Header Ads

BBM Langka, Tipu Muslihat Liberalisasi Migas

Oleh Abdus Salam
(Lajnah Siyasiyah HTI Jatim)

Desember 2012, BBM Bersubsidi langka begitu opini berbagai media. Cadangan BBM Bersubsidi hanya sampai 22 Desember 2012. Tahun 2012 ini dapat dikatakan tahun ribut pengelolaan energi, khususnya migas (minyak dan gas). Sejak awal tahun pemerintah berhasrat untuk menaikan harga BBM. Tak ayal berbagai argumen dan dalil disampaikan pemerintah yang seolah-olah masuk akal. Padahal semua itu dilakukan untuk menutupi kebijakan buruk dari pengelolaan migas.  Di sisi lain, kalangan legislatif pun bergerak untuk membahas APBN-P 2012. Dukung mendukung pemerintah pun terjadi di kalangan legislatif. Bahkan seolah-olah  mereka lupa tujuan keberadaannya di gedung parlemen, yaitu mengemban amanah rakyat. UU APBN-P 2012 yang melahirkan pasal 7 ayat 6a seolah menjadi cap stempel sahnya pemerintah atas nama undang-undang, atas nama rakyat untuk menaikkan harga BBM sewaktu-waktu.

Hasrat untuk menaikan harga BBM tertunda. Hal ini karena masyarakat melakukan aksi penolakan besar-besaran. Bahkan terjadi kerusuhan di beberapa daerah. Pemerintah memutar akal agar cara untuk menaikan harga BBM dan liberalisasi sektor migas bisa mulus. Cara yang ditempuh terkesan lembut dan inkonstitusional. Salah satunya dengan mendorong masyarakat untuk menggunakan BBM non-subsidi (melalui iklan dan gerakan sehari tanpa BBM non-subsidi) dan pembubaran BP Migas (berdasar putusan MK  Nomer 36/PUU-X/2012).

Hal yang patut dicermati adalah sikap pemerintah (Presiden dan Menteri ESDM). Seolah-olah di negeri ini merekalah yang layak menentukan apa pun. Pergantian kebijakan oleh Pemerintah atas pengelolaan migas seolah menjadi permainan percaturan politik. Siapa mempengaruhi siapa dengan apa, dimana dan kapan menjadi dagangan politik.  Pemerintah membuat kesan seolah-olah mereka sudah bekerja untuk rakyat. Padahal faktanya belum. Lantas, apakah ini bentuk demokrasi yang mereka Tuhankan ? Hal ini seharusnya menyadarkan kepada masyarakat bahwa demokrasi hanya omong kosong dan alat meraih kekuasaan. Pihak legislatif pun sama. Tak bergeming melihat penderitaan rakyat. UU Migas Nomer 22 tahun 2001 yang dibuat legislatif  lebih bermadzhab asing (kapitalis-liberal). Lagi-lagi rakyat dikebiri atas nama pengaturan urusan rakyat.  BP Migas bubar belum menyentuh esensi dasar problem carut marut pengelolaan energy (Migas) selagi UU Migas No 22 tahun 2001 masih eksisting. Selagi juga ideologi Negara ini  justeru membiarkan dan memproduksi UU liberal yang pro-asing.


Semua Tipu Muslihat

Pertama, iklan pemerintah yang selama ini menyesatkan masyarakat. Masyarakat didorong untuk membeli BBM non-subsidi yang harganya lebih mahal. Padahal ekonomi rakyat masih di bawah rata-rata. Rakyatpun diminta berhemat. Tampaknya gerakan ini akan terus dilakukan sampai betul-betul BBM subsidi hilang di pasaran. BTL (Bantuan Tidak Langsung) yang tidak signifikan –tidak terasa implikasinya di tengah masyarakat. Sehingga rakyat tidak ada pilihan lain untuk membeli BBM non-subsidi.

Kedua, 2 Desember 2012 dicanangkan sebagai hari tanpa BBM bersubsidi. Walaupun rencana ini akhirnya dibatalkan karena banyak penolakan, tetapi rencana itu merupakan bukti teror psikologis. Psikologis masyarakat dibuat goncang dan terombang-ambing. Bahkan pelaku bisnis SPBU meminta aparat keamanan untuk berjaga-jaga. Bahkan beberapa waktu yang lalu terjadi keributan di beberapa daerah. Misalnya, Sumenep Jawa Timur.

Ketiga, DPR berencana akan mengevaluasi dan membubarkan BPH Migas. BPH Migas dinilai sering salah menghitung kuota BBM bersubsidi. Bahkan DPR menilai jika BPH Migas penyebab kekurangan pasokan BBM di sekitar 200 kabupaten dari 500 kabupaten yang ada. Padahal persoalan pokok carut marut pengelolaan Migas adalah diserahkannya sektor hulu pengelolaan Migas kepada Asing.

Keempat, beberapa pakar perminyakan yang awalnya menolak kenaikan BBM bersubsidi akhirnya luluh juga idealismenya. Mereka menyarankan pemerintah untuk menaikkan harga BBM tahun 2013. Padahal perlu diketahui jika kenaikan BBM akan memberatkan biaya hidup rakyat. Hal ini yang seharusnya mereka pikirkan. Selama ini pun solusi  yang didapat hanya berupa perbaikan infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan pembangunan umum. Padahal itu pun tidak pernah berwujud. Lantas, apa mereka ingin menjerumuskan rakyat ini yang sudah tertindas ? Di mana pembelaan mereka kepada rakyat ?

