Header Ads

Suara Ngelantur Kelompok Liberal

Oleh : Muhammad Hanif
Koordinator Umum Komunitas Islam Ideologis (KOSI)

Dalam sebuah acara debat di sebuah stasiun televisi swasta baru baru ini, kelompok liberal yang terdiri dari Yenny Wahid (Wahid Institute), Siti Musdah Mulia, Ulil Absar Abdalla, Komnas Perempuan dan lainnya mempermasalahkan surat edaran Pemerintah Kota Lhokseumawe mengenai himbauan bagi kaum perempuan untuk tidak duduk ngangkang saat mengendarai sepeda motor. Topik yang dibahas kemudian meruncing pada sejumlah perda bernuansa syariah di berbagai daerah yang dinilai diskriminatif dan tidak menghargai hak hak perempuan. Di antaranya, perda tentang kewajiban mengaji, larangan minuman keras, larangan pelacuran dan sejenisnya.



Dalam pandangan penulis, kicauan kubu liberal ini sudah ngelantur karena sangat tendensius dan jauh dari nilai nilai kebenaran. Alasannya pertama, perda perda yang memuat kewajiban berdasarkan ajaran teologis seperti menutup aurat bagi muslimah dan kewajiban mengaji hanya dikhususkan bagi umat Islam dan tidak berlaku bagi non muslim. Menjadi diskriminatif kalau ketentuan tersebut juga berlaku bagi non muslim. Terlebih lagi, ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan bagi non muslim untuk memeluk agama Islam.

Kedua, kalau alasan penolakan terhadap perda perda tersebut karena mengekang hak dan kebebasan kaum perempuan, maka pendapat ini tidak kalah konyol karena bersandar pada logika yang keliru. Ketika ada kewajiban bagi kaum perempuan untuk menutup aurat atau larangan pelacuran sesungguhnya bukan dalam rangka mengekang atau menempatkan kaum hawa sebagai tertuduh. Spirit perda tersebut sesungguhnya adalah untuk menjaga kemuliaan kaum perempuan dari berbagai bentuk pelecehan, eksploitasi dan diskriminasi. Sehingga, ketentuan yang mewajibkan kaum hawa untuk mengenakan jilbab dan menutup aurat hendaknya dipahami sebagai upaya melindungi wanita dari tindak pelecehan khususnya pada area publik. Begitu juga larangan pelacuran merupakan langkah nyata guna mempersempit ruang eksploitasi seksual yang dapat menurunkan martabat kaum hawa. Namun, logika lurus ini tidak bisa dipahami oleh kelompok liberal yang sejak awal menginginkan kebebasan secara mutlak lepas dari tradisi dan nilai nilai agama. Termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan hidup sebagai seorang pelacur meski hal itu merendahkan harkat dan martabat perempuan. Sehingga, segala bentuk pembatasan –meski untuk melindungi- khususnya kepada kaum hawa dianggap sebagai bentuk penindasan, perampasan hak dan kemunduran implementasi HAM.

Yenny Wahid sepertinya sedang mengigau. Di akhir acara, Yenny menyatakan “Lihat di Arab saudi tingkat perkosaannya lebih tinggi daripada Eropa yang perempuannya banyak memakai bikini,” tegasnya tanpa menyebut sumber. Padahal menurut data statistik tentang Angka Pemerkosaan di 116 negara, 7 dari 10 negara dengan tingkat pemerkosaan tertinggi justru terjadi negara-negara Eropa. Seperti dilansir nationmaster.com Perancis, Jerman, Rusia, dan Swedia adalah negara Eropa dengan tingkat perkosaan tertinggi di dunia. (hizbut-tahrir.or.id)

Jika kita telaah secara mendalam, istilah perda syariah terasa rancu. Sesungguhnya tidak pernah ada perda syariah atau pun perda yang non (bukan) syariah. Hakikat nya seluruh perda yang dihasilkan bukan perda Syariah. Sebab, secara substansi, istilah perda syariah hanya labelisasi terhadap berbagai produk aturan daerah yang bernuansa atau terinspirasi dari ajaran agama Islam seperti perda tentang kewajiban menutup aurat bagi muslimah atau larangan minuman keras. Namun, tidak 100 % sesuai ajaran Islam karena materi hukum yang tertuang dalam perda tersebut harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum positif. Sehingga, ketika misalnya ada orang yang berstatus sudah menikah melakukan perzinahan di Aceh, maka pemerintah setempat sampai kapanpun tidak bisa membuat dan menetapkan hukuman rajam hingga mati bagi pelaku zina karena akan bertentangan dengan perangkat hukum positif yang lebih tinggi.

Pemberlakuan perda perda tersebut lebih tepat dimaknai sebagai upaya untuk menciptakan ketertiban umum. Menarik pendapat yang diungkapkan Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Hamdan Zoelva . “Saya sudah mengkaji Perda-perda itu, hampir seluruhnya itu tidak ada Perda Syariah, yang ada itu mengenai ketertiban umum seperti larangan perizinan minum minuman keras, nggak menyebut Perda Syariah”, ujarnya. (hidayatullah.com)

Definisi syariah merupakan istilah yang khas dan memiliki pengertian tertentu. Menurut ensiklopedia bebas wikipedia, Syariah Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini.

Sebagai risalah paripurna, syariah Islam mengatur seluruh lini kehidupan manusia yang terbagi dalam tiga aspek. Pertama, aturan mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya Allah SWT dalam bentuk ibadah murni seperti solat, puasa dan haji. Kedua, aturan mengenai hubungan manusia dengan diri sendiri meliputi makanan, minuman dan akhlak. Dan ketiga adalah aturan mengenai hubungan manusia dengan sesama (muamalah). Dari sini kemudian muncul perangkat sistem Islam dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, hukum dan sosial budaya. Dengan kata lain, Islam adalah ajaran politik dan spiritual. Itu dari sisi konsep. Adapun mengenai tata cara penerapan Syariah Islam, ulama terkemuka Syekh Taqiyuddin An Nabhani menegaskan bahwa penerapan syariah Islam harus dilaksanakan oleh institusi negara Islam (daulah Khilafah Islamiyah) secara serentak, menyeluruh dan tidak boleh secara parsial (setengah setengah). Tidak bisa, misalnya seperti yang terjadi saat ini syariah Islam hanya berlaku pada masalah ritual saja seperti solat, puasa, dan haji. Sementara dalam bidang politik pemerintahan mengacu pada sistem demokrasi sekuler yang justru memisahkan agama dari kehidupan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa perda perda yang ada saat ini bukanlah perda syariah karena menjadi subsistem hukum positif sekuler, terbatas pada bidang tertentu dan tidak berlaku secara umum. (borneonews, 14/1)[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.