Kalau Kompol Novel di Usut, Kenapa Polri Tidak Mengusut Penyiksaan & Salah Tangkap Densus 88?
Awak
media di Ibukota Jakarta pada Jum’at (5/10/2012) malam “disibukkan”
dengan dua “drama” yang mencengangkan. Pertama, pemindahan Amir Jama’ah
Ansharut Tauhid (JAT), Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dari Rutan Bareskrim
Mabes Polri ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu Nusakambangan, Cilacap,
Jawa Tengah.
“Novel Baswedan diusut, kenapa Densus 88 tidak (diusut dan diadili-red)”, pungkasnya. (Abd/Kru FAI/www.al-khilafah.org]
Peristiwa
kedua, yaitu “penggrebekan dan pengepungan” yang dilakukan oleh Polda
Bengkulu dan Polda Metro Jaya di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan dalih hendak menangkap salah satu peniyidik KPK Kompol.
Novel Baswedan yang dituduh melakukan penembakan 8 tahun sialm pada
waktu menjadi Kasatreskrim Polres Bengkulu.
Kedua
peristiwa tersebut semakin menarik perhatian masyarakat karena jarak
“tragedi” tersebut waktunya hanya berselang satu jam. Polri mengepung
kantor KPK sekitar jam 20.00 WIB, sedangkan Densus 88 memindah Ustadz
Abu sekitar pukul 21.00 WIB. Akan tetapi dari dua peristiwa tersebut,
masyarakat Indonesia kemudian sama-sama menilai apa yang dilakukan
Densus 88 dan Polri tak lebih dari sebuah drama pengalihan issue dan
upaya menutupi kebobrokan pemerintah yang mulai terbongkar kembali.
Pengacara ternama,H.M. Mahendradatta, SH.MA.MH.Ph.D, selaku Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) melihat bahwa dua peritiwa tersebut ada kaitannya antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disampaikan Mahendradatta kepada Kru FAI seusai menghadiri acara Deklarasi Nasional Pemuda Majelis Tafsir Al Qur’an (MTA) di stadion Manahan Solo pada Minggu 7/10/2012.
Disatu
sisi, Polri yang coba ingin menangkap Novel Baswedan mendapat tentangan
masyarakat dan pemberitaan media yang luar biasa. Dari tentangan
tersebut, menurutnya, polisi kemudian membuat “drama” pemaksaan untuk
mengalihkan issue perseteruan KPK vs Polri dengan memindah Ustadz Abu ke
LP Nusakambangan.
“Apakah ada kaitannya (pengepungan KPK oleh Polri dan pemindahan Ustadz Abu oleh Densus 88-red)? Mungkin. Karena jamnya adalah setelah mereka (Polri-red)
mendapat tentangan dari masyarakat. Jadi waktu itu, Ustadz Abu
didatangi itu sekitar jam 9, sedangkan kejadian di KPK itu jam 8. Jadi
pemindahan Ustadz Abu itu untuk menuutupi dan mengalihkan issue KPK.
Tapi nggak kenapa dan gagal total”, ungkapnya.
Bahkan,
dia mendesak kepada pembuat dan pemutus kebijakan di negeri ini untuk
meninjau kembali wewenang dan fungsi tugas oknum-oknum kepolisian. Hal
ini karena oknum-oknum tersebut secara jelas sekali “disiang bolong”
yang terang benderang telah melakukan kesewenang-wenangan terhadap
seorang warga negara, dalam hal ini menurutnya adalah kepada Ustadz Abu
dan institusi KPK.
“Saya
lihat sekarang ini, kekuasaan oknum-oknum kepolisian ini perlu ditinjau
kembali. Wewenang kepolisian ini harus ditinjau kembali. Dan dari dulu
saya sudah meminta, Undang-Undang nomor 2 tahun 2004 tentang Kepolisian
Republik Indonesia harus ditinjau kembali, terutama tentang wewenang
kepolisian”, tegasnya.
Diapun
menambahkan bahwa yang namanya oknum jangan hanya dibatasi pada ranah
pribadi dan personal semata. Tapi yang namanya oknum itu juga bisa
bermakna orang dan institusi.
“Saya
pikir memang lembaganya sendiri sudah oknum. Jadi oknum itu kan bisa
orang dan institusi ilegal. Dan Densus 88 itu sudah menjadi oknum. Bagi
kami (TPM-red), Densus 88 itu sudah bergerak menjadi Add Hoc. Dan raat-rata, gerakannya (Densus 88-red) sudah mengarah kepada inkonstitusional”, terangnya.
“Dalam
soal apa inkonstitusional itu? Dalam soal tindakan diluar jalur hukum
dan pelanggaran-pelanggaran HAM. Seperti penembakan terduga teroris
tanpa adanya persidangan, salah tangkap kemudian namanya tidak
direhabilitasi, penyiksaan saat proses penyidikan, dan ini yang kami
alami sebagaimana penuturan para terduga teroris”, imbuhnya.
Mahendra
pun mengingatkan, jika Kompol. Novel Baswedan dibuka kembali kasusnya
yang sudah terjadi pada 8 tahun silam karena tindak kekerasan polisi
terhadap para pencuri sarang burung walet di Bengkulu, maka dia meminta
agar Polri terlebih dulu harus mengusut Densus 88.
“Kalau
kemarina ada cerita Komisaris Polisi Novel Baswedan itu diungkit-ungkit
masalah kekerasan polisi, maka yang terlebih dahulu harus diusut itu
Densus 88. Jangan bikin panggung sandiwara yang membuat rakyat dianggap
bodoh atau memperbodoh rakyat”, desaknya.
“Kalau Novel Baswedan memang mau dipermasalahkan, permasalahkan dulu Densus 88 yang didepan umum, kepalanya pecah (karena ditembak-red),
menembak orang didepan umum, memukuli, menyiksa, kemudian ada
pengakuan-pengakuan kepada kami, bahwa dia tersiksa dan disiksa oleh
Densus 88”, tambahnya.
Terakhir
dia menegaskan, bahwa jika Polisi memang mau menegakkan keadilan untuk
rakyat dan Polisi bukanlah merupakan kepanjangan tangan dari pihak-pihak
tertentu, baik dari elit politik ataupun hanya bergerak karena adanya
intervensi asing yang tidak suka dengan gerakan-gerakan islam yang
dituduh fundamental, maka Densus 88 yang harusnya terlebih dulu dan
pertama kali dipermasalahkan dan diadili.
Tidak ada komentar