Hal-Hal Terlarang dalam Bisnis (3): Jual Beli Valas dg Tidak Tunai & MLM
Rasulullah saw. bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan percantiklah cara dalam mencari rizki, karena sungguh satu jiwa tidak akan mati hingga rizkinya dipenuhi. Jika rizki itu lambat datangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan percantiklah cara dalam mencari rizki itu, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram (HR.Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah).
“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah paham agama.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dg sanad hasan).
3. Larangan-Larangan Dalam Kegiatan Jual-Beli
i. Jual Beli Mata Uang (shorf) dg tidak tunai
Keputusan Majma’ Al Fiqh Al Islami pada daurahnya yang ke-3, no: 9, menyatakan bahwa uang kertas merupakan uang yang mempunyai sifat penuh sebagai alat tukar, sehingga berlaku baginya hukum-hukum syar’i seperti yang berlaku pada emas dan perak, inilah pandangan mayoritas ulama masa kini.[1]
Oleh sebab itu, dalam jual beli mata uang kertas berlaku ketentuan sebagaimana ketentuan hukum dalam jual beli emas dan perak, yakni haruslah memenuhi dua syarat:
Pertama, jika mata uangnya sama, misalnya rupiah dengan rupiah, dolar dengan dolar dst maka harus sama nilai nominalnya dan harus cash. Jika nominalnya tidak sama disebut riba fadhl.
Kedua, jika uangnya berbeda, seperti dolar Amerika dengan rupiah, maka harus cash, dan boleh nilai nominalnya berbeda. Jika tidak cash maka disebut riba nasi’ah.
Fatwa MUI NO: 28/DSN-MUI/III/2002 dengan tegas menyatakan bahwa transaksi Forward[2], Swap[3] dan Option[4] adalah haram. Namun fatwa tersebut masih membolehkan transaksi Spot[5] karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari.
Adapun penulis, masih tidak berani menganggap jangka waktu dua hari tersebut sebagai transaksi tunai, berdasarkan beberapa riwayat, antara lain:
وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.
… Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
عَن ْابن شهاب أن مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ الْتَمَسَ صَرْفًا بِمِائَةِ دِينَارٍ ، فَدَعَانِى طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَتَرَاوَضْنَا ، حَتَّى اصْطَرَفَ مِنِّى ، فَأَخَذَ الذَّهَبَ يُقَلِّبُهَا فِى يَدِهِ ، ثُمَّ قَالَ حَتَّى يَأْتِىَ خَازِنِى مِنَ الْغَابَةِ ، وَعُمَرُ يَسْمَعُ ذَلِكَ ، فَقَالَ وَاللَّهِ لاَ تُفَارِقُهُ حَتَّى تَأْخُذَ مِنْهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ . صلى الله عليه وسلم . الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ
Ibnu Syihab mengisahkan bahwa Malik bin Aus menceritakan kepadanya bahwa pada suatu hari ia memerlukan untuk menukarkan uang seratus dinar (emas), maka Thalhah bin Ubaidillah pun memanggilku. Selanjutnya kamipun bernegoisasi dan akhirnya ia menyetujui untuk menukar uangku, dan iapun segera mengambil uangku dan dengan tangannya ia menimbang-nimbang uang dinarku. Selanjutnya Thalhah bin Ubaidillah berkata: Aku akan berikan uang tukarnya ketika bendaharaku telah datang dari daerah Al Ghabah (satu tempat di luar Madinah sejauh + 30 KM), dan ucapannya itu didengar oleh sahabat Umar (bin Al Khatthab), maka iapun spontan berkata kepadaku: Janganlah engkau meninggalkannya (Thalhah bin Ubaidillah) hingga engkau benar-benar telah menerima pembayarannya. Karena Rasulullah saw telah bersabda: “Emas ditukar dengan emas adalah riba kecuali bila dilakukan secara ini dan ini alias tunai …” (Riwayat Bukhari).
Pada riwayat lain Umar bin Al Khattab r.a lebih tegas lagi menjelaskan makna tunai yang dimaksudkan pada hadits-hadits di atas:
وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ وَالْآخَرُ نَاجِزٌ وَإِنْ اسْتَنْظَرَكَ إِلَى أَنْ يَلِجَ بَيْتَهُ فَلَا تُنْظِرْهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ وَالرَّمَاءُ هُوَ الرِّبَا
” … Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan emas, salah satunya tidak diserahkan secara kontan sedangkan yang lainnya diserahkan secara kontan. Dan bila ia meminta agar engkau menantinya sejenak hingga ia masuk terlebih dahulu ke dalam rumahnya sebelum ia menyerah barangnya, maka jangan sudi untuk menantinya. Sesungguhnya aku khawatir kalian melampaui batas kehalalan, dan yang dimaksud dengan melampaui batas kehalalan ialah riba.” (Riwayat Imam Malik dan Al Baihaqi).
Termasuk dalam hal ini adalah jual beli emas secara kredit, yang hukumnya haram menurut mayoritas ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
MLM (pemasaran berjenjang) adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung. Harga barang yang ditawarkan di tingkat konsumen adalah harga produksi ditambah komisi yang menjadi hak konsumen karena secara tidak langsung telah membantu kelancaran distribusi.[6]
Sistem penjualan ini menggunakan beberapa level (tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya. Promotor (upline) adalah anggota yang sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan bawahan (downline) adalah anggota baru direkrut oleh promotor.
Komisi yang diberikan dalam pemasaran berjenjang dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi yang otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan mendapatkan komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan bawahan.
