Header Ads

Perang untuk Mengoreksi Penguasa

Dalam khazanah Islam klasik maupun kontemporer, perang untuk mengoreksi penyimpangan penguasa disebut dengan berbagai macam istilah; al-khuruuj (separatisme),[1] al-khuruuj al-musallah (separatisme bersenjata), [2] al-tsaurah (revolusi), [3] al-tsaurah al-Islamiyyah (revolusi Islam), [4] al-tsaurah al-musallahah (revolusi bersenjata),[5] al-nuhuudh (kebangkitan),[6] al-malhamah (pertikaian berdarah),[7] al-fitnah (perang fitnah),[8] qitaal al-dhulmah (perang melawan kezaliman),[9] qitaal al-umaraa’ (perang melawan penguasa),[10] al-qiyaam ‘alaa al-hukkaam (melawan penguasa),[11] al-saif (mengangkat senjata),[12] inqilaab (kudeta),[13] al-harakah al-tahriiriyah li tashhiih al-audhaa’ (gerakan pembebasan untuk memperbaiki keadaan),[14] dan al-harb al-ahliyah (perang saudara).[15]

Pada dasarnya, penyimpangan seorang penguasa yang mewajibkan adanya koreksi adalah ketika penguasa mulai melepaskan keterikatannya dengan Islam, baik dalam perilaku pribadinya maupun kebijakan-kebijakannya dalam mengatur urusan rakyat, baik kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri.[16] Adapun bentuk-bentuk penyimpangan itu dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, penyimpangan yang disebabkan karena kemaksiyatan yang dilakukan oleh seorang penguasa. Pada dasarnya, seorang pemimpin adalah teladan bagi rakyatnya dalam hal keterikatan dengan syariat dan implementasinya. Jika ia melakukan kemaksiyatan, tentunya ia tidak pantas menjadi teladan. Lebih dari itu, penyimpangan dirinya terhadap hukum syariat, akan mengobarkan kebencian dan kemarahan rakyat. Akhirnya, kepercayaan rakyat kepada dirinya akan jatuh dan ternoda. Imam Muslim menuturkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
"Sebaik-baik para pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai, dan mereka mencintai kalian; kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan, seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci mereka, dan mereka membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian. Berkata (perawi): Kami berkata: Wahai Rasulullah, apakah pada saat itu, kami tidak diperbolehkan untuk memerangi mereka? Beliau menjawab: Tidak, selama mereka masih menegakkan “shalat” di tengah-tengah kalian, kecuali orang yang dipimpin oleh seorang wali (penguasa), kemudian dia melihatnya melakukan sebuah kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan kepada Allah yang dilakukannya, dan janganlah sekali-kali kalian melepaskan tangan dari ketaatan.”[17]

Kedua, memerintahkan rakyat untuk mengerjakan kemaksiyatan. Dalam sebuah riwayat diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
"Patuh dan taat itu wajib bagi seorang Muslim, baik dalam hal yang dibenci maupun disukai, selama dia tidak diperintah melakukan kemaksiatan. Ketika seorang Muslim diperintahkan melakukan kemaksiatan, maka dia tidak wajib patuh dan taat.”[18]

Ketiga, melakukan kemungkaran. Contohnya, para penguasa yang memanfaatkan kesempatan yang bersifat duniawi. Pemanfaatannya meliputi pemanfaatan kekayaan, jabatan, tugas, berbagai keistimewaan yang ditimbun untuk kepentingan pribadi, sanak famili, kelompok, dan bukan untuk kepentingan rakyat banyak. Nabi saw bersabda:
سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
"Nanti akan terjadi sikap mementingkan diri sendiri, dan akan terjadi pula perkara harus engkau ingkari. Mereka (para sahabat) bertanya: Apa yang harus dilakukan orang yang yang mengalami hal itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Tunaikanlah hak yang menjadi kewajibanmu dan mohonlah hakmu kepada Allah.”[19]

Keempat, berlaku aniaya dan dzalim kepada individu-individu masyarakat, baik dengan cara menyiksanya, memenjarakannya, mendeportasikannya, dan lain sebagainya, sambil memaklumkan kebenciannya dalam menetapkan hukum tersebut terhadap tuntunan dan sunnah Nabi saw.

