Ismail Yusanto : Penting Membaca Ulang Sejarah !
Peran
umat Islam baik sebelum maupun setelah kemerdekaan negeri ini
sesungguhnya amatlah besar, bahkan dominan. Sayangnya, ada upaya-upaya
sistematis dari para pendengki Islam untuk mengecilkan, bahkan menghapus
sama sekali peran besar umat Islam ini. Akibatnya, generasi bangsa ini
hari ini benar-benar tercerabut dari akar sejarah yang sebenarnya.
Justru, sejarah yang penuh manipulasi dan pengkerdilan peran umat
Islamlah yang kini memenuhi buku-buku sejarah.
Mengapa
semua ini bisa terjadi? Apa penyebabnya? Bagaimana pula seharusnya
umat Islam di negeri ini menyikapi sejarah? Itulah di antara persoalan
yang dijawab secara lugas oleh Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, HM
Ismail Yusanto dalam wawancara dengan Redaksi kali ini. Berikut
petikannya.
Menurut Ustadz, sejauh mana peran nyata umat Islam dalam sejarah negeri ini?
Sesungguhnya
umat Islam memiliki peran sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia dan dalam menumbuhkan kebangkitan. Peperangan yang terjadi
pada abad ke-19 melawan penjajah Belanda selalu bernafaskan jihad.
Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan dari mereka
yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari berbagai pelosok desa.
Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung
terus-menerus sepanjang masa penjajahan selalu di bawah bendera Islam.
Demikian pula perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku
Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah
jihad melawan “kape-kape” Belanda.
Dalam
proses kemerdekaan pun, peran umat sangatlah sentral. Di sana ada
tokoh-tokoh umat seperti KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Kahar
Muzakkir dan lainnya yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Mereka bukan
sekadar menginginkan Indonesia merdeka, tetapi juga gigih
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Setelah
kemerdekaan, peran umat Islam juga tetap sentral. Resolusi Jihad yang
didengungkan oleh KH Hasyim Asy’ari menggetarkan pasukan NICA-Belanda
yang ingin masuk lagi ke Indonesia dengan membonceng pasukan sekutu.
Resolusi ini juga menjadi tonggak penting bagi pembentukan TNI melalui
Hizbullah yang asalnya terdiri dari para santri dan ulama.
Namun, dalam sejarah peran umat Islam tampaknya tidak terlalu menonjol, dan bila ada pun seolah dalam kerangka patriotisme dan nasionalisme?
Memang,
dalam sejarah yang ditulis secara tidak obyektif, peran umat Islam
yang sesungguhnya sangat sentral itu dihapus atau dikecilkan; kalaupun
tetap tercatat, itu terbaca dalam bingkai yang berbeda, yakni dalam
kerangka nasionalisme sempit, bukan lagi dalam bingkai Islam. Salah
satu contoh sangat nyata dari penghapusan peran Islam adalah apa yang
dialami oleh Sarikat Islam (SI). Sejarah kita mencatat, gagasan
kebangkitan itu datang dari Boedi Oetomo (BO). Karena itu, setiap
tanggal 20 Mei, hari lahir BO, diperingati sebagai Hari Kebangkitan
Nasional. Padahal kenyataan sebenarnya tidaklah seperti itu. BO tidak
bisa disebut sebagai organisasi yang menggagas, apalagi menggerakkan
kebangkitan.
Menurut
Savitri Scherer dalam thesisnya di Universitas Cornell, Amerika
Serikat pada tahun 1975, Boedi Oetomo hanyalah sebuah gerakan sosial
bagi kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal dan
rasis (Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan Kejanggalan:
Pemikiran-pemikiranPriyayi Nasionalis Jawa Abad XX”, Terjemahan Jiman S.
Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985). Pasal 2 Anggaran Dasar Boedi Oetomo menyebut: Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.
Karena
itu, banyak pengamat sejarah yang menolak penyematan Boedi Oetomo
sebagai pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH
Firdaus AN, misalnya, dengan tegas mengungkap, “Tidak pernah
sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan
bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki
taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu
Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri.”
Menurut
KH Firdaus AN, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun dalam
perjuangan kemerdekaan, karena mereka terdiri dari para pegawai negeri
yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan atas Indonesia.
Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu
gerbang kemerdekaan, karena telah lebih dulu bubar pada tahun 1935.
