Header Ads

Respon Kaum Muslim Terhadap Runtuhnya Khilafah

Oleh: Yahya Abdurrahman

Pada Perundingan Lausane antara Turki dan Inggris yang dimulai pada 8 - 20 November 1922, Lord Curzon, wakil Inggris, menetapkan empat syarat yang dikenal sebagai "syarat Curzon", antara lain:
  1. Turki harus memutus hubungannya dengan Islam.
  2. Khilafah harus dihapus.
  3. Turki harus berkomitmen untuk menentang setiap gerakan yang berupaya menghidupkan kembali Khilafah.
  4. UU Positif harus menggantikan syariah Islam dan Turki harus menyusun UUD sekular untuk menggantikan UUD Utsmani yang bersandar pada kaidah-kaidah Islam.

Musthafa Kamal memenuhinya. Disusunlah UUD Turki mencontoh UUD Sipil Swiss. Dia menghapus kesultanan dan memisahkannya dari Khilafah. Sejak itu Khalifah tidak memiliki kekuasaan. Lalu ia mengangkat dirinya menjadi Presiden Republik Turki pada 18 Rabiul Awal 1342 H/ 29 Oktober 1923 M. Pada 28 Rajab 1342 H/3 Maret 1924 M, Musthafa Kemal secara resmi, menghapus Khilafah dan mengusir Khalifah Abdul Majid dan keluarganya keluar Turki. Kementerian Wakaf dan Mahkamah Syariah dihapuskan. Sekolah agama diubah menjadi sekolah sipil/sekular. Berdirinya Republik Turki sekular diumumkan. Musthafa Kemal juga berupaya keras menghapus bentuk-bentuk syiar Islam di Turki. Dia, misalnya, mendirikan Lembaga Sejarah untuk menghilangkan keterkaitan dengan Islam, mendirikan lembaga bahasa untuk menghilangkan unsur-unsur bahasa Arab dari bahasa Turki: melarang sebutan bin dibelakang nama seseorang, melarang azan dalam bahasa Arab, melarang pakaian yang mencerminkan Islam, menutup banyak masjid, menangkapi dan membunuhi para ulama dan sebagainya.

Fakta saat itu adalah bahwa di Darul Islam penguasa menanggalkan hukum-hukum Islam dan menerapkan hukum-hukum kufur, menghapus sistem Islam (Khilafah) dan mengokohkan sistem kufur. Semua itu merupakan kekufuran yang terang-terangan (kufr[an] bawah[an]). Auf bin Malik menuturkan, Nabi saw. pernah bersabda:

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mencintai kalian serta yang mendoakan kalian dan yang kalian doakan. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan membenci kalian serta yang kalian laknat dan melaknat kolian. " Dikatakan, "Wahai Rasulullah apakah tidak kita perangi mereka dengan pedang? " Beliau menjawab, "Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim).

Maksudnya adalah selama mereka masih menegakkan hukum-hukum Islam di tengah kalian.

Atas dasar itu, pada waktu itu kaum Muslim wajib keluar memerangi Musthafa Kemal dan para pengikutnya. Sebabnya, mereka telah menghapus Khilafah dan penerapan hukum-hukum Islam sekaligus memasukkan dan menerapkan hukum-hukum kufur di Darul Islam.

Satu pihak yang memenuhi seruan syariah tersebut adalah Syaikh Said Biran—seorang ulama dari Kurdi—dan para pengikutnya. Mereka bangkit mengangkat senjata menentang Mushthafa Kemal dan kaum kemalis/kamaliyyuun (para pengikutnya) untuk meruntuhkan Republik Turki dan mengembalikan Khilafah.

Saat para pemipin Gerakan Kemerdekaan Kurdistan yang bercorak nasionalistik—di antaranya Khalil Jibranali, Hajiy Musa dan Yusuf Dhiya—ditangkap pemerintah Republik Turki pada tahun 1924, orang-orang Kurdi memilih Syaikh Said sebagai pemimpin. Mulailah Syaikh Said memimpin revolusi. Berbeda dengan sebelumnya yang berbau nasionalisme, revolusi Syaikh Said murni merupakan revolusi islami.

Gerakan revolusi Syaikh Said dengan cepat mendapatkan dukungan dari masyarakat Kurdi dan berbagai pihak lain. Perkembangan itu membuat kabinet Turki bertemu pada 22 Pebruari 1925 dan mengumumkan keadaan darurat di daerah revolusi. Pada 25 Pebruari 1925 Parlemen Turki mengamandemen UU no. 557 khususnya pasal tentang pengkhianatan terhadap Tanah Air agar bisa menjerat revolusi islami Syaikh Said.

