Perda Miras Memang Seharusnya Dicabut
oleh Fahrur Rozi
***
Saya sedikit berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan kebanyakan orang dalam menyikapi salah satu kasus yang sedang menjadi polemik saat ini yakni isu pencabutan berbagi Perda Miras oleh Mendagri Gamawan Fauzi. Mohon maaf, saya pribadi dari dulu tidak pernah sepakat akan keberadaan Perda-perda yang katanya berbau syariah tersebut, salah satunya Perda tentang pelarangan Miras. Tapi Bentar. Jangan curiga dulu yaa..:) kalau terkait bahwa miras itu haram dan wajib dilarang iya saya sangat setuju. 1000% bahkan. Tetapi, hukum haram dan dilarangnya miras tidak boleh digantungkan kepada hukum buatan manusia bernama Perda. Apalagi perda tersebut tidak didasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Walhasil, mari kita coba telaah secara proporsional mengenai perkara ini supaya jelas dimana kita harus berposisi.
Dalam menyikapi polemik ini, Setidaknya ada empat hal yang harus kita dalami secara jernih. Pertama, tentang status hukum Miras dilihat dari sisi hukum Islam (syariat) dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Kedua, tentang status perda-perda yang berbau syariah, termasuk perda pelarangan miras yang dibuat dan berlaku efektif di 9 provinsi/kabupaten-kota. Ketiga, tentang fakta peredaran Miras mulai dari pra produksi, produksi, distribusi, sampai efek dari peredarannya tersebut. Keempat, tentang wacana evaluasi dan pencabutan perda-perda oleh Kemendagri.
Ironi Hukum Miras
Dari sisi Fiqih Islam, hukum miras ((khamr)) telah jelas yakni Haram. Saya rasa terkait ini tidak ada perbedaan pendapat. Jumhur ulama salafus shalih telah menyepakati itu. MUI pun sebagai lembaga refresentasi ulama yang diakui oleh pemerintah telah mengeluarkan Fatwa No 4 tahun 2003 tentang haramnya Miras. Pun juga termasuk Pemerintah, mulai dari Presiden, anggota DPR, bahkan Mendagri Gamawan Fauzi sekalipun -ketika mereka masih muslim- pastinya juga akan dengan tegas menyatakan bahwa miras itu Haram.
Itu dari sisi hukum agama. Lantas bagaimana status miras menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia? Nah disinilah pangkal masalahnya. Saya mengobrak-abrik puluhan peraturan perundang-undangan yang ada mulai dari UUD 1945 sampai dengan Perda kabupaten/kota, ternyata sejauh ini tidak ada satupun produk hukum negara yang mengharamkan Miras secara mutlak. Inilah salah satu perwujudan dari sekularisasi negeri ini dimana para pembuat hukum mulai dari Presiden, DPR, sampai Bupati memposisikan diri seolah-olah ada diatas Tuhan sang Pencipta sehingga dengan gagahnya berani membuat peraturan-peraturan yang bertentangan dengan keputusan Alloh Swt. Misalnya kita tengok Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Di sana dijelaskan bahwa minuman beralkohol (miras) BOLEH dikonsumsi, diproduksi, dan diperjualbelikan.
Bahkan Perda tentang miras yang saat ini menjadi polemik sekalipun ternyata sama sekali tidak ada klausul tentang pelarangan total miras. Mirisnya, justru perda-perda tersebut menjadi payung hukum (legalisasi) peredaran miras di tempat-tempat tertentu semisal hotel, diskotik, dll. Perda kota Bandung No 11 Tahun 2010 misalnya. Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan, “Penjualan langsung Minuman Beralkohol golongan A, B, dan C hanya DIIZINKAN dijual secara eceran untuk diminum langsung di tempat usaha tertentu.” Tidakkah hal tersebut menjadi bukti bahwa semua peraturan yang ada termasuk perda-perda yang mendompeleng kata ‘syariah’ adalah merupakan salah satu dasar hukum kebolehan produksi, distribusi, dan konsumsi miras di Indonesia? Lantas masih relevankah perda tersebut dipertahankan?.
