Header Ads

KH. Hasyim Asy'ari : Umat Islam itu Laksana Satu Tubuh

KH. Hasyim Asy'ari : Umat Islam itu Laksana Satu Tubuh
Islam adalah ajaran yang satu. Islam datang dari tuhan yang satu, yaitu Allah swt. Islam didakwahkan oleh nabi yang satu, yaitu Rasulullah Muhammad saw. Islam memiliki kitab suci yang satu, yaitu al-qur’an al-karim. Islam memiliki kiblat yang satu, yaitu ka’bah. Karena itu, Islam itu satu dan hanya satu. Tidak ada Islam Arab, Islam Eropa atau Islam Indonesia.

Umat Islam, juga umat yang satu (ummatan waahidah), meski mereka memiliki kebangsaan yang berbeda-beda, seperti Arab, Romawi, Persia, Habasyah, Indonesia, Malaysia, dan lain-lain. Memang benar, saat Islam disebarkan ke pelosok dunia (karena memang Islam adalah ajaran yang akan memberi rahmat kepada seluruh alam), Islam berinteraksi dengan adat, dan kebiasaan, dan budaya masyarakat. Namun, Islam tetaplah ajaran yang satu dan umat Islam tetaplah umat yang satu. Memang terkadang ada perbedaan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah hal yang prinsipil. Kalaupun ada berbedaan, maka perbedaan itu hanyalah tentang kebiasaan, adat dan budaya yang tak bertentangan dengan Islam.



Umat Islam dari bangsa manapun adalah saudara. Mereka ibarat tubuh yang satu, jika ada bagian yang sakit, maka bagian yang lain juga merasakan sakit. Meskipun mereka memiliki latar belakang, bangsa dan budaya yang berbeda, mereka adalah seperti satu bangunan. Satu bagian menguatkan bagian yang lain. Keragaman bangsa dan budaya adalah material untuk membangun peradaban Islam yang diyakini akan membawa kesejahteraan dan keadilan umat manusia. Mereka semua sadar, bahwa mereka memang memiliki perbedaan, tetapi perbedaan tersebut dipahami bukan sebagai hal fundamental yang memecah-belah mereka, tetapi perbedaan tersebut sebagai faktor penguat mereka. Adanya umat Islam di Indonesia, di Arab, di Amerika, di Eropa, di Afrika dan lain-lain, maka itu menunjukkan bahwa Islam memang ajaran universal (lil alamin) yang diturunkan Allah swt untuk semua umat manusia, tanpa memandang kebangsaan dan perbedaan lainnya. Memang, tidak dipungkiri, kulit orang Eropa beda dengan orang Indonesia, bahasa bangsa Eropa juga beda dengan bahasa orang Indonesia, tetapi mereka adalah umat yang satu, yaitu umat Muhammad. Mereka tidak membanggakan kulit, adat, kebiasaan, budaya dan yang lain. Mereka mengakuai adanya perbedaan, tetapi tidak pernah menonjolkan perbedaan.

Mereka semua memahami bahwa saat ini mereka hidup di dunia ini sedang menjalani episode penentuan, baik mereka berada di timur atau barat, di selatan atau di barat. Dan mereka semua paham, akhir kehidupan mereka juga sama, yaitu menghadap Allah swt, Tuhan pemilik barat, timur, selatan dan utara. Itulah umat Islam. Itulah umat yang satu. Itulah umat Muhammad saw.

Sampai akhirnya, kesadaran itu digerogoti oleh setan. Umat mulai ditunggangi oleh nafsu. Kesadaran bahwa umat Islam adalah umat yang satu mulai hilang dari diri umat Islam. Umat Islam yang di Arab, merasa bangga dengan kearabannya, dan tak peduli dengan umat Islam di luar Arab. Umat Islam yang di Turki, merasa bangga dengan keturkiannya, dan tak peduli dengan umat Islam di luar Turki. Umat Islam di Indonesia merasa bangga dengan keindonesiaannya, dan tak peduli dengan umat Islam di luar Indonesia.

