Penjelasan dan Metode yang Rajih dalam Penentuan Awal dan Akhir Romadhon
PENETAPAN AWAL-AKHIR RAMADHAN
Oleh Al-Ustadz Asadullah (Syabab Hizbut Tahrir Sukolilo)
Beberapa hal yang penting dipahami :
1. Islam sangat mendorong kaum Muslim melakukan diskusi untuk mencari kebenaran tertinggi.
2. Muqaranah dan mujadalah (perbandingan dan diksusi) adalah tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an telah mendokumentasikan tradisi ini hampir pada setiap masa kenabian. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi orang-orang yang kafir membantah (mendebat) dengan yang bathil, agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak…”(Qs. al-Kahfi [18]: 56).
3. Tujuan utama dari diskusi dan perbandingan adalah mencari kebenaran tertinggi; agar tampak jelas mana pendapat yang benar dan mana pendapat yang salah. mana pendapat yang kuat dan mana pendapat yang lemah. Bila suatu pendapat telah terbukti keliru atau lemah, maka pendapat itu harus ditinggalkan dengan sikap lapang dada, dan penuh keikhlasan. Tidak sepantasnya ia bersikukuh dengan pendapat yang telah terbukti kesalahan dan kelemahannya. Pasalnya, menolak kebenaran adalah kesombongan.
Sikap kita terhadap perbedaan pendapat (ikhtilaf)
1. Perbedaan pendapat bisa ditolerir selama perbedaan tersebut menyangkut masalah-masalah dzanniyyah. Sedangkan perbedaan pendapat dalam perkara-perkara ushul dan qath'iy adalah perbedaan pendapat yang dilarang.
2. Setiap pendapat harus dibangun di atas dalil-dalil yang mu'tabar, yakni al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas; atau syubhat dalil.
3. Jika terjadi perbedaan pendapat, harus dikembalikan kepada al-Qur’an, Sunnah, dan apa yang ditunjuk oleh keduanya; bukan dikembalikan kepada keinginan dan hawa nafsu, gengsi, status quo, atau tendensi-tendensi politis.
4. Jika ada dua pendapat yang sama-sama syar'iy, seorang Muslim wajib melakukan tarjih untuk menentukan mana pendapat yang terkuat. Sebab, seorang Muslim tidak mungkin mengerjakan satu perbuatan dengan dua hukum yang berlawanan. Ia harus memilih salah satu pendapat yang dianggapnya rajih berdasarkan kaidah-kaidah tarjih.
5. Perbedaan pendapat dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan; baik dengan hisab dan rukyat, beserta varian-variannya, merupakan perbedaan pendapat yang lumrah dan masih di dalam koridor pendapat Islamiy. Atas dasar itu, perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidak boleh memerosokkan kaum Muslim dalam pertikaian dan perseteruan.
Metode Penetapan awal-akhir Ramadhan dalam Khazanah Fiqh Islam
Pendapat yang Rajih Menurut Hizbut Tahrir
Pendapat yang rajih (kuat) dan lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah mengenai penetapan awal dan akhir Ramadhan adalah ru’yat yang berlaku untuk seluruh kaum Muslim yaitu Rukyat Mathla’ global/universal, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha.
TELAAH KRITIS TERHADAP METODE HISAB DAN RUKYAT LOKAL
1. Telaah Kritis Terhadap Metode Hisab
Dalil yang digunakan sebagai landasan dalam metode hisab adalah :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Qs. Yunus [10] : 5)
Kritik Terhadap Hujjah yang Melandaskan Kepada Ayat Tersebut :
a. Ayat ini umum. Pada kasus penentuan awal Ramadhan, ada nash sharih yang menyatakan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan harus berdasarkan ru’yat bukan dengan hisab.
b. Mafhum surat Yunus [10]: 5 harus dikalahkan bila ada nash sharih yang menentangnya, yaitu Rasulullah Saw bersabda :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah ra.]