Ada lagi yang tak kalah lucu yakni Perda kota Tangerang No 7 Tahun 2005 yang digadang-gadang sebagai Perda ‘syariah’ pertama tentang pelarangan minuman keras. Dalam pasal 3 disebutkan, “Setiap orang atau Badan Hukum di Daerah dilarang mengedarkan, dan atau menjual minuman beralkohol golongan A, B dan C.” Sepintas terlihat bahwa Perda yang satu ini lebih tegas daripada perda-perda lain dalam melarang peredaran miras. Namun jika kita tengok pasal berikutnya kita akan menemukan hal aneh, “Siapapun dilarang menjadi penjual langsung untuk diminum ditempat minuman beralkohol golongan A, B dan C, kecuali di :
a. Hotel berbintang 3, 4 dan 5;
b. Restoran dengan Tanda Talam Kencana dan Talam Seloka;
c. Tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sesuai dengan Keputusan/Peraturan Walikota.”
Nah disinilah letak lucunya. Ketika Alloh Swt dengan jelas melarang mutlak minuman keras, kok bisa-bisanya ya seorang manusia bergelar Walikota berani membuat pengecualian tempat-tempat tertentu yang boleh menjual miras? Apa dalilnya? yang lebih aneh lagi ternyata tidak sedikit tokoh yang medukung supaya perda ini tetap ada.
Dari 9 perda miras yang bermasalah tersebut, ada satu lagi yang perlu saya kemukakan disini, yakni Perda kabupaten Manokwari No 5 Tahun 2006. Tahukah kita konsideran pertimbangan utama dari Perda miras tersebut adalah, “bahwa dalam rangka mengaktualisasikan Manokwari sebagai daerah masuknya IJIL pertama kali di tanah Papua, dan yang kini dijuluki sebagai Kota Injil dan Kota Peradaban Orang Papua, maka perlu dilakukan pelarangan terhadap semua aktivitas pemasukan, penyimpanan, pengedaran dan penjualan serta memproduksi minuman beralkohol..” Bukankah ketika kita memprotes keras pencabutan perda tersebut menandakan bahwa kita setuju akan keberadaan perda tersebut yang landasannya notebene adalah untuk mengaktualisasikan Kota Injil? Aneh bin ajaib manakala anggota-anggota Dewan dari Partai Islam ternyata juga ikut mengesahkan Perda tersebut. Ironis!
Jadi jelas, perda-perda tersebut harus dianulir. Tapi tentu bukan oleh Mendagri, bukan pula Presiden. Apalagi jika pertimbangannya hanya karena bertentangan dengan peraturan di atasnya. Lawong baik Perda maupun Keppres kedua-duanya bertentangan dgn aturan Alloh Swt yang dengan tegas mengharamkan Miras. Perda-perda miras sebagaimana produk-produk hukum lainnya yang tidak berlandaskan kepada al-Quran dan as-Sunnah sudah seharusnya dihapus dan digantikan dengan Perda/UU yg menjadikan aturan-aturan Alloh Swt sebagai acuan utama.
Bijak menyikapi Perda Miras
Sebelum membahas lebih dalam tentang perda Miras, mari kita fahami konsesus berikut. Pertama, dari sisi normatif menurut timbangan syariat Islam semua produk hukum yang konsiderannya adalah selain al-Quran dan as-sunnah, maka produk hukum tersebut cacat hukum. Kedua, dari sisi filosofis, jika ditelisik lebih jauh berbagai peraturan-peraturan yang berbau syariah, semisal Perda miras, UU perbankan Syariah, UU Zakat, dll, nyatanya hanya mengambil asas kemanfaatan dari konsepsi Islamnya saja tanpa lebih jauh memperhatikan aspek hukum islam secara komprehensif. Misalnya hukum Islam tentang haramnya Riba (bunga) mengapa tidak dicantumkan dalam klausal UU perbankkan Syariah?