Dari Hudzayfah al-Yamaan, dikisahkan, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Nabi saw:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
"Wahai Rasulullah, ketika kita dalam keburukan, Allah telah mendatangkan kebaikan, sehingga kita terdapat di dalamnya. Lalu,apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan? Beliau menjawab: Benar. Aku (Hudzayfah) bertanya: Bagaimana hal itu akan terjadi? Beliau menjawab: Setelahku nanti akan ada para pemimpin, yang tidak mencari hidayah dengan hidayahku, dan tidak mencari tuntunan dengan tuntunanku. Di antara mereka juga akan ada orang-orang yang hatinya adalah hati syaitan, yang menjelma dalam ujud manusia. Aku (Hudzayfah) bertanya: Apa yang harus aku lakukan, wahai Rasulullah jika aku menjumpai hal itu? Beliau bersabda: Patuh dan taatilah pemimpin itu, meski dia memukul punggungmu, mengambil hartamu; patuh dan taatilah.”[20]

Di dalam riwayat lain, juga dituturkan, bahwasanya Hudzayfah bin al-Yamaan ra, yang ketika itu banyak bertanya kepada Rasulullah saw mengenai berbagai kondisi yang akan terjadi, tentang urusan umat ini, berkata, "Ada ada para pemimpin, yang akan menyiksa kalian dan Allah pasti akan mengazab mereka".[21]

Inilah beberapa penyimpangan yang sering dilakukan oleh penguasa Muslim yang mengatur urusan umat Islam dalam masyarakat Islam.

Pada dasarnya, Islam tidak pernah mentolerir adanya penyimpangan yang dilakukan oleh siapa pun, lebih-lebih lagi penguasa. Sebab, banyak hadits Nabi telah menunjukkan bahwa, seorang penguasa itu harus memimpin umat berdasarkan sendi-sendi dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Selain itu, ia juga diwajibkan menjaga shalat dan puasa, sebagai syiar-syiar Islam, serta menyerukan kepada umat manusia untuk menegakkan syiar-syiar ini.

Selain itu, penguasa tidak boleh membiarkan berbagai macam kemaksiatan atau kekufuran yang didemonstrasikan secara jelas dan terang-terangan, tanpa penolakan sedikit pun. Banyak riwayat telah menunjukkan hal ini, diantaranya adalah:
وَلَوْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
"Seandainya kalian dipimpin oleh seorang budak yang memimpin kalian berdasarkan Kitabullah, maka patuhi dan taatilah.”[22]

Dalam riwayat lain dituturkan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
"Wahai umat manusia, bertakwalah kepada Allah, meski kalian dipimpin oleh seorang budak Ethiopia yang tidak karuan rupa (buruk rupa)-nya, maka patuhi dan taatilah, selama masih menegakkan Kitabullah di tengah-tengah kalian."[23]

Di tempat lain, Nabi saw bersabda, "Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang para pemimpin kalian yang baik dan buruk? Mereka (para sahabat) menjawab: Tentu, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Yang terbaik di antara mereka bagi kalian, adalah orang yang kalian cintai, dan dia mencintai kalian. Kalian berdoa kepada Allah untuknya, dan mereka berdoa kepada Allah untuk kalian. Adapun di antara mereka yang paling buruk, sekaligus yang paling buruk bagi kalian, adalah orang yang kalian benci, dan mereka membenci kalian. Kalian meminta kepada Allah agar melaknat mereka, dan mereka berdoa kepada Allah agar melaknat kalian. Mereka (para sahabat) bertanya: Bolehkah kami memerangi mereka, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Jangan. Biarkan mereka, selama masih puasa dan shalat.”[24]

Imam Muslim menuturkan sebuah hadits dari ‘Ubaadah bin as-Shaamit ra, bahwasanya ia berkata:

"Kami telah membai'at Rasulullah saw untuk patuh dan taat, ketika dalam keadaan susah dan senang; ketika dalam keadaan lapang dan terpaksa; dan ketika kami ditimpa cobaan; agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan/kekuasaan) dari orang yang berhak, serta menyatakan kebenaran di mana pun kami berada; dimana kami tidak takut semata-mata karena Allah terhadap cacian orang yang mencaci—dalam riwayat lain: agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) tersebut dari orang yang berhak, kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata ---terang-terangan--- dimana kalian mempunyai bukti di sisi Allah". [25]

Pandangan Ulama Salaf Mengenai Penggunaan Kekerasan (Senjata) Untuk Mengoreksi Penguasa Yang Menyimpang

Di dalam kitab Maqaalaat al-Islaamiyyiin karya Abu al-Hasan al-Asy’ari dituturkan sebagai berikut:

"Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengangkat senjata di hadapan penguasa yang menyimpang. Ada empat pendapat termasyhur dalam masalah ini. Pertama, kalangan Mu’tazilah, Zaydiyyah, Khawaarij dan banyak kalangan Murji’ah berpendapat, mengangkat pedang (penggunaan kekerasan wajib) jika dengan pedang itu, kita memiliki peluang mengalahkan para pembangkang (ahl al-baghy) dan bisa menegakkan kebenaran. Mereka berargumen dengan firman Allah swt: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa". [al-Maaidah: 2]; dan juga firman Allah swt, "Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah." [al-Hujuraat: 9]. Mereka juga berhujjah dengan firman Allah swt, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim". [al-Baqarah: 124]