Dalil kedua yang dijadikan landasan Hisab :
Hadits riwayat Imam Bukhari :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
“Sesungguhnya kami ini adalah ummat ummi dan tidak menulis dan menghisab. Bulan itu adalah begini dan begini, yakni, kadang-kadang 29 hari kadang-kadang 30 hari.” [HR. Imam Bukhari]
Berdasar hadits ini dinyatakan bahwa ‘illat (sebab tasyri’) dilakukan ru’yat adalah karena saat itu kaum Muslim tidak mengetahui ilmu hisab. Jika mereka telah mengetahui hisab, tentunya hisab diperbolehkan untuk mengganti ru’yat.
Kritik Terhadap Hujjah yang Melandaskan Kepada Hadist Tersebut :
a. Hadits ini berbentuk akhbariyyah, yakni hanya menceritakan kondisi kaum Muslim pada saat itu; dan sama sekali tidak mengandung perintah maupun larangan. Oleh karena itu, ummi bukanlah ‘illat (sebab tasyri’) disyariatkannya ru’yat.
b. Kebolehan hisab yang digali dari hadits ini didasarkan pada mafhum hadits ini. Padahal mafhum bila bertentangan dengan nash yang sharih, “Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” [HR. Muslim]. Dalam kondisi semacam ini, mafhum harus dikalahkan.
Dalil ketiga yang dijadikan landasan Hisab :
Hadits riwayat Imam Muslim;
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّىتَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” [HR. Muslim].
Dinyatakan bahwa frase "faqduruulahu" (perkirakanlah) disini artinya hitunglah, yakni bolehnya menetapkan awal Ramadhan dengan hisab.
Kritik Terhadap Hujjah yang Melandaskan Kepada Hadist Tersebut :
1. Untuk menafsirkan kata “faqduruulahu" (perkirakanlah), maka kita harus melihat konteks hadits tersebut secara utuh, dan membandingkannya dengan nash-nash hadits lainnya.
2. Jika kita perhatikan nash-nash hadits lain dapat disimpulkan bahwa faqdurûlahu (perkirakan), artinya adalah “sempurnakanlah bilangan bulannya (Sya'ban) menjadi 30 hari.” Sebagaimana riwayat menyebutkan :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah ra.]
3. Seandainya makna faqdurûlahu adalah hisab, tentunya Rasulullah Saw tidak akan menyatakan kalimat, “Jika kalian terhalang mendung.” Sebab, hisab tidak dipengaruhi ada atau tidaknya mendung.
Hujjah selanjutnya yang dijadikan landasan Hisab :
Kata liru’yatihi (melihatnya), tidak hanya bermakna melihat dengan mata telanjang. Namun kata ra’a, dapat diartikan berpikir.
Kritik Terhadap Hujjah Tersebut :
a. Bila kita perhatikan keseluruhan nash hadits sangat jelas, bahwa ru’yat di sana berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab.
b. Kata, “jika terhalang mendung, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga pula hari”. Lafadz ini dengan jelas menunjukkan bahwa ru’yat dalam nash tersebut berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab.
c. Penafsiran itu juga akan bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya kami ini adalah ummat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” [HR. Bukhari]. Hadits ini menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan hisab. Bagaimana bisa dikatakan bahwa tafsir "liru’yatihi" adalah menghitung (bukan melihat dengan mata telanjang); sedangkan Rasulullah Saw tidak (bisa) melakukan hisab? Bukankah hadits di atas adalah ucapan Rasul dan terjadi pada masa Rasulullah ? Dan atas hak apa kita menafsirkan ucapan Rasulullah (ra’a) dengan hisab ?
2. Telaah Kritis Terhadap Metode Rukyat Lokal
Rukyat Matla’ Lokal
Ulama Syafi’iyyah : jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yat bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yat sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain. (lihat Kitab al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah, I/h. 550 )
*24* إذا ثبت الهلال بقطر من الأقطار
* إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائل الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية، فانظر مذهبهم تحت الخط (الشافعية قالوا: إذا ثبتت رؤية الهلال في جهة وجب على أهل الجهة القريبة منها من كل ناحية أن يصوموا بناء على هذا للثبوت، والقرب يحصل باتحاد المطلع، بأن يكون بينهما أقل من أربعة وعشرين فرسخاً تحديداً، أما أهل الجهة البعيدة، فلا يجب عليهم الصوم بهذه الرؤية لاختلاف المطلع).