Lantas jika begitu amat absurd kiranya jika –secara filosofis maupun teknis- kita bersikukuh mendukung supaya produk hukum yang sekular tersebut tetap dipertahankan apapun pertimbangannya. Kalaulah ada manfaat praktis dari penerapan produk-produk hukum tersebut, misalnya ada data yang menunjukkan efek penerapan perda miras yakni berkurangya angka kriminalitas, itu Perlu dipertanyakan validitas datanya Sebagai gambaran di kota Bandung saja misalnya, angka kriminalitas tetap tinggi. Bahkan kita acap kali menyimak berita aksi burtal geng motor yang mabuk-mabukan. Saya khawatir mereka mendapat miras bukan dari pasar gelap karena bahkan minimarket seperti, Indomaret, Alfamart, Yomart, dll pun yang jumlah gerainya ribuan buah bisa dengan bebas menjual miras dengan berkedok telah dilegalkan Pemkot berdasarkan Perda Miras yang ada. Bayangkan, jika pada tahun 2010 lalu ada 325 gerai minimarket di kota bandung, masing-masing gerai asumsinya menjual 5 lusin miras/bulan, maka dalam sebulan ada sekitar 19.500 Botol miras yg beredar secara resmi. Itu belum dihitung yang dijual di supermarket, hotel, diskotik, dsb. Jika ditambahkan dengan miras yang beredar secara ilegal maka paling tidak ada 40.000 botol miras yang beredar tiap bulan di kota bandung. Dengan asumsi seperti itu, pantaskah dikatakan bahwa perda miras bisa menekan angka kriminalitas?. Ironis!
Jadi, argumentasi bahwa pemberlakuan Perda Miras bisa menekan angka kriminalitas tidak sepenuhnya benar. Contoh sederhana saja angka kriminalitas di kota Bandung yang memiliki perda miras tak lebih kecil daripada kota-kota besar lainya yang tidak memiliki perda Miras. Selain itu, jika ditilik lebih jauh tentang isinya justru perda ini memiliki andil dalam meningkatkan angka kriminalitas. Kenapa coba?, karena dengan adanya perda ini para pengusaha miras merasa aman karena memilik payung hukum. Dampaknya bisa ditebak, miras semakin mudah diperjualbelikan, bahkan secara legal dijual di minimarket dengan kedok telah mendapat izin walikota sesuai dengan perda yang ada. Innalillah…
Kemudian bagaimana tentang polemik pencabutan perda miras oleh Mendagri? Menurut saya kita tidak seharusnya ikut berpolemik menyangkut hal itu. Karena perda miras ini sesungguhnya ibarat buah Simalakama, jika didukung bisa berujung dosa karena notebene perda tersebut bertentangn dengan syariat. Jika ditolak ditengarai bisa membuat peredaran miras menjadi tidak terkendali. Pemerintah sendiri sedari awal terkesan tidak memiliki komitmen untuk melarang total minuman keras hal ini tergambar dalam Keppres No 3 Th 1997 dan RUU Jaminan Produk Halal yang saat ini sedang dibahas. Jadi jika perda-perda tersebut tetap diprtahankan, tidak ada jaminan sama sekali bahwa generasi kita akan aman dari bahaya miras. Toh juga bahkan di daerah-daerah yang memilik perda miras tersebut saja tingkat peredaran dan konsumsi miras tetap tergolong tinggi. Mau bukti lagi? Tengok aja berita, di Indramayu misalnya masih tetap banyak tuh yang mati konyol gara-gara minum Miras oplosan.
Di balik bisnis Miras
Dibenak kita sudah pasti muncul pertanyaan besar, mengapa pemerintah baik pusat maupun daerah tidak melarang Miras secara total? padahal jika mengacu pada aturan ‘demokrasi’ harusnya jika suara mayoritas menghendaki pelarangan total maka negara wajib melarang total?. Lagi-lagi inilah ironi demokrasi, dimandulkan jika menyangkut penerapan aturan islam.
Setidaknya Ada 2 analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut; Pertama, miras adalah salah satu senjata barat untuk melemahkan dunia ketiga (dunia islam). Menurut Ekonom Robert Fish, miras (drugs) merupakan salah satu dari senjata utama barat (3SDA= Sex, Song, Sport, Drugs, n Alcohol) untuk melemahkan dunia ketiga. Kedua, secara ekonomi bisnis miras sangat-sangat menguntungkn; mnguntungkan bagi pengusaha juga pnguasa.
