Header Ads

KELAPARAN DI SOMALIA : Bukan Sekadar Ekonomi

Oleh : Farid Wadjdi


Kelaparan di Somalia merupakan persoalan alami, namun intervensi asing dan konflik berkepanjangan memperparah situasi.

PBB telah menyatakan dua wilayah di Somalia Selatan dilanda bencana kelaparan, di
tengah-tengah musim kemarau terburuk yang melanda negara itu dalam 50 tahun lebih. Berbicara di Nairobi, juru bicara PBB Mark Bowden mengatakan bencana kelaparan terjadi di kawasan Bakool dan Shabelle Selatan. PBB melaporkan 3,7 juta orang, separuhnya penduduk Somalia—negara yang berpenduduk 9,3 juta dengan mayoritas Muslim ini—membutuhkan bantuan internasional.

Data Badan Pengungsi PBB (UNHCR) menunjukkan dalam sebulan terakhir hampir 40.000 korban kekeringan dan kelaparan mengungsi ke Mogadishu guna mencari bantuan. Badan Pengungsi PBB itu melaporkan jumlah pengungsi semakin bertambah dan rata-rata 1.000 orang tiba di kota itu setiap harinya.

Badan Pangan Dunia (WFP) mengatakan tidak mampu menjangkau 60 persen orang-orang yang membutuhkan makanan, karena Mujahidin Al Shabaab menghalangi badan tersebut membagikan bantuan ke wilayah-wilayah besar di bagian selatan Somalia.

Kelompok-kelompok Islam di Somalia telah mengakui adanya musim kemarau tetapi telah membantah klaim Barat bahwa mereka melakukan kekejaman. Mujahidin Somalia, Al Shabaab menuduh PBB pada Kamis (21/7) melebih-lebihkan keparahan kekeringan yang tengah mencengkeram selatan negara itu dan mempolitisasi krisis kemanusiaan.

Bagian selatan negara Afrika tersebut sebagian besar dikendalikan oleh Mujahidin Al Shabaab yang selama empat tahun disalahkan dengan dalih memperburuk dampak kekeringan, "Kami mengatakan (deklarasi PBB) 100 persen salah dan merupakan propaganda tak mendasar. Ya, terdapat kekeringan namun kondisinya tidak seburuk yang mereka katakan," ujar juru bicara Al Shabaab, Syeikh Ali Mohamud Rage dalam sebuah konferensi pers.

Pada awal Juli, Mujahidin memberlakukan pelarangan bantuan pangan yang mereka katakan dapat menciptakan ketergantungan. "Mereka memiliki tujuan lain dan tidak mengejutkan kami jika mereka mempolitisasi situasi," ujar Syeikh Ali.

Bukan Sekedar Ekonomi

Kelaparan yang disebabkan kekeringan merupakan kejadian alami di Afrika. Campur tangan pihak asing telah memperparah masalah di Tanduk Afrika itu. Menurut UNICEF, krisis Somalia kali ini disebabkan kombinasi konflik dan gagal panen dan kekeringan yang terparah dalam 60 tahun terakhir.

Wilayah Tanduk Afrika ini telah lama menderita dan dalam situasi konflik berkepanjangan. Pada tahun 1884, Eropa sepakat dilakukannya pendudukan, penjajahan, invasi, dan aneksasi Afrika. Inggris, Prancis dan Italia mengklaim wilayah di negara yang sekarang dikenal sebagai Somalia. Selama 40 tahun, Inggris mengendalikan Somalia Utara karena aksesnya ke Laut Merah. Italia pernah menjajah Somalia Selatan. Sementara Prancis mengendalikan tetangga Djibouti.

Setelah dirundung konflik sebenarnya sejak tahun 2006, negara itu mulai menikmati sta¬bilitas. Saat itu, Uni Pengadilan Islam (UIC) mengambil alih Mogadishu dan beberapa wilayah di selatan negara. UIC berhasil me¬ngalahkan para panglima perang suku yang selama bertahun--tahun berbuat onar. Setelah bertahun-tahun negara itu tanpa hukum, UIC berhasil menerapkan sebagian hukum syariah Islam di negeri itu yang mulai membawa ketenangan.

Namun hal ini tidak disukai oleh Amerika Serikat, Negara ini kemudian menggunakan Ethiopia, menyerang secara brutal negara itu untuk menghapus Dewan Pengadilan Islam Tertinggi (Supreme Islamic Courts Council/SICC). Akibatnya, lebih dari 1 juta orang mengungsi untuk menjauh dari daerah konflik. Perang Amerika dengan menggunakan negara tangan kanannya – Ethiopia melawan Uni Pengadilan Islam (UIC) telah memperparah krisis Afrika.