Untuk anggota MLM, seseorang biasanya diharuskan mengisi formulir dan membayar uang dalam jumlah tertentu dan kadang diharuskan membeli produk tertentu dari perusahaan MLM tersebut, ada juga yang tidak mensyaratkan pembelian. Pembayaran dan pembelian produk tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan point. Point bisa didapatkan melalui pembelian atau dari jumlah anggota yang berhasilk direkrut.
Jual beli dengan sistem MLM ini, sebenarnya sudah difatwakan keharamannya oleh sejumlah ulama di Timur Tengah, diantaranya adalah Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan yang dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, kemudian dikuatkan dengan Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta Arab Saudi pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935).
Diantara alasan pengharamannya adalah:
1. Melakukan dua macam akad dalam satu transaksi.
Pada saat seseorang menjadi anggota MLM maka ia memiliki dua kedudukan, yakni sebagai pembeli dan makelar. Melakukan satu akad dengan menghasilkan dua akad sekaligus, dilarang oleh Islam.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Rasulullah Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian (HR Tirmidzi, Nasai dan Ahmad dari Abu Hurairah dengan sanad shahih). Dalam riwayat Imam Ahmad (dg sanad shahih lighairihi) dinyatakan:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
Rasulullah Saw, telah melarang dua transaksi dalam satu transaksi.
Imam Syafi’I, sebagaimana dinukil Imam at Tirmidzi, berkata tentang hadist ini: Yaitu jika seseorang mengatakan: “Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu“[7].
Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)
Transaksi seperti ini menyebabkan tidak jelasnya harga barang dan menggantungkan suatu transaksi kepada syarat yang belum tentu terjadi[8].
2. Memakelari Makelar
Praktek makelar hukumnya boleh, Qays bin Abi Gharazah menjelaskan:
كُنَّا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ، فَقَالَ: «يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ، فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural simsar/makelar), kemudian Rasulullah saw keluar menghampiri kami dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: Wahai para Tujjar (plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkanlah dengan sedekah. (HR. Abu Dawud dg Sanad Shahih)
Hadits tersebut dijelaskan oleh Imam as-Sarakhsi dalam kitabnya Al-Mabsuth, “Simsar (makelar) adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah/bonus/komisi), baik untuk menjual maupun membeli”.[9]
Makelar yang dibolehkan (mubah) oleh syari’at adalah makelar pada level pertama saja, yakni penghubung antara pemilik barang/jasa kepada konsumen. Sedangkan penghubung antara yang bukan pemilik barang dengan konsumen tidak bisa dimasukkan kedalam kategori makelar yang dibolehkan.
Misalnya, si A berkata kepada si B: ‘Tolong jualkan rumah saya (carikan pembelinya) dengan harga 200 juta dan jika terjual saya beri anda komisi (upah) 2,5% dari nilai transaksi’. Jika si B menemukan pembelinya dan transaksi berlangsung, maka si B berhak mendapat komisi 2,5% dari nilai transaksi, ini dibenarkan oleh syari’at Islam.
Tetapi jika si B menawarkan lagi kepada si C, dengan mengatakan: ‘Tolong anda jualkan rumah si A seharga 200 juta dan anda akan saya beri komisi 1% dari nilai transaksi’. Maka ini bathil (haram), karena si B tidak punya hak untuk mencari makelar lain karena ia tidak memiliki rumah itu. Inilah fakta memakelari-makelar (samsarah ‘ala samsarah). Namun jika si B membeli dulu rumah si A kemudian ia makelarkan si C. Ini syah karena ia kini telah menjadi pemilik rumah itu.
Dari aspek lain, MLM bertentangan dengan kaidah Al Ghunmu bi al Ghurmi, yakni keuntungan itu sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan atau resiko yang dihadapinya. Di dalam MLM ada pihak-pihak yang paling dirugikan yaitu mereka yang berada di level-level paling bawah, karena merekalah yang sebenarnya bekerja keras untuk merekrut anggota baru, tetapi keuntungannya yang menikmati adalah orang-orang level atas.
Oleh karena itu bisnis MLM tidak bisa dihukumi halal jika hanya berdasarkan produk yang dijual adalah barang yang halal. Harus diamati juga, apakah sistem MLM yang dijalankan melanggar hukum syara’ atau tidak. Seandainya hal-hal yang menjadikannya haram itu mampu dihindari, maka bisa saja suatu bisnis yang dilarang menjadi halal, yakni dengan mengubah sistem dan akadnya, tentunya kalau bisa diubah. Allahu A’lam.
(Insya Allah disampaikan di masjid Mujahidin Banjarmasin, 18 Februari 2012)
[1] Dr. Ahmad Zain, Hukum Mengembalikan Hutang Sesuai dengan Perubahan Nilai Mata Uang
[2] Forward: transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang hukumnya adalah haram
[3] Swap: suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward
[4] Option: kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu
[5] Spot: transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Pemasaran_berjenjang
[7] Sunan at Tirmidzi, Juz 3, hlm. 526 -527, Maktabah Syamilah
[8] al Mubarakfuri, Tuhfat al Ahwadzi, Juz : 4, hlm. 358, asy Syaukani, Nailul Author, juz : 5, hlm: 173
[9] Lihat juga Muhammad bin Abî al-Fath (w. 709 H), al-Muththali’, hal. 336 Maktabah Syamilah
Oleh : M. Taufik N.T
Baca Juga:
Tidak ada komentar