Header Ads

Siapakah yang Salah Dibalik Merosotnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar?

Siapakah yang Salah Dibalik Merosotnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar?
Semenjak nilai rupiah merosot terhadap dolar secara terus-menerus hingga mencapai lebih 14.000 rupiah per 1 US$, banyak pihak mulai menyalahkan pihak lain. Ada yang mengatakan, bahwa yang salah di balik merosotnya nilai tukar rupiah adalah si A atau si B, atau negara A atau negara B, atau kejadian ini dan kejadian itu. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa rupiah nilainya tidak merosot, tetapi dolar yang nilainya naik. Pernyataan terakhir ini, seperti mengatakan terhadap fenomena kebotakan “rambutnya tidak rontok, tetapi rambutnya tidak mau tumbuh”, atau seperti kemarau panjang sehingga terjadi kelangkaan air lalu dikatakan “kita tidak mengalami kekeringan, tetapi hanya tak ada air”. Itu hanyalah akrobat kata-kata yang tak ada nilainya.

Kita akan memfokuskan lagi pertanyaan: siapa yang salah dibaliknya merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar? Jika kita teliti dan cermat dalam mengkaji masalah ini, serta berani berfikir “out of the box”, maka akan sangat mudah bagi kita untuk menjawab siapa yang salah dibalik fenomena ini. Dengan tegas saya katakan yang salah adalah: RUPIAH dan DOLAR. Lho kok?



*****

Pasti banyak yang menganggap bahwa saya bercanda. Tidak. Saya tidak bercanda. Saya serius. Untuk apa bercanda dalam urusan umat seperti ini?

Ya benar. Yang salah adalah RUPIAH dan DOLAR. Mengapa nilai rupiah harus merosot? Mengapa nilai dolar harus naik? Seharusnya rupiah sebagai mata uang tidak boleh naik dan seharusnya dolar sebagai mata uang juga tidak boleh naik. Jika keduanya naik atau turun, berarti yang salah adalah rupiah dan dolar itu sendiri.

Sebagai mata uang atau standar untuk menilai barang dan jasa, seharusnya uang menjadi standar. Ia tidak boleh naik, juga tidak boleh turun.

Apa gunanya ia dijadikan standar jika ia sendiri tidak standar?

Sungguh tak masuk akal menjadikan sesuatu sebagai standar jika ia sendiri tidak standar. Ini seperti menjadikan seseorang menjadi guru bahasa Inggris, tetapi ia sendiri tidak mengerti bahasa Inggris.

Coba sekarang kita pikirkan: Atas dasar apa dua kertas yang sama lalu dicetak, yang satu diberi tulisan 1000 rupiah dan yang satunya lagi diberi tulisan 100.000 rupiah, kemudian kedua kertas tadi memiliki perbedaan nilai 100 kali lipat? Apa jadinya seandainya kertas lain ditulisi angka 1.000.000 rupiah? Jika kita beli buku seharga 50.000 rupiah, bisakah kita bayar dengan sobekan setengah dari uang 100.000 rupiah?

Juga, atas dasar apa kertas yang sama saat ditulisi angka 100 dolar, nilainya bisa berpuluh-puluh lipat dari uang 100.000 rupiah? Apakah kualitas kertas dolar memang berpuluh-puluh lipat lebih bagus sehingga lebih mahal? Padahal rupiah dicetak full-color, sementara dolar dicetak hitam-putih.

Yang mengejutkan adalah, bahwa ternyata untuk menuliskan angka-angka tertentu di kertas tadi tidak ada dasarnya sama sekali. Kertas tersebut hanya dicetak dan diberi angka sesuai keinginan pencetaknya. Uang kertas atau fiat money seperti itu menjadi bernilai hanya karena memang dipaksakan oleh otoritas yang ada (OTORITAS di sini ternyata BUKAN NEGARA, tetapi BANK SENTRAL di suatu negara. Coba perhatian siapa yang bertanda tangan di uang rupiah atau uang apapun. Yang bertanda tangan adalah dewan gubernur bank sentral). Akibatnya, nilai uang tersebut mengikuti kepercayaan masyarakat terhadap otoritas yang memaksanya tadi. Saat kepercayaan naik, maka nilainya ikut naik, dan saat kepercayaan turun, maka nilainya juga ikut turun.