Saya menyegajakan diri untuk melakukan Investigasi tentang fenomena peredaran miras terutama di 3 daerah yang memiliki perda tersebut yakni di Indramayu, Bandung, dan Tangerang. Saya mendapati beberapa Temuan diantaranya;
***
Saya sedikit berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan kebanyakan orang dalam menyikapi salah satu kasus yang sedang menjadi polemik saat ini yakni isu pencabutan berbagi Perda Miras oleh Mendagri Gamawan Fauzi. Mohon maaf, saya pribadi dari dulu tidak pernah sepakat akan keberadaan Perda-perda yang katanya berbau syariah tersebut, salah satunya Perda tentang pelarangan Miras. Tapi Bentar. Jangan curiga dulu yaa..:) kalau terkait bahwa miras itu haram dan wajib dilarang iya saya sangat setuju. 1000% bahkan. Tetapi, hukum haram dan dilarangnya miras tidak boleh digantungkan kepada hukum buatan manusia bernama Perda. Apalagi perda tersebut tidak didasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Walhasil, mari kita coba telaah secara proporsional mengenai perkara ini supaya jelas dimana kita harus berposisi.
Dalam menyikapi polemik ini, Setidaknya ada empat hal yang harus kita dalami secara jernih. Pertama, tentang status hukum Miras dilihat dari sisi hukum Islam (syariat) dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Kedua, tentang status perda-perda yang berbau syariah, termasuk perda pelarangan miras yang dibuat dan berlaku efektif di 9 provinsi/kabupaten-kota. Ketiga, tentang fakta peredaran Miras mulai dari pra produksi, produksi, distribusi, sampai efek dari peredarannya tersebut. Keempat, tentang wacana evaluasi dan pencabutan perda-perda oleh Kemendagri.
Ironi Hukum Miras
Dari sisi Fiqih Islam, hukum miras ((khamr)) telah jelas yakni Haram. Saya rasa terkait ini tidak ada perbedaan pendapat. Jumhur ulama salafus shalih telah menyepakati itu. MUI pun sebagai lembaga refresentasi ulama yang diakui oleh pemerintah telah mengeluarkan Fatwa No 4 tahun 2003 tentang haramnya Miras. Pun juga termasuk Pemerintah, mulai dari Presiden, anggota DPR, bahkan Mendagri Gamawan Fauzi sekalipun -ketika mereka masih muslim- pastinya juga akan dengan tegas menyatakan bahwa miras itu Haram.
Itu dari sisi hukum agama. Lantas bagaimana status miras menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia? Nah disinilah pangkal masalahnya. Saya mengobrak-abrik puluhan peraturan perundang-undangan yang ada mulai dari UUD 1945 sampai dengan Perda kabupaten/kota, ternyata sejauh ini tidak ada satupun produk hukum negara yang mengharamkan Miras secara mutlak. Inilah salah satu perwujudan dari sekularisasi negeri ini dimana para pembuat hukum mulai dari Presiden, DPR, sampai Bupati memposisikan diri seolah-olah ada diatas Tuhan sang Pencipta sehingga dengan gagahnya berani membuat peraturan-peraturan yang bertentangan dengan keputusan Alloh Swt. Misalnya kita tengok Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Di sana dijelaskan bahwa minuman beralkohol (miras) BOLEH dikonsumsi, diproduksi, dan diperjualbelikan.
Bahkan Perda tentang miras yang saat ini menjadi polemik sekalipun ternyata sama sekali tidak ada klausul tentang pelarangan total miras. Mirisnya, justru perda-perda tersebut menjadi payung hukum (legalisasi) peredaran miras di tempat-tempat tertentu semisal hotel, diskotik, dll. Perda kota Bandung No 11 Tahun 2010 misalnya. Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan, “Penjualan langsung Minuman Beralkohol golongan A, B, dan C hanya DIIZINKAN dijual secara eceran untuk diminum langsung di tempat usaha tertentu.” Tidakkah hal tersebut menjadi bukti bahwa semua peraturan yang ada termasuk perda-perda yang mendompeleng kata ‘syariah’ adalah merupakan salah satu dasar hukum kebolehan produksi, distribusi, dan konsumsi miras di Indonesia? Lantas masih relevankah perda tersebut dipertahankan?.