Barat tampak enggan memberikan bantuan yang serius di Somalia. Berbeda dengan negeri-negeri lain yang kekayaan alamnya menggiurkan, seperti Irak, Kuwait, Libya, Afghanistan, Barat menghabiskan trilyunan dolar untuk berperang dan membunuh ribuan warga sipil, Di Somalia, Barat cenderung mengabaikan, meskipun dibanding biaya perang, bencana kelaparan ini bisa dihilangkan dengan biaya yang lebih sedikit. Bukan pertama kalinya dunia melihat gambar-gambar bayi yang kurus kerempeng di Afrika! Pada tahun 1991-1992, ratusan ribu warga Somalia juga mengalami kelaparan.

Tanggapan dari pemerintahan Muslim yang kaya tidak lebih baik. Penguasa Muslim yang menjadi boneka Barat tidak begitu peduli, lebih memilih membelanjakan harta yang mereka jarah untuk kepentingan yang tidak penting. Qatar membelanjakan $ 430 juta untuk membeli hasil karya seni AS itu, dalam waktu enam tahun. Qatar juga memberi kredit tidak terbatas kepada bank-bank AS selama krisis keuangan global.

Saat anak-anak binasa karena kekurangan gizi, para penguasa Muslim terlalu sibuk membeli bank-bank AS yang bangkrut, membeli vila indah atau klub sepakbola Eropa, Syeikh Mansour membeli Manchester City dengan harga Rp 2,8 trilyun, Sulaiman Al Fahim mengakuisi Portsmouth Rp 986,7 milyar, Pangeran Faisal bin Fand bin Abdullah asal Saudi berniat membeli Liverpool dengan kisaran harga Rp 5,15 trilyun!

Kelaparan di Afrika Timur merupakan masalah bagi seluruh umat Islam di dunia. Solusi untuk masalah ini terletak pada Pemerintah. Reunifikasi negeri-negeri Muslim di bawah Pemerintah Khilafah Islam akan mengakhiri campur tangan asing. Khilafah juga akan memanfaatkan sumber daya untuk memecahkan masalah kebutuhan dasar masyarakat.

Umar bin Khaththab ra Mengatasi Bencana Kelaparan

Umat Islam pernah mengalami bencana kelaparan pada tahun 18 H di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Saat itu beberapa orang Badui terancam nyawanya karena kelaparan dan wabah penyakit. Rakyat dari berbagai kawasan arab berkumpul di Madinah (Ibu Kota Khilafah) untuk mendapat jatah makanan.

Ketika cadangan makanan di Madinah menurun, Umar bin Khaththab ra menulis surat kepada para wali (gubernur) di Mesir, Suriah, Palestina dan Irak untuk mengirim bantuan pangan, Para Gubernur segera mengirim kafilah yang penuh dengan makan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Umar ra mengirim pegawainya di rute Irak, Palestina dan Suriah mengambil makanan itu. Segera setelah itu mengirimkan makanan ke wilayah pedalaman. Tindakan ini menyelamatkan jutaan orang dari kelaparan.

Khalifah Umar bin Khaththab ra mengawasi langsung makan para pengungsi di Madinah yang jumlahnya lebih dari seratus ribu orang. Pada awal abad ke 19 H, kondisi mulai membaik. Khalifah dengan serius mengawasi rehabilitasi penduduk yang dipindah.

Apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab sesungguhnya bisa dilaksanakan oleh kaum Muslimin saat ini seandainya umat Islam memiliki Khilafah yang mempersatukan umat Islam. Khalifah akan segera mengirim surat dengan cepat ke wilayah negeri Islam lainnya yang kaya untuk membantu rakyat Somalia. Dengan transportasi dan komunikasi yang lebih canggih saat ini, masalah kelaparan ini akan segera bisa diatasi. Jadi persoalannya, bukanlah persoalan ekonomi, tapi persoalan politik. Umat saat ini tidak lagi memiliki Khilafah.


1 komentar:

  1. Anonim25/9/11

    Masyarakatnya juga, kalo dalam diri masing masing individu nilai- nilai Islam ditanamkan dan diamalkan, Insya Allah semua problem dapat diatasi. Kita perlu aksi bukan hanya janji.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.