Mutiara Keteladanan Para Pejuang Khilafah
Sungguh dalam diri Nabi saw. dan para Sahabat terdapat samudera keteladanan. Cukuplah seorang Muslim membaca, merenungkan dan menghayati sirah Nabi saw. dan para Sahabat. Tentu
membaca sirah Nabi saw. dan para Sahabat itu bukan hanya secara garis
besar, selintas atau dalam aspek-aspek tertentu saja ataupun sebagai
produk yang sudah jadi. Namun, hendaknya sirah itu dibaca dengan detil berikut dialog-dialog dan setting-nya, disertai dengan penghayatan sehingga seolah-olah kita menjadi bagian dan terlibat di dalamnya.
Namun, kadang-kadang terbersit anggapan, “Wajar saja, Nabi saw. kan langsung dibimbing wahyu. Pantas para Sahabat seperti itu, mereka kan langsung dididik oleh Rasul saw.”
Ada pula ungkapan, “Kita kan bukan Sahabat. Kondisi kita pun jauh beda dengan mereka.”
Mungkin
pula ada pertanyaan, “Apa mungkin keteladanan Nabi saw. dan para
Sahabat diaplikasikan saat ini? Apa iya ada sosok seperti Sahabat pada
masa modern seperti sekarang?”
Untuk itulah tulisan ini secara singkat mengutip beberapa memoar tentang para pengemban dakwah syabab Hizb generasi awal. Harus diingat bahwa pemaparan ini bukan untuk berbangga-bangga dengan mereka atau mengagungkan mereka. Mereka
memang memiliki kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah. Namun,
mereka sama sekali tidak butuh dibangga-banggakan ataupun diagungkan. Paparan
singkat ini hanyalah agar menjadi ‘sekolah’ yang mengajarkan kepada
kita sedikit dari sikap para pendahulu kita; supaya kita berjalan
menapaki kemuliaan sebagaimana mereka; juga supaya kita membuka mata
kita bahwa keagungan para Sahabat Rasul saw. mungkin berulang lagi saat
ini dalam diri orang-orang yang memiliki keimanan, keberanian, keteguhan
dan kesabaran sebagaimana para Sahabat.
Kuat Menghadapi Ujian Dakwah
H. Ya’qub Ishaq al-Hanini-Abu Marwan dalam memoarnya menceritakan, “Pada masa-masa awal, dakwah menghadapi banyak halangan. Terjadi pertarungan intelektual yang sengit antara kami dengan orang-orang komunis, ba’ats, sosialis dan jamaah-jamaah lain. Pertarungan sengit itu dibarengi dengan tekanan yang keras dari negara dan intelijennya. Kami menyebarkan leaflet
politik secara heroik dan setelah itu dilakukan berbagai penangkapan
terhadap kami dari satu waktu ke waktu lain. Kami bahkan harus keluar
rumah memakai baju tidur di balik baju kerja sebagai persiapan jika
terjadi penangkapan. Penggerebekan, penggeledahan rumah dan tempat kerja
kami oleh intelijen terjadi hampir setiap hari. Namun demikian, alhamdulillah, semua itu tidak menghalangi kami dari perjuangan atau menyelewengkan kami dari misi kami.”
Syaikh
Ya’qub Abu Ramilah dalam wawancara memoarnya 9 Juli 2006 mengatakan,
“Anda sekarang menikmati pembiaran oleh pemerintah dan sebagian besar syabab tidak mengalami tekanan-tekanan politis. Sebaliknya, kami pada masa kami dulu bagaikan api yang menyala-nyala. Para syabab saat itu mengemban dakwah seraya membusungkan dadanya menghadapi segala bentuk tekanan dan penyiksaan. Kami tidak kenal rasa takut kecuali kepada Allah SWT. Kami
tidak bermanis muka dan tidak berlaku hipokrit. Perintah Amir wajib
dilaksanakan sendiri atau bersama-sama pada waktu, tempat dan sesuai
yang diperintahkan tanpa rasa takut atau gentar.”
Waktu itu, menyebarkan leaflet,
menyampaikan khutbah atau ceramah yang berisi kritik terhadap sistem
dan rezim, bahkan sekadar berafiliasi kepada Hizb atau memiliki buku
Hizb saja, sudah cukup bagi rezim dan kaki tangannya untuk menangkap
para syabab. Mereka yang ditangkap itu bisa langsung dijatuhi vonis, bahkan secara in absentia, berupa hukuman penjara satu tahun bahkan lebih. Banyak
pengemban dakwah yang ditangkap dan dipenjara atau dideportasi oleh
rezim-rezim Timur Tengah baik Yordan termasuk Palestina, Libanon, Suria,
Mesir, Irak, Yaman, Kuwait, Saudi, UEA ataupun yang lainnya. Banyak di
antara mereka yang mendapatkan siksaan brutal di dalam penjara, bahkan
tak sedikit yang syahid di jalan dakwah dibunuh secara keji oleh para
begundal rezim yang ada (detilnya tidak dinukilkan di sini, red.). Mereka semua diperlakukan seperti itu bukan karena melakukan kejahatan, perbuatan kriminal, kekerasan atau sejenisnya. Yang mereka lakukan hanya satu, yaitu mendakwahkan mabda’ (ideologi) Islam. Alat
yang mereka gunakan bukanlah senjata tajam, senapan, panah atau
alat-alat perang lainnya, melainkan hanya mulut untuk berbicara dan
tangan untuk menyebarkan leaflet. Kondisi mereka persis seperti yang dihadapi oleh Nabi saw. dan para Sahabat.
