Header Ads

‘CALIPHATING HOPE’

‘CALIPHATING HOPE’

(TANGGAPAN TERHADAP TULISAN DAHLAN ISKAN DI JAWA POS  PADA 24 AGUSTUS 2012)

Oleh : dr. H.Muh. Usman, humas DPD HTI Jatim, dosen Fakultas Kedokteran Unair dan Univ. Wijaya Kusuma Surabaya

Tulisan serial ‘Makkah-Aqsa-Baghdad’ Dahlan Iskan di Jawa Pos di halaman 1 menarik untuk diikuti. Pada seri terakhir Jumat 24 Agustus 2012 ‘Perjalanan Mengenang Tragedi di Karbala’ paragraf ke 4 dari akhir tulisannya, ada tulisan yang penting mendapat respon, tepatnya pada kalimat, “ . . . Bagaimana bisa terjadi, gara-gara politik kekuasaan, pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir justru ketika umat Islam menganut paham pemerintahan kekhalifahan.’


Dari tulisan tersebut dapat menimbulkan persepsi bahwa penganut paham pemerintahan kekhalifahan penyebab pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir. Kesan ngeri, kejam dan sinis bisa muncul yang pada berikutnya menimbulkan sikap menjaga jarak, menjauh dan apriori terhadap ide khilafah Islam yang justru telah, sedang dan terus diopinikan oleh Hizbut Tahrir di seluruh dunia.

Tulisan Dahlan Iskan penting untuk direspon karena beberapa hal, pertama faktor Dahlan Iskan sebagai penulisnya. Sebagai ‘news maker’ nasional dengan jabatan Menteri BUMN menjadikan pendapatnya diikuti banyak kalangan. Apalagi dua tahun terakhir sudah digadang-gadang sebagai capres 2014. Kedua, faktor Jawa Pos yang memiliki oplag lebih dari 400 ribu dengan pembaca yang 3 – 5 kali lipatnya tentu merupakan opini yang cukup masif. Ketiga, faktor konten opini ‘khilafah’ yang sudah menjadi diskursus global  di antara yang pro dan kontra terhadapnya.

Pemilihan judul ‘Caliphating Hope’ terinspirasi dari tulisan Dahlan Iskan berseri di headline Jawa Pos setiap awal pekan yaitu ‘Manufacturing Hope’, dengan spirit yang sama untuk menumbuhkan ‘hope’ dan merekonstruksi harapan, dream, dan ide besar tersebut.

Kekerasan Politik
Kekerasan politik-militer bukan menjadi monopoli pemerintahan kekhalifahan Islam.  Dalam sejarah kaum Muslimin memang ada (dan banyak) terjadi pertumpahan darah dalam bentuk peperangan dan insiden. Perang Badar dan Perang Uhud ketika zaman Rasulullah saw, perang kepada Nabi palsu dan Perang Shiffin pada masa Khulafaur Rasyidin, Tragedi Karbala pada masa khilafah Umayah, Perang Salib ketika khilafah Abbasiyah ataupun khilafah Usmani saat penaklukan Konstantinopel dan Perang Dunia I.

Banyak darah mengalir mulai zaman baheula seperti Namruj (masa Nabi Ibrohim), Fir’aun (masa Nabi Musa), Raja Nebukadnezar sampai Kaisar Romawi Nero.  Dalam sejarah non-kekhalifahan juga terjadi pertumpahan darah seperti  Inquisisi Ratu Isabella-Raja Ferdinand terhadap muslim Andalusia, era kolonialisme-imperalisme kuno oleh kerajaan-kerajaan Eropa, pertempuran Katholik-Protestan di Eropa  selama berpuluh-puluh tahun, invasi Hitler yang meluluhlantakkan Eropa, sampai Revolusi Bolshevik Uni Soviet  oleh Lenin.

Begitu juga pada masa modern ketika khilafah Islam sudah tidak eksis lagi sejak keruntuhannya tahun 1924, pertumpahan darah tetap terjadi seperti Perang Vietnam, Perang Arab-Israel beberapa episode, genosida muslim Bosnia dan invasi Amerika Serikat ke Irak dan Afghanistan. Jadi, tidak fair jika paham pemerintahan khilafah dituduh penyebab ‘pertumpahan darah tidak henti-hentinya darah mengalir’.