Kedua, kelompok Rawaafidh melarang penggunaan pedang, meskipun Anda diperangi, dan meskipun Imam berhasil mengalahkan, dan memerintahkan untuk melakukan pembunuhan. Ketiga, Abuu Bakar al-Asham dan orang sejalan dengan pendapatnya, menyatakan, "Penggunaan senjata diperbolehkan, jika semua orang telah dimobilisir oleh seorang Imam adil, kemudian bersama dengannya semua orang berangkat berperanguntuk melenyapkan para pembangkang. Keempat, ada yang berpendapat: (Penggunaan) pedang jelas batil, meskipun anak cucu telah dibunuh. Sebab, seorang imam itu kadang-kadang ada yang adil, dan kadang-kadang ada yang tidak. Kita tidak berhak untuk memeranginya, meskipun ia terkenal fasik. Kelompok keempat ini juga menolak untuk memisahkan diri dari penguasa fasik tersebut. Pendapat ini dipegang oleh ahli hadits.[26]

Dalam kitab al-Muhalla, karya Ibn Hazm telah dinyatakan bahwa, menjatuhkan seorang penguasa yang melakukan penyimpangan dengan menggunakan kekuatan (senjata) hukumnya wajib, jika mereka memiliki kemampuan untuk itu. Aktivitas semacam ini juga merupakan bagian dari amar makruf dan nahi mungkar yang hukumnya fardhu, dan belum pernah dinasakh (dihapus). Sedangkan semua hadits yang menjelaskan kepatuhan dan ketaatan pada seorang penguasa fasik yang melakukan penyimpangan itu telah dinasakh. Adapun bukti yang menunjukkan bahwa hadits-hadits yang melarang penggunaan senjata di hadapan penguasa fasik telah dihapus adalah, hadits-hadits yang memerintahkan kaum Muslim bersabar atau kefasikan penguasa hanya relevan pada kondisi sebelum diumumkannya perang. Lalu, hadits-hadits itu dinasakh dengan nash-nash yang memerintahkan perang. Sedangkan perintah amar makruf nahi 'anil mungkar bersifat tetap dan tidak dinasakh. Kemudian, Ibnu Hazm menyatakan, bahwa pendapat semacam ini dipegang oleh ‘Ali bin Abi Thalib ra dan para shahabat yang sependapat dengan beliau. Pendapat semacam ini juga dianut oleh Ummu al-Mu’miniin, ‘Aisyah,Thalhah dan az-Zubayr dan para sahabat yang sejalan dengan mereka. Ibnu Hazm juga mengatakan, bahwa pendapat semacam ini juga dipegang oleh Mu’aawiyah dan para sahabat yang sejalan; al-Husayn bin ‘Ali, ‘Abdullaah bin az-Zubayr, dan semua sahabat dan tabi’in yang menetap al-Harrah (Irak).[27]

Dalam Syarh al-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim telah dinyatakan: "Memisahkan diri dari mereka ---maksudnya, para penguasa--- hukumnya jelas haram, berdasarkan ijma’ kaum Muslim, walaupun para penguasa itu orang yang fasik dan zalim. Banyak hadits yang menunjukkan pengertian sebagaimana pendapat saya ini.[28]

Imam Nawawi kemudian mengutip pendapat al-Qaadhi ‘Iyaadh mengenai pelimpahan jabatan ke-Khilafahan kepada orang fasik, "Beliau ---al-Qaadhi ‘Iyaadh--- berkata: Pada mulanya, imamah itu tidak bisa diserahkan kepada orang fasik. Namun, jika Khalifah tiba-tiba menunjukkan kefasikan, maka sebagian di antara mereka mengatakan,"Wajib diberhentikan, kecuali jika pemberhentian itu memberikan dampak terjadinya fitnah atau peperangan".

Mayoritas ulama’ Ahlu Sunnah, baik kalangan fuqaha’, ahli hadits maupun mutakallimin berpendapat, bahwa jabatan pemerintahan tidak boleh dilepas karena kefasikan, kezaliman, dan mengabaikan hak. Seorang kepala negara (khalifah) juga tidak boleh dipecat karena kefasikan. Rakyat juga dilarang memisahkan diri darinya karena alasan tersebut. Hanya saja, rakyat wajib memberikan nasehat dan peringatan dengan hadits-hadits yang terkait dengan persoalannya. Al-Qaadhi berkata: Abu Bakar bin Mujaahid mengatakan, bahwa pendapat semacam ini telah menjadi konsensus (ijma’). Akan tetapi, pendapat semacam ini oleh yang lain dibantah, berdasarkan tindakan al-Husain, Ibn al-Zubair dan penduduk Madinah terhadap Bani Umayyah, serta berdasarkan tindakan sejumlah besar tabi’in, dan generasi awal (Islam) terhadap al-Hujjaj dengan Ibn al-Asy’ats. Lalu, beliau berkata: Alasan jumhur adalah, bahwa tindakan mereka terhadap al-Hujjaj bukan semata-mata karena kefasikan, melainkan karena tindakannya yang mengubah syariat..[29]

