Header Ads

Membandingkan Pejabat di Negara Demokrasi dan Pejabat di Negara Khilafah

Oleh: Agus Trisa

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, permasalahan korupsi di negeri ini begitu pelik. Korupsi seolah-olah menjadi satu bentuk budaya yang menjadi suatu keniscayaan. Dikatakan demikian, karena memang faktanya, mayoritas pejabat sangat sering terjerat masalah ini. Lihatlah Partai Demokrat, yang saat ini menjadi partai pemenang pemilu. Partai ini duduk di pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif dengan suara yang signifikan.


Dulu, sebelum pemilu tahun 2009 berlangsung, partai ini giat berkampanye dengan jargon, “Katakan tidak, pada korupsi!!” Tetapi, setelah berkuasa, kenyataan berbicara lain. Kasus yang melibatkan para petinggi partai (seperti Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, bahkan ketua umumnya Anas Urbaningrum) telah menunjukkan bukti nyata bahwa jargon kampanye politiknya sudah tidak berlaku lagi. Kasus besar yang melibatkan para pejabat partai semakin membuka nyata betapa korupsi menjadi ‘syarat’ bagi terbentuknya sebuah rezim.

Korupsi yang gila-gilaan ini tidak hanya disebabkan oleh person (orang) yang buruk akhlaknya, buruk kepribadiannya. Tetapi juga disebabkan oleh kesemrawutan sistem demokrasi yang sangat berpotensi menimbulkan korupsi. Tentu Anda masih ingat dengan Gayus Tambunan. Ini lebih gila lagi. Rakyat dipalak dengan menggunakan pajak. Setelah dipalak, pajaknya dikorupsi oleh para pejabat. Wow, betapa wajah buruk demokrasi benar-benar di depan mata.

Oleh karena itu, Islam memandang bahwa keadilan, kejujuran, dan kebaikan hanya akan terwujud pada sistem yang baik, yang dijalankan oleh orang yang baik. Sistem yang baik, jika tidak dijalankan oleh orang yang tidak baik, maka akan mengotori kesucian sistem itu. Orang yang baik, ketika menjalankan sistem yang tidak baik, maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.

Apa itu sistem yang baik dan orang yang baik? Sistem yang baik adalah sistem yang berdasarkan pada sesuatu yang Maha Baik. Apa itu? Yaitu sistem Islam. Sedangkan orang yang menjalankan sistem yang baik itu, juga harus orang yang baik, yaitu orang yang memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin sebagaimana telah digariskan oleh Islam, yaitu orang yang bersyakhshiyah Islamiyah. Inilah maksud dari sistem yang baik, dan dijalankan oleh orang yang baik.

Dalam negara Islam (negara Khilafah Islamiyah) seluruh pemilihan pejabat dilakukan dengan batasan-batasan Islam. Bukan hanya itu, seluruh aktivitas negara juga harus berdasarkan pada syariat Islam. Ini karena negara khilafah Islam adalah negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan.

Para pejabat negara khilafah Islam yang melayani kepentingan masyarakat, yang mengelola keuangan negara, yang menjaga harta kekayaan milik kaum Muslim, yang menjalankan sistem hukum Islam di tengah-tengah masyarakat harus qualified (orang-orang terpilih), bukan sembarangan orang. Orang yang benar-benar Muslim, taku kepada Allah dan hari akhir, tidak akan melakukan korupsi, suap, manipulasi, berkhianat, menipu, zalim, dan kemaksiyatan yang lainnya. Sebab, ia amat paham bahwa Allah senantiasa mengawasi dirinya dan menuntut pertanggungjawaban atas setiap tindakan yang dilakukannya.

Jadi, jika seorang pejabat tidak lagi mempunyai sifat takwa, tidak takut terhadap pengawasan Allah Swt, maka dapat dipastikan ia memiliki sifat zalim dan menindas rakyat. Allah Swt berfirman:

Barang siapa yang berbuat curang, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya. Kemudian, setiap orang menerima balasan yang setimpal atas semua yang telah dilakukannya. Mereka tidak diperlakukan secara zalim. (QS. Ali Imran: 161)

Para pejabat pemerintahan yang memperoleh harta secara tidak sah (tidak syar’i), yaitu yang diperoleh dari berbagai pihak karena telah menjalankan suatu pekerjaan tertentu, yang sebenarnya sudah menjadi tugasnya sebagai pejabat negara, baik harta itu milik kaum muslim, milik individu, atau milik negara, maka itu adalah suatu tindakan kecurangan. Tindakan seperti ini akan mendapatkan hukuman yang berat. Harta yang berhak mereka (para pejabat) terima hanyalah berupa gaji, intensif, kompensasi/ganti rugi, dan sejenisnya.