Merak merasa lebih hebat dan lebih baik dari yang lain. Saat umat Islam di suatu tempat mengalami peperangan, umat Islam di tempat lain bukan mambantu, tetapi justru menyalahkan umat yang diperangi dan membanggakan dirinya bahwa mereka adalah umat Islam yang damai. Saat umat Islam di suatu tempat mengalami kelaparan, umat Islam di tempat lain bukan mambantu, tetapi justru menyalahkan dan membanggakan dirinya karena merasa dapat memenuhi kebutuhan dirinya. Saat umat Islam di suatu tempat mengalami kebodohan, umat Islam di tempat lain bukan membantu menyelesaikan kebodohan, tetapi justru menyalahkan dan membanggakan dirinya sebagai orang cerdas.

Umat Islam, kini memang banyak yang tertipu oleh bujuk rayu setan. Padahal inilah musibah yang sangat besar. Inilah musibah di atas musibah. Perbedaan sebesar “semut hitam” dalam urusan khilafiyah, sudah cukup untuk saling mengkafirkan, membid’ahkan, dan kalau perlu perang saudara. Masalah membaca fatihah untuk orang yang telah wafat, yang oleh para ulama salaf memang terjadi perbedaan dan mereka tetap saling mencintai dengan sesama dalam perbedaan, tetapi bagi umat Islam sekarang, masalah tadi sudah cukup untuk menjadi alasan permusuhan dan saling merendahkan. Yang tidak setuju, menganggap membaca fatihah adalah tindakan bid’ah, sesat, menyimpang dari sunnah dan sebutan lain yang membuat telinga jadi “merah”. seakan-akan tidak ada masalah lain yang lebih krusial, lebih urgen dan lebih mendesak untuk diselesaikan. Sementara yang mengamalkan membaca fatihah, merasa hal itu sebagai permasalahan qoth’i dan mereka juga menuduh pihak lain sebagai wahaby, ekstrimis, orang yang tak bisa berbeda pendapat dan lain sebagainya. Inilah fitnah yang luar biasa. Masalah khilafiyah dianggap sebagai masalah qoth’i, sementara masalah qoth’i dianggap sebagai masalah khilafiyah.

Dalam suasana yang sangat menyayat hati ini, umat harus sadar bahwa mereka adalah umat yang satu. Perbedaan-perbedaan dalam urusan furu’ biarlah menjadi warna indah yang menghiasi umat ini. Mereka harus bersatu dalam urusan-urusan yang menuntut mereka harus bersatu, sebagai satu umat. Umat harus bersatu dalam satu kememimpinan Islam, di bawah naungan Khilafah Rosyidah.

Berikut ini merupakan nasihat dari Syeikh Hasyim Asy’ari dan mengingatkan kepada kita bahwa kita adalah umat yang satu. Kita dinasehati bahwa hal itu pula yang diajarkan oleh Rasulullah saw dan generasi salafus sholih yang telah mendahului kita. Nasihat tersebut, beliau tulis dalam kitab yang berjudul Irsyadul Mukminin Ilaa Siirati Sayyidil Mursalin Wa Man Tabi’ahu Min Ashshohabati wat Tabi’in, pada bab Al-Ittihad Wash Shuhbah, hal 18-20. Berikut ini terjemahan bebasnya.

*****

PERSATUAN DAN PERSAHABATAN

Rasulullah saw semenjak kecil telah mencintai teman-teman dan kawan-kawannya. Beliau mencintai mereka, sebagaimana beliau mencintai dirinya sendiri. Beliau tidak pernah berkelahi atau bermusuhan dengan mereka. Bahkan, jika ada sebagian mereka yang menyakiti, beliau mengampuninya dan menanggungnya dengan ikhlas. Beliau selalu menjaga hak-hak mereka. Beliau bergaul dengan sebaik-baiknya (ahsanul mu’amalah). Beliau selalu membimbing mereka agar mereka semua menjadi baik dan beliau melarang apa saja yang tak berguna bagi mereka. Beliau sangat tidak suka mendengarkan ghibah dan adu domba (namimah). Beliau melarang hal itu sekeras-kerasnya, karena hal itu merupakan sebab dari perpecahan diantara kawan dan teman. Ketika ada orang yang mengatakan sesuatu tentang temannya yang tidak disukainya, beliau lebih memilih berpaling. Inilah prilaku yang sangat terpuji. Perilaku ini terus beliau jaga sampai beliau diutus Allah swt sebagai rasul kepada seluruh umat manusia.

