Header Ads

Kesaksian Hilal Yang Bertentangan Dengan Ilmu Astronomi

Soal: Ustadz saya mau nanya nih. Masalah lebaran kemaren. Secara astronomis mustahil bisa melihat di hari jum’at (menurut para ahli astronom seluruh dunia), dan hanya baru bisa melihat di hari sabtu…dan ini telah di buktikan (di Aus melihat hilal pas hari sabtu). Terus secara astronomis, klaim melihat di Saudi tidak dapat diterima karena saat itu umur new moon hanya beberapa menit saja. Sedangkan hilal sedikitnya baru bisa terlihat setelah umur bulan sudah 8 jam, seringnya lebih dari 20 jam. Bagaimana pendapat Ustadz?


Jadi pertanyaan saya:


Jika ada orang yang mengatakan bahwa mereka melihat hilal, sedangkan menurut ilmu astronomi itu mustahil bisa di lihat, apakah kita tetap wajib untuk menerimanya atau wajib menolaknya? Jadi masalahnya apakah yang di lihat oleh orang itu benar2 hilal atau tidak.

Mohon penjelasannya Ustadz. Syukron

Jawab: Ketika kita mendengar informasi ru’yat, tidak jarang diantara kaum muslim menolak berita tersebut dengan alasan: secara astronomi bulan tidak mungkin wujud atau muncul di daerah tersebut, dengan alasan waktu ijtima’ yang terlalu pendek, ketinggian bulan yang tidak sampai 4 derajat, dan sebagainya. Mereka menyatakan, bahwa hasil ru’yat semacam itu wajib ditolak oleh kaum muslim. Sebab, secara astronomi bulan belum mungkin terlihat atau wujud di daerah tersebut.

Pendapat semacam ini harus ditolak, bahkan telah bertentangan dengan nash-nash syara’. Untuk menepis keraguan mengenai masalah ini, kami perlu memberikan penjelasan kepada kaum muslim sebagai berikut:

Pertama, metode syar’iy untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan adalah ru’yat (observasi mata secara langsung), bukan hisab. Dengan kata lain, penetapan hilal harus didasarkan pada kesaksian seorang adil yang menyaksikan bulan secara langsung, bukan berdasarkan perhitungan. Sedangkan jumlah saksi, syara’ telah menetapkan, bahwa kesaksian dalam masalah ru’yatul hilal cukup dilakukan oleh seorang yang adil. Ini didasarkan pada riwayat berikut ini:

“Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ada seorang Arab mendatangi Rasulullah saw dan berkata: ‘Aku telah melihat bulan (hilal), yakni bulan Ramadhan.’ Kemudian Rasulullah Saw bertanya: ‘Apakah engkau telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Benar’. Rasulullah bertanya lagi: ‘Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu Rasulullah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Benar’. Rasulullah Saw bersabda: ‘Wahai Bilal, berdirilah dan kumandangkan azan, dan beritahukanlah agar mereka (kaum Muslim) puasa besok.

Dengan demikian, penetapan awal dan akhir Ramadhan harus ditetapkan berdasarkan kesaksian seorang saksi adil yang menyatakan bahwa ia telah melihat bulan dengan mata kepalanya sendiri, bukan berdasarkan bukti-bukti yang dzanniy (misalnya hisab). Sebab, seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali didasarkan pada sesuatu yang menyakinkan. Dengan kata lain, seseorang sah bersaksi jika ia menyaksikan sendiri tanpa ada sedikitpun keraguan. Kesaksian tidak sah, jika dibangun di atas bukti yang masih dzan (keraguan) (Sayyid SabbiqFiqh al-SunnahAhmad Da’urAhkaam al-Bayyinaat; dan lain-lain). Rasulullah Saw telah bersabda kepada para saksi:

Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah.” (Ahmad al-Da’ural-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit).

Berdasarkan hadits-hadits di atas kita bisa menyimpulkan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan harus ditetapkan berdasarkan bukti-bukti syar’iy, bukan berdasarkan bukti-bukti non syar’iy. Allah SWT tidak memerintahkan kita untuk mengawali dan mengakhiri Ramadlan dengan bukti-bukti astronomis yang masih dzanniy. Bahkan, kalkulasi astronomis tidak boleh digunakan sebagai bukti untuk membuat kesaksian rukyatul hilal. Astronom dilarang bersaksi, jika ia tidak menyaksikan sendiri, atau mempunyai bukti yang menyakinkan. Seorang qadliy wajib menolak kesaksiannya. Sebab, kesaksian hanya bisa diajukan jika didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan. Padahal, kalkulasi hisab bukanlah bukti yang menyakinkan, dan masih mengandung keraguan. Oleh karena itu, seseorang dilarang bersaksi telah merukyat hilal, berdasarkan bukti kalkulasi hisab.