Lalu
siapa yang layak disebut sebagai sebagai penggerak kebangkitan dan
kesadaran perlawanan terhadap penjajah Belanda? Itulah Sarikat Islam
(SI). Lihatlah, keanggotan SI berbeda dengan BO yang hanya untuk suku
tertentu. SI terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Haji Samanhudi dan
HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan
Abdoel Moeis dari Sumatera Barat dan AM. Sangaji dari Maluku. Penyebaran
SI juga menasional. Tahun 1916 tercatat ada 181 cabang SI di seluruh
Indonesia dengan sekitar 700.000 anggota. Tahun 1919 anggota SI melonjak
drastis hingga 2 juta orang. Ini adalah angka yang fantastis kala itu.
Adapun Boedi Oetomo pada masa jayanya saja hanya beranggotakan tak
lebih dari 10.000 orang.
Jadi,
SI-lah pelopor yang sebenarnya dari kebangkitan yang bersifat
nasional. Lalu mengapa sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai
pelopor? Dari sini terlihat kecenderungan adanya usaha peminggiran
Islam atau bahkan menghilangkan spirit Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Demikian “kejam” sejarah meminggirkan peran umat Islam. Bahkan Resolusi Jihad
KH Hasyim Asy’ari yang sangat fenomenal itu tidak tertulis sama sekali
dalam sejarah nasional. Ini sangat aneh, karena sesungguhnya tidak
pernah ada perlawanan Bung Tomo di Surabaya, yang kemudian dicatat
sebagai Hari Pahlawan, tanpa Resolusi Jihad. Resolusi inilah yang mendorong Bung Tomo dan para pemuda Surabaya ketika itu berani bergerak melawan Belanda.
Mengapa terjadi penyimpangan atau pembelokan seperti itu?
Sejarah memang adalah realitas tangan kedua (second-hand reality).
Yang kita baca sekarang dalam buku-buku sejarah bukanlah fakta
sejarah, tetapi perumusan terhadap fakta sejarah pada masa lalu.
Sebagai realitas tangan kedua, sejarah sangat bergantung pada siapa
yang merumuskan atau menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah
itu ditulis. Karena itu, sejarah sesungguhnya sangat bergantung pada
lingkup politik yang dominan saat sejarah itu ditulis. Tentu bukan
sebuah kebetulan belaka ketika sejarah Kebangkitan Nasional didasarkan
pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarikat Islam, yang sejatinya
tidaklah tepat untuk dijadikan tonggak sejarah penting itu. Ini
sebagaimana Hari Pendidikan Nasional yang bukan didasarkan pada
kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH
Ahmad Dahlan, berbelas tahun sebelum Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa.
Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan tersembul adalah spirit atau
semangat Islam. Dalam setting politik penguasa, itu tidak dikehendaki.
Oleh
karena itu, kinilah saatnya membaca ulang sejarah kebangkitan
nasional, sejarah pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya
secara kritis dan obyektif. Sejarah sebagaimana kisah dalam al-Quran, mengandung ibrah atau pelajaran. Penyimpangan atau penutupan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya didapat, yakni spirit Islam dalam perjuangan negeri ini.
Jadi bagaimana gambaran peran serta dan perjuangan umat Islam yang sebenarnya dalam sejarah negeri ini?
Tokoh-tokoh
umat pada masa lalu, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan
Indonesia, sangat memahami bahwa setiap Muslim mempunyai kewajiban
dalam amar makruf nahi mungkar, perjuangan mengusir penjajah dan
menegakkan ‘izzul Islam wal Muslimin. Oleh karena itu, setiap
langkah, gerak dan kegiatan yang mereka lakukan, sebagaimana dibuktikan
dalam sejarah, selalu dijiwai, diwarnai dan didasari oleh semangat
Islam. Andaipun ada semangat yang disebut nasionalisme maka
nasionalisme di sini maknanya tidak lain adalah kecintaan pada negeri
dan kesadaran untuk tidak membiarkan negeri Muslim dikuasai oleh kaum
penjajah.
Itulah yang terjadi pada Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien ketika melawan Belanda, KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya,
KH Wahid Hasyim dengan perjuangan untuk Islam sebagai dasar negara, KH
Ahmad Dahlan untuk perjuangan pentingnya pendidikan Islami, atau para
pahlawan terdahulu lainnya yang semua berjuang dengan spirit Islam.