Jadi, uang rupiah dan dolar tersebut, sama sekali bukan sebagai standar. Tetapi problemnya ia dijadikan sebagai standar untuk menilai barang dan jasa yang diusahakan oleh masyarakat banyak. Akibatnya, masyarakat harus mandi keringat dan banting tulang dalam memproduksi barang dan jasa, lalu sebagai imbalan diberi kertas, tetapi tragisnya kertas tadi tidak bernilai atau nilainya merosot terus.

Mungkin muncul pertanyaan: Jika dalam mencetak uang kertas itu tidak ada dasarnya, mengapa otoritas tidak mencetak sebanyak-banyaknya? Jawabnya, jika kertas tadi dicetak terlalu banyak, maka nilainya akan turun atau harga barang-barang dan jasa akan naik. Ini yang disebut inflasi. Meski demikian hubungan antara inflasi dengan kenaikan percetakan uang kertas juga cukup rumit.

Untuk kasus dolar bagaimana? Untuk dolar kasus berbeda. Saat dolar dicetak besar-besaran, sebetulnya juga terjadi inflasi besar-besaran, tetapi inflasi itu ditanggung oleh masyarakat seluruh dunia, bukan hanya oleh AMERIKA saja, hal ini karena dolar dijadikan standar dan diterima di seluruh dunia. Seandainya, seluruh masyarakat dunia mengembalikan uang dolar ke Amerika agar diganti barang dan jasa, maka seluruh barang dan jasa di Amerika akan habis, bahkan masih utang. Ibaratnya sebuah rumah tangga hanya memiliki barang seharga 1 juta, tetapi ia mengeluarkan “kertas pengganti kekayaannya” sebesar 100 juta. Ini terjadi karena dua hal, yakni karena “hebatnya” Amerika yang dapat memaksa penduduk dunia, atau karena “lemahnya” atau “bodohnya” dunia yang mau ditipu oleh Amerika.

Inilah bagian dari alat penjajahan Amerika terhadap penduduk dunia. Nnegara lain disuruh memproduksi barang dan jasa sebanyak-banyaknya, sementara Amerika hanya memproduksi KERTAS dan SENJATA. Kertas produksinya (dolar) harus diterima untuk menukar barang dan jasa, dan jika kertasnya tidak diterima maka SENJATANYA akan ditodongkan kepada pihak-pihak yang tidak mau menerima uang kertas produksinya.

Luar binasa bukan??? Eh, luar biasa bukan?

*****

Apakah uang kertas dan dominasi dolar atas dunia ini merupakan sesuatu yang alamiah? Artinya, apakah kejadian itu terjadi sejak zaman dahulu kala dan akan terjadi terus hingga hari kiamat?

Sebenarnya, fenomena itu baru terjadi “kemarin sore”. Dahulu, manusia di seluruh dunia menggunakan emas dan perak (atau dinar dan dirham) sebagai mata uang. Dengan emas dan perak ini, mata uang benar-benar stabil dan menjadi standar. Sekedar contoh, untuk membeli kambing pada 1400 tahun yang lalu sekitar 1 dinar, dan pada zaman sekarang harga kambing juga masih tetap sekitar 1 dinar (sekitar 2.000.000 rupiah). Coba bandingkan dengan rupiah, sepuluh tahun yang lalu harga kambing masih sekitar 500.000 ribu rupiah. Berati hanya dalam waktu 10 tahun saja, rupiah sudah mengalami penurunan lebih dari 400%. Apakah ini yang namanya standar?

Dengan mata uang emas dan perak, perekonomian menjadi stabil, meski telah terjadi dinamika sosial dan politik di masyarakat.

Seluruh dunia terus menggunakan standar emas dan perak itu sebagai mata uang sampai beberapa saat sebelum Perang Dunia I, ketika penggunaan standar tersebut dihentikan. Seusai Perang Dunia I, standar emas dan perak kembali diberlakukan secara parsial. Kemudian penggunaannya semakin berkurang dan pada tanggal 15 Juli 1971 standar tersebut secara resmi dihapus, saat dibatalkannya sistem Bretton Woods yang menetapkan bahwa dolar harus ditopang dengan jaminan emas dan mempunyai harga yang tetap.