Benar, hasil pantauan bulan yang didasarkan pada hisab tidak boleh dijadikan bukti untuk memberikan kesaksian. Sebab, ahli hisab tidak menyandarkan kesaksiannya pada sesuatu yang bersifat pasti (menyakinkan), atau melakukan observasi secara langsung (melihat). Mereka menetapkan hilal hanya berdasarkan perhitungan-perhitungan yang tidak menyakinkan. Untuk itu, secara syar’iy, mereka tidak boleh memberikan kesaksiannya tentang rukyatul hilal. Hanya orang yang menyaksikan secara langsung saja yang boleh memberikan kesaksiannya. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Jika kalian melihatnya seperti melihat matahari, maka bersaksilah, jika tidak tinggalkanlah.

Sesungguhnya, ahli hisab tidak menyaksikan bulan secara langsung. Ia hanya menyandarkan pada perhitungan-perhitungan yang bersifat dzanniy. Sebab, meskipun mereka mengklaim perhitungan hisabnya memiliki akurasi yang tinggi, akan tetapi tetap saja tidak menyakinkan (absolut). Lebih-lebih lagi ilmu hisab tidak bisa memprediksi cuaca yang ada di daerah itu. Mereka tidak bisa memastikan bahwa bulan bisa terlihat atau tidak di suatu daerah. Sebab, bisa saja daerah tersebut berawan, atau hujan, yang menjadikan seseorang tidak bisa melakukan observasi secara langsung.

Walhasil, kesaksian orang yang melihat hilal tidak bisa digugurkan oleh perhitungan ahli hisab. Kesaksian seseorang hanya bisa digugurkan oleh sebab-sebab syar’iy. Jika syarat-syarat kesaksian tidak terpenuhi, maka kesaksiannya bisa gugur. Misalnya, saksi tidak adil dan terkenal ketidakjujurannya, dan lain sebagainya. Dalam kondisi semacam ini, kesaksiannya bisa gugur.

Kedua, dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan, Rasulullah Saw sendiri tidak meminta kita untuk memastikan apakah bulan benar-benar sudah wujud atau tidak. Rasulullah Saw hanya memerintahkan kaum muslim untuk rukyatul hilal (memantau bulan) pada tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadhan. Jika bulan berhasil dilihat dan tidak terhalang mendung, atau tidak terhambat oleh cuaca, maka esok paginya kita diwajibkan berpuasa, atau hari raya. Sebaliknya, meskipun bulan sudah wujud, dan memenuhi syarat-syarat astronomi untuk bisa dilihat, namun jika kaum muslim tidak berhasil melihatnya, karena faktor cuaca, atau karena sebab-sebab yang lain, maka esoknya kita tidak berpuasa, alias harus digenapkan (istikmal). Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari.” [HR. an-Nasa’i].

Hadits ini dengan sangat jelas memberikan pengertian, bahwa walaupun bulan sudah wujud –memenuhi parameter-parameter astronomi–, akan tetapi jika terhalang mendung, maka kita harus menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Seandainya hisab bisa dijadikan bayyinah (bukti), tentunya faktor mendung tidak lagi relevan. Jika bulan sudah wujud dan sudah sangat mungkin untuk dilihat di suatu daerah –berdasarkan kalkulasi astronomi–, akan tetapi, jika terhalang mendung –sehingga tidak bisa dirukyat–, maka puasa tetap tidak boleh dilakukan esok harinya. Sebab, Rasulullah memerintahkan kita hanya merukyat, bukan memastikan bulan wujud atau tidak berdasarkan perhitungan astronomi. Perkataan Rasulullah Saw di atas, menunjukkan, bahwa sesungguhnya beliau Saw memahami bahwa bulan telah wujud dan sudah sangat mungkin untuk dilihat, akan tetapi tetap saja beliau memerintahkan kaum muslim untuk menggenapkan jika mereka tidak berhasil merukyatnya karena sebab-sebab tertentu (misalnya karena mendung). Untuk itu, yang terpenting adalah apakah hilal berhasil dilihat atau tidak, bukan sudah wujud atau belum.

