Header Ads

Ilusi-ilusi Demokrasi

Oleh : Humaidi


Sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan bahwa partai politik adalah lembaga terkorup.

Pengakuan M Nazaruddin dari tempat pelariannya terhadap permainan uang di Partai Demokrat menegaskan memang seperti itulah yang terjadi sebenarnya dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Uang mengalahkan segalanya. "Yang menang duit” kata Nazar, begitu ia kerap dipanggil. Kapasitas dan kapabilitas seseorang dengan mudahnya dikalahkan oleh uang.

Selama ini memang sulit membuktikan secara legal bahwa partai politik adalah sarang korupsi. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa di sanalah berkembang budaya korupsi mulai dari yang legal hingga ilegal.

Ternyata Partai Demokrat, partai yang dibina oleh Susilo Bambang Yudhoyono, pun sami mawon. Padahal Selama ini partai berlambang mercy ini selalu menyatakan: "katakan tidak pada korupsi" Eh korupsi juga. Prinsip money to power, power to money (uang untuk kekuasaan, kekuasaan untuk uang) tetap langgeng.

Hubungan partai politik dan korupsi di Indonesia ibarat dua sisi koin. Tak terpisahkan. Ini yang tercermin dari hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia. Selama empat tahun, yakni 2003, 2004, 2007, dan 2008. survei tersebut menempatkan partai politik sebagai lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.

Data Transparency International menunjukkan, pada survei tahun 2003, partai politik tercatat sebagai lembaga terkorup setelah lembaga peradilan. Setahun berikutnya, 2004, partai politik dan parlemen menempati posisi pertama. Bahkan, pada tahun yang sama, Transparency International mengumumkan, sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan bahwa partai politik adalah lembaga terkorup.

Persoalannya adalah sistem demokrasi itu sendiri. Demokrasi menimbulkan biaya tinggi, membutuhkan biaya besar. Tak mungkin partai politik berdiri di atas kaki sendiri untuk bisa memenangkan pertarungan dalam sistem ini. Partai politik membutuhkan pembiayaan besar untuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi dukungan rakyat.

Melalui korupsi, para elite partai politik mencari ongkos politik tersebut. Pilihannya adalah menggerogoti anggaran negara. Hingga saat ini, anggaran negara merupakan "ladang basah" bagi petinggi-petinggi partai untuk mengais dan meraup dana partai politik. Baik oleh kader partai politik di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif. Makanya, kedudukan di lembaga negara menjadi hal yang penting bagi parpol. Pembagian posisi di pemerintahan sebenarnya adalah pembagian ladang bagi parpol mengeruk dana. Ini suatu yang kasat mata.

Hanya saja, dalam pelaksanaannya, ada yang lihai tapi ada pula yang kurang canggih sehingga terendus oleh aparat pengawasan. sudah banyak kasus korupsi yang terbongkar oleh KPK melibatkan para politisi. Sebut saja kasus Al Amin Nasution (Partai Persatuan Pembangunan), Misbakhun (Partai Keadilan Sejahtera), Bachtiar Chamsyah (PPP), Abdul Hadi Jamal (Partai Amanat Nasional), Panda Nababan cs (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Paskah Suzeta cs (Partai Golkar), dan Jhonny Allen Marbun serta M Nazaruddin (Partai Demokrat). Itu belum termasuk para pengurus partai yang diadili di daerah. Walhasil, kini tidak ada partai bersih, jujur, dan adil.

Peneliti korupsi politik ICW, Abdullah Dahlan mengungkapkan, kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi dalam suatu pembangunan proyek ini sudah dirancang atau 'by design' oleh partai politik. Tujuannya untuk memuluskan anggarannya.

Berdasarkan penelitian ICW, sebanyak 44,6 persen anggota DPR berprofesi sebagai pengusaha. Profesi ini ditengarai sebagai sarana investasi. "Ini yang menyebabkan rawan korupsi," katanya.

Bukan rahasia lagi, keberadaan partai politik itu sendiri bagi sebagian orang bisa menjadi tempat berlindung. Caranya pun cukup mudah yakni dengan memberikan sumbangan dana. Bukankah partai politik butuh dana? Kompensasinya, mereka terlindungi dan tetap bisa menjalankan bisnis 'kotornya'. Tidak aneh bila banyak pengusaha yang mencantol ke partai politik.