Sisi Lain Kekhalifahan Islam
Setiap sejarah memiliki beberapa sisi yang tidak dapat digeneralisasi secara gegabah, termasuk terhadap sejarah pemerintahan khilafah Islam.  Sisi positif dan kegemilangan khilafah islam seperti saat Fathul Makkah oleh Rasulullah (tanpa ada setetes darah yang tumpah), penaklukan dan pembebasan Mesir dari pajak mencekik Romawi saat Khalifah Umar bin Khattab, kemakmuran yang merata (sampai tidak ada mau menerima zakat) masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Di bidang lain saat Khilafah Umayah mentradisinya intelektualisme Islam ketika pembukuan Hadits (Imam Bukhori, Imam Muslim dan lain-lain), juga mentradisinya intelektualisme ijtihad oleh Imam Madzahibul Arba’ (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali) dan beberapa ulama besar dalam spritualisme shufiyah seperti Imam Ghazali, Abdul Qodir Jailani, Rabi’ah Al adawiyah.

Belum lagi dalam bidang sains dan teknologi saat khilafah Abbasiyah, di antaranya saja Ibnu Sina peletak dasar ikmu kedokteran (kitab Qonun At Thib masih menjadi referensi pakar kedokteran sampai sekarang), Al Khawarizmi (ahli ilmu falak dan matematika di antaranya metode Aljabar), Jabir Ibnu Hayyan (peletak dasar ilmu kimia murni dan terapan untuk industri parfum, pewarna, dll), Ibnu Haytsam (pakar fisika optik yang menggambarkan cara kerja mata dan kamera), dan puluhan lainnya seperti Al Biruni, Ibnu Khaldun, Ibnu Batutah, Ibnu Taymiyah dan lain-lain. Semuanya adalah hidup dalam masa khilafah Islam,  sehingga khilafah Islam tidak selalu menimbulkan ‘pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir’.

Panggilan untuk Hati yang Sehat
Sebagai pemilik hati yang sehat (qolbun salim) setelah melewati Ramadhan 1433 H, kita semua berharap memandang sebuah persoalan tidak dari sudut pandang orientalisme-liberalisme seperti Snouck Hurgronye atau Van der Plas yang selalu menjadikan Islam sebagai yang tertuduh dan muara segala kejelekan dan kejahatan.  Sebagai wujud syukur kita setelah terbebas dari hati yang sakit (qolbun maridh), adalah berupaya dengan antusias dan ikhlas menggali Islam dengan sudut pandang yang hanif / lurus, termasuk memandang terhadap ide pemerintahan khilafah.

Ide khilafah islam layak untuk dipelajari dan diterapkan tidak semata-mata karena secara empiris telah eksis 13 abad (bandingkan saja dengan pemerintahan kapitalisme-sekuler  baru ada sejak abad 18, apalagi pemerintahan sosialisme-komunis tidak sampai 1 abad). Tapi semata-mata karena panggilan akidah Islam untuk dapat membumikan Al Quran dan Al Hadits, panggilan untuk dapat menerapkan syariah Islam secara kaaffah dalam semua bidang kehidupan, panggilan untuk bersama-sama mewujudkan misi rohmatan lil alamin bagi seluruh umat manusia, bukan hanya untuk kaum muslimin saja.

Dalam konteks Indonesia, pemerintahan khilafah dapat mengantarkan Indonesia sebagai Negara supor power dunia. Di antaranya modalnya adalah bahwa kaum muslim di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, kekayaan sumber daya alam, posisi geo-stratgeis, akar historis wali songo dan lain-lain.

Jadi, jangan bunuh harapan kaum muslimin terhadap masa depan yang lebih cerah. Jangan bunuh ‘hope’ untuk dapat keluar dari lingkaran syetan sistem kapitalisme-sekuler yang telah gagal mengantarkan umat manusia kepada kemakmuran dan keadilan global.  Ide kapitalisme-sekuler bahkan telah mengantarkan kepada jurang krisis kemanusiaan.

Pengarusutamaan syariah dan khilafah telah semakin mendapatkan dukungan dari berbagai elemen umat. Dan dengan metode memperjuangkannya secara benar sesuai yang diteladankan Rasulullah saw, maka kabar gembira (bisyaroh), khilafah akan kembali hadir di muka bumi akan segera menjadi kenyataan, “ . . . tsumma takuunu khilafatan ‘alaa minhajin nubuwwah.”

Bagaimana pendapat Anda? (*)
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.