Apakah itu bisa dianggap sebagai pengkhia-natan terhadap spirit perjuangan umat Islam?
Ya jelas, itu sebuah pengkhianatan; setidaknya sebuah penyimpangan atau penipuan sejarah.
Menurut Ustadz, perjuangan kebangkitan negeri ini bisa dianggap berhasil atau gagal?
Bergantung
pada apa tolok ukurnya. Bila menggunakan tolok ukur Islam, apapun
perkembangan sebuah negara—sama halnya dengan apapun yang disebut
keberhasilan pada hidup seseorang, baik dari sisi pendidikan, kedudukan
sosial, maupun pencapaian materi—bila itu semua tidak berdasar pada
Islam atau makin menjauh dari Islam, harus kita katakan gagal.
Deskripsi kebangkitan Indonesia yang hakiki itu seharusnya seperti apa?
Kebangkitan hakiki adalah kembalinya kesadaran akan hakikat hidup manusia di dunia sebagai ‘abdulLah dan khalifatulLah dengan misi menyembah sang Khalik dan memakmurkan bumi dengan menjalankan syariah-Nya secara kaffah.
Itulah kebangkitan hakiki dengan spirit Islam. Spirit itu pula yang
semestinya sekarang kita ikhtiarkan untuk muncul kembali karena Islamlah
sumber kekuatan perjuangan yang tak akan pernah padam guna membawa
negeri ini ke arah yang lebih baik di masa datang.
Bagaimana mewujudkan kebangkitan Indonesia yang hakiki itu?
Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitab Nizahm al-Islam menyatakan bahwa kebangkitan yang hakiki harus dimulai dengan perubahan pemikiran (taghyir al-afkar) secara mendasar (asasiy[an]) dan menyeluruh (syamil[an])
menyangkut pemikiran tentang kehidupan, alam semesta dan manusia,
serta hubungan antara kehidupan dunia dengan sebelum dan sesudahnya.
Pemikiran yang membentuk pemahaman (mafahim) akan mempengaruhi
tingkah laku; akan terwujud tingkah laku islami bila pada diri seorang
Muslim tertanam pemahaman Islam. Dengan demikian kebangkitan umat Islam
adalah kembalinya pemahaman seluruh ajaran Islam ke dalam diri umat
dan terselenggaranya pengaturan kehidupan masyarakat dengan cara Islam.
Untuk itu diperlukan dakwah. Dakwah di tengah kemunduran umat seperti sekarang ini—akibat tidak adanya kehidupan Islam—menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Manhaj haruslah berupa “dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam” (da’wah li isti’nafi al-hayah al-islamiyyah). Itulah dakwah untuk ‘awdah al-Muslimin ila al-‘amal bi jami’i ahkami al-Islam min aqa’id[in], ibadat[in]…bi thariqi iqamah al-khilafah (mengembalikan umat Islam pada pengamalan seluruh hukum-hukum Islam baik menyangkut akidah, ibadah, makanan minuman, pakaian, akhlak, ‘uqubat maupun muamalah (sosial, budaya, pendikan, politik dan ekonomi) dengan jalan menegakkan kembali Khilafah Islam.
Dakwah semacam ini harus dilakukan secara berjamaah (jama’iyy[an]) atau berkelompok. Jamaah atau kelompok yang dimaksud haruslah bersifat politis (siyasiy[an]) oleh karena tujuan dakwah, yakni tegaknya kembali kehidupan Islam, adalah tujuan politik.
Dari segi individu, dakwah bertujuan membentuk Muslim yang berkepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah). Secara komunal, dakwah bertujuan untuk melakukan perubahan ke arah Islam hingga terbentuk masyarakat Islam dengan adanya penerapan syariah Islam di bawah naungan Daulah Khilafah. Harus tumbuh kesadaran umum (al-wa’yu al-Islamy) di tengah masyarakat bahwa hanya di bawah naungan Khilafah sajalah seluruh hukum Islam dapat ditegakkan secara kaffah
dan segenap umat dapat disatukan. Hanya dengan syariah saja
problematika umat dapat diselesaikan dengan cara yang benar. Saat itu
kerahmatan yang dijanjikan Allah SWT akan terujud bukan hanya kepada
orang Islam, tetapi juga buat umat selain Islam karena Islam memang
memberikan rahmat bagi sekalian alam.
Mengapa untuk itu harus dengan syariah dan Khilafah?