Header Ads

Kristen, Lempar Batu Sembunyi Tangan

Oleh : Mujiyanto

Nama Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin tiba-tiba mencuat ke permukaan. Seolah-olah ada masalah besar di dalam pembangunan gereja tersebut. Sampai-sampai Dewan Gereja Internasional harus turun tangan meninjau bangunan gereja yang belum jadi.

Padahal, masalahnya sepele. Gereja yang berlokasi di Jl. KH Abdullah bin Nuh, Bogor, Jawa Barat itu ternyata tak memenuhi aturan negara dalam membangun gereja. Memang pernah Walikota Bogor mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi gereja tersebut, lalu dibekukan.

Kalangan Kristen menggugat ke Mahkamah Agung (MA) agar pembekuan dicabut. Gugatan mereka dimenangkan. Walikota kemudian mencabut pembekuan itu dan kemudian mencabut IMB. Pasalnya, dalam proses hukum di pengadilan negeri Bogor, terbukti bahwa tanda tangan yang dibubuhkan warga di Surat persetujuan warga terhadap pembangun gereja itu ternyata palsu.

Selain masalah itu, ternyata dari 10 KK Katolik dan delapan KK Kristen Protestan tidak ada satupun yang menjadi jemaat gereja tersebut. Dan sejak semula warga setempat memang tidak setuju dengan pendirian gereja di daerah tersebut.

Namun bukannya mengakui kesalahan tersebut, pihak GKI Yasmin justru mengangkat isu ini agar menasional. Tokoh lintas agama Bondan Gunawan bersama jemaat GKI merusak Segel yang dipasang di pintu gerbang gereja tersebut. Mereka pun menggelar kebaktian di atas rumput.

Ketika mereka dilarang masuk, setiap Minggu mereka menggelar kebaktian di trotoar, tepat di depan bangunan yang belum jadi itu. Kontan masyarakat sekitarnya resah. Tak cukup itu, mereka melaporkan kasus ini ke Komnas HAM, DPR, hingga ke Dewan Gereja Internasional sam¬pai ke Vatikan. Tindakan mereka itu mendapat dukungan dari LSM liberal dan media massa sekuler.

Kurang ajarnya, pihak Kristen menuduh kaum Muslim telah melakukan 'serangan' kepada mereka. Itu diungkapkan oleh Ketua Konferensi Wali gereja Indonesia (KWI) Uskup Martinus Dogma Situmorang, Selasa (04/10), yang notabene pimpinan tertinggi orang-orang Kristen Protestan di Indonesia. Sebelumnya, Sekjen Dewan Gereja Internasional menuding telah terjadi diskriminasi atas umat Kristen di Indonesia.

Dengan bantuan media pro Kristen dan Barat, mereka melakukan propaganda hitam terhadap kaum Muslim di Indonesia. Seolah-olah kaum Muslim ini adalah biang dari segala keburukan yang mereka alami. Apanya yang diserang?

Padahal, fakta menunjukkan justru umat Islam Indonesia bisa dikatakan terlalu toleran terhadap mereka. Semua hak mereka telah diberikan tapi itu dirasa masih belum cukup. Sementara kaum Muslim yang berada di wilayah mayoritas Kristen malah tertindas dan tidak mampu mengekspresikan diri.

Sikap arogan Kristen ditunjukkan manakala mereka jumlahnya cukup banyak. Kasus pembantaian Ambon 1999 menjadi bukti nyata betapa mereka tak punya toleransi sama sekali terhadap kaum Muslim. Jangankan hak, nyawa pun tak dihargai. Saat kaum Muslimin sedang merayakan Idul Fitri tiba-tiba mereka membunuhinya. Demikian pula dalam kasus Poso, ribuan orang mereka bantai seperti mencincang binatang.

Ini mengingatkan kita pada peristiwa di Andalusia. Saat kaum Muslimin berkuasa hampir selama 700 tahun, kaum Kristen diberi tempat sama dan sejajar dengan kaum Muslim. Mereka menikmati kesejahteraan dan kemajuan. Namun begitu mereka berkuasa, kebencian mereka terhadap kaum Muslim muncul. Mereka membunuh semua orang yang beragama Islam tanpa tersisa satupun. Apakah ini namanya ajaran kasih?

Modus-modus seperti yang terjadi di GKI Yasmin ini cukup banyak terjadi di Indonesia. Mereka berani menghalalkan segala cara untuk memuluskan niatnya. Sepertinya bagi mereka tidak ada dosa kalau itu menyangkut tindak kejahatan terhadap orang Muslim.

Saat tersudut dan ketahuan, mereka memainkan opini yang bisa membalik keadaan. Mereka menggunakan jargon hak asasi manusia, (HAM) sebagai tameng. Seolah-olah apa yang mereka lakukan sudah benar dan dihalang-halangi oleh kaum Muslim. Kaum Muslim dituding melanggar HAM.

Dari berbagai peristiwa serupa, tampak sekali kaitan antara gereja, HAM, dan kekuatan global. Kebebasan beragama yang digembor-gemborkan hanya berlaku bagi mereka tapi tidak bagi kaum Muslim. Lihat bagaimana kaum Muslim di Papua atau di luar negeri yang mayoritas penduduknya Kristen.

Gerak gereja pun membawa misi kristenisasi. Ini suatu hal yang tidak terbantahkan. Soalnya, masuknya Kristen ke Indonesia pun bersamaan dengan masuknya penjajah. Maka tidak heran dukungan internasional terhadap kasus gereja sangat besar. Coba apa ada dunia atau HAM internasional yang mempermasalahkan pembakaran masjid atau pembantaian kaum Muslim oleh pihak Kristen?

Kekuatan global ada di balik para misionaris.Tujuannya, mereka menginginkan situasi yang kondusif bagi penjajahan mereka di negeri-negeri Islam. Tentu masyarakat yang mayoritas Kristen dan pro Kristen—seperti kalangan liberal—akan mendukung kebijakan penjajahan Barat.

Sebaliknya jika kaum Muslimin kian terikat dengan agamanya, mereka dianggap akan membahayakan eksistensi Barat di dunia Islam. Apalah lagi jika kaum Muslimin berhasil menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Barat dan Kristen tidak menginginkan itu karena itu berarti bunuh diri.

Jangan kaget bila program deradikalisasi sekarang marak disampaikan di mana-mana. Mereka sulit memurtadkan kaum Muslim, maka deradikalisasi menjadi jalan alternatif. Minimal untuk menjadikan umat Islam jauh dari ajarannya. Maka, deradikalisasi sama bahayanya dengan kristenisasi!

Nah, satu-satunya jalan bagi kaum Muslimin adalah bersegera membangun kembali negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Hanya itulah yang bisa menyelamatkan kaum Muslimin dari kekurangajaran pihak gereja dan tipu daya Barat yang kafir!


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.