Telaah Wahyu : Tak Layak Mencari Hakim Selain Allah
Maka patutkah aku mencari hakim
selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Alquran)
kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab
kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Alquran itu diturunkan dari
Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk
orang yang ragu-ragu [TQS al-An’am [6]: 114).
Banyak fakta yang menunjukkan betapa rusaknya ketika manusia, masyarakat, dan negara yang ditata
dengan hukum produk hawa nafsu manusia. Meskipun fakta tersebut dapat
diindera dengan kasat mata, namun seruan untuk segera mencampakkan hukum
jahiliyyah itu seraya segera menerapkan syariah, masih banyak mendapat
penolakan. Padahal, tidak ada satu pun argumentasi yang dapat diterima
untuk mendukung dan membenarkan penolakan tersebut.
Manusia tidak layak mengambil dan
menerapkan hukum buatan manusia, amat banyak dijelaskan dalam ayat
maupun hadits Nabi SAW. Ayat ini adalah di antaranya.
Hanya kepada Allah
Allah SWT berfirman: Afaghayrul-Lâh abghîhakam[an]
(maka patutkah aku mencari hakim selain Allah).Dijelaskan al-Baghawi
bahwa sesungguhnya dalam ayat ini terdapat kata yang disembunyikan,
yakni: Katakan kepada mereka, wahai Muhammad, apakah kepada selain Allah
saya mencari hakim antara aku dan kalian? Menurut Abu Hayyan, kaum
Musyrikin Arab berkata kepada Nabi SAW, “Jadikanlah antara kami dengan
engkau hakim dari pendeta Yahudi atau pendeta Nasrani untuk mengabarkan
kepada kami tentang engkau berdasarkan kitab mereka.” Lalu, turunlah
ayat ini.
Ayat ini diawali dengan hamzah al-istifhâm, huruf yang berguna sebagai kata
tanya. Dalam konteks ayat ini, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani,
al-Alusi, dan al-Biqa’i, kata tersebut memberikan makna al-inkârî. Yakni
kalimat tanya yang bertujuan mengingkari perkara yang disebutkan. Bisa
juga bermakna al-nafiyy (menegasikan) sebagaimana diterangkan Abu Hayyan
al-Andalusi. Dalam Alquran, cukup banyak uslub seperti ini, seperti
firman Allah SWT: Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari
agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di
langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada
Allahlah mereka dikembalikan (TQS Ali Imran [3]: 83).
Perkara yang diingkari dan
dinafikan dalam ayat ini adalah tindakan mencari hakamselain Allah SWT.
Menurutahli bahasa, kata al-hakam semakna dengan kata al-hâkim.Artinya, man yatahâkamu ilayh al-nâs
(orang atau pihak yang menjadi rujukan bagi manusia dalam memutuskan
perkara). Demikian al-Jazairi dalam tafsirnya, Aysar al-tafâsâr. Hanya
saja, menurut sebagian ahli takwil, kata al-hakam lebih sempurna
daripada kata al-hâkim. Sebab, al-hâkim mencakup semua orang yang
menghukumi, sedangkan al-hakam tidak menghukumi kecuali dengan benar.
Demikian Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, Mafâtîh al-Ghayb.
Dengan demikian, ayat ini
memberikan pengingkaran terhadap tindakan orang yang mencari pemutus
perkara dengan keputusan yang benar kepada selain Allah SWT. Selain ayat
ini, amat banyak dalil yang memberikan celaan dan larangan terhadap
orang yang tidak mau berhukum kepada-Nya atau hukum yang diturunkan-Nya,
seperti QS al-Nisa [4]: 60, al-Maidah [5]: 45, 46, dan 47, dan
lain-lain.
Kitab-Nya Sudah Terperinci
Bahwa tindakan mencari hakam selain Allah SWTmerupakan tindakan yang tidak layak, ditegaskan dalam frasa selanjutnya: Wahuwa al-ladzî anzala ilaykum al-Kitâb mufashshal[an]
(padahal Dialah yang telah menurunkan kitab [Alquran] kepadamu dengan
terperinci?).Menurut al-Alusi, kalimat ini berkedudukan sebagai hâl yang
berfungsi muakkidah li al-inkâr (menegaskan makna pengingkaran).
Maksud dari kata al-Kitâb dalam
kalimat ini adalah Alquran.Sebagaimana dijelaskan para mufassir, seperti
al-Syaukani, Ibnu Athiyah, al-Wahidi al-Naisaburi, al-Biqa’i, dan
lain-lain. Sedangkan mufashshal[an], menurut al-Syaukani, berarti mubayyan[an]wâdhih[an] mustawfiyan li kulli qadhiyyah’alâ al-tafshîl (terang, jelas, dan mencukupi untuk semua masalah secara terperinci).
Tak jauh berbeda, al-Alusi juga
memaknainya sebagai mubayyan (terang). Di dalamnya terdapat penjelasan
tentang yang haq dan batil, halal dan haram, dan berbagai hukum lainnya
sehingga tidak ada satu pun perkara agama yang rancu dan samar. Maka
semua kebutuhan sesudah itu, dapat merujuk kepada hukum tersebut.
