Header Ads

Kelemahan Hadits Iyadh Bin Ghanm Tentang Menasehati Penguasa

Ada sebuah hadits yang banyak diperbincangkan orang lantaran dijadikan dalil oleh sebagian kelompok untuk menyalahkan tindakan kelompok lain dalam manhaj mereka mengkritik penguasa terang-terangan. Hadits tersebut adalah riwayat Iyadh bin Ghanm ra, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa hendak menasehati penguasa dengan suatu hal maka janganlah dia menampakkannya terang-terangan, melainkan hendaklah dia raih tangan penguasa itu lalu berduaan dengannya. Kalau dia menerima nasehat itu maka baguslah, tapi kalau tidak berarti dia sudah melaksanakan kewajibannya kepada penguasa.”

Hadits ini diriwayatkan dari dua jalur menuju Iyadh bin Ghanm:
  1. Jalur Syuraih bin Ubaid, dari Iyadh bin Ghanm.
  2. Jalur Jubair bin Nufair dari Iyadh bin Ghanm.
Jalur Syuraih langsung ke Iyadh diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, Abu Ubaid dalam Al-Amwal, semua dari jalur Shafwan bin Amr, dari Syuraih bin Ubaid.

Isnadnya shahih sampai kepada Syuraih, tapi ada kelemahan yaitu terputusnya sanad antara Syuraih dengan Iyadh bin Ghanm. Sebagian orang ada yang mengatakan mungkin saja Syuraih mendengar dari Iyadh atau Hisyam, tapi ini akan terbantahkan bila kita melihat beberapa fakta berikut:

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib mengatakan, “Dia banyak memursal hadits.”

Muhammad bin Auf pernah ditanya apakah Syuraih ini pernah mendengar dari seorang sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam? Dia menjawab, “Kurasa tidak. Itu karena dia tidak pernah mengatakan, “aku mendengar” padahal dia tsiqah.”[1]

Sementara Abu Hatim Ar-Razi memastikan bahwa dia tidak mendapati masa Abu Umamah, Al Harits bin Harits dan Miqdam dan riwayatnya dari Abu Malik Al-Asy’ari adalah mursal.[2]

Abu Daud mengatakan, “Dia (Syuraih) tidak mendapati masa Sa’d bin Malik.”[3]

Al-Mizzi juga menyatakan bahwa dia tidak mendapati masa Abu Dzar Al-Ghifari. Menurut Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah (7/29) Abu Dzar wafat tahun 31 H.

Iyadh bin Ghanm meninggal pada tahun 20 H[4], sedangkan Syuraih ini tidak mendengar dari Abu Umamah (w 86 H), Al Miqdam (w 87 H). Kalau yang wafat pada tahun 80-an saja dia tidak mendapati apalagi yang wafat tahun 20 H?! Jangan-jangan Syuraih belum lagi lahir waktu Iyadh bin Ghanm meninggal dunia.

Jalur kedua dari Jubair bin Nufair ke Iyadh bin Ghanm.

Ada dua jalur sampai ke Jubair bin Nufair:

Jalur pertama adalah jalur Syuraih bin Ubaid; diriwayatkan oleh Dhamdham bin Zur’ah. Ini terdapat dalam kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ’Ashim no. 1097.

Riwayat ini sangat lemah karena dua faktor:

Pertama, faktor Muhammad bin Ismail bin Ayyasy, dia ini lemah apalagi berani meriwayatkan dari ayahnya tanpa mendengar langsung dari ayahnya dan inilah yang menyebabkan dia dilemahkan[5]. Dalam kitab Al-Ishabah[6] Al-Hafizh Ibnu Hajar sempat menyebut riwayatnya lalu melemahkannya dengan menyatakan, ”Tapi Muhammad (bin Ismail ini –penerj) dha’if jiddan (sangat lemah).”

Kedua, perbedaan Dhamdham bin Zur’ah dengan riwayat Shafwan bin Amr. Shafwan ini tsiqah, sementara Dhamdham bin Zur’ah dikatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib (1/298, no. 3306) (صَدوق يَهِم) (jujur tapi salah). Bisa jadi riwayat ini adalah salah satu bentuk kesalahannya andai lolos dari kelemahan Muhammad bin Ismail. Riwayat semacam ini adalah syadz dan tidak bisa dianggap menguatkan riwayat Shafwan, justru riwayat Shafwan melemahkannya.

Muhammad bin Ismail bin Ayyasy dikuatkan oleh Abdul Wahhab sebagaimana disebutkan dalam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah dalam biografi Iyadh bin Ghanm (4/2162, nomor riwayat: 5425):

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، ثنا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَمَّادٍ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ الضَّحَّاكِ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ ضَمْضَمِ بْنِ زُرْعَةَ، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: قَالَ جُبَيْرُ بْنُ نُفَيْرٍ

Muhammad bin Ali menceritakan kepada kami, Al-Husaian bin Muhammad bin Hammad menceritakan kepada kami, Abdul Wahhab bin Adh-Dhahhak menceritakan kepada kami, Ismail bin Ayyasy menceritakan kepada kami, dari Dhamdham bin Zur’ah, dari Syuraih bin Ubaid, dia berkata, Jubair bin Nufair berkata....”

Tapi penguat ini tidak berarti sebab Abdul Wahhab bin Adh-Dhahhak disebutkan dalam At-Taqrib (1/418, no. 4772), ”matruk, dianggap pendusta oleh Abu Hatim.” Lihat pula penjelasan kedustaannya dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil 6/74.

Jalur kedua adalah jalur Abdurrahman bin ’A`idz yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Ibrahim bin Al ’Ala`, Amr bin Al Harits menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Salim, dari Az-Zubaidi, Fudhail bin Fadhalah menceritakan kepadaku, dia mengembalikannya kepada Ibnu ’A`idz, dia mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair.

Jalur kedua ini punya penguat yaitu riwayat Ibrahim bin Abdul Hamid Al Himshi yang berkata, Abdullah bin Salim menceritakan kepada kami, selanjutnya sama dengan isnad Amr bin Harits di atas.

Akan tetapi riwayat Ibrahim bin Abdul Hamid bin Ibrahim ini sama sekali tidak berguna dan ini akan jelas bila kita baca biografinya dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim juz 6 hal. 8 berikut ini:

Abdul Hamid bin Ibrahim Al-Hadhrami Al-Himshi Abu Taqi meriwayatkan dari Abdullah bin Salim, murid Muhammad bin Al-Walid Az-Zubaidi. Yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin Auf. Abdurrahman berkata, Aku bertanya kepada Muhammad bin Auf Al Himshi tentangnya maka dia menjawab, ”Dia adalah seorang syekh (orang tua) yang buta tidak hafal, kami pernah menulis dari tulisannya yang ada pada Ishaq bin Zibriq yang merupakan riwayat Ibnu Salim lalu kami bawakan kepadanya dan mendiktenya. Dia tidak hafal isnad tapi hafal beberapa matan maka dia ceritakan kepada kami. Kami meriwayatkan darinya hanya lantaran keinginan memperbanyak riwayat hadits.”

Muhammad bin Auf sendiri kalau menceritakan darinya maka dia menyebut, ”Aku dapatkan dalam kitab Ibnu Salim yang diceritakan kepada kami oleh Abu Taqi.”

