Header Ads

Harap Jangan Ada Muslim!

oleh AREFA TEHSIN

Apakah Mumbai benar-benar adalah sebuah kosmopolitan seperti anggapan umum?

Jawabanya adalah : tidak, bahkan bagi seorang bintang Bollywood sekalipun yang beragama Islam. Baru-baru ini bintang Bollywood, Emraan Hashmi, melaporkan bahwa ia mengalami kesulitan menemukan sebuah apartemen karena agamanya Islam. Lalu ada Shabana Azmi yang bercerita. “Saya ingin membeli sebuah flat di Bombay tapi tidak diberikan kepada saya karena saya adalah seorang Muslim dan saya membaca hal yang sama tentang Saif (Ali Khan). Sekarang, maksud saya, jika Javed Akhtar dan Shabana Azmi saja tidak bisa mendapatkan sebuah flat di Bombay karena mereka adalah muslim, maka apa yang kita bicarakan? ”



Saya belajar di Mumbai, tinggal di hostel dan menikmati kebebasan untuk bergerak bahkan pada larut malam atau larut pagi. Saya berasal dari kota Udaipur, di mana semua kenal Anda dan tampaknya tertarik pada urusan Anda. Tapi, bila perlu, mereka juga akan keluar untuk membantu Anda. Di Mumbai, saya suka penduduknya yang cenderung memikirkan bisnis mereka sendiri. Di sini, Anda bisa merasakan keriangan dan tidak diperhatikan orang. Tapi bukan diskriminasi. Setidaknya itu yang saya pikir.

Dalam beberapa tahun, saya menjadi peka terhadap para profesional, mahasiswa, keluarga dan bintang-bintang film yang memiliki kesamaan - saya adalah seorang Muslim. Beberapa bulan lalu, sepupu saya, yang merupakan seorang pilot Jet Airways, mendapat tugas yang bermarkas di Mumbai. Dia datang, tinggal di tempat kami dan saya yakin dia segera akan mendapatkan sebuah flat yang baik di pinggiran kota.

Tugas Yang Mensayatkan

Tapi ternyata hal itu menjadi tugas yang jauh lebih sulit dari yang bisa diantisipasi. Melalui berbagai badan, dia mencari di Powai, Santacruz, Andheri Lokhandwala, Kandivali Lokhandwala, Thsayar Kompleks (Kandivali), Thsayar Desa (Kandivali) dan sebagainya. Pilihannya terbukti sangat terbatas bagi umat Islam. Lebih bnyak pilihan yang tersedia di wilayah yang sama, melalui agen yang sama, untuk adik mertua saya (adik suami), yang adalah seorang Brahmana Bengali. Sebagian besar agen dengan bermurah hati memberitahu Anda di awal mengenai pilihan yang terbatas. Agen yang lebih bijaksana dengan sopan menggeleng-gelengkan kepala mereka tentang tidak tersedianya tempat.

Setelah banyaknya agen yang menolak, sepupu saya akhirnya memutuskan menyewa sebuah flat di Kandivali Lokhandwala dan memberikan jumlah tanda jadi. Setelah penundaan yang lama, uang itu dikembalikan karena masyarakat menolak untuk membiarkan seorang Muslim menyewanya, meskipun pemiliknya sudah menerima.

Pekan lalu, kami pergi melihat sebuah flat di suatu kompleks bangunan di Thsayar Complex, yang berdampingan dengan jalan raya, di mana masyarakat tidak memiliki masalah dengan penyewa Muslim. Tapi pemiliknya menolak untuk meminjamkannya kepada seorang Muslim. Meskipun suami saya meyakinkan bahwa dia, seorang Marwadi, adalah saudara iparnya dan kantor kami terletak cukup dekat dengan gedung itu, tapi itu tidak dapat meyakinkan pemiliknya.

Tempat Yang Lebih Liberal

Saya berjalan menjauhi bangunan itu, sambil memikirkan kakek saya yang adalah satu-satunya orang yang membuka tokonya saat kerusuhan Partisi di lokasi didominasi mayoritas penduduk setempat. Orang-orang dari semua lapisan masyarakat cukup mencintainya untuk memilihnya sebagai Wakil Walikota dan kemudian sebagai Walikota Udaipur. Istrinya, yakni nenek saya, adalah salah satu penggagas pendidikan perempuan di Rajasthan dan menjabat sebagai Wakil Presiden Konperensi Cabang Rajasthan Untuk Semua Wanita India (AIWC), dimana Maharani Gayatri Devi menjabat sebagai Presiden, sekitar tahun 1952. Keluarga kami terdiri dari Kayasth Hindu, Syiah dan Sunni Muslim, Punjabi, Marwadi Baniyas, Bohras … yang banyak dari mereka memiliki kontribusi yang cukup besar dalam politik, pelayanan sosial, seni, satwa liar, konservasi, sastra dan pendidikan di India. Kami merayakan semua festival sepanjang tahun. Saya selalu diberitahu bahwa struktur masyarakat India kaya dengan profesi bahasa, tradisi dan budaya tenun kuno selama berabad-abad, baik abad pertengahan maupun modern. Ini suatu hal yang mustahil untuk dipisahkan. Kalau dipikir-pikir, mungkin kota kecil kami di Udaipur jauh lebih liberal daripada banyak kota kosmopolitan. Mungkin orang di masa lalu lebih berpikiran liberal daripada banyak orang India modern.

Banyak masyarakat di Mumbai, dimana kebanyakan flat dimiliki oleh kelas masyarakat bisnis, memiliki aturan tak tertulis yang tidak membiarkan Muslim masuk. Dalam kompleks apartemen tempat mertua saya tinggal, yang merupakan salah satu yang terbaik di pinggiran Barat Mumbai, tidak ada satu keluarga Muslim pun. Meskipun awalnya developer bisa menjual flat itu bagi kaum Muslim, setelah masyarakat terbentuk, hal itu tidak diperbolehkan lagi. Ini bukan aturan umum dalam semua lapisan masyarakat, tentu saja, tapi sesuatu yang lazim.

Ya, ada umat Islam, maupun masyarakat minoritas lain, yang lebih memilih untuk tinggal di tempat-tempat kumuh (ghetto). Tapi dengan berat hati saya menyadari bahwa tidak ada banyak tempat bagi seorang Muslim yang liberal untuk pergi. Dan bukankah mayoritas masyarakat membuat ghetto-ghetto untuk diri mereka sendiri dengan tidak membiarkan yang lain tinggal?

Dalam masyarakat Gokuldham pada serial komedi populer berjudul “Tarak Mehta Ka Ulta Chashma”, ada orang Hindu, Sikh, Kristen, tetapi tidak ada satupun keluarga Muslim (kecuali pemilik toko kecil). Mungkin hal itu mencerminkan realitas dari banyak kompleks bangunan lain di Mumbai. Harap Jangan ada Muslim! [thehindu/HTIPress/al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.