Adapun konteks yang berhubungan dengan kekufuran nyata dan lain-lain, telah dinyatakan dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim, sebagai berikut," al-Qaadhi ‘Iyaadh berkata, "Para ulama’ telah sepakat, bahwa jabatan imamah tidak bisa diserahkan kepada orang Kafir, kalau tiba-tiba kekufuran itu menimpa dirinya. Dalam kondisi semacam ini ia wajib dipecat. Beliau berkata: Ketentuan ini juga berlaku jika ia meninggalkan penegakkan sholat dan dakwah untuk mendirikan sholat. Lalu, an-Nawawi berkata: al-Qaadhi berkata: "Seandainya khalifah terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah syariat, atau melakukan bid'ah yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan kepala negara; maka ia tidak wajib ditaati. Kaum Muslim wajib mengangkat senjata, mencopotnya, dan mengangkat imam adil yang baru, jika mereka mampu melakukan hal itu.".[30]

Dalam kitab Daliil al-Faalihiin Syarh Riyaadh as-Shaalihiin, ketika mengemukakan syarah hadits: "Agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) tersebut dari orang yang berhak, kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata dimana kalian mempunyai bukti di sisi Allah.” [HR. Imam Muslim]; Imam Nawawi, pengarang kitab Riyaadh as-Shaalihiin---, menyatakan, yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Imam Qurthubi mengartikan kekufuran tersebut menurut makna dzahirnya. Beliau berkata: Maksudnya, kecuali jika anda semua menyaksikan kekufuran nyata yang bisa dibuktikan di sisi Allah swt; yaitu, argumen, bukti, dan perkara yang tidak diragukan lagi yang menghasilkan keyakinan, bahwa penguasa tersebut memang telah kafir. Dalam kondisi semacam ini, seorang khalifah (kepala negara) wajib diberhentikan.[31]

Tatkala menjelaskan makna hadits:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
"Mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, tidakkah kita diperbolehkan untuk memerangi mereka? Beliau menjawab: Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian"[HR. Imam Muslim], Imam Nawawiy berkata, "Larangan memerangi mereka itu terjadi ketika mereka masih menegakkan shalat yang menjadi identitas Islam, dan faktor yang membedakan antara Islam dengan kekufuran ---ini untuk menghindari munculnya fitnah, perselisihan pendapat, dan hal-hal lain yang implikasinya lebih besar jika kita mengingkari mereka; dan justru akan menimpakan bahaya yang lebih besar kepada mereka."[32]

Dalam kitab Fath al-Baari Syarh Shahiih al-Bukhaari, karya al-Haafidz Ibn Hajar, telah dinyatakan beberapa riwayat hadits:
وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
"Agar kami tidak merebut urusan tersebut dari orang yang berhak, kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata dimana kalian mempunyai bukti di sisi Allah."[HR. Bukhari dan Muslim]. Di dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi,"Kekufuran secara terbuka"; Kekufuran yang terang-terangan"; "Kecuali, jika kamu menyaksikan kemaksiatan yang nyata". "selama dia tidak memerintah kamu melakukan dosa yang nyata.[33]

Semua lafadz ini: bawwaah[an] (nyata), baraah[an] (terbuka), shuraah[an] (terang-terangan) memiliki makna yang sama, atau berdekatan, yaitu, ad-dzuhuur (nyata), wudhuuh (terang), dan i’laan (terbuka atau demonstratif). Ibn Hajar mengartikan kata burhaan dengan mengatakan,"Maksudnya, ini adalah nash ayat atau hadits shahih yang tidak bisa ditakwilkan.[34] Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat, bahwa kekufuran yang nyata merupakan sebab yang membolehkan seorang Muslim untuk memerangi penguasa. Adapun penguasa yang fasik dan dzalim, maka seorang Muslim tidak diperkenankan memisahkan diri dan merebut kekuasaan darinya.[35]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa para fuqaha telah berbeda pendapat mengenai hukum mengangkat senjata di hadapan penguasa yang melakukan penyimpangan; baik yang belum sampai taraf kekufuran yang nyata, maupun penyimpangan yang sudah mencapai taraf penyimpangan yang nyata. Pandangan mereka terbagi menjadi tiga kelompok:
  1. Kelompok yang berpendapat, wajibnya melakukan perlawanan bersenjata terhadap setiap bentuk penyimpangan penguasa, baik telah mencapai tingkat kekufuran yang nyata maupun belum.
  2. Kelompok yang berpendapat, wajibnya memisahkan diri dari penguasa ketika tampak kekufuran yang nyata dan lain-lain. Jika penyimpangan itu belum sampai ke tingkat kekufuran yang nyata, kaum Muslim diwajibkan tetap taat dan patuh, serta diharamkannya memisahkan diri dari penguasa karena penyimpangan tersebut.
  3. Kelompok yang berpendapat, bolehnya memisahkan diri karena terjadinya berbagai penyimpangan yang belum sampai pada kekufuran yang nyata. Alasannya, sebagian sahabat yang tidak memisahkan diri dari kedzaliman tidak mengingkari orang-orang yang memisahkan diri.[36]
Pendapat Ulama Kontemporer Mengenai Penggunaan Senjata Untuk Mengoreksi Penyimpangan Penguasa