Pada akhir Februari 1925, kekuatan beliau bertambah dengan bergabungnya kekuatan Shalih Bek, kelompok Hasan dan Faru, klan Mistiyan dan Boutiniy serta sebuah kelompok besar Syaikh Syamsuddin di negeri Diyar Bakar. Jumlah kekuatan yang dipimpin Syaikh Said mencapai 20 ribu prajurit. Namun, saat Syaikh Said Biran meminta Said an-Nursi untuk bergabung melakukan revolusi menentang pemerintahan sekuler Mushthafa Kemal dan untuk mengembalikan Khilafah, la menolak.

Militer Turki menjanjikan hadiah 1000 lira emas bagi siapa yang dapat menangkap Syaikh Said atau 700 lira emas bagi siapa yang bisa membawa jasad beliau.

Pada pertengahan April 1925, pasukan Syaikh Said dapat dihancurkan oleh tentara Turki dan para pemimpinnya ditangkap. Di antaranya Syaikh Said Biran, Syaikh 'Ali, Syaikh Ghalib, Rasyid Agha, Muhammad Agha dan Timur Agha. Dengan itu revolusi beliau pun padam.

Pada 29 Mei 1925 dimulai pengadilan atas Syaikh Said dan rekan-rekan beliau. Pada 29 Juni 1925 pengadilan menjatuhkan vonis hukuman mati. Hukuman itu dilaksanakan di halaman masjid besar di Diyar Bakar pada 30 Juni 1925.

Revolusi Syaikh Said murni merupakan revolusi islami untuk menentang pemerintahan Musthafa Kemal. Beliau mengumumkan, gerakan beliau hanyalah atas nama Allah. Ketika dituduh bahwa motif gerakan beliau adalah nasionalisme, beliau bersaksi kepada Allah bahwa revolusi itu bukan kreasi politisi Kurdi—kaum nasionalis—dan tidak diarsiteki oleh asing. Saat ditanya apakah ingin menjadi Khalifah, beliau menjawab, "Sesungguhnya adanya khalifah merupakan jaminan mendasar bagi penerapan kaidah-kaidah agama dan merupakan masalah yang dituntut secara syari."

Respon Kaum Muslim dalam Bentuk Lain

Saat Mushthafa Kemal berniat menghapus Khilafah, para politisi dan pejabatTurki seperti Rauf Beik, Dr. Adnan Beik, Ali Fuad, Rif'at, Nuruddin, Rahmi dan Jenderal Katsim Qura Bakir menentang niat itu. Para mubalig dan khatib juga menentangnya, mereka menyerang Musthafa Kemal di mimbar-mimbar. Agha Khan dan Amir Ali, atas nama Muslim India, mengirimkan Surat protes dan menuntut penghormatan atas martabat Khalifah Utsmaniah, Khalifah seluruh kaum Muslim.

Syaikhul Islam terakhir, Syaikh Mushthafa Shabari, termasuk ulama yang pertama-tama menentang kaum kemalis dan menguliti jati diri dan bahaya mereka atas umat. Dalam bukunya, An-Nakiir 'a1aa Munkari an-Ni'mah min ad-Diin wa al-Khilaafah, beliau menjelaskan besarnya fanatisme kaum kemalis pada bangsa Turki, penentangan mereka terhadap fanatisme Islam, serta persekongkolan mereka dengan Yahudi bersama Inggris.

Syaikh Muhammad al-Hudhari Husain (1872-1958 M) membela Daulah Utsmaniyah dan menentang kaum kemalis melalui lisan dan tulisan hingga akhir hayat beliau. Ketika Ali Abdurraziq mengarang buku Al-Islaam wa Ushuul al-Hukmi, beliau membantahnya dan menulis buku, Naqdh Kitaab al-Islam wa Ushuul al-Hukmi.

Syaikh Muhammad Husnain secara gencar menyerang kaum kemalis dan menjelaskan kekejian tindakan kriminal mereka menghapus Khilafah. Muhammad al-Baquni membuat tulisan mengingkari perbuatan kaum kemalis dan menjelaskan bahwa Khilafah bukan milik mereka karena Khilafah adalah Khilafah kaum Muslim. Muhammad Syakir juga menyerang kaum kemalis dan menilai mereka sebagai ateis, mengingkari watsiiqah yang dipegang teguh kaum Muslim selama 8 abad lebih dan mengkhianati amanah yang diemban generasi-generasi pendahulu mereka. Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam bukunya, Al Khilaafah aw al-lmaamah at-'Uzhma, menjelaskan bahwa kebangkitan kaum Muslim bergantung pada tegaknya Khilafah Islamiyah. Beliau menyerukan kerjasama orang Arab dan Turki untuk menegakkan Khilafah. Beliau juga mengajak untuk memonitor secara dekat realita Dunia Islam untuk mendapatkan jalan ke arah kebangkitan.

Empat hari setelah dihapusnya Khilafah atau 7/3/1924, al-Azhar mengeluarkan penjelasan yang ditandatangani oleh 16 ulama al-Azhar, yang menetapkan kebatilan apa yang dilakukan kaum kemalis yang mencopot Khalifah Abdul Majid. Mereka juga menyadarkan kaum Muslim tentang kebutuhan mereka akan khalifah serta menyeru mereka untuk segera melangsungkan Muktamar (Kongres) Islam guna membicarakan masalah Khilafah dan memilih khalifah. Hari berikutnya, Syaikh Muhammad Husain, wakil al-Azhar, mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan kesalahan kaum kemalis yang beranggapan bahwa Khilafah adalah penghambat kemajuan. Pernyataan itu ditutup dengan menyeru kaum Muslim untuk membahas masalah Khilafah.

Pada tanggal 25/3/1924 M para ulama yang dipimpin Syaikh al-Azhar berkumpul dan memfatwakan batalnya baiat sultan Abdul Majid. Fatwa itu juga menyeru wakil seluruh umat Islam untuk melangsungkan Muktamar di Kairo yang dipimpin Syaikh al-Azhar. Muktamar itu dimaksudkan untuk membahas siapa yang pantas diangkat menjadi khalifah. Muktamar itu akan diadakan pada bulan Sya'ban. Lalu dibentuklah Lajnah Muktamar al¬ Islami dan cabang-cabangnya di negeri-negeri Islam. Dikeluarkan pula Majalah Al-Muktamar al-Islaami yang menjelaskan bahwa tujuan Muktamar adalah memilih khalifah bagi kaum Muslim. Muktamar itu akhirnya ditunda setahun, diadakan tahun 1925. Pada waktunya Muktamar pun gagal. Sebab, yang hadir menyerukan Khilafah untuk dirinya sendiri, di antaranya Raja Fuad penguasa Mesir, Syarif Husain dan Raja Abul Aziz bin Saud. Terjadi pula perselisihan dan perdebatan seputar bentuk Khilafah, isinya, dan perlu tidaknya revisi. Akhirnya, Muktamar ditunda lagi setahun dan akan diadakan tahun 1926.

Syarif Husain, penguasa Hijaz, menyerukan Khilafah al-'Arabiyah. Ia membentuk Dewan Khilafah terdiri dari 9 orang sayid dan 19 perwakilan dari negeri-negeri Islam, termasuk 2 orang di antaranya dari jawa.

Seruan Muktamar itu juga sampai ke Indonesia dan mendapat respon positif dari para ulama Indonesia. Muktamar Islami diadakan di Cirebon tahun 1922 dan Muktamar Islami di Garut tahun 1924. Komite Khilafah didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo dari Sarekat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah yang kemudian menjadi salah seorang pendiri NU. Tujuannya untuk membahas undangan Kongres Khilafah di Kairo. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya tanggal 24-27 Desember 1924. Kongres ini diikuti oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini dihadiri pula oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Indonesia. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan Khilafah dan mengirimkan utusan sebagai wakil umat Islam Indonesia ke Kongres Dunia Islam. Utusan itu adalah Surjopranoto (Sarekat Islam), H. Fachruddin (Muhammadiyah) dan KH A. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi. Utusan ini gagal berangkat karena tidak mendapatkan kapal ke Kairo.

Tahun 1926 diadakan Muktamar Alam Islami Far`ul Hindiasy Syarqiyah/Muktamar Dunia Islam Cabang Hindia Timur (MAIFHS) di Bogor sebagai respon seruan Muktamar Alam Islami yang akan diadakan di Makkah.

Pada 13-19 Mei 1926 di Kairo diadakan Muktamar Alam Islami. Muktamar ini juga diikuti wakil dari Indonesia yaitu H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Muktamar ini gagal merealisasikan tujuannya. Di antara yang menggagalkannya adalah:

Pertama, Raja Afghan, Amanullah Khan, bernafsu terhadap jabatan Khilafah.

Kedua, penentangan utusan negeri-negeri Islam atas pencalonan Raja Fuad, penguasa Mesir. Sebelumnya Abdul Karim al Khathabi, komandan jihad melawan Spanyol dan Prancis di Maroko menolak seruan untuk mengembalikan Khilafah. la menginstruksikan utusannya dalam Muktamar untuk tidak mendukung pencalonan siapapun.

