Astagfirullah, Ada Syi'ar Kemusyrikan di Rakornas PKS?
Liong
(naga) dan Barongsai adalah tradisi wajib pada perayaan Imlek yang
merupakan lambang kebahagiaan yang dipercaya bisa membawa keberuntungan
(hoki), mengusir roh jahat dan menolak bala. Kini, tarian yang kental
dengan keyakinan kemusyrikan dari negeri Cina itu ditampilkan dalam
acara resmi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Makassar yang dihadiri
para petinggi partai dakwah.
Pembukaan
Rapat Kerja Nasional (Rakornas) PKS di Clarion Hotel Makassar, Kamis
(16/2/2012), dibuka dengan Barongsai, tarian khas Tionghoa. Panitia
berkilah, tarian khas Tionghoa ini ditampilkan sebagai pengejawantahan
slogan “Bekerja dalam Kebhinnekaan” yang menjadi tema Rakornas PKS.
“Sesuai
tema Rakornas, Bekerja dalam Kebhinnekaan untuk Kejayaan Bangsa, Kami
menampilkan sejumlah atraksi kesenian daerah baik saat pembukaan maupun
penutupan nanti,” ujar Ketua Panitia Rakornas PKS, Akmal Pasluddin
sebagaimana dikutip Website resmi DPP PKS, Jum’at (17/2/2012).
Lebih
lanjut Akmal mengatakan, Kebhinnekaan menjadi inspirasi bagi bangsa ini
termasuk kader-kader PKS untuk terus bekerja untuk kejayaan bangsa.
Keanekaragaman seni, budaya, dan sosial bangsa ini menjadi dinamisator
bagi setiap komponen bangsa untuk terus berkarya. (baca: Barongsai dan Padupa Awali Pembukaan Rakornas PKS).
Hadir
dalam Pembukaan Rakornas tersebut, Presiden PKS, Lutfhi Hasan Ishaaq,
Wakil Ketua DPR RI yang juga Sekjen PKS, M Anis Matta, Gubernur Sulawesi
Selatan, Syahrul Yasin Limpo, dan Walikota Makassar, Ilham Sirajuddin
serta Ketua DPW PKS Sulawesi Selatan, Akmal Pasluddin dan anggota DPD
RI, Azis Kahar Muzakar.
Selain
itu, Rakornas juga dihadiri oleh 750 orang kader dan fungsionaris PKS
dari Wilayah Dakwah Sulawesi dan Indonesia Timur. Hadir juga
fungsionaris DPP PKS, sejumlah Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, DPRD
Provinsi maupun Kota/Kabupaten se-Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua
Barat, dan Papua.
Barongsai Tak Sekedar Hiburan
Barongsai
bukan sekadar seni hiburan, tapi memiliki makna spiritual bagi
masyarakat Tionghoa. Liong (naga) dan Barongsai adalah tradisi wajib
pada perayaan Imlek. Dalam kepercayaan warga Tionghoa, Liong dan
Barongsai merupakan lambang kebahagiaan dan kesenangan. Pertunjukan
tarian singa dan naga ini dipercaya bisa membawa keberuntungan (hoki).
Tari
Barongsai dikenal dengan gerakannya yang energik, ekspresif, menegangkan
sekaligus menakjubkan. Tarian ini merupakan perpaduan keserasian dan
dinamisasi gerak para penarinya yang atraktif dengan iringan musik
tambur, gong, dan simbal.
Para
penari atau pemain Tari Barongsai kebanyakan berlatar seni bela diri,
kungfu dan Wushu. Hal ini berkaitan dengan gerakan tariannya bergaya
akrobatik, yakni dengan salto, meloncat, melompat dan berguling.
Barongsai biasanya digelar bukan hanya pada perayaan-perayaan seperti menyambut Imlek (Spring Festival) atau Cap Go Meh (Lantern Festival),
tetapi juga digelar saat upacara-upacara penting lainnya seperti,
peresmian perkantoran, toko, pusat perbelanjaan, restoran, hotel, rumah,
upacara pernikahan, festival budaya, kelenteng dan sebagainya.
Di
negara asalnya, Tiongkok, tarian ini disebut dengan Lungwu atau Tarian
Singa (simplified Chinese: traditional Chinese: pinyin: wushi).
Setidaknya ada tiga jenis barongsai dikenal di dunia, yaitu Xuang Shi
(singa kembar), Qing Shi (singa hijau), dan Xing Shi (singa sadar).