Abdurrahman menceritakan kepada kami, dia berkata, Aku mendengar ayahku menyebutkan kepadaku tentang Abu Taqi Abdul Hamid bin Ibrahim,Dia berada pada suatu kampung di daerah Himsh, aku tidak keluar menemuinya dia juga menyebutkan bahwa dia mendengar kitab Abdullah bin Salim dari Az-Zubaidi hanya saja buku-bukunya hilang lalu dia katakan bahwa dia tidak menghafalnya. Mereka ingin mendengar riwayat itu darinya tapi dia mengatakan, ”Aku tidak hafal”, tapi mereka terus saja mendesak sampai dia melemah. Kemudian aku datang ke Himsh setealah peristiwa itu lebih dari tiga puluh tahun ternyata orang-orang sudah meriwayatkan kitab itu darinya dan mereka katakan bahwa mereka menalqini riwayat Ibnu Zibriq kepadanya lalu dia pun meriwayatkan hasil talqinan itu. Dia menurutku bukan apa-apa, tidak hafal dan tidak punya kitab”.”

Dengan begitu maka riwayat Abdul Hamid bin Ibrahim Al Himshi ini sebenarnya adalah hasil talqinan dari kitabnya Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq. Inilah yang disimpulkan oleh Syekh Abu Marwan As-Sudani dalam kitabnya, “

Maka, gugurlah riwayat Abdul Hamid bin Ibrahim dan tidak bisa menguatkan riwayat Amr bin Harits. Demikian yang disimpulkan oleh Syekh Abu Marwan As-Sudani dalam kitabnya, “Al-Jahr wa Al-I’lan fii Dha’fi Hadits Al-Kitman fii Munashahati As-Sulthaan”.

Kelemahan jalur-jalur ini:

Jalur Syuraih Al-Qadhi adalah munqathi’ tidak bisa dikatakan dikuatkan dengan jalur Muhammad bin Ismail bin Ayyasy yang menyambungnya dengan memasukkan nama Jubair bin Nufair antara Syuraih dan Iyadh, sebab andai dia selamat dari kelemahan Muhammad bin Ayyasy maka justru itu melemahkan jalur ini karena riwayat yang bersambung itu melalui jalur Dhamdham bin Zur’ah yang mendapat predikat shaduq yahim (jujur tapi biasa ragu atau salah). Sementara riwayat yang terputus bersumber dari Shafwan bin Amr As-Saksaki dan dia tsiqah. Dengan demikian riwayat Dhamdham ini kalah karena dia menyelisihi orang yang lebih kuat darinya. Sehingga yang benar dalam riwayat jalur Syuraih Al-Qadhi adalah munqathi’ atau terputus dan ini lemah tak bisa dijadikan hujjah.

Sementara jalur Ibnu ‘A`idz dari Jubair bin Nufair juga sangat lemah, karena setelah diamati bahwa riwayat itu sebenarnya hanya bermuara dari satu orang yaitu Ishaq bin Ibrahim bin Al ‘Ala` Ibnu Zibriq Al-Himshi.

Penilaian para ulama berbeda-beda mengenai Ibnu Zibriq ini, umumnya menganggap lemah, bahkan Muhammad bin Auf memastikan bahwa dia berdusta dan ini jarh yang mufassar. Sehingga yang paling mendekati kebenaran tentang penilaian terhadapnya adalah penilaian Adz-Dzahabi dalam Talkhish Al Mustadrak dengan predikat “waah” (sangat lemah), atau penilaian An-Nasa`iy, “laisa bi tsiqah” (tidak tsiqah) dan itu berarti haditsnya sangat lemah. Al-Albani sendiri dalam beberapa tempat di kitab As-Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah menyatakan bahwa Ishaq bin Ibrahim bin Ala` Ibnu Zibriq ini sebagai dhaif jiddan (sangat lemah).[7] Saya sendiri sudah membuat tulisan khusus mengenainya yang saya posting ke forum multaqa ahlil hadits (bisa dilihat di sini: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=250659 ) membuktikan bahwa dia banyak bersendirian dalam riwayat yang tidak diikuti oleh orang lain, dan itu masuk kategori munkar, sehingga dia layak disebut munkarul hadits. Wallahu a’lam.