Pengarang kitab, al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuhu, telah mengutip pendapat al-Dahlawi mengenai wajibnya memerangi Khalifah, jika sang penguasa telah kafir. Misalnya, jika seorang khalifah mengingkari salah satu persoalan agama yang telah maklum. Hukum memeranginya tak ubahnya dengan jihad di jalan Allah. Namun, jika ia belum layak dikafirkan, maka tidak boleh diperangi.[37]

Dr. Wahbah Zuhailiy juga mengetengahkan pendapat Muhammad Asad; jika kepala negara bersikap menantang dengan terang-terangan dan sengaja terhadap nash-nash al-Qur’an, maka sikap seperti ini dianggap kekufuran yang nyata.

Dalam kondisi semacam ini, kekuasaannya (pemerintahan) wajib direbut, dan ia wajib dijatuhkan. Akan tetapi, jika ia tidak mendemonstrasikan kekufuran, pengambilalihan kekuasaan dari tangannya tetap berhukum wajib, namun tidak boleh menggunakan senjata. Sebab, nash-nash syara’ melarang tindakan tersebut.[38]

Dr. Muhammad Yusuf Musa menguatkan pendapat Ibnu Hazm; yakni wajibnya mengangkat senjata di hadapan penguasa yang melakukan penyimpangan, baik telah menampakkan kekufuran yang nyata atau yang belum. Hanya saja, penggunaan senjata itu telah harus memperhatikan persatuan umat dan menjauhi pertumpahan darah yang tidak perlu. Menurut Dr. Wahbah Zuhailiy, pendapat ini dekat dengan pendapat Mu’tazilah, yang mewajibkan pemisahan diri dari penguasa; jika mampu dan mungkin.[39]

Dalam kitab al-Difaa’ al-Syar’i fii al-Fiqh al-Islaami, Dr. Muhammad Sayyid ‘Abd at-Tawwaab mengetengahkan pendapat, bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa itu bisa diklasifikasikan menjadi dua:
  1. Penyimpangan hanya terhadap syariat Islam, dan belum sampai pada kekufuran yang nyata.
  2. Penyimpangan yang merupakan bentuk pengabaian terhadap syariat Islam, dan mencerminkan kekufuran yang nyata, atau yang statusnya sama dengan kekufuran yang nyata.
Pengarang kitab al-Difaa’ al-Syar’i fii al-Fiqh al-Islaami berpendapat, barangkali yang lebih shahih adalah perlu diklasifikasikan antara penyimpangan terhadap syariat Islam dengan mengabaikan syariat Islam. Hadits-hadits menunjukkan ketaatan harus diambil, jika yang terjadi hanya penyimpangan terhadap syariat. Sedangkan, sedangkan hadits-hadits membolehkan penggunaan kekuatan senjata harus diambil, jika yang terjadi adalah konteks pengabaian syariat dan telah sampai pada level kekufuran yang nyata.[40]

Dalam kitab, Manhaj al-Audah ilaa al-Islaam, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhaan al-Buthi, menyatakan, jika kepala negara melakukan maksiat atau mencegah umat untuk melakukan kewajiban syar’i, maka, dalam konteks tersebut kepala negara tersebut tidak boleh ditaati. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam melakukan kemaksiatan kepada Pencipta. Hanya saja, perintah kepala negara kepada umat manusia untuk melakukan kemaksiatan tidak bisa menjadi pembenaran untuk memisahkan diri darinya.[41]

Memilih Pendapat Yang Terkuat dan Rajih; Kritik Atas Pendapat Ibnu Hazm dan Kelompok Mu'tazilah

Dr. Khair Haikal dalam desertasinya yang berjudul al-Jihad wa al-Qital telah mengkritik dan melemahkan pendapat Ibnu Hazm mengenai dihapusnya hadits-hadits yang berbicara tentang kepatuhan dan ketaatan kepada penguasa yang melakukan penyimpangan. Ia juga mengkritik pendapat kaum Mu'tazilah mengenai wajibnya memerangi penguasa ketika telah berubah menjadi fasik atau zalim, sebagai implementasi dari hadits amar makruf dan nahi mungkar.