Kelima, PERTAMINA terlihat tidak bertaji dalam mengurusi urusan rakyat terkait energi migas. Seharusnya lembaga plat merah tersebut betul-betul melayani rakyat. Bukan sebaliknya malah memalak dan mengambil untung dari rakyat. PERTAMINA yang menjadi kepanjangan pemerintah tak bisa dilepaskan dari kebijakan yang pro pasar. Berbagai dalih agar rakyat menerima keputusan pro pasar pun direkayasa. Ketika terjadi banyak protes, PERTAMINA membuat kebijakan yang lambat laun menggiring kepada tujuan terakhir pemerintah.  Yakni Liberalisasi Migas. Langkah yang diambil pun terasa halus.

Keenam, pemerintah sebagai pemegang kebijakan pun tidak sabar untuk mengegolkan tujuan akhir dari liberalisasi migas. Pemerintah pun membuat berbagai alasan antara lain: memberatkan APBN, inefisiensi, pengalihan subsidi ke sektor lain, dan harga minyak dunia naik. Fakta itu semua sejatinya bohong dan mendzalimi rakyat. Pasalnya, itu hanya akal-akalan  busuk. Lagi-lagi rakyat jadi tumbal.


Inti Persoalan

Sejatinya persoalan migas ini tidaklah serumit yang dibayangkan orang-orang yang duduk dalam pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Hal yang membuat rumit karena mereka bukan pelayan rakyat. Mereka tidak bekerja untuk rakyat. Yang mereka lakukan adalah seolah-olah bekerja untuk rakyat padahal mereka cari untung. Hal ini disebabkan mereka tidak berideologi yang benar.

Jika persoalan migas ini dikembalikan kepada siapa yang memiliki migas ini. Maka akan semakin jelas siapa yang layak mendapat keuntungannya. Sejatinya migas dan SDA (Sumber Daya Alam) yang ada di negeri ini adalah milik umum (rakyat). Siapapun tidak berhak untuk mengambil untung, walaupun pemerintah. Pemerintah hanya sebagai pengelola dan keuntungan hasilnya diberikan kepada rakyat.

Begitulah dengan pihak legislatif. Selama ini yang terjadi mereka mengeluarkan kebijakan dan UU yang tidak pro rakyat dalam mengatur migas. Ingat UU Migas No.22 tahun 2001 merupakan pesanan asing: IMF, USAID, dan World Bank. Penjajahan asing melalui program legislasi UU begitu kental yang seharusnya sebagai orang-orang cerdas mereka menolak.

Pemerintah melalui PERTAMINA seharusnya tidak hanya berkutat pada jumlah ketersediaan BBM dan pengelompokan BBM (subsidi dan non-subsidi). Padahal pesoalannya adalah pemerintah seharusnya mengambil dan mengelola tambang migas dan SDA lainnya secara mandiri. Bukan malah diserahkan kepada asing. Jika persoalan ini belum selesai. Maka yang terjadi asing akan tetap bercokol dengan pengerukan dan pencurian SDA di Indonesia. Lagi-lagi pemilik sah migas dan SDA hanya gigit jari melihat pemerintah yang bertikai sendiri tanpa jelas ujungnya. Kalau tenologi sering dijadikan alasan seharusnya pemerintah sadar untuk menyiapkannya. Teknologi bisa dibeli dan modal bisa dicari.

Bagi rakyat pemahaman terkait carut marut pengelolaan migas harus benar. Kebijakan pembatasan subsidi sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Ada grand desaign dari kapitalis asing yang telah berkolaborasi dengan pemerintah. Indonesia yang termasuk salah satu pengutang IMF, mau tidak mau harus mengurangi subsidi dalam APBN-nya. Bagi rakyat persolan migas ini merupakan nyawa dan denyut nadi berlangsungnya perekonomian dan hidup. Ketiadaan pelayanan yang buruk pada energi akan berakibat fatal. Rakyat akan menentukan caranya sendiri dengan cara-cara di luar nalar.

Pemerintah seharusnya belajar bahwa bermain-main dengan nyawa rakyat akibatnya fatal. Pemerintah akan semakin jauh dari rakyat dan membuktikan bahwa bukan pelayan rakyat tapi asing. Kepentingan rakyat senantiasa ditindas atas nama rakyat sendiri. Hal ini merupakan bunuh diri politik pemerintah secara sistemik. Ketika rakyat tidak menaruh simpati, maka pemerintah sesungguhnya kehilangan makna sebagai pelayan rakyat.

Semua yang terjadi baik itu kekacauan pengelolaan migas dan pengabaian urusan rakyat adalah buah penerapan sistem buruk, yaitu demokrasi yang berbalut kapitalis-sekular. Selama ini diemban oleh orang-orang yang menamakan dirinya wakil rakyat dan pemerintahan. Sampai kapan pun tidak akan pernah berwujud kesejahteraan. Hanya omong kosong.

Pilihan cerdas bagi mereka yang berakal sehat tentu Islam. kedalam iman dan kesadaran pentingnya untuk mengambilnya adalah alasn logis. Pasalnya Islam mengatur persoalan SDA agar betul-betul dinikmati pemilik sah, yaitu rakyat. Karena  migas dan SDA merupakan nikmat Allah dan digunakan untuk kebaikan semua manusia yang hidup di atas bumi. [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.