Dengan demikian, sistem uang yang berlaku adalah sistem uang kertas inkonvertibel, yang tidak ditopang jaminan emas dan perak, tidak mewakili emas dan perak, dan tidak pula mempunyai nilai intrinsik. Nilai pada uang kertas tersebut hanya bersumber dari undang-undang yang memaksakan penggunaannya sebagai alat pembayaran yang sah.

Amerika dan negara-negara imperialis telah memanfaatkan uang tersebut sebagai salah satu alat penjajahan. Mereka mempermainkan mata uang dunia sesuai dengan kepentingan-kepentingannya dan membangkitkan goncangan-goncangan moneter serta krisis-krisis ekonomi. Mereka juga memperbanyak penerbitan uang kertas inkonvertibel tersebut, sehingga berkecamuklah inflasi yang menggila, yang akhirnya menurunkan daya beli pada uang tersebut. Inilah salah satu faktor yang menimbulkan kekacauan dunia dan memiskinkan dunia, meski memang tidak dipungkiri sistem ini telah membuat kaya-raya segelintir atau beberapa gelintir orang.

*****

Jadi, yang seharusnya paling disalahkan atas merosotnya nilai tukar ripiah dan dolar, adalah RUPIAH dan DOLAR itu sendiri.

Selama, sistem moneter yang digunakan adalah uang kertas yang tak diback-up emas dan perak, maka selama itu pula, sistem mata uang akan selalu membuat gonjang-ganjing, dan umat manusia akan dijadikan jajahan oleh negara-negara imperialis.

Satu hal yang cukup menggembirakan dari berbagai petaka yang terjadi saat ini adalah membuat orang-orang semakin sadar bahwa kita berada di jalan keliru. Saat ini, banyak orang yang telah memahami bahwa sistem uang kertas (fiat money) adalah sistem yang keliru. Mereka mulai sadar bahwa sistem mata uang yang digunakan harus berdasar sesuatu yang memang layak dijadikan standar, yaitu EMAS dan PERAK. Inilah yang dinamakan blessing in disguish (berkah terselubung dari petaka yang terjadi).

Akhirnya, saat ini mulai banyak orang yang mengenalkan emas dan perak, dan banyak rekomendasi agar kita berinvestasi menggunakan emas dan perak. Emas dan perak disimpan dengan suatu harapan nilai mata uang kertas (fiat money) nilainya turun.

Dari fenomena ini tergambar, meski kita telah tersadar dari kesesatan karena menggunakan uang kertas (fiat money) dan meninggalkan sistem mata uang emas dan perak, namun kita tersesat kembali karena menggunakan emas dan perak bukan sebagai alat tukar, tetapi sebagai alat untuk investasi. Hal ini terjadi, karena kita mencoba mencari solusi atas problem besar yang ditimbulkan kapitalisme, tetapi kita masih menggunakan sistem kapitalisme itu sendiri.

Harus diketahui dengan sejelas-jelasnya, bahwa problem mata uang, hanyalah satu problem, dari problem-problem sistem ekonomi kapitalisme. Dan sistem ekonomi kapitalisme, hanyalah satu problem dari problem-problem ideologi kapitalisme.

Untuk mengubah dari sistem fiat money menjadi emas dan perak memang tidak sesederhana yang dipikirkan oleh para ekonom. Perubahan ini membutuhkan perubahan yang fundamental masyarakat dunia. Perubahan ini membutuhkan perubahan yang fundamental atas ideologi dunia, yaitu cara memandang kehidupan dan berbagai permasalahan yang muncul di dunia ini.

Perubahan dari fiat money menjadi emas dan perak, mengharuskan perubahan sistem politik global dari politik kapitalisme menjadi Khilafah, dan perubahan ini mengharuskan perubahan ideologi dari kapitalsime menjadi Islam. Untuk itu diperlukan perjuangan dakwah yang teramat-sangat fundamental, dan dakwah tersebut harus dilakukan dengan teramat-sangat sungguh-sungguh. Perubahan iini harus diawali perubahan ideologi secara masif.

Hanya dengan itu, dunia akan berubah. Hanya dengan itu, kita tidak ditipu lagi oleh kertas yang digambari foto leluhur kita yang berpose dengan deretan angka nol.

Wallahu a’lam bish showab.

Oleh M Choirul Anam
https://www.facebook.com/choirul.anam.94617/posts/739285209530848
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.