Ibnu Hazm menyatakan, hadits-hadits kepatuhan dan ketaatan kepada penguasa fasik dan dzalim telah dihapus dengan nash-nash perang. Masih menurut Ibnu Hazm, wajibnya taat dan patuh kepada penguasa fasik dan dzalim hanya terjadi pada konteks sebelum diturunkannya perintah perang.

Namun, ketika turun perintah perang, maka penguasa yang melakukan tindak kefasikan dan kedzaliman wajib diperangi, tidak boleh ditaati dan dipatuhi. [42] Menurut Dr. Khair Haikal, pendapat Ibnu Hazm ini lemah dan ringkih. Sebab, banyak hadits yang memerintahkan taat kepada penguasa meskipun fasik atau zalim, datang justru setelah legislasi hukum perang.

Dalam kitab Mushannaf Ibn Abi Syaibah telah dinyatakan keterangan dari Hudzayfah al-Yamaan yang menyatakan, 'Orang-orang telah bertanya kepada Nabi saw tentang kebaikan, dan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan. Berkata (perawi): Aku bekata: Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu kebaikan yang ada pada kami... apakah setelah kebaikan itu akan ada keburukan? Beliau menjawab: Benar. Aku (Hudzayfah) bertanya: Bagaimana caranya menyelamatkan diri darinya? Beliau menjawab: (Caranya dengan) pedang. Berkata (perawi): Aku (Hudzayfah) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah setelah mengangkat pedang itu masih ada yang tersisa? Beliau bersabda: Benar. Perdamaian. Berkata (perawi): Aku (Hudzayfah) bertanya: Wahai Rasulullah, lalu apa yang terjadi setelah perdamaian? Beliau menjawab: Para penyeru kesesatan. Maka, jika engkau melihat ada Khalifah, berpeganglah kepadanya, meski dia mencederai kamu dengan pukulan, dan mengambil harta bendamu. Jika tidak ada Khalifah, maka larilah hingga engkau dijemput kematian, sementara engkau tetap menggigit akar pohon..”[43]

Hadits ini sangat jelas menunjukkan, apa yang akan terjadi, dan bagaimana hukum syara’ dalam menghadapi realitas yang akan terjadi itu. Dengan kata lain, hadits ini menunjukkan adanya perintah dari Rasulullah saw untuk tetap mentaati dan patuh kepada khalifah yang berlaku fasik dan dzalim. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa pendapat Ibn Hazm yang menyatakan, bahwa hadits-hadits yang memerintahkan kepatuhan dan ketaatan kepada seorang penguasa yang zalim itu telah di-nasakh nyata merupakan pendapat yang tidak didukung dengan sejumlah dalil.

Adapun pendapat Mu’tazilah mengenai wajibnya memerangi penguasa yang melakukan kefasikan atau kezaliman sebagai implementasi dari hadits-hadits yang memerintahkan amar ma’ruf dan nahi mungkar ---secara mutlak--- telah disanggah oleh Imam Syaukaniy. Menurut Imam Syaukani, hadits-hadits tentang kepatuhan dan ketaatan kepada penguasa fasik dan dzalim datang dalam bentuk khusus, sedangkan hadits-hadits tentang wajibnya mengubah kemungkaran dengan tangan, dan melenyapkan kedzaliman dengan perang, datang dalam bentuk umum. Untuk itu, hadits yang datang dalam bentuk umum bisa digunakan dalam konteks keumumannya, di luar konteks hadits-hadits yang bersifat khusus. Inilah cara kompromi dalil yang benar, dan sejalan dengan kaedah tarjih, "mengamalkan dua dalil lebih utama dibandingkan mengamalkan salah satunya, atau mengabaikan salah satunya." Dalam kitab ushul disebutkan, bahwa mentarjih dua dalil itu hanya dilakukan ketika dua dalil itu tidak mungkin lagi diamalkan secara bersama-sama. Sedangkan mengamalkan dua dalil itu lebih utama dan baik. Sebab, asal adanya dalil adalah diamalkan, bukan ditinggalkan.[44]