Kok bisa? Ya, sebab begitulah partai politik membuat undang-undang di DPR. UU Parpol yang baru dengan jelas memberikan ruang cukup lebar terhadap para penyumbang. Kalau pada pemilu 2004 dana sumbangan dari perusahaan hanya dibatasi maksimal Rp 4 milyar, jumlahnya dinaikkan menjadi Rp 7,5 milyar pada pemilu 2014. Sedangkan sumbangan perseorangan boleh disetor langsung ke rekening partai hingga Rp 1 milyar. Wajar bila parpol akan didominasi oleh mereka yang memiliki kapital yang besar. Pertanyaannya, apakah perusahaan atau perorangan itu menyumbang secara gratis? Pepatah Barat menyebut: No free lunch (tidak ada makan Siang gratis).

Tak berlebihan bila Indonesia kini masuk dalam kategori negara korporasi, yakni negara yang dikendalikan oleh pengusaha/kapitalis melalui jalan birokrasi. Para pengusahalah yang membiayai ongkos demokrasi kepada partai politik. sebagai imbalannya, pengusaha tinggal mengambil hasilnya berupa kebijakan yang menguntungkan bagi mereka kepada partai politik yang duduk di kekuasaan baik di lembaga eksekutif, maupun legislatif.

Hanya mereka yang beruang atau didukung oleh para pemilik uang (modal) yang akan memenangi pertarungan, baik itu dalam level penguasa, birokrasi, dan sebagainya. Kalau sudah begitu, uanglah yang berbicara. Kapitalisme-sekuler melahirkan pola hidup hedonistik-materilistik, yang menjadikan uang segala-galanya. Dan rakyat hanya diambil suaranya saat dibutuhkan untuk melanggengkan kejahatan dan kerakusan yang ditamengi dengan peraturan.

Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) M Ismail Yusanto menilai, dalam kondisi seperti itu, segala usaha pemberantasan korupsi akan menemui jalan buntu karena justru negaralah yang menjadi pelaku korupsinya. Inilah yang disebutnya sebagai State Corruption (korupsi negara). Biangnya adalah sistem demokrasi!

Banyak orang tertipu dengan demokrasi. Alih-alih kehidupan bertambah baik, Indonesia yang katanya akan kian baik jika menerapkan demokrasi secara benar malah terpuruk. Rakyat kian jauh dari sejahtera. Hanya segelintir warga negara yang merasakan buah nikmat demokrasi. Mereka adalah elite penguasa dan para pengusaha serta kalangan berpunya.

Jargon demokrasi suara rakyat adalah suara tuhan menjadi tipuan memabukkan bagi sebagian besar orang yang dulu hidup dalam penjajahan. Pengagungan suara rakyat sedemikian besar ternyata hanya di jargon. Fakta menunjukkan hal yang sebaliknya. Tidak ada penghargaan terhadap suara rakyat. Suara rakyat hanya dikeruk saat pemilihan umurn berlangsung. Setelah itu, suara rakyat tak lagi diperhitungkan.

Dalam perjalanan berikutnya, Suara rakyat telah berubah menjadi suara tuan. Tuan-tuan itu adalah para pemilik modal, orang-orang kaya yang telah menginvestasikan uang/modalnya dalam pemilihan umum baik untuk dirinya maupun untuk para penguasa yang diusungnya.

Tidak aneh bila sering terjadi pertentangan antara suara rakyat dengan wakil rakyat dan penguasa. Ketika rakyat ingin pendidikan murah, negara membuat UU yang mengarah swastanisasi pendidikan. Saat rakyat ingin mandiri, negara membuka kran impor. Begitu rakyat ingin menikmati kekayaan alamnya, negara malah menjualnya kepada asing. Paradok-paradok itu kian karat mata belakangan seiring pujian-pujian asing bahwa Indonesia kian demokratis.