Hadist yang dijadikan landasan matla' lokal adalah :
Diriwayatkan dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilan-gan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’.(HR. Muslim 1087, at-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi di shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi 1/213)
Telaah kritis terhadap hadits Kuraib :
a. Hadist tersebut apakah tergolong marfû’ atau mawqûf?. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata :
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR Abu Dawud)
Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas. [al-Syaukani, Nayl al-Awthâr,7/25]
b. jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda ?”, “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.
Dalil yang digunakan adalah ijtihad Ibnu ‘Abbas, bukan hadits yang diriwayatkan secara marfu’. Walaupun hadits itu secara lafadziyyah seakan-akan menunjukkan marfu’, yakni perkataan Ibnu ‘Abbas, “wa hakadza amarana Rasulullah saw" (demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami”). Ibnu ‘Abbas sendiri banyak meriwayatkan hadits marfu’ yang bertentangan dengan hadits riwayat dari Kuraib di atas. Semisal riwayat dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi Saw :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي بَكْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ
“Dari Ibnu 'Abbas ra dikatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” [HR. Abu Dawud 2327, an-Nasa’i 1/302, at-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi].
Hadits tentang perintah ru’yat bersifat umum, dan khithab-nya (seruannya) berlaku bagi seluruh kaum Muslim.
Imam asy-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”
Lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani; Fâth al-Bârî; Bab Shiyâm.
Riwayat Kuraib tersebut merupakan ijtihad seorang sahabat. Atas dasar itu, hadits tersebut tidak absah dijadikan dalil atau apa pun untuk mentakhsis (mengkhususkan) keumuman lafadz yang terdapat dalam hadist "shûmû liru’yatihi". Sebab, yang bisa mentakhsis dalil syara’ harus dalil syara’ pula. Sehingga, hadist-hadist tersebut tetap dalam keumumannya. Sebagaimana kaidah ushul, "al-‘âm yabqa fi ‘umûmihi ma lam yarid dalil at-takhsish" (sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). (Dr. Muhammad Husain Abdullah, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, hal. 318)
Seandainya riwayat Kuraib tersebut absah digunakan sebagai dalil (hadits marfu’), maka berpegang kepada hadits yang diucapkan oleh Rasulullah Saw secara langsung (qâla Rasulullah Saw) lebih kuat dibandingkan dengan hadits yang dikatakan oleh seorang shahabat (misalnya, qâla Ibnu ‘Abbas). Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati kemarfu’annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan kemarfu’annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.” [Imam al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, jld. 2, hal. 364].
Penolakan Ibnu ‘Abbas ra terhadap ru’yatnya Mu’awiyyah bisa dipahami karena arus informasi ru’yat saat itu memang tidak cepat tersiar ke negeri-negeri kaum Muslim yang lain. Pasalnya, alat-alat transportasi dan telekomunikasi pada saat itu sangat terbatas dan lambat. Hadits ini sama sekali tidak menunjukkan, bolehnya kaum Muslim bersikukuh dengan ru’yat masing-masing, atau untuk membenarkan mathla’.
Hadits ini hanya merupakan solusi (pemecahan) yang diberikan oleh Rasulullah Saw tatkala kaum Muslim menghadapi kendali waktu dan jarak saat itu. Sebab, hadits-hadits yang lain justru menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw membatalkan puasanya karena mendengar informasi ru’yat dari negeri lain; misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Lima.
Ijtihad Abdullah Ibnu ‘Abbas ra juga bertentangan dengan makna sharih (eksplisit) yang terkandung di dalam hadits yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor :
“Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi Saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah Saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm].
Dan juga secara astronomis perbedaan mathla’ akan terasa aneh dan janggal. Daerah yang terletak dalam satu bujur harusnya bisa memulai puasa Ramadhan pada waktu yang bersamaan. Sebab, daerah yang terletak sebujur, sejauh apapun jaraknya tidak akan berbeda atau berselisih waktu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan memperhatikan persatuan dan kesatuan ummat Islam seluruh dunia, kaum Muslim akan lebih arif memilih pendapat untuk serentak melakukan puasa Ramadhan di seluruh dunia.