Barongsai
di Tionghoa juga bukan sekadar seni hiburan semata, tapi dipercaya
memiliki makna spiritual sebagai penolak bala juga mengekspresikan
sebuah optimisme, kedamaian dan kesejahteraan.
Barongsai juga digambarkan sebagai simbol dari singa yang berani dengan memiliki sifat sebagai
‘Raja
Rimba yang perkasa’ melindungi yang lemah. Selain itu singa juga
dilambangkan binatang yang dipercaya memiliki kekuatan mistis dan magis
yang bisa mengusir roh jahat atau tolak bala. Zaman dahulu permai-nan
ini sering bermain dalam istana kekaisaran yang tujuannya untuk
menghibur para penonton.
Secara
keseluruhan, gerakan utama dari tarian barongsai adalah gerakan singa
yang memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah lay see. Di
atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang
melambangkan hadiah bagi sang singa. Proses memakan lay see ini biasanya
berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian barongsai itu.
Sejarah Barongsai
Berbagai
versi muncul mengenai asal mula tarian Barongsai ini. Dalam sebuah buku
‘Festival Tradisi Budaya China’ karangan Dr Kai Kuok Liang di Shanghai
RRC menyebutkan bahwa Singa datang dari bagian Barat daratan China.
Waktu itu dinaiki oleh Pangeran Bun Cu Phu Sak yang membawa ajaran Budha
ke Tiongkok, dikenal dengan zaman Lima Dinasti-Han (947-950 SM).
Sedang
cerita lain mengatakan, tarian ini sudah ada pada zaman Dinasti Xie Han.
Saat itu, Kekaisaran Han Bu Tie mengutus Menteri Chang Chiau ke bagian
Barat Tiongkok. Sewaktu kembali, sang Menteri Chiau membawa sebuah seni
budaya setempat, yakni permainan singa (Tarian Barongsai).
Ada pula
yang menyebutkan tarian ini sudah ada sejak abad ke-5 atau zaman
dinasti Sung, atau zaman Selatan-Utara. Versi lain menyebutkan, tarian
ini sudah digelar sejak masa Dinasti Thang (618-907 Sebelum Masehi).
Sementara, menurut seorang guru besar asal Universitas Jinan, China, Huang Kun Zhang, menyebutkan
Tarian Barongsai ada sejak tahun 420-589 Masehi, yakni pada zaman
pemerintahan dinasti Selatan-Utara atau Nan Bei. Ketika itu, pasukan
Raja Song-Wen-Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah Raja
Fan-Yang dari negeri Lin Yi.
Timbullah
sebuah inisiatif dari sang panglima perang Raja Song Wen Di bernama
Zhong Que untuk membuat sebuah boneka tiruan Singa yang sangat besar.
Upaya sang panglima ternyata tidak sia-sia, dia berhasil mengusir
pasukan gajah yang lari ketakutan karena melihat singa raksasa yang siap
menerkam dan menyerang mereka.
Di Indonesia, Barongsai mulai masuk pada abad 17 atau saat terjadi migrasi besar-besaran dari China Selatan.
Apakah Umat Ini Aman dari Ancaman Syirik?
Banyak
peringatan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat
akhir zaman terhadap bencana syirik. Bahkan beliau tegaskan umatnya
kelak ada yang mengekor kaum musyrikin hingga berhala pun disembah.
Dalam sebuah hadits panjang, disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ùˆَلاَ تَÙ‚ُومُ السَّاعَØ©ُ ØَتَّÙ‰ تَÙ„ْØَÙ‚َ Ù‚َبَائِÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ Ø£ُÙ…َّتِÙ‰ بِالْÙ…ُØ´ْرِÙƒِينَ ÙˆَØَتَّÙ‰ تُعبَد الأَÙˆْØ«َان
“…Kiamat
tidak akan terjadi hingga sekelompok kabilah dari umatku mengikuti
orang-orang musyrik dan sampai-sampai berhala pun disembah…” (Shahih Ibnu Hibban
Juz XVI hal. 209 no. 7237 dan hal. 220 no. 7238 Juz XXX no. 7361 hal 6,
Syu’aib al-Arnauth berkata, “Sanad-sanadnya shahih sesuai dengan syarat
Muslim).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“لا تقوم الساعة Øتى يرجع ناس من أمتي إلى أوثان كانوا يعبدونها من دون الله- عز وجل“.