Bahwa Alquran telah memberikan penjelasan tentang hukum secara menyeluruh juga diberitakan dalam firman-Nya: Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu(TQS
al-Nahl [16]: 89). Juga dalam QS Hud [11]: 10. Oleh karena Alquran
memberikan penjelasan secara menyeluruh dan terperinci, maka manusia
tidak memerlukan lagi hukum-hukum lainnya dalam perkara al-dîn. Mengapa
masih mencari yang lain sementara semua jawaban atas pertanyaan hukum
sudah tersedia dalam Alquran?
Realitas Ahli Kitab
Setelah dijelaskan tentang
keharusan berhukum kepada-Nya, kemudian diberitakan mengenai realitas
sesungguhnya Ahli Kitab terhadap Alquran. Allah SWT berfirman: Wal-ladzîna âtaynâhum al-Kitâb ya’lamûna annahu munazzal min Rabbika bi al-haqq(orang-orang
yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa
Alquran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya).Penunjukan kata
al-Kitâbdalam frasa ini berbeda dengan frasa sebelumnya. Sebagaimana
diterangkan al-Biqa’i, kata al-Kitâb dalamfrasa ini menunjuk kepada
Taurat, Zabur, dan Injil. Sehingga, maksud dari orang-orang yang telah
diberikan al-Kitabini adalah Yahudi dan Nasrani. Merekalah kaum yang
telah diberikan kitab-kitab tersebut. Menurut Abu Hayyan, al-Jazairi,
dan al-Shabuni, dalam konteks ayat ini, mereka adalah para pendeta
Yahudi dan Nasrani. Sedangkan dhamîr al-ghâib pada kata annahu menunjuk kepada Alquran.
Diberitakan dalam ayat ini,
sesungguhnya mereka telah mengetahui kebenaran Alquran. Mereka juga
mengetahui bahwa Alquran benar-benar merupakan kitab yang diturunkan
Allah SWT, yang di dalamnya tidak ada perkara yang batil dan meragukan.
Imam al-Qurthubi menafsirkan frasa munazzal min Rabbika bi al-haqq dengan ungkapan: Semua yang ada di dalamnya, baik janji maupun ancaman, merupakan kebenaran.
Menurut sebagian mufassir, seperti
al-Nasafi, maksud dari al-ladzîna âtaynâ al-Kitâb adalah orang-orang
Mukmin yang sebelumnya berasal dari Ahli Kitab, seperti Abdullah bin
Salam dan teman-temannya. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui
kebenaran Alquran.
Akan tetapi tampaknya penafsiran
ini tidak tepat. Sebab ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa selain
mereka (Ahli Kitab) yang masuk Islam, sesungguhnya juga mengetahui
kebenaran Alquran dan kenabian Rasulullah SAW (lihat QS al-Baqarah [2]:
146, al-An’am [6]: 20). Akan tetapi, pengetahuan mereka terhadap
kebenaran Alquran tidak lantas membuat mereka menjadi beriman. Sebagian
besar mereka tetap bersikap ingkar karena kesombongan dan kedengkian
mereka. Allah SWT berfirman: Sebahagian besar Ahli Kitab
menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran
setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran (TQS al-Baqarah [2]: 109).
Bahkan bukan hanya Ahli Kitab,
semua orang yang mau menelaah Alquran niscaya akan berkesimpulan sama.
Sebab, sebagai Kitab yang ditujukan untuk seluruh manusia, kemukjizatan
Alquran dapat dijangkau oleh semua manusia. Oleh karena itu, tatkala
manusia menggunakan akalnya dengan benar pastilah dapat menangkap
kebenaran Alquran.
Kemudian ayatini ditutup dengan firman-Nya: Falâ takûnanna min al-mumtarîn
(maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu).Menurut
al-Alusi, pengertian al-mumtarîn adalah al-mutaraddidîn (orang-orang
yang ragu). Tak jauh berbeda, al-Qurthubi juga menafsirkannya sebagai
al-syâkkîn (orang-orang yang ragu). Yakni, orang-orang yang ragu bahwa
Alquran itu diturunkan Allah.
Khithâb (seruan) ayatini secara zhahir ditujukan kepada Nabi SAW. Seruan tersebut bisa bermakna sebagai al-tahyîj wa al-ilhâb
(membangkitkan dan mengobarkan semangat). Ini sebagaimana firman Allah
SWT: Dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik(TQS
al-An’am [6]: 14). Bisa juga dipahami, bahwa eruan tersebut pada
hakikatnya ditujukan kepada umatnya.
Demikianlah. Tidak ada alasan yang
dapat membenarkan sikap yang menolak hukum yang diturunkan Allah SWT.
Selain hukum tersebut dijamin kebenarannya, juga telah memberikan solusi
permasalahan hidup manusia secara menyeluruh. Termasuk dalam aspek
politik, ekonomi, pendidikan, pergaulan pria-wanita, pidana, dan
lain-lain. Inilah satu-satunya hukum yang akan mengantarkan mansuia
meraih kebahagian di dunia dan akhirat. Wal-lâh a’lam bi al-shawâb. ( Rokhmat S. Labib, M.E.I.)
Ikhtisar:
Tidak layak mencari hakim selain Allah
Sesungguhnya Ahli Kitab mengetahui kebenaran Alquran
Tidak ada komentar