Tetapi jika masih ada pejabat negara yang mengambil harta di luar harta yang telah ditetapkan oleh negara, maka ta’zir akan diberlakukan kepada mereka. Apa itu ta’zir? Ta’zir adalah sanksi yang ditentukan sendiri oleh ijtihad seorang hakim (qadhi), dan tidak termasuk perkara hudud maupun jinayat, sebab tidak ada had maupun kafarat di dalamnya. Ini artinya, seorang hakim (qadhi) bisa saja menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku korupsi atau kolusi jika memang terbukti merugikan negara dalam jumlah besar dan membuat negara bangkrut.

Pada masa negara khilafah Islam yang dipimpin Umar bin Khathab, beliau telah membuat suatu keputusan yang mewajibkan para pejabat negara untuk diketahui terlebih dahulu jumlah harta kekayaannya tatkala muali menjabat. Lalu pada masa akhir jabatannya, harta kekayaan pejabat tersebut dihitung kembali. Jika terdapat kelebihan harta setelah dikurangi dengan gaji atau tunjangan selama masa jabatannya, Umar bin Khathab tidak segan-segan untuk mengambil paksa kelebihan harta itu dan mengembalikannya ke Baitul Mal (perbendaharaan negara).

Umar bin Khathab juga pernah mengangkat Muhammad bin Maslamah, sebagai pejabat pengawas harta kekayaan milik pejabat negara. Umar bin Khathab juga pernah membuat keputusan lain dengan melarang seluruh pejabat negara melakukan aktivitas bisnis dan memerintahkan mereka untuk fokus pada pelayanan terhadap rakyat. Umar bin Khathab juga pernah mengambil paksa separuh keuntungan dari hasil bisnis kambing gembalaan milik anaknya (Abdullah bin Umar bin Khathab) dan menyerahkannya kepada Baitul Mal. Sebab Abdullah bin Umar telah menggembalakan kambingnya di padang gembalaan milik negara sehingga kambingnya gemuk-gemuk.

Zaid ibn Aslam menuturkan riwayat dari ayahnya, tentang pidato Umar bin Khathab kepada para pejabat negara, sebagai berikut:
Pada suatu hari, Umar bin Khathab mengatakan kepada kami, ‘Aku mengetahui harta kekayaan yang kalian peroleh. Jika diantara kalian ada yang memiliki harta dan berasal dari kekayaan negara, yang berada di bawah pengawasan kami, maka janganlah menggampangkan sesuatu walaupun berupa pelana keledai, tali atau pelana unta. Sebab, semua itu adalah milik kaum Muslim, dan setiap orang mempunyai bagian di dalamnya. Apabila bagian itu milik satu orang, ia akan memandangnya sangat besar. Jika bagian itu milik jamaah kaum Muslim, mereka akan memandangnya kurang berharga/sepele’.

Keteladanan juga pernah ditunjukkan oleh cucu Umar bin Khathab, kepala negara khilafah Umayyah, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz pernah mengambil paksa seluruh tanah garapan milik Bani Umayyah (keluarganya) yang diperoleh melalui penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Umar bin Abdul Aziz, ketika memerintah sebagai kepala negara, dia melepaskan hak atas kekayaannya, seluruh harta milinya, seluruh hewan tunggangannya, seluruh perkakas rumah tangganya, dan seluruh minyak wangi simpanannya. Semua itu lalu dijual hingga senilai 23.000 dinar. Seluruhnya diserahkan kepada Baitul Mal. Umar bin Abdul Aziz cukup memperoleh santunan setiap harinya, hanya dua dirham saja.

Justru kita patut mempertanyakan, jika orang-orang partai yang duduk dalam pemerintahan ini mengaku bekerja nyata untuk rakyat, lalu kerja nyatanya dimana? Mengapa berbagai undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah yang dihasilkan selalu tidak berpihak pada rakyat? Kerja nyatanya dimana? Bagi partai berbasis massa orang Islam, yang katanya memperjuangkan syariat Islam, kita juga pantas mempertanyakan, mengapa justru mereka sendiri yang terwarnai dengan warna-warna kufur dan jauh dari perjuangan penegakan Islam? Bahkan keberadaan mereka di dalam pemerintahan itu justru semakin memperkokoh sistem kufur yang ada.

Kembali ke konteks permasalahan. Jadi, dalam negara khilafah Islam, orang yang akan diangkat menjadi pejabat benar-benar orang pilihan. Bukan orang sembarangan. Batasan untuk memilih pejabat pun dengan batasan Islam. Inilah keunggulan syariat Islam. Bandingkan dengan pejabat di negara sekuler. Seandainya para pejabat itu bercermin dari sejarah kekhilafahan Islam, (seharusnya) mereka akan malu. (al-khilafah.org)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.