Ada lagi yang tak kalah lucu yakni Perda kota Tangerang No 7 Tahun 2005 yang digadang-gadang sebagai Perda ‘syariah’ pertama tentang pelarangan minuman keras. Dalam pasal 3 disebutkan, “Setiap orang atau Badan Hukum di Daerah dilarang mengedarkan, dan atau menjual minuman beralkohol golongan A, B dan C.” Sepintas terlihat bahwa Perda yang satu ini lebih tegas daripada perda-perda lain dalam melarang peredaran miras. Namun jika kita tengok pasal berikutnya kita akan menemukan hal aneh, “Siapapun dilarang menjadi penjual langsung untuk diminum ditempat minuman beralkohol golongan A, B dan C, kecuali di :
a. Hotel berbintang 3, 4 dan 5;
b. Restoran dengan Tanda Talam Kencana dan Talam Seloka;
c. Tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sesuai dengan Keputusan/Peraturan Walikota.”
Nah disinilah letak lucunya. Ketika Alloh Swt dengan jelas melarang mutlak minuman keras, kok bisa-bisanya ya seorang manusia bergelar Walikota berani membuat pengecualian tempat-tempat tertentu yang boleh menjual miras? Apa dalilnya? yang lebih aneh lagi ternyata tidak sedikit tokoh yang medukung supaya perda ini tetap ada.
Dari 9 perda miras yang bermasalah tersebut, ada satu lagi yang perlu saya kemukakan disini, yakni Perda kabupaten Manokwari No 5 Tahun 2006. Tahukah kita konsideran pertimbangan utama dari Perda miras tersebut adalah, “bahwa dalam rangka mengaktualisasikan Manokwari sebagai daerah masuknya IJIL pertama kali di tanah Papua, dan yang kini dijuluki sebagai Kota Injil dan Kota Peradaban Orang Papua, maka perlu dilakukan pelarangan terhadap semua aktivitas pemasukan, penyimpanan, pengedaran dan penjualan serta memproduksi minuman beralkohol..” Bukankah ketika kita memprotes keras pencabutan perda tersebut menandakan bahwa kita setuju akan keberadaan perda tersebut yang landasannya notebene adalah untuk mengaktualisasikan Kota Injil? Aneh bin ajaib manakala anggota-anggota Dewan dari Partai Islam ternyata juga ikut mengesahkan Perda tersebut. Ironis!
Jadi jelas, perda-perda tersebut harus dianulir. Tapi tentu bukan oleh Mendagri, bukan pula Presiden. Apalagi jika pertimbangannya hanya karena bertentangan dengan peraturan di atasnya. Lawong baik Perda maupun Keppres kedua-duanya bertentangan dgn aturan Alloh Swt yang dengan tegas mengharamkan Miras. Perda-perda miras sebagaimana produk-produk hukum lainnya yang tidak berlandaskan kepada al-Quran dan as-Sunnah sudah seharusnya dihapus dan digantikan dengan Perda/UU yg menjadikan aturan-aturan Alloh Swt sebagai acuan utama.
Bijak menyikapi Perda Miras
Sebelum membahas lebih dalam tentang perda Miras, mari kita fahami konsesus berikut. Pertama, dari sisi normatif menurut timbangan syariat Islam semua produk hukum yang konsiderannya adalah selain al-Quran dan as-sunnah, maka produk hukum tersebut cacat hukum. Kedua, dari sisi filosofis, jika ditelisik lebih jauh berbagai peraturan-peraturan yang berbau syariah, semisal Perda miras, UU perbankan Syariah, UU Zakat, dll, nyatanya hanya mengambil asas kemanfaatan dari konsepsi Islamnya saja tanpa lebih jauh memperhatikan aspek hukum islam secara komprehensif. Misalnya hukum Islam tentang haramnya Riba (bunga) mengapa tidak dicantumkan dalam klausal UU perbankkan Syariah?