Diantara sikap beliau yang sangat menjaga hak-hak teman-temannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari Ali bin Abi Thalib (karromallahu wajhahu) bahwa Nabi saw bersabda: “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Dia telah menikahkan anaknya denganku. Dia telah menemani aku dalam hijrah menuju ke darul hijrah (Madinah). Dia telah memerdekakan Bilal dengan hartanya. Tiada uang yang lebih bermanfaat kepadaku di dalam Islam, kecuali hartanya Abu Bakar”, dan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radliyallhu anhum, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik teman adalah yang paling baik kepada temannya. Sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik kepada tetangganya”.

Rasulullah saw sungguh sangat mencintai persaudaraan dan persatuan. Beliau sangat membenci perpecahan dan permusuhan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radliyallahu anhu, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian saling bermusuhan, jangan saling membelakangi, jangan saling mencela, dan jangan saling iri. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Sungguh tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga (hari)”. Sungguh Rasulullah telah mempersaudarakan para sahabat anshor dan sahabat muhajirin. Mereka semua menjadi saudara, bahkan melebihi saudara karena faktor keturunan (nasab). Rasulullah mempersaudarakan Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan Kharijah bin Zuhair, beliau mempersaudarakan Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’adz bin Jabal, beliau mempersaudarakan Umar bin Khattab dengan Atban bin Malik, beliau mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Saad bin Rabi’, semoga Allah meridloi mereka semua. Rasulullah telah menetapkan bahwa mereka akan mewarisi harta benda. Namun, kemudian turun ayat: “Ulul arham (orang yang memiliki kekeluargaan karena nasab) lebih berhak antara satu dengan yang lain di dalam kitab Allah”. Ayat ini telah menghapus (menasakh) pewarisan yang disebutkan oleh Nabi, tetapi persaudaraan Islam menjadi lebih kuat diantara mereka. Mereka tidak sedikitpun berkurang dalam hal persaudaraan dan persatuan. Tetapi mereka seperti TUBUH YANG SATU (kal jasadil wahid), jika bagian tubuh sakit, maka bagian tubuh yang lain merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan demam.

*****

Itulah persaudaraan dan persatuan di dalam Islam yang telah diajarkan oleh Nabi kita, para sahabat Nabi saw, para salafus sholih, dan juga diajarkan oleh para ulama kita. Jika kita, umat Islam tak mau bersatu dan bersaudara, tetapi lebih suka bermusuhan, saling merendahkan, saling menghina, saling membid’ahkan, saling mengkufurkan, saling menyesatkan, saling membinasakan, dan saling membenci, sebenarnya siapa yang kita ikuti di dalam hidup ini? Kita mengatakan mengikuti sunnah, tetapi prilaku kita menunjukkan kalau kita mengikuti setan.

Memang benar bahwa bahwa perbedaan itu sudah ada semenjak zaman para sahabat, para imam Madzhab, para imam sesudahnya, tetapi mereka tetap saling menyayangi dan bersaudara diantara mereka. Perbedaan dalam masalah furu' yang khilafiyah mereka sikapi dengan benar. Mereka tetap mengamalkan pedapat yang dianggapnya lebih kuat, tetapi mereka mengharai pendapat lain sebagai ra’yun islamiyyun (pendapat yang juga islami).

Memang benar bahwa adanya perbedaan bangsa itu sudah ada semenjak zaman sahabat. Tidak kita mendengar sahabat Bilal yang dari Habasyah (al-Habsy), sahabat Salman yang dari Persia (al-Farisi), sahabat Suhaib yang dari Romawi (ar-Ruumy) dan lain-lain?. Mereka semua sadar bahwa mereka memiliki perbedaan kebangsaan, tetapi faktor pemersatu mereka lebih kuat dari sekedar perbedaan bangsa, yaitu akidah Islam. Dengan akidah Islam itu, mereka merasa sebagai umat yang satu. Dengan keyakinan itu pula mereka berharap mendapatkan janji Allah yang satu, yaitu jannah.

Tidak ada kapling surga untuk orang Indonesia, orang Arab, atau orang manapun. Surga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Islam semua, darimanapun mereka berasal.

Wallahu a’lam bis showab.

Diterjemahkan M Choirul Anam (Penulis Buku Cinta Indonesia Rindu Khilafah)
[www.al-khilafah.org]





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.