Itu belum lagi ditambah adanya kelemahan pada Amr bin Al-Harits yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi “Tidak terkenal keadilannya (dalam riwayat)”, itu menunjukkan dia majhul haal. Meskipun Ibnu Hibban menyatakan dalam ats-Tsiqaat dia mustaqimul hadits, tapi kalau kita telusuri banyak hadits-haditsnya yang diriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim adalah munkar sebagaimana saya bahas dalam forum ahli hadits di atas.

Jadi, jalur yang menyebutkan adanya Jubair bin Nufair semuanya adalah dhaif jiddan dan tidak bisa dipakai. Tinggal lagi jalur Syuraih bin Ubaid yang lemah karena ada keterputusan sanad antara dia dengan Iyadh bin Ghanm. Dengan begitu hadits ini tidak cukup kuat sebagai hujjah, apalagi tambahan ini tidak disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Urwah bin Az-Zubair yang diriwayatkan oleh Muslim, semakin menunjukkan kelemahan tambahan tersebut.

Belum lagi perbuatan Hisyam bin Hakim menegur Iyadh bin Ghanm pada saat Iyadh melakukan kemungkaran dan itu harus segera dicegah sebelum Iyadh makin tenggelam dalam kesalahannya, atau jatuh korban dari orang yang disiksa oleh Iyadh tersebut. Hal itu pula yang dilakukan para sahabat yang lain ketika menegur kesalahan pemimpin seperti yang dilakukan Abu Sa’id Al-Khudri terhadap Marwan yang berkhutbah sambil duduk. Khusus untuk masalah mengingkari kemungkaran yang dilakukan penguasa apakah sama sekali tidak boleh terang-terangan insya Allah akan kami bahas belakangan.

Anshari Taslim
Bekasi, 11 Juni 2011.


[1] Lihat Tahdzib Al-Kamal 12/447.

[2] Al-Marasil oleh Ibnu Abi Hatim 1/90.

[3] Tahdzib Al-Kamal 12/447.

[4] Berdasarkan keterangan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah dalam biografi Iyadh bin Ghanm 4/757.

[5] Abu Hatim mengatakan, “Orang-orang memprovokasinya untuk meriwayatkan dari ayahnya tanpa mendengar langsung lalu dia melakukannya.” (Al Jarh wa At-Ta’dil 7/190). Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam At-Taqrib (2/37, no. 6430): “Mereka mencelanya gara-gara berani meriwayatkan dari ayahnya tanpa mendengar langsung.” Bahkan Al-Albani mengatakan dalam Zhilal Al-Jannah, “Perkatannya ‘ayahku menceritakan kepadaku’ seperti itu adalah dusta”. Aneh kalau kemudian Al-Albani masih menguatkannya dengan riwayat yang lain padahal Muhammad bin Ismail ini melakukan kesalahan fatal yaitu berdusta.

[6] Al-Ishabah 4/510 ketika menyebut biografi ‘Athiyyah bin ‘Amir.

[7] Misalnya dalam hadits no. 758, Al-Albani mengatakan pendapatnya tentang Ishaq bin Ibrahim ini:

وأبوه إسحاق بن إبراهيم بن زبريق ضعيف جدا ، قال النسائي : " ليس بثقة " . وقال أبو داود : " ليس بشيء " وكذبه محدث حمص محمد بن عوف الطائي وهو أعرف بأهل بلده ، وأماأبو حاتم فقال : لا بأس به.

“Dan ayahnya (ayah Amr) yaitu Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq adalah dhaif jiddan. An-Nasa`iy mengatakannya, tidak tsiqah, Abu Daud mengatakannya, “Bukan apa-apa”, bahkan muhaddits daerah Hims yaitu Muhammad bin Auf Ath-Tha`iy yang merupakan orang yang paling tahu tentang penduduk negerinya sendiri menganggapnya pendusta. Sedangkan Abu Hatim mengatakan, “Tidak ada masalah padanya”.

http://alponti.multiply.com/journal/item/93/KELEMAHAN_HADITS_IYADH_BIN_GHANM_TENTANG_MENASEHATI_PENGUASA

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.