Berani Menyatakan Kebenaran
Keberanian
itu baru teruji pada kondisi yang memang menuntut keberanian sikap.
Banyak sekali contoh keberanian para pengemban dakwah syabab
Hizb generasi awal. Contohnya adalah delegasi yang diutus menyampaikan
koreksi kepada Moammar Qaddafi atas pengingkarannya terhadap kehujjahan
as-Sunnah. Delegasi dengan penuh keberanian berbicara di depan Qaddafi.
Berlangsunglah diskusi/perdebatan selama beberapa jam. Setelah itu, memoar tersebut (tertanggal 7 Syawal 1398 H/9 September 1978) disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat. Qaddafi murka. Akibatnya, sejarah mencatat, puluhan syabab Hizb gugur sebagai syahid dibunuh oleh rezim Qaddafi.
Contoh lain: pernah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dipanggil Raja Husein di istananya. Ketika Raja Husein bertanya ketiga kalinya kepada Syaikh dan meminta beliau untuk ber-wala’ kepada orang yang loyal kepada Raja Husein dan memusuhi orang yang memusuhi dia, Syaikh an-Nabhani rahimahullah menjawab, “Sungguh sebelumnya aku sudah berjanji kepada Allah untuk ber-wala’ kepada orang-orang yang ber-wala’ kepada Allah dan Rasul-Nya serta memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya.” Raja
Husein pun naik pitam. Dia berteriak menyuruh Syaikh an-Nabhani keluar
dan memerintahkan kepada intelijen agar menjebloskan beliau ke penjara. Sejumlah syaikh dan ulama yang ada ketika itu tidak ada yang berani angkat bicara. Muhammad
Hamdi Abdurrouf al-‘Ariyan dalam memoarnya (Januari 1985) mengatakan,
“Aku tahu kemudian bahwa Raja mengutus seseorang untuk menawarkan
jabatan Qadhi Qudhat kepada Syaikh an-Nabhani asal Syaikh menampakkan wala’ kepada Raja. Tentu saja Syaikh menolak mentah-mentah tawaran tersebut.”
Saat dikeluarkan UU al-‘Wa’zhu wa al-Irsyad untuk menghalangi syabab menyampaikan dakwah di masjid—sebab yang boleh ceramah hanya yang punya lisensi/izin dari penguasa—Syaikh Rabi’ al-Asyhab rahimahullah
mendapat tugas untuk menyampaikan komentar atas UU itu di masjid
Ibrahimi di al-Khalil. Setelah shalat Jumat, beliau berdiri membaca
basmalah dan mulai menyampaikan komentar itu kepada jamaah. Para intel yang mengelilingi beliau menghardik beliau agar diam. Beliau
menjawab dengan keras, “Aku akan menyempurnakan pekerjaan ini dan tidak
akan lari dari kalian. Aku akan menyerahkan diriku, tetapi setelah aku
menyempurnakan pelajaran dan komentarku atas UU yang tidak adil bagi seluruh kaum Muslim ini.” (Memoar Syaikh Ya’qub Abu Ramilah).
Bersungguh-sungguh dalam Dakwah
Syaikh Ya’qub Abu Ramilah menuturkan pengalamannya, “Untuk sekadar halqah kami mengalami banyak kesulitan, di antaranya kami harus jalan kaki dengan jarak yang jauh. Pada satu malam ketika aku pergi ke halqah,
aku terjatuh ke lubang hampir sedalam sumur, dan aku terus di situ
hingga Subuh sampai akhirnya aku bisa keluar dari lubang itu. Pada beberapa kondisi kami terpaksa harus saling bermalam di tempat sesama syabab. Pasalnya, intel terus menguntit kami dan setiap waktu siap menangkap kami.”
Mereka juga sangat serius mengisi halqah. Kesempatan mengisi halqah bagi mereka merupakan suatu kehormatan. Kesungguhan mereka itu terlihat dari memoar Abu Arqam berikut, “Aku menikah tahun 1957. Aku ingat bahwa aku ada janji memberikan halqah
mingguan bertepatan dengan malam pengantin. Aku pun pergi meninggalkan
pesta pengantin, padahal aku sedang jadi pengantin. Aku pergi sesaat
memberikan halqah sampai aku menyelesaikannya dengan sempurna. Setelah selesai mengisi halqah, baru aku kembali ke pelaminan. Sungguh aku dapati seluruh yang hadir bertanya-tanya tentang pengantin pria dan dimana ia bersembunyi. Ketika itu aku memegang 12 halqah
dalam satu minggu. Yang aku laksanakan ada yang malam hari, ada yang
siang hari, dan aku lakukan itu tanpa kenal lelah dan merasa berat.”