Ketiga, selain menyerukan Khilafah untuk dirinya, Syarif Husain bahkan telah mengambil baiat untuk dirinya sendiri di Palestina dan Timur Yordan.
Keempat, penentangan Inggris akan munculnya Khilafah dalam bentuk apapun. Inggris berupaya memecah-belah opini umum tentang Khilafah, di antaranya melalui apa yang diperbuat Syarif Husain dan Raja Abdul Aziz bin Saud. Zaglul memanfaatkan kedudukannya di masyarakat. la menentang proyek pengembalian Khilafah dengan alasan bahwa Inggrislah yang mendorong Raja Fuad untuk mencalonkan diri.

Akhirnya, Lajnah Muktamar terbelah. Sebagian memandang bahwa Mesir tidak layak menjadi tempat berdirinya Khilafah karena Mesir di bawah pendudukan. Yang lebih baik Muktamar diadakan di salah satu kota di wilayah Islam yang masih bebas.

Muktamar lain diadakan pada 1 Juni 1926 di Mekah. Muktamar ini dihadiri 30 utusan mewakili negeri-negeri Islam, di samping peserta perorangan dan utusan yang datang hanya untuk menjadi pendengar tanpa menyampaikan pendapat seperti utusan Iran. Utusan dari Indonesia adalah HOS Cokroaminoto dari Central Sarekat Islam dan KH Mas Mansyur dari Muhamadiyah. Penunjukkan mereka ditetapkan dalam Konggres Al-Islam ke-4 di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan Konggres ke-5 di Bandung (6 Februari 1926). Muktamar ini juga gagal merealisasikan tujuan untuk memilih khalifah bagi kaum Muslim. Kemudian kembali diadakan Muktamar pada tahun 1927 di Makkah. Utusan Indonesia ketika itu adalah H. Agus Salim. Muktamar ini juga gagal. Di antaranya disebabkan Raja Saud merasa enggan masalah Khilafah dibicarakan di dalam Muktamar tersebut. Muktamar itu akhirnya memunculkan keputusan: Khilafah Syar'iyyah yang memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam kitab syariah, yang terpenting adalah membela agama di seluruh negeri Islam, dan penerapan seluruh hukum syariah di seluruh negeri Islam tidak mungkin direalisasi terkait dengan kondisi kaum Muslim saat itu.

Demikianlah, akhirnya seruan penegakan Khilafah mulai meredup, hampir padam dan nyaris dilupakan oleh umat. Umat tercerai berai dan negeri muslim tercabik-cabik oleh para penjajah sedemikian membuat umat hidup dalam penderitaan dan kenistaan.

Peristiwa 3 Maret 1924 yaitu keruntuhan khilafah sangat penting diingatkan agar umat sadar tentang peristiwa besar yang menjadi pangkal dari kehancuran dunia Islam dan menjadi biang dari segala problema dan kemelut yang menimpa umat Islam dewasa ini. Harapannya, umat menjadi sadar dan tumbuh semangatnya untuk berjuang dengan sungguh-sungguh bagi tegaknya kembali khilafah itu karena merupakan kewajiban utama. Harus disadarkan, bahwa hanya melalui khilafah, syariah akan tegak secara kaffah dan persatuan umat akan terwujud kembali secara mendunia. insya Allah. Wallaahu a’lam bi ash-shawaab.

Referensi

Tsawrah Syaikh Said Biran. dalam al-Wa'ie Arab no 234-235, th. XX, Rajab dan Sya'ban 1327 H- Agustus dan September 2006 M, hlm. 71-83

Mowaffaq Bani al-Marjeh. Shahwah Rajul al-Marid. hal. 363-367. Muassasah Shafr al-Khalif li ath-Thaba'ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi', Kuwait. 1984

Surat konsul Jeddah Van Der Plas kepada Menlu Belanda tanggal 18 April 1924 dalam Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 86. LP3ES. cet. II. 1986

Majalah Bendera Islam, 16 Oktober 1924: Majalah Hindia Baroe 9 Januari 1925: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, hal. 242-243. LP3ES. cetakan VI. Jakarta. 1991.

Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda. hal. 86-89. LP3ES, cet. 11, 1986: Ahmad Mansur Suryanegara. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Mizan, cetakan ke empat. 1998. him. 227.
Aqib Suminto, ibid: Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, him. 242-243. LP3ES. cetakan V1. Jakarta. 1991 .

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.