“Tidak
akan terjadi hari kiamat hingga sekelompok kaum dari umatku kembali
kepada berhala. Mereka menyembah berhala tersebut di samping Allah
Subhanahu wa Ta’ala" (Riwayat Abu Dawud al-Thayalisi dari Musa bin
Muthir, lemah. Ithaful Khirah wal Mahrah Bizawaid Juz 8 hal. 34).
Autsan
dalam bentuk jamak (plural) dari watsan, artinya berhala. Watsan adalah
segala sesuatu yang mempunyai bentuk badan yang biasanya dibuat dari
unsur tanah, kayu, atau bebatuan seperti bentuk manusia. Benda ini
dibentuk, dimuliakan, dan disembah. Kadang juga watsan mencakup sesuatu
yang tidak berbentuk gambar atau bentuk. Shanam adalah gambar tanpa
bentuk badan.
Sesembahan
ini, kalau zaman jahiliyah berbentuk patung-patung orang saleh,
sekarang bisa diwujudkan dalam kuburan-kuburan atau petilasan-petilasan
orang shaleh yang dianggap shaleh. Kini ada pembela kesyirikan
menganggap melarang orang berdoa di kuburan merupakan bentuk kurang ajar
kepada para wali, alias tidak mau menghormati orang yang layak
dihormati, bahkan dicap sebagai pengikut iblis yang tidak mau
menghormati Adam. Subhanallah!
Gaya-gaya
perilaku kaum Musyrik kini memang banyak melanda kaum Muslimin. Di
antaranya bersumpah dengan selain Allah, kasidah yang penuh dengan
bait-bait syirik, mengubur orang saleh dalam masjid, menjadikan kuburan
sebagai tempat perayaan dan ibadah, melakukan nadzar untuk para wali,
menyembelih korban di kuburan para wali, thawaf mengitari kuburan yang
dianggap wali, bahkan ada yang bersujud kepada kuburan kiai. Di Solo
bahkan orang berjubel untuk membuntuti kerbau yang dijuluki Kyai Slamet.
Hewan bule ini setiap bulan baru Muharram dilepas mengelilingi Kraton
Solo. Di antara yang hadir berebut mendapatkan kotoran hewan yang sering
menjadi lambang kebodohan tersebut. Ya, kotorannya dijadikan rebutan.
Diambil berkahnya, kata mereka. Mereka bukan hanya orang tua, tetapi
juga anak-anak muda! Di belahan lain ada sekelompok orang yang tekah
bersyahadat, mengantar sesajen ke gunung Lawu dan Merapi. Yang lain
memberikan sedekah laut alias larung sesaji ke pantai laut Selatan. La haula wala quwwata illa billah.
Zaman
memang sudah bergeser, berubah dari kondisi zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hingga seorang pakar hadits Imam Bukhari membuatkan
sebuah bab dalam Shahih-nya ‘Bab Taghayuru al-Zaman hatta tu’badu
al-Autsan—Berubahnya Zaman hingga Berhala Kembali Disembah Shahih
Bukhari Juz VI hal. 2604.
Bahkan
kelak dedengkot berhala kaum musyrikin Quraisy akan kembali diagungkan.
Aisyah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« لاَ ÙŠَØ°ْÙ‡َبُ اللَّÙŠْÙ„ُ ÙˆَالنَّÙ‡َارُ ØَتَّÙ‰ تُعْبَدَ اللاَّتُ ÙˆَالْعُزَّÙ‰ ».
“Malam
dan siang tidak akan lenyap (terjadi kiamat) hingga Lata dan Uzza
kembali disembah.” (Shahih Muslim : 6907, Sunan al-Tirmidzi no. 2228,
dan Musnad Ahmad no. 8164, Mukadimah Masail Jahiliyah juz I hal. 16).)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam punya perhatian yang lebih terhadap
ancaman kesyirikan, hingga pada hari meninggalnya beliau masih sempat
mengingatkan umatnya agar tidak mengikuti perilaku Ahli Kitab yang
berlebihan dalam memuji nabi dan orang saleh, sikap mereka menyeret
kepada syirik besar. Akankah kita sebagai umatnya yang kini semakin
lemah justru merasa aman dari syirik. Sungguh, muslim bergaya syirik
kini sedang ngetren. Semoga kita diselamatkan Allah Ta’ala. [nahimunkar/voa-islam/180212/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar