukan dengan memanfaatkan antek-antek mereka yang loyal.
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Pakar Perbandingan Mazhab Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengemukakan bahwa ada kepentingan materi di balik munculnya berbagai paham liberal di masyarakat. Demi dolar. Itulah kata-kata yang tepat untuk sebuah paham yang mengusung liberalisme. Tangan-tangan asing menyokong para pengusung paham liberal itu di Indonesia untuk kepentingan mereka. Dukungan pihak asing tersebut dilakukan melalui berbagai proyek, seperti pengadaan buku-buku, seminar, lokakarya dan penelitian-penelitian, terutama yang mengusung pemikiran liberal.
Perihal kepentingan uang di balik munculnya pemikiran-pemikiran liberal di Indonesia, dapat dicocokkan dengan sejumlah fakta di lapangan. Pada kata pengantar Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), misalnya, secara gamblang, Tim Pengarusutamaan Gender (TPG) Pimpinan Musdah Mulia mengucapkan terima kasih kepada The Asia Foundation (TAF), sebuah LSM internasional yang acap kali memberikan bantuan dana kepada para NGO lokal. Menurut sejumlah kalangan, sudah barang tentu ucapan terima kasih TPG kepada TAF itu bukan sekadar basa-basi, namun benar-benar ada maksudnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat salah seorang pejabat Departemen Agama yang menyatakan, untuk mengegolkan CLD KHI, The Asia Foundation mengucurkan dana sebanyak enam miliar rupiah.
Soal kucuran dana pihak asing tersebut juga diakui sendiri oleh petinggi Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Ia mengaku dapat kucuran dana sebesar 1,4 miliar rupiah pertahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia. TAF yang bermarkas di San Fransisco itu merupakan lembaga internasional yang menjadi payung dana bagi pengembangan ide pluralisme, liberalisme, sekularisme dan HAM. Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia. Pada tahun 2003 lalu, TAF mengucurkan bantuan sebesar 44 juta dolar dan mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya mencapai 28 juta dolar di seluruh wilayah Asia.
Dalam rekomendasi Dirjen Binmas Depag untuk Sosialisasi Islam Moderat direkomen-dasikan Pembentukan Yayasan Ahlusunnah wal Jamaah di Banten 5-8 Juli 2003. Ternyata kegiatan tersebut secara terang disponsori The Asia Foundation.
Penutup
Menyatukan berbagai istilah kunci dalam Islam dengan istilah-istilah asing atau melakukan pendefinisian ulang sesuai dengan kepentingan Barat adalah salah satu cara halus dan efektif yang dilakukan orientalis dalam merusak konsep Islam. Istilah Islam, misalnya, dikaitkan dengan istilah radikal. Padahal istilah radikalisme (termasuk terorisme) sendiri masih diperdebatkan.
Oleh karena itu, dalam menanggapi suatu konsep atau istilah yang datang dari luar kita harus selektif dan tidak mudah terprovokasi. Jangan termakan dengan istilah tertentu yang mengandung muatan jahat menyerang Islam. Wallahualam.
Budi Mulyana: Ketua Lajnah Khas Intelektual Hizbut Tahrir Indonesia/Dosen FISIP UNIKOM Bandung
Tidak ada komentar