Oleh karena itu, seandainya perhitungan astronomi menetapkan bahwa bulan telah wujud dan mungkin dilihat di suatu daerah, namun tidak secara otomatis, esok harinya kaum muslim harus sudah memulai melakukan ibadah puasa. Sebab, bisa saja daerah tersebut tertutup mendung tebal yang menghalangi proses rukyat. Meskipun secara astronomi bulan sudah terlihat, namun tidak secara otomatis kaum muslim harus memulai bulan Ramadlan pada hari itu juga. Sebab, bisa jadi penglihatannya terhalang oleh mendung. Ketika di daerah itu terhalang mendung, maka kaum muslim tetap harus menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30 hari.

Ini semakin menguatkan, bahwa hisab tidak bisa membatalkan rukyat. Rukyat hanya akan gugur, jika kesaksiannya dilakukan oleh orang-orang yang tidak adil, ataupun kesaksiannya tidak masuk akal.

Ketiga, jika menurut astronomi ketinggian hilal belum cukup, atau jarak waktu ijtima’ dengan ghurub (matahari tenggelam) pendek, lantas ada orang bersaksi menyaksikan bulan, apakah yang disaksikan orang tersebut hilal atau bukan? Sesungguhnya, secara syar’iy kita tidak diperintahkan untuk menelusur hal ini lebih lanjut. Sebab, selama saksi menyatakan bahwa ia melihat dengan mata kepala sendiri, dan ia terkenal orang-orang yang adil, tsiqat, dan tidak meragukan, maka secara syar’iy kita wajib menerima kesaksiannya. Sebab, beberapa kejadian astronomi yang aneh juga sempat terjadi. Kejadian seperti ini sering disebut dengan “rukyat aneh”. Misalnya, berdasarkan perhitungan hisab, di suatu daerah ketinggian bulannya tidak memenuhi syarat akan tetapi ternyata bulan terlihat dengan jelas di daerah tersebut. Bahkan ada daerah yang ijtima’nya ba’da al-ghurub ternyata dilaporkan bahwa bulan tampak di daerah tersebut, contohnya kasus di Ukraina dan daerah Asia Tengah, dan juga di Indonesia. Selain itu, kita bisa mempertanyakan juga kepada ahli hisab, dengan perhitungan mana, dan hisab versi mana ia bisa menentukan bahwa di daerah tersebut ketinggian bulan belum cukup?

Keempat, selama ini orang yang mengaku melihat bulan, atau yang bersaksi melihat bulan dikesankan buta astronomi, atau tidak mengerti astronomi. Bahkan dibuat cerita mengada-ada mengenai orang yang melakukan rukyat. Misalnya, rukyatnya menghadap timur, selatan, mengalami halusinasi, dan lain sebagainya. Akibatnya, seringkali hasil rukyat yang dilaporkan di suatu negeri dikritik hanya karena tidak memenuhi perhitungan hisab sebagian ahli hisab. Padahal, orang-orang yang melakukan rukyat bukanlah orang bodoh yang tidak mengerti ilmu hisab beserta kalkulasi-kalkulasinya. Orang yang melakukan rukyat, juga memperhatikan ilmu-ilmu hisab untuk membantu mereka tatkala melakukan observasi. Mereka tidak ngawur dalam melakukan rukyat dan kalkulasi hisabnya.

Di sisi yang lain, perlu diketahui juga, bahwa para ahli hisab sendiri berbeda-beda pendapat dalam hal menetapkan waktu ijtima’, parameter-parameter mengenai wujud, imkaan rukyat, dan lain sebagainya. Bahkan, rumus-rumus yang mereka gunakan juga berbeda-beda dengan tingkat perbedaan yang lebar, bahkan ada yang perbedaan perhitungannya sampai satu hari. Perbedaan-perbedaan ini tentunya berakibat, sebagian ahli hisab menyatakan, bahwa suatu daerah dianggap belum layak untuk melihat bulan, sedangkan menurut ahli hisab yang lain sudah layak. Walhasil, kita bisa mengajukan pertanyaan, menurut perhitungan yang mana, dan rumus yang mana.

Jadi, kita tidak perlu menggubris orang yang meragukan hasil rukyat yang sering digembar-gemborkan ahli hisab, jika telah memenuhi syarat-syarat kesaksian syar’iy. Cukuplah Allah dan RasulNya sebagai panutan kita, bukan ahli hisab. Beliau Saw hanya meminta kita untuk melihat bulan, dan bersaksi berdasarkan penglihatan secara langsung, bukan berdasarkan hitungan-hitungan hisab yang masih dzanniy. Wallahu A’lam bi al-Shawab [Syamsuddin Ramadhan][al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.