Bila Rukyat Bertentangan dengan Hisab
Metode syar’i untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan adalah ru’yat (observasi mata secara langsung), bukan hisab. Rukyat adalah metode yang dipilih oleh Nabi saw untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan. Hisab, walaupun dibutuhkan untuk memandu rukyat, namun hisab tidak bisa menggantikan rukyat.
Allah dan Rasulullah saw tidak meminta kita untuk memastikan apakah bulan sudah wujud atau tidak, sudah bisa dilihat atau tidak menurut perhitungan astronomis. Rasulullah Saw hanya memerintahkan kaum Muslim untuk ru’yatul hilal (memantau bulan) dalam menetapkan awal dan akhir Ramadlan. Rasulullah Saw bersabda:
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari.” [HR. an-Nasa’i].
Pendapat yang rajih (kuat) dan lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah mengenai penetapan awal adan akhir Ramadhan adalah ru’yat yang berlaku untuk seluruh kaum Muslim (mathla’ global/universal), sebagaimana pendapat jumhur fuqaha.
Namun demikian, perbedaan pendapat ini tidak akan pernah terselesaikan dengan tuntas, sebelum ada pihak yang berfungsi sebagai badan itsbat bagi seluruh kaum Muslim. Badan itsbat ini berfungsi sebagai penengah sekaligus pemutus perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim. Badan yang berhak menetapkan masalah ini adalah pemimpin seluruh kaum Muslim, yaitu Khalifah.
WalLahu a’lam bish-showab
[al-khilafah.org]
Selengkapnya tentang Kesaksian Hilal Yang Bertentangan Dengan Ilmu Astronomi
Jika ada orang yang mengatakan bahwa mereka melihat hilal, sedangkan menurut ilmu astronomi itu mustahil bisa di lihat, apakah kita tetap wajib untuk menerimanya atau wajib menolaknya?
Oleh Al-Ustadz Asadullah (Syabab Hizbut Tahrir Sukolilo)
Beberapa hal yang penting dipahami :
1. Islam sangat mendorong kaum Muslim melakukan diskusi untuk mencari kebenaran tertinggi.
2. Muqaranah dan mujadalah (perbandingan dan diksusi) adalah tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an telah mendokumentasikan tradisi ini hampir pada setiap masa kenabian. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi orang-orang yang kafir membantah (mendebat) dengan yang bathil, agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak…”(Qs. al-Kahfi [18]: 56).
3. Tujuan utama dari diskusi dan perbandingan adalah mencari kebenaran tertinggi; agar tampak jelas mana pendapat yang benar dan mana pendapat yang salah. mana pendapat yang kuat dan mana pendapat yang lemah. Bila suatu pendapat telah terbukti keliru atau lemah, maka pendapat itu harus ditinggalkan dengan sikap lapang dada, dan penuh keikhlasan. Tidak sepantasnya ia bersikukuh dengan pendapat yang telah terbukti kesalahan dan kelemahannya. Pasalnya, menolak kebenaran adalah kesombongan.
Sikap kita terhadap perbedaan pendapat (ikhtilaf)
1. Perbedaan pendapat bisa ditolerir selama perbedaan tersebut menyangkut masalah-masalah dzanniyyah. Sedangkan perbedaan pendapat dalam perkara-perkara ushul dan qath'iy adalah perbedaan pendapat yang dilarang.
2. Setiap pendapat harus dibangun di atas dalil-dalil yang mu'tabar, yakni al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas; atau syubhat dalil.
3. Jika terjadi perbedaan pendapat, harus dikembalikan kepada al-Qur’an, Sunnah, dan apa yang ditunjuk oleh keduanya; bukan dikembalikan kepada keinginan dan hawa nafsu, gengsi, status quo, atau tendensi-tendensi politis.