Kesimpulan

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan point-point berikut ini;
  1. Wajibnya bersabar dan larangan memerangi penguasa yang melakukan kefasikan, kedzaliman, atau memerintahkan rakyat melakukan kemaksiyatan. Ketentuan semacam ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan kaum Muslim untuk tetap taat dan patuh kepada penguasa fasik dan dzalim. Namun, jika penyimpangan itu telah sampai pada taraf kekufuran yang nyata, maka penguasa tersebut wajib diperangi.
  2. Adapun penyimpangan penguasa yang mewajibkan kaum Muslim mengangkat senjata adalah sebagai berikut;
  3. meninggalkan shalat;
  4. meninggalkan puasa. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang berbunyi, "Bolehkah kami memerangi mereka, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Jangan. Biarkan mereka, selama masih puasa dan shalat."[45]
  5. tidak menegakkan shalat di tengah-tengah umat. Hal ini telah disebutkan di dalam sebuah hadits, "Mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, tidakkah kita diperbolehkan untuk memerangi mereka, dalam kondisi seperti itu? Beliau menjawab: Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian."[46] Mafhuum hadits tersebut adalah, "Perangilah mereka, jika mereka tidak lagi menegakkan shalat di tengah-tengah kalian." Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, makna "menegakkan sholat" dalam konteks modern adalah adanya undang-undang yang mengatur sanksi hukum bagi orang yang meninggalkan sholat. Menurut Qadli 'Iyadl, jika kepala negara tidak menyerukan perintah untuk menunaikan sholat, statusnya sama dengan menampakkan kekufuran yang nyata, dan ia wajib untuk dipecat dari jabatan pemerintahan..[47]
  6. penyimpangan yang belum sampai pada taraf kekufuran yang nyata, namun status hukumnya sama dengan kekufuran yang nyata. Dalam kondisi semacam ini, syariat telah membolehkan penggunaan kekuatan, jika penyimpangan itu dilakukan secara terang-terangan, demonstratif, dan terbuka di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini diisyaratkan dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh al-Haafidh Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Baari, yakni hadits yang berbunyi, "Agar kami tidak merebut urusan tersebut dari orang yang berhak, kecuali jika terjadi kemaksiatan kepada Allah secara nyata.[48] Mafhuum hadits ini adalah, "Rebutlah urusan (kepemimpinan) itu dari orang yang berhak, atau perangilah orang yang memegang otoritas kekuasaan itu jika ia melakukan kemaksiyatan secara nyata, terang-terangan, dan demonstratif ".
  7. melakukan penyimpangan yang terkategori kekufuran yang nyata, meski belum sampai pada taraf kekufuran yang nyata; kondisi tersebut tercermin dalam riwayat: "Selama dia tidak memerintahkan kalian melakukan dosa secara nyata. [49] Manthuuq (makna tekstual) riwayat ini adalah, merebut kekuasan dengan menggunakan kekuatan bersenjata dari pemegang otoritas kekuasaan itu tidak disyariatkan, selama mereka tidak memberikan perintah untuk melakukan dosa, secara demonstratif dan terang-terangan. Jika ia memerintahkan perbuatan dosa atau maksiat tersebut secara sembunyi-sembunyi ---atau tidak layak disebut memerintah perbuatan dosa secara terang-terangan--- maka dalam kondisi seperti ini merebut kekuasaan dari tangan mereka tetap tidak diperbolehkan.
  8. Hadits-hadits yang berbicara tentang kewajiban memerangi penguasa yang telah melakukan kekufuran yang nyata turun pada konteks telah ada sistem Islam (Khilafah Islam). Namun, jika konteks negaranya adalah negara kufur yang hendak diubah menjadi Daulah Islam, maka cara yang ditempuh untuk melakukan perubahan di negeri kufur tersebut tidak boleh menggunakan pedang alias kekerasan.
Oleh. Ust. Syamsuddin Ramadhan al-Nawiy

Daftar Pustaka:

[1] Muhammad ‘Imaarah, al-Islaam wa Falsafah al-Hukm. hal. 642 dan 645.

[2] Muhammad ‘Imaarah, al-Islaam wa Falsafah al-Hukm. hal. 642 dan 645.

[3] Hammaadah, al-Watsaa’iq al-Siyaasiyyah wa al-Idaariyah (al-‘Ahd al-Amawi), hal. 332.

[4] Sayyid ‘Abd al-Tawwaab, al-Difaa’ al-Syar’i fi al-Fiqh al-Islaami, hal. 471.

[5] Mahmud al-Khaalidi, Ma’aalim al-Khilaafah, hal. 327.

[6] Muhammad ‘Imaarah, al-Islaam wa al-Tsawrah, hal. 13.

[7] Hammaadah, ibid, hal. 257.

[8] Hammaadah, ibid, hal. 354.

[9] Hammaadah, ibid, hal. 338.

[10] Zayd bin ‘Abd al-‘Aziiz Fayyaadh, al-Rawdh al-Nadiyyah: Syarh al-‘Aqiidah al-Wasathiyyah, hal. 481.

[11] An-Nawawi, Syarh Shahiih Muslim, juz VIII, hal. 37.

[12] Al-Asy’ari, Maqaalaat al-Islaamiyyiin, hal. 451.

[13] Mahmud al-Khaalidi, ibid, hal. 310.