Lantas jika begitu amat absurd kiranya jika –secara filosofis maupun teknis- kita bersikukuh mendukung supaya produk hukum yang sekular tersebut tetap dipertahankan apapun pertimbangannya. Kalaulah ada manfaat praktis dari penerapan produk-produk hukum tersebut, misalnya ada data yang menunjukkan efek penerapan perda miras yakni berkurangya angka kriminalitas, itu Perlu dipertanyakan validitas datanya Sebagai gambaran di kota Bandung saja misalnya, angka kriminalitas tetap tinggi. Bahkan kita acap kali menyimak berita aksi burtal geng motor yang mabuk-mabukan. Saya khawatir mereka mendapat miras bukan dari pasar gelap karena bahkan minimarket seperti, Indomaret, Alfamart, Yomart, dll pun yang jumlah gerainya ribuan buah bisa dengan bebas menjual miras dengan berkedok telah dilegalkan Pemkot berdasarkan Perda Miras yang ada. Bayangkan, jika pada tahun 2010 lalu ada 325 gerai minimarket di kota bandung, masing-masing gerai asumsinya menjual 5 lusin miras/bulan, maka dalam sebulan ada sekitar 19.500 Botol miras yg beredar secara resmi. Itu belum dihitung yang dijual di supermarket, hotel, diskotik, dsb. Jika ditambahkan dengan miras yang beredar secara ilegal maka paling tidak ada 40.000 botol miras yang beredar tiap bulan di kota bandung. Dengan asumsi seperti itu, pantaskah dikatakan bahwa perda miras bisa menekan angka kriminalitas?. Ironis!
Jadi, argumentasi bahwa pemberlakuan Perda Miras bisa menekan angka kriminalitas tidak sepenuhnya benar. Contoh sederhana saja angka kriminalitas di kota Bandung yang memiliki perda miras tak lebih kecil daripada kota-kota besar lainya yang tidak memiliki perda Miras. Selain itu, jika ditilik lebih jauh tentang isinya justru perda ini memiliki andil dalam meningkatkan angka kriminalitas. Kenapa coba?, karena dengan adanya perda ini para pengusaha miras merasa aman karena memilik payung hukum. Dampaknya bisa ditebak, miras semakin mudah diperjualbelikan, bahkan secara legal dijual di minimarket dengan kedok telah mendapat izin walikota sesuai dengan perda yang ada. Innalillah…
Kemudian bagaimana tentang polemik pencabutan perda miras oleh Mendagri? Menurut saya kita tidak seharusnya ikut berpolemik menyangkut hal itu. Karena perda miras ini sesungguhnya ibarat buah Simalakama, jika didukung bisa berujung dosa karena notebene perda tersebut bertentangn dengan syariat. Jika ditolak ditengarai bisa membuat peredaran miras menjadi tidak terkendali. Pemerintah sendiri sedari awal terkesan tidak memiliki komitmen untuk melarang total minuman keras hal ini tergambar dalam Keppres No 3 Th 1997 dan RUU Jaminan Produk Halal yang saat ini sedang dibahas. Jadi jika perda-perda tersebut tetap diprtahankan, tidak ada jaminan sama sekali bahwa generasi kita akan aman dari bahaya miras. Toh juga bahkan di daerah-daerah yang memilik perda miras tersebut saja tingkat peredaran dan konsumsi miras tetap tergolong tinggi. Mau bukti lagi? Tengok aja berita, di Indramayu misalnya masih tetap banyak tuh yang mati konyol gara-gara minum Miras oplosan.
Di balik bisnis Miras
Dibenak kita sudah pasti muncul pertanyaan besar, mengapa pemerintah baik pusat maupun daerah tidak melarang Miras secara total? padahal jika mengacu pada aturan ‘demokrasi’ harusnya jika suara mayoritas menghendaki pelarangan total maka negara wajib melarang total?. Lagi-lagi inilah ironi demokrasi, dimandulkan jika menyangkut penerapan aturan islam.