4. Jika ada dua pendapat yang sama-sama syar'iy, seorang Muslim wajib melakukan tarjih untuk menentukan mana pendapat yang terkuat. Sebab, seorang Muslim tidak mungkin mengerjakan satu perbuatan dengan dua hukum yang berlawanan. Ia harus memilih salah satu pendapat yang dianggapnya rajih berdasarkan kaidah-kaidah tarjih.
5. Perbedaan pendapat dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan; baik dengan hisab dan rukyat, beserta varian-variannya, merupakan perbedaan pendapat yang lumrah dan masih di dalam koridor pendapat Islamiy. Atas dasar itu, perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidak boleh memerosokkan kaum Muslim dalam pertikaian dan perseteruan.
Metode Penetapan awal-akhir Ramadhan dalam Khazanah Fiqh Islam
Pendapat yang Rajih Menurut Hizbut Tahrir
Pendapat yang rajih (kuat) dan lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah mengenai penetapan awal dan akhir Ramadhan adalah ru’yat yang berlaku untuk seluruh kaum Muslim yaitu Rukyat Mathla’ global/universal, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha.
TELAAH KRITIS TERHADAP METODE HISAB DAN RUKYAT LOKAL
1. Telaah Kritis Terhadap Metode Hisab
Dalil yang digunakan sebagai landasan dalam metode hisab adalah :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Qs. Yunus [10] : 5)
Kritik Terhadap Hujjah yang Melandaskan Kepada Ayat Tersebut :
a. Ayat ini umum. Pada kasus penentuan awal Ramadhan, ada nash sharih yang menyatakan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan harus berdasarkan ru’yat bukan dengan hisab.
b. Mafhum surat Yunus [10]: 5 harus dikalahkan bila ada nash sharih yang menentangnya, yaitu Rasulullah Saw bersabda :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah ra.]
Dalil kedua yang dijadikan landasan Hisab :
Hadits riwayat Imam Bukhari :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
“Sesungguhnya kami ini adalah ummat ummi dan tidak menulis dan menghisab. Bulan itu adalah begini dan begini, yakni, kadang-kadang 29 hari kadang-kadang 30 hari.” [HR. Imam Bukhari]
Berdasar hadits ini dinyatakan bahwa ‘illat (sebab tasyri’) dilakukan ru’yat adalah karena saat itu kaum Muslim tidak mengetahui ilmu hisab. Jika mereka telah mengetahui hisab, tentunya hisab diperbolehkan untuk mengganti ru’yat.
Kritik Terhadap Hujjah yang Melandaskan Kepada Hadist Tersebut :
a. Hadits ini berbentuk akhbariyyah, yakni hanya menceritakan kondisi kaum Muslim pada saat itu; dan sama sekali tidak mengandung perintah maupun larangan. Oleh karena itu, ummi bukanlah ‘illat (sebab tasyri’) disyariatkannya ru’yat.
b. Kebolehan hisab yang digali dari hadits ini didasarkan pada mafhum hadits ini. Padahal mafhum bila bertentangan dengan nash yang sharih, “Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” [HR. Muslim]. Dalam kondisi semacam ini, mafhum harus dikalahkan.
Dalil ketiga yang dijadikan landasan Hisab :
Hadits riwayat Imam Muslim;
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّىتَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” [HR. Muslim].
Dinyatakan bahwa frase "faqduruulahu" (perkirakanlah) disini artinya hitunglah, yakni bolehnya menetapkan awal Ramadhan dengan hisab.
Kritik Terhadap Hujjah yang Melandaskan Kepada Hadist Tersebut :
1. Untuk menafsirkan kata “faqduruulahu" (perkirakanlah), maka kita harus melihat konteks hadits tersebut secara utuh, dan membandingkannya dengan nash-nash hadits lainnya.
2. Jika kita perhatikan nash-nash hadits lain dapat disimpulkan bahwa faqdurûlahu (perkirakan), artinya adalah “sempurnakanlah bilangan bulannya (Sya'ban) menjadi 30 hari.” Sebagaimana riwayat menyebutkan :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah ra.]
