Header Ads

Menggagas Subsidi Tanpa Duri

Oleh : Ahmad Salim Aini
Lajnah Khusus Pengusaha (LKP) Hizbut Tahrir Indonesia Kobar.
 
Seyogyanya, hari Ahad, 2 Desember kemarin di tetapkan sebagai  Hari Tanpa BBM Bersubsidi. Pada hari itu, warga di 10 kota besar Indonesia dilarang memberi premium bersubsidi dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Kesepuluh kota tersebut meliputi Jakarta, Bandung, Banten, Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Balikpapan, dan Makassar. Wacana ini digulirkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) sebagai upaya untuk melakukan pengendalian BBM bersubsidi agar tidak melampaui kuota yang tersedia. Menurut prediksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), stok BBM yang ada saat ini maksimal hanya cukup hingga 22 Desember mendatang. Namun, rencana ini urung dilaksanakan karena secara matematis penghematan BBM tidak signifikan dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Sejak awal, empat gubernur se Kalimantan sepakat menolak rencana tersebut dan meminta pemerintah konsisten menyalurkan sisa jatah BBM bersubsidi khususnya untuk wilayah Kalimantan sebesar 85.000 kilo liter dengan nominal 330 miliar.
 
Meski mendapat penolakan luas, pemerintah tidak begitu saja menyerah. Hal ini terungkap dari pernyataan Dirjen Minyak dan Gas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo yang tetap ngotot untuk membatasi BBM bersubsidi dengan mencari konsep alternatif. Di antaranya, dengan memberlakukan larangan penjualan BBM bersubsidi setiap hari minggu di Bulan Desember. “Kita coba dulu pada minggu pertama Desember. Jika konsep ini berhasil, kemungkinan akan diterapkan pada setiap hari minggu di bulan Desember,” ungkapnya. (radarsampit/27/11/2012).
 
Hasrat menggebu pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi agar tidak menjebol kuota yang tersedia menunjukkan karakter pemerintahan negeri ini yang semakin kapitalistik. Dalam pandangan pemerintah, subsidi termasuk untuk BBM di anggap sebagai beban APBN yang harus di kurangi bahkan dihilangkan sama sekali. Padahal, pemerintah sangat memahami bahwa jika subsidi di cabut, harga BBM akan meroket tajam mengikuti mekanisme pasar bebas. Kalau sudah begini, mayoritas rakyat Indonesia dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah dan usaha mikro akan menjadi korban dari kenaikan harga BBM. Namun, pemerintah tidak peduli karena lebih memilih perintah sang tuan IMF dan Bank Dunia untuk melakukan liberalisasi (swastanisasi) migas khususnya pada sektor hilir (distribusi BBM). Bahkan, kebijakan khianat ini sudah mendapat legalitas hukum dengan terbitnya UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang mengamanatkan liberalisasi migas atas persetujuan DPR yang katanya wakil rakyat.
 
Untuk itu, meski Menteri ESDM Jerok Wacik berkomitmen untuk menutupi defisit BBM bersubsidi hingga akhir 2012 dan membatalkan gerakan sehari tanpa BBM bersubsidi, hal tersebut sekali lagi hanya semata mata pertimbangan kondisional dan bukan cerminan kebijakan institusi yang pro rakyat. Sebab, arah kebijakan energi nasional sangat jelas yakni melakukan liberalisasi migas baik sektor hulu maupun hilir. Hal tersebut tertuang dalam Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006 – 2025 Kementerian ESDM yang menyatakan bahwa program utama (1) rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga internasional. Artinya, akan dilakukan pencabutan subsidi agar harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional (Buletin Al Islam 633). Jika rencana ini terwujud, maka masyarakat akan dipaksa untuk membeli dan mengonsumsi BBM non subsidi yang harganya jauh lebih mahal. Pada sisi lain, ladang ladang minyak dan gas yang melimpah justru dilego kepada swasta asing/nasional dengan dalih untuk investasi dan mendukung pembangunan. Padahal, sesungguhnya merupakan bentuk baru penjajahan ekonomi dan perampasan kedaulatan energi Indonesia oleh asing.
 
Alhasil, rakyat belum dapat tidur tenang karena masih akan dibayang bayangi oleh upaya kebijakan pencabutan BBM bersubsidi dan penaikan harga BBM oleh pemerintah. Dapat dipastikan rencana penaikan harga BBM akan terus bergulir setiap tahun hingga benar benar terealisasi karena sudah mendapat legalitas UU dan menjadi arah kebijakan pemerintah.
 
Migas : haram diliberalisasi
Dalam pandangan Islam, migas dan sumber daya alam (SDA) yang melimpah terkategori barang milik umum yang haram di swastanisasi/liberalisasi. Negara hanya berhak untuk mengelola SDA tersebut untuk kesejahteraan rakyat termasuk migas. Dalilnya, Rasul Muhammad SAW bersabda “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : padang  rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Kata api yang dimaksud dalam hadist tersebut termasuk juga bahan tambang dan migas. Berdasarkan hadis ini, upaya pemerintah untuk mencabut BBM bersubsidi dan liberalisasi sektor hulu/hilir migas yang gencar selama  ini merupakan tindakan zalim dan hukumnya haram karena bertentangan dengan Islam. Kebijakan ini harus dihentikan karena terbukti menjadikan rakyat semakin sengsara dan hanya menguntungkan segelintir kapitalis (pengusaha) yang kerap kongkalikong dengan penguasa dan politisi.  Solusi mendasar adalah dengan mengganti sistem ekonomi kapitalis dengan ekonomi Islam dalam bingkai daulah Khilafah Islamiyah. Jika kelak tegak, Daulah Khilafah (Negara Islam) akan mengambil alih seluruh ladang minyak, gas, dan barang tambang yang selama ini di kuasai asing untuk dikelola demi kemakmuran rakyat. Sebagaimana sikap tegas Rasul SAW yang menarik kembali pemberian tambang garam kepada Abyadh bin Hammal karena jumlahnya melimpah dan terkategori milik umat. Hanya dengan cara demikian, seluruh lapisan masyarakat akan terbebas dari penjara kemiskinan dan dapat menikmati BBM secara mudah serta murah.  Ya, itulah subsidi tanpa duri yang selama ini melukai rasa keadilan ekonomi bagi wong cilik. Insya Allah.[] (Borneonews, 3/12)[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.