[14] Taqiyuddiin an-Nabhaani, Nidhaam al-Hukm fii al-Islaam, hal. 111.

[15] ‘Abd al-Qadiir ‘Audah, al-Tasyrii’ al-Jinaa’i, juz I, hal. 149.

[16] Dr. Mohammad Khair Haikal, al-Jihaad wa al-Qitaal, hal 116-118

[17] Muslim, op.cit., no. 1855, juz III, hal. 1481; Sunan al-Bayhaqi, juz VIII, hal. 158.

[18] Al-Bukhaari dan Muslim; Al-Bukhaari, op.cit., no. 6725; Fath al-Baari, juz XIII, hal. 121-122; Muslim, op.cit., no. 1839, juz III, hal. 1469; Sunan al-Bayhaqi, juz VIII, hal. 156.

[19] Al-Bukhaari dan Muslim; Al-Bukhaari, Op.cit., no. 7052; Fath al-Baari, juz XIII, hal. 5; Muslim, Op.cit., no. 1843, juz III, hal. 1472; Sunan al-Bayhaqi, juz VIII, hal. 157.

[20] Muslim, Op.cit., no. 1847, juz III, hal. 1475-76; Sunan al-Bayhaqi, juz VIII, hal. 157.

[21] Al-Haakim, Op.cit., juz IV, hal. 435; Imam al-Dzahabi membuat rumus untuk hadits tersebut dengan Kha dan Mim, maksudnya berdasarkan syarat al-Bukhaari dan Muslim.

[22] Muslim, Op.cit., no. 1838, juz III, hal. 1468.

[23] Muslim, Op.cit., no. 1838, juz III, hal. 1468.

[24] At-Thabraani, dalam al-Kabiir dan al-Ausath, dengan redaksi yang serupa; al-Haitsami, Op.cit., juz V, hal. 224. Al-Haitsami berkata: Di dalamnya, terdapat Bakar bin Yunus, yang dianggap tsiqqah oleh Ahmad bin al-‘Ajlii dan tokoh-tokohnya yang lain adalah tokoh-tokoh yang sahih.

[25] Al-Bukhari dan Muslim: Misykaat al-Mashaabiih, no. 3666, juz II, hal. 1086; Al-Bukhaari, Op.cit., no. 7055; Fath al-Baari, juz XIII, hal. 5; Muslim, Op.cit., no. 1709, juz III, hal. 1470-71.

[26] Al-Asy’ari, Maqaalaat al-Islaamiyyiin, hal. 451.

[27] Ibn Hazm, al-Muhalla, juz IX, hal. 362.

[28] Imam al-Nawawi, Syarh, juz VIII, hal. 35.

[29] Ibid, juz VIII, hal. 36-37.

[30] Ibid, juz VIII, hal. 35-36.

[31] Daliil al-Faalihiin, juz I, hal. 456-457.

[32] Ibid, juz I, hal. 460.

[33] Al-Asqalaani, Fath al-Baari, juz XIII, hal. 8.

[34] Ibid, juz XIII, hal. 8.

[35] Ibid.

[36] Shiddiiq bin Hasan al-Qanujii al-Bukhaari, ar-Rawdh al-Bahiyyah, juz II, hal. 520; Muhammad Sayyid ‘Abd at-Tawwaab, ad-Difaa’ as-Syar’i fii al-Fiqh al-Islaami, hal. 476.

[37] Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuhu, juz VI, hal. 707.

[38] Ibid, juz VI, hal. 707.

[39] Ibid, juz VI, hal. 710.

[40] Muhammad Sayyid ‘Abd at-Tawwaab, al-Difaa’ al-Syar’i fii al-Fiqh al-Islaami, hal. 479-484.

[41] Muhammad Sa’id Ramadhaan al-Buthi, Manhaj al-Awdah ilaa al-Islaam, hal. 58.

[42] Ibn Hazm, al-Muhallaa, juz IX, hal. 362.

[43] Ibn Abii Syiibah, Mushannaf, juz XV, hal. 8; Abu Dawud, Sunan, no. 4244, juz IV, hal. 135-136. Al-Baani berkomentar: Hasan. Lihat, Shahiih Sunan Abii Dawud, no. 3569, juz III, hal. 798-799.

[44] Muhammad Abu an-Nur Zahiir, Ushul al-Fiqh, juz IV, hal. 200.

[45] Al-Haytsami, Op.cit., juz V, hal. 224.

[46] Muslim, Op.cit., no. 1855, juz III, hal. 1482; Sunan al-Bayhaqi, juz VIII, hal. 158.

[47] An-Nawawi, Syarh, juz VIII, hal. 35.

[48] Al-Asqalaani, Fath al-Baari, juz XIII, hal. 8.

[49] Ibid, juz XIII, hal. 8.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.