Setidaknya Ada 2 analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut; Pertama, miras adalah salah satu senjata barat untuk melemahkan dunia ketiga (dunia islam). Menurut Ekonom Robert Fish, miras (drugs) merupakan salah satu dari senjata utama barat (3SDA= Sex, Song, Sport, Drugs, n Alcohol) untuk melemahkan dunia ketiga. Kedua, secara ekonomi bisnis miras sangat-sangat menguntungkn; mnguntungkan bagi pengusaha juga pnguasa.
Saya menyegajakan diri untuk melakukan Investigasi tentang fenomena peredaran miras terutama di 3 daerah yang memiliki perda tersebut yakni di Indramayu, Bandung, dan Tangerang. Saya mendapati beberapa Temuan diantaranya;
- Pembuatan perda tersebut sedikit tidak mengandung muatan politis. Contohnya pembuatan Perda Kabupaten Indramayu Nomor 15 Tahun 2006 menjelang pilkada.
- Sebagaimana perda-perda yang lain, Pmbuatan perda miras tidak lepas dari campur tangn para pengusaha. Apa buktinya? Iya kan miras tidak dilarang total tetapi hanya dibatasi dan diawasi.
- Perda tersebut tidak secara konsisten dijalankan oleh masing-masing pemda. Di Indramayu, Tangerang, dan kota Bandung misalnya, Miras masih bisa dijual bebas di minimarket-minimarket. Padahal dalam Perda minimarket tidak termasuk sebagai tempat yang diizinkan untuk menjual miras. Berarti minimarket tersebut menjual miras secara ilegal dong? Ooh trnyata ga juga. Di sebuah minimarket saya pernah menjumpai sekumpulan remaja perempuan yang berusia belasan tahun (saya menebak mereka masih SMP) sedang membeli miras yang kemungkinan akan digunakan untuk acara minum bareng. Saya bertanya kepada kasir, bukankah dilarang jualan miras? Apa coba jawaban si kasir, “oo ngga pa, kami legal kok, ada izinnya..” saya lantas menimpali, “yaa tetap aja ga boleh teh, kan hukumnya haram, apalagi dijual ke anak sekolahan…” Mendengar sindiran saya si Kasir dan anak-anak sekolah tersebut hanya tersenyum sipu, entah mereka malu dgn sindiran saya, atau Cuma segan dgn baju koko yang saya kenakan. Inilah potret mudahnya orang membeli dan mengkonsumsi miras, walaupun di wilayah yang ada perda mirasnya.
***
Walhasil,
idealnya Posisi kita tidak berada pada kubu mendukung atau menetang
pencabutan Perda miras yang saat ini jadi polemik. Posisi kita jelas
yakni tetap Istiqomah menyeru penguasa untuk
bersungguh-sungguh mematuhi seluruh perintah dan larangan Alloh Swt.
Salah satunya dgn melarang miras secara total dengan jalan;Itulah jalan kemuliaan kita, Insyaalloh. Wama tawfiqi illa billah. Wal-Lâh a'lam bi shawâb. [f_rozy]
- Mencampakkan sistem Demokrasi-Kapitalisme yang dgn sah dan meyakinkan telah melegalisasi Miras. Kemudian Segera menjadikan al-Quran dn as-Sunah sebagai sumber dari segala sumber hukum di bawah naungan sistem pemerintahan daulah KHILAFAH Islamiyah
- Membuat UU tentang pelarangan Miras dengan acuan utama al-Quran dn as-Sunnah
- Menganulir semua UU, PP, Keppres, Permen, dan Perda yang bertentangan dengan Syariat termasuk Perda pengaturan miras.
- Mencabut seluruh izin produksi, impor, dan pemasaran miras (terkecuali bagi non-muslim di wilayah privat mereka)
- Memberlakukan hukum ta’zir bagi yang kedapatan memproduksi dan menjual miras
- Memberlakukan hukum hudud berupa cambuk 100 kali bagi yang kedapatan secara sengaja mengkonsumi miras.
Tidak ada komentar