Kedaulatan rakyat yang menjadi pilar demokrasi, tak pernah terealisasi. Secara fakta, itu tak mungkin terealisasi. Hanya negara kampung yang bisa mewujudkan itu, di mana semua warganya bisa berpartisipasi rnenyampaikan aspirasinya. Alhasil, yang muncul adalah modifikasi demokrasi dengan mengambil sistem perwakilan.

Namun, lagi-lagi ini bermasalah. Soalnya, wakil-wakil yang muncul hanya sekadar kamuflase para cukong dan bandit-bandit politik untuk mengeruk kekayaan alam atas nama rakyat. Mereka tidak menjadi representasi yang sebenarnya. Buktinya, adanya paradoks tali.

Lahirnya berbagai peraturan dari lembaga legislatif yang bertentangan dengan kehendak rakyat merupakan bukti berikutnya bahwa kedaulatan itu tak lagi milik rakyat. Ditambah lagi, hampir semua peraturan perundang-undangan yang ada dirancang oleh kalangan/pihak asing. Terus siapa yang berdaulat?

Mimpi rakyat untuk menikmati keadilan ibarat jauh panggang dari api. Hukum berlaku keras kepada kaum papa sementara sangat lemah kepada mereka yang berkuasa. Pencuri ecek-ecek di berbagai daerah yang terpaksa mencuri karena tak bisa makan, dikejar-kejar dan dihukum. Sementara banyak pejabat negara yang mencuri uang rakyat bisa berkeliaran dengan leluasa. Malah ada yang bisa jalan-jalan ke Mal di saat mana hukumannya belum habis.

Dalam beberapa kasus, banyak rakyat yang belurn jelas kesalahannya ditembak mati. Sernentara, kalangan elite yang sudah jelas salah malah bisa melenggang ke luar negeri dengan alasan berobat.

Belum lagi, sudah menjadi rahasia umum, keadilan bisa dibeli. Uang bisa menentukan status seseorang yang bersalah di muka hukum. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar, dengan uang. Mafia peradilan tak pernah bisa diberantas. Akhirnya, yang lemah selalu dikalahkan yang kuat di depan hukum sekalipun. Simbol timbangan yang setara di pengadilan tak berlaku. Persamaan di depan hukum itu telah lenyap.

Bahkan, hukum bisa menjadi alas kekuasaan. Sebelum seseorang dihukum, hukuman sudah ditetapkan. Proses pengadilan hanya sekadar ritual untuk mengetukkan palu. Ini terutama terjadi terhadap orang-orang yang dianggap bersebarangan dengan negara. Hukuman dipaksakan kendati secara materi tak terbukti.

Tak heran, banyak masyarakat tak berani menyelesaikan sengketa di pengadilan, kalau tidak terpaksa sekali. Biayanya sangat besar. Sampai-sampai muncul pamer di tengah masyarakat: kalau lapor kehilangan ayam, nanti malah kehilangan sapi. Mengapa? Semua butuh duit,duit, dan duit.

Masyarakat apatis terhadap jajaran hukum dan penegak hukum. Situasi ini menimbulkan sikap main hakim sendiri. Konflik-konflik horizontal kian marak. Tawur antarkampung, antarkampus, antarsekolah, antarsuku jadi pilihan penyelesaian masalah.

Euforia kebebasan membuat rakyat kebablasan. Semua ingin seenaknya. Rakyat melihat para pejabatnya korupsi, tak ketinggalan mengikutinya dengan caranya sendiri. Situasi kian hari kian tak terkendali.

Mending kalau rakyat tambah sejahtera, demokrasi telah melahirkan jurang menganga antara si kaya dan si miskin. Jutaan orang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian mereka rela makan nasi aking. Busung lapar menjadi pemandangan yang biasa di tengah para pejabat yang biasa berpesta.

Rakyat tercekik biaya pendidikan dan layanan kesehatan. Pelan-pelan negara melepaskan diri dari tanggung jawabnya mengurus rakyat. Pembiaran berlangsung secara sistematis. Dan negara lebih sibuk mengurus para pengusaha dan tuan-tuan mereka dari mancanegara. Yah, karena memang ada fulus yang telah menantinya.

Itulah hasil sebuah demokratisasi. Akankah kita rela hidup dalam cengkeraman ideologi seperti ini?


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.