3. Seandainya makna faqdurûlahu adalah hisab, tentunya Rasulullah Saw tidak akan menyatakan kalimat, “Jika kalian terhalang mendung.” Sebab, hisab tidak dipengaruhi ada atau tidaknya mendung.
Hujjah selanjutnya yang dijadikan landasan Hisab :
Kata liru’yatihi (melihatnya), tidak hanya bermakna melihat dengan mata telanjang. Namun kata ra’a, dapat diartikan berpikir.
Kritik Terhadap Hujjah Tersebut :
a. Bila kita perhatikan keseluruhan nash hadits sangat jelas, bahwa ru’yat di sana berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab.
b. Kata, “jika terhalang mendung, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga pula hari”. Lafadz ini dengan jelas menunjukkan bahwa ru’yat dalam nash tersebut berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab.
c. Penafsiran itu juga akan bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya kami ini adalah ummat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” [HR. Bukhari]. Hadits ini menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan hisab. Bagaimana bisa dikatakan bahwa tafsir "liru’yatihi" adalah menghitung (bukan melihat dengan mata telanjang); sedangkan Rasulullah Saw tidak (bisa) melakukan hisab? Bukankah hadits di atas adalah ucapan Rasul dan terjadi pada masa Rasulullah ? Dan atas hak apa kita menafsirkan ucapan Rasulullah (ra’a) dengan hisab ?
2. Telaah Kritis Terhadap Metode Rukyat Lokal
Rukyat Matla’ Lokal
Ulama Syafi’iyyah : jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yat bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yat sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain. (lihat Kitab al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah, I/h. 550 )
*24* إذا ثبت الهلال بقطر من الأقطار
* إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائل الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية، فانظر مذهبهم تحت الخط (الشافعية قالوا: إذا ثبتت رؤية الهلال في جهة وجب على أهل الجهة القريبة منها من كل ناحية أن يصوموا بناء على هذا للثبوت، والقرب يحصل باتحاد المطلع، بأن يكون بينهما أقل من أربعة وعشرين فرسخاً تحديداً، أما أهل الجهة البعيدة، فلا يجب عليهم الصوم بهذه الرؤية لاختلاف المطلع).
Hadist yang dijadikan landasan matla' lokal adalah :
Diriwayatkan dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilan-gan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’.(HR. Muslim 1087, at-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi di shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi 1/213)
Telaah kritis terhadap hadits Kuraib :
a. Hadist tersebut apakah tergolong marfû’ atau mawqûf?. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata :
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR Abu Dawud)
Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas. [al-Syaukani, Nayl al-Awthâr,7/25]
b. jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda ?”, “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.
Dalil yang digunakan adalah ijtihad Ibnu ‘Abbas, bukan hadits yang diriwayatkan secara marfu’. Walaupun hadits itu secara lafadziyyah seakan-akan menunjukkan marfu’, yakni perkataan Ibnu ‘Abbas, “wa hakadza amarana Rasulullah saw" (demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami”). Ibnu ‘Abbas sendiri banyak meriwayatkan hadits marfu’ yang bertentangan dengan hadits riwayat dari Kuraib di atas. Semisal riwayat dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi Saw :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي بَكْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ
“Dari Ibnu 'Abbas ra dikatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” [HR. Abu Dawud 2327, an-Nasa’i 1/302, at-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi].
Hadits tentang perintah ru’yat bersifat umum, dan khithab-nya (seruannya) berlaku bagi seluruh kaum Muslim.
Imam asy-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”
Lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani; Fâth al-Bârî; Bab Shiyâm.