Memegang banyak halqah mingguan dilakukan oleh banyak orang dari generasi awal. Bahkan Ustadz Hafizh Shalih, pengarang buku An-Nahdhah, menceritakan kepada anak keturunannya bahwa beliau ketika di Tunisia pernah memegang 40 halqah (http://www.hafezsaleh.com/cv.html).
Keseriusan itu juga tampak dalam aktivitas membongkar rencana internasionalisasi al-Quds. Selain menyebarkan leaflet yang membongar hal itu, juga dilakukan tabanni mashalih al-ummah.
Waktu itu, Raja Husein menghadiahkan satu bukit di Ghayziriyah di
al-Quds kepada Paus yang akan berkunjung ke al-Quds pada akhir tahun
1963. Di atas bukti itu akan didirikan gereja sangat besar. Rencana
itu hanya bisa digagalkan kalau di situ sudah ada masjid. Karena itu,
Hizb mempengaruhi pemilik tanah di atas bukit itu untuk menolak rencana
itu. Hizb mengerahkan para syabab-nya untuk
memobilisasi masyarakat pada suatu Kamis malam dan mendatangkan banyak
tukang bangunan. Pada malam itu juga dibangun sebuah masjid kecil di
atas bukit tersebut. Pagi harinya para syabab dan
delegasi masyarakat di berbagai penjuru al-Quds datang ke masjid yang
baru jadi itu untuk menunaikan shalat Jumat pertama kalinya sekaligus
meresmikannya sebagai masjid. Jamaah sangat banyak sehingga shalat di halaman. Dengan
begitu rencana Raja Husein itu, yang sebenarnya adalah rencana Amerika,
bisa digagalkan oleh masyarakat yang digerakkan dan dipimpin oleh para
para syabab generasi awal. Bukit itu sekarang menjadi tempat Sekolah Perindustrian milik Dar al-Aytam al-Islâmiyah (Thaleb ‘Awadallah, Ahbabullâh).
Sabar dan Zuhud
Muhammad
Hamdi Abdurrouf al-‘Ariyan menceritakan bahwa makanan Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani-Abu Ibrahim sangat sederhana dan apa adanya. Sering
makanan beliau berupa hanya roti diolesi minyak. Abu Ibrahim
mengatakan, “Zuhud itu bukan bersikap asketis dari makanan, tetapi zuhud
itu engkau makan yang ada pada dirimu (tanpa mencari-cari yang tidak
ada dan tidak mengeluh dengan yang ada). Nabi saw. pernah
makan makanan paling enak dan beliau memuji dan bersyukur kepada Allah.
Beliau pun sering memakan makanan yang paling jelek, tetapi tetap memuji
dan bersyukur kepada Allah.”
Muhammad
Hatim Mishbah Nashiruddin mengatakan, “Akhi Ya’qub al-Hanini pernah
pergi ke Beirut dan tidur di rumah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani-Abu
Ibrahim. Ia menggantungkan gamisnya dekat gamis Abu Ibrahim. Ketika
ia mengambil gamis, ternyata ia salah ambil. Yang ia ambil adalah gamis
Syaikh. Ia menemukan gamis itu sudah lusuh dan mudah sobek. Karena itu
ia ingin pergi membelikan gamis untuk Syaikh. Namun, Syaikh tahu yang ingin dilakukan Ya’qub. Syaikh berkata, “Kembalilah.” Beliau menolak dibelikan gamis baru. Beliau berkata, “Ini sudah cukup untuk menutupi keadaan.”
Syaikh
Abdul Qadim Zalum-Abu Yusuf, satu hari pulang ke rumah beliau di Amman.
Beliau terkejut mendapati di ruang tamu rumahnya ada sofa. Beliau
pun meminta penjelasan istri beliau. Istri beliau menjawab, “Engkau
mengirimi kami sejumlah uang tiap bulan. Aku biasa menyisihkan dua, tiga
atau lima dinar tiap bulan. Lalu uang itu aku kumpulkan sampai cukup
untuk membeli sofa itu.”
Mendengar
penjelasan demikian, sejak saat itu Abu Yusuf meminta agar tunjangan
dari Hizb setiap bulan dikurangi sebanyak lima dinar.
Begitulah Abu Yusuf. Beliau melakoni jalan persis seperti pendahuunya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani-Abu Ibrahim. Keduanya
hanya mengambil tunjangan dalam jumlah sangat sedikit dan hampir tidak
cukup untuk sekadar belanja kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Terkait
itu, Amir Hizb yang sekarang, al-‘Alim al-Jalil Atha’ bin Khalil Abu
ar-Rasytah mengatakan, “Dua orang Syaikh (Abu Ibrahim dan Abu Yusuf)
telah membuat aku letih untuk meneladaninya. Bagaimana tidak. Langkah keduanya telah digariskan dan kesenangan telah ditutup.”
Masih amat banyak mutiara keteladanan para syabab Hizb generasi awal dan tidak mungkin dipaparkan di sini. Seperti itulah mereka. Bagaimana dengan kita? [Yahya Abdurrahman]
[www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar