Header Ads

Ikutilah Agama yang Diridhai

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih arang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (TQS Ali Imran [3]. 19) .

Benarkah manusia bebas memilih agama sesukanya? Kalau ditanyakan kepada ide HAM yang dibuat oleh Barat, jawabnya pasti: Ya! Agama adalah hak setiap manusia. Oleh karenanya, manusia bebas memilih agama apa pun, atau bahkan tidak memeluk agama apa pun.

Bagaimana jika ditanyakan kepada Islam? Ayat di atas memberikan jawaban jelas atas pertanyaan itu. Agar lebih jelas, ayat ini perlu dikupas lebih dalam.

Yang diridhai Allah

Allah SWT berfirman: Inna al-din 'indal-Laah al-Islam (sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam). Pada awalnya, kata al-din secara bahasa bermakna al-jozaa' wa al mukaa'ah (balasan dan imbalan). Demikian Ibnu Manzhur dalam Lisaan af-‘Arab. Oleh karena itu, kata yawm al-din berarti yawm al jazaa' (hari pembalasan).

Kemudian menurut Fakhruddin al-Razi—kata al-thaa'ah (ketaatan) disebut sebagai al-din karena ketaatan merupakan sebab terjadinya pembalasan. Dijelaskan al-Raghib al-Asfahani, kata al-din juga digunakan untuk menyebut al-syariah wa al-millah (syariah dan agama). Akan tetapi, ungkapan tersebut untuk menunjuk ketaatan dan ketundukan terhadap syariah dan agama. Pengertian ini terkandung dalam firman Allah SWT: Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? (TQS al-Nisa'[4]:125).

Dalam konteks ayat ini, sebagaimana diterangkan Abu Hayyan al-Andalusi, kata al-din dalam ayat ini bermakna al millah wa al-syar' (agama dan hukum, undang-undang). Yakni, al din al-maqbuul aw al-naafi 'aw al muqarrar (agama yang diterima, bermanfaat atau yang ditetapkan).

Sedangkan al-Islam, secara bahasa berarti al-istislaam wa al- inqiyaad al-taam (penyerahan diri dan ketundukan total). Demikian Ali al-Shabuni dalam Shafwah al- Tafaasir. Pengertian ini terdapat dalam beberapa ayat. Terutama ayat-ayat yang memberitakan tentang kisah para nabi sebelum Rasulullah SAW. Mereka disifati sebagai muslimuun yang berarti munqaaduun (orang-orang yang tunduk dan berserah diri).

Adapun secara syar'i, al Islam merupakan al-din (dengan aqidah dan syariahnya) yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk seluruh manusia. Pengertian tersebut disimpulkan dari beberapa ayat, seperti QS al-Maidah [5]: 3 dan Ali Imran [3]: 85. Juga dari ayat ini. Dalam semua ayat tersebut, kata al-Islam disertai dengan kata al-din; itu menunjukkan bahwa Islam merupakan sebuah al-din.

Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh Jibril tentang Islam, beliau pun memberikan penjelasan yang berbeda dengan makna bahasanya. Beliau bersabda: Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhan, dan mengerjakan ibadah haji ke baitulah jika engkau mampu melakukannya (HR Muslim dari Umar ra).

Semua nash tersebut menunjukkan bahwa kata Islam telah dipindahkan maknanya; dari makna bahasa menjadi makna syar'i. Oleh karena itu, semua kata yang berakar dari kata al-Islam—seperti bentuk al- fi’l: aslama, yuslimu, aslim, atau bentuk al-ism: muslim—jika diucapkan tanpa suatu qorinah (indikasi), harus dipahami dengan makna syar'i. Ini pula makna al-Islam dalam ayat ini.

Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan al-Samarqandi dan al-Baidhawi, ayat ini memberikan penegasan bahwa agama yang diridhai Allah SWT adalah Islam. Atau lebih tepatnya, sebagaimana dijelaskan Syekh Taqiyuddin al-Nabahani, agama yang diterima di sisi Allah setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah Islam.

Kesimpulan tersebut sejalan dengan QS al-Maidah [5]: 3 yang menegaskan bahwa Allah SWT telah meridhai Islam sebagai agama buat Rasulullah SAW dan umatnya. Juga QS Ali Imran [3]: 85 yang menyatakan bahwa siapa pun yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dari dan di akhirat kelak menjadi orang-orang yang merugi. Juga sabda Rasulullah SAW: Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).

Sikap Ahli Kitab dan Akibatnya

Kemudian Allah SWT berfirman: Wamaa[i]khtalafa al ladziina uutuu al-Kitaab illaa min ba'di maa jaa a al-'ilm baghy[an] baynahum (tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian [yang ada] di antara mereka). Lafadz al-ladziina uutuu al-Kitaab menunjuk kepada Yahudi dan Nasrani. Karena lafadznya besifat umum, maka cakupannya pun menyeluruh, meliputi mereka semua.

Dalam ayat ini tidak disebutkan tentang perkara yang mereka perselisihkan. Menurut al-Qurthubi dan al-Wahidi, perkara itu adalah tentang kenabian Muhammad SAW. Mahmud al Hijazi dalam al-Tafsir al-Waadhih juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai khaatam al-anbiyaa' telah diberitakan kepada mereka. Sehingga mereka mengenal benar nabi penutup itu sebagaimana layaknya mereka mengenal anak-anaknya (lihat QS al-Baqarah [2]:146).

Akan tetapi, ketika nabi penutup itu telah diutus dengan membawa risalah, kitab, dan bukti-bukti yang nyata, yakni min ba'di maajaa a al-'ilm (sesudah datang pengetahuan kepada mereka), mereka justru berselisih tentangnya. Ada yang mengimaninya, namun tidak sedikit yang mengingkarinya. Pengingkaran mereka bukan disebabkan karena kebodohan dan ketidaktahuan. Bukan pula karena bukti yang dibawa Nabi SAW meragukan sehingga layak diingkari. Namun disebabkan oleh sifat dengki mereka. Yakni: baghy[an] baynahum. Artinya, hasad[an] baynahum (disebabkan oleh kedengkian di antara mereka). Tentang kedengkian mereka juga diberitakan dalam QS al Baqarah [2]:109.

Kemudian ditegaskan: wa man yakfur bi aayaatil-Laah Fa innaalLaah sari' al-hisaab (barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya). Ini merupakan ancaman keras bagi siapa pun yang ingkar terhadap Islam, sebagian atau seluruhnya. Cepatnya hisab di sini menggambarkan cepatnya azab yang bakal ditimpakan kepada mereka. Sebab, kekufuran sebagaimana diberitakan dalam banyak ayat menyebabkan pelakunya mendapatkan azab yang pedih dan dahsyat.

Dengan demikian, jelaslah manusia tidak diperbolehkan memilih agama sesukanya. Sebab, Allah SWT telah menetapkan agama yang diridhai-Nya. Seluruh manusia wajib memeluk dan mengikutinya. Memang selama di dunia, manusia diberi kesempatan untuk memeluk agama selainnya. Akan tetapi, pilihannya itu mengandung konsekuensi yang amat berat. Dia harus menanggung azab yang maka dahsyat di akhirat kelak. Tak ada alasan yang dapat diterima untuk membenarkan kekufuran mereka. Termasuk alasan HAM dan kebebasan yang kerap diteriakkan semasa hidup di dunia. Tanga ampun, mereka dipaksa menghuni neraka selama-lamanya. Masih ada yang tertarik dengan ide HAM dan kebebasan? Wal-Laah a’lam bi al -shawaab.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.