Riwayat Kuraib tersebut merupakan ijtihad seorang sahabat. Atas dasar itu, hadits tersebut tidak absah dijadikan dalil atau apa pun untuk mentakhsis (mengkhususkan) keumuman lafadz yang terdapat dalam hadist "shûmû liru’yatihi". Sebab, yang bisa mentakhsis dalil syara’ harus dalil syara’ pula. Sehingga, hadist-hadist tersebut tetap dalam keumumannya. Sebagaimana kaidah ushul, "al-‘âm yabqa fi ‘umûmihi ma lam yarid dalil at-takhsish" (sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). (Dr. Muhammad Husain Abdullah, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, hal. 318)
Seandainya riwayat Kuraib tersebut absah digunakan sebagai dalil (hadits marfu’), maka berpegang kepada hadits yang diucapkan oleh Rasulullah Saw secara langsung (qâla Rasulullah Saw) lebih kuat dibandingkan dengan hadits yang dikatakan oleh seorang shahabat (misalnya, qâla Ibnu ‘Abbas). Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati kemarfu’annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan kemarfu’annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.” [Imam al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, jld. 2, hal. 364].
Penolakan Ibnu ‘Abbas ra terhadap ru’yatnya Mu’awiyyah bisa dipahami karena arus informasi ru’yat saat itu memang tidak cepat tersiar ke negeri-negeri kaum Muslim yang lain. Pasalnya, alat-alat transportasi dan telekomunikasi pada saat itu sangat terbatas dan lambat. Hadits ini sama sekali tidak menunjukkan, bolehnya kaum Muslim bersikukuh dengan ru’yat masing-masing, atau untuk membenarkan mathla’.
Hadits ini hanya merupakan solusi (pemecahan) yang diberikan oleh Rasulullah Saw tatkala kaum Muslim menghadapi kendali waktu dan jarak saat itu. Sebab, hadits-hadits yang lain justru menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw membatalkan puasanya karena mendengar informasi ru’yat dari negeri lain; misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Lima.
Ijtihad Abdullah Ibnu ‘Abbas ra juga bertentangan dengan makna sharih (eksplisit) yang terkandung di dalam hadits yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor :
“Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi Saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah Saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm].
Dan juga secara astronomis perbedaan mathla’ akan terasa aneh dan janggal. Daerah yang terletak dalam satu bujur harusnya bisa memulai puasa Ramadhan pada waktu yang bersamaan. Sebab, daerah yang terletak sebujur, sejauh apapun jaraknya tidak akan berbeda atau berselisih waktu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan memperhatikan persatuan dan kesatuan ummat Islam seluruh dunia, kaum Muslim akan lebih arif memilih pendapat untuk serentak melakukan puasa Ramadhan di seluruh dunia.
Bila Rukyat Bertentangan dengan Hisab
Metode syar’i untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan adalah ru’yat (observasi mata secara langsung), bukan hisab. Rukyat adalah metode yang dipilih oleh Nabi saw untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan. Hisab, walaupun dibutuhkan untuk memandu rukyat, namun hisab tidak bisa menggantikan rukyat.
Allah dan Rasulullah saw tidak meminta kita untuk memastikan apakah bulan sudah wujud atau tidak, sudah bisa dilihat atau tidak menurut perhitungan astronomis. Rasulullah Saw hanya memerintahkan kaum Muslim untuk ru’yatul hilal (memantau bulan) dalam menetapkan awal dan akhir Ramadlan. Rasulullah Saw bersabda:
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari.” [HR. an-Nasa’i].
Pendapat yang rajih (kuat) dan lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah mengenai penetapan awal adan akhir Ramadhan adalah ru’yat yang berlaku untuk seluruh kaum Muslim (mathla’ global/universal), sebagaimana pendapat jumhur fuqaha.
Namun demikian, perbedaan pendapat ini tidak akan pernah terselesaikan dengan tuntas, sebelum ada pihak yang berfungsi sebagai badan itsbat bagi seluruh kaum Muslim. Badan itsbat ini berfungsi sebagai penengah sekaligus pemutus perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim. Badan yang berhak menetapkan masalah ini adalah pemimpin seluruh kaum Muslim, yaitu Khalifah.
WalLahu a’lam bish-showab
[al-khilafah.org]
Selengkapnya tentang Kesaksian Hilal Yang Bertentangan Dengan Ilmu Astronomi
Jika ada orang yang mengatakan bahwa mereka melihat hilal, sedangkan menurut ilmu astronomi itu mustahil bisa di lihat, apakah kita tetap wajib untuk menerimanya atau wajib menolaknya?
Tidak ada komentar