Demokrasi Biang Korupsi
Korupsi di negeri ini diprediksi akan makin marak, apalagi menjelang Pemilu 2014. Dari berbagai kasus korupsi yang terkuak, terlihat pihak yang terlibat korupsi makin luas dan beragam, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, politisi parpol dan aparatur di semua jenjang. Parpol yang seharusnya menjadi salah satu pilar pemberantasan korupsi, menurut Ketua MK, Mahfud MD, (lihat, sindonews.com, 4/2), saat ini justru tidak ada satu parpol pun yang bebas dari kasus korupsi.
Demokrasi Biang Korupsi
Perlu dana besar untuk membiayai proses politik dan kepentingan kampanye. Sumbernya bisa dari dana sendiri atau modal dari pemilik modal. Dengan proses politik itu kekuasaan di dapat. Lalu kekuasaan itu dipakai untuk mengembalikan modal dan memberikan keuntungan kepada pemodal, juga untuk memupuk modal untuk mempertahankan kekuasaan pada proses politik berikutnya. Jadilah siklus money making power, power making money terus bergulir. Di situlah terjadi persekongkolan politisi-penguasa dengan pemodal, dan juga terjadi korupsi dalam berbagai bentuk dan modusnya. Maka sistem demokrasi padat modal itulah yang jadi biangnya korupsi.
Mendekati Pemilu 2014, skala korupsi diperkirakan makin meningkat karena parpol butuh biaya kampanye. Terlebih lagi, pembiayaan politik di era reformasi semakin tinggi akibat fenomena amerikanisasi metode kampanye. Politisi menggunakan iklan media massa secara massif dan kegiatan politik ditangani profesional. Di tengah kebutuhan biaya politik yang tinggi, jauh lebih mudah mendapatkan rente dengan memperdagangkan otoritas ketimbang mendapatkan pembiayaan dari sumber partai, apalagi umumnya parpol tidak memiliki sumber pendanaan yang jelas. Maka keterlibatan parpol dalam korupsi akan sulit dicegah. Para kader parpol yang menjadi pejabat negara dipaksa mencari sumber dana. Modusnya beragam. Dari kasus-kasus yang terungkap oleh KPK, setidaknya ada 18 modus korupsi yang sering dipakai.
Korupsi politik tidak terjadi hanya pada APBN. Dana politik yang jauh lebih besar bisa diperoleh dengan memperdagangkan kebijakan. Bahkan anggaran dan kebijakan sengaja didesain agar memunculkan peluang korupsi. Menurut Ari Dwipayana Dosen FISIP UGM (kompas.com, 3/2), “Korupsi APBN, seperti mark-up, fee proyek, pengambilan dana proyek, hanya modus konvensional. Justru korupsi politik melalui kebijakan yang dibuat otoritas pemerintah, baik di kabinet maupun parlemen, jauh lebih besar tapi sulit terdeteksi.”
Pemberantasan korupsi makin payah karena penegakan hukum yang terkesan tebang pilih. Sudah begitu, pembuktian kasus korupsi hanya bertumpu pada penggunaan bukti materiil dan dibebankan kepada penyidik polisi, KPK dan jaksa. Apa yang dikenal asas pembuktian terbalik yang terbukti efektif justru dijauhi. Padahal para koruptor sangat ahli menyamarkan transaksi korupsi sehingga sulit terdeteksi. PPATK telah menemukan 35 modus menyamarkan transaksi tindak pidana korupsi dan pencucian uang oleh anggota DPR (centroone.com, 2/1/13).
Jika pun akhirnya koruptor diadili, vonis mereka pun sangat rendah, tidak memberi efek jera sama sekali. Harta yang mereka korupsi pun masih aman karena tidak ada proses “pemiskinan” terhadap koruptor.
Dari semua itu jelaslah, masalah korupsi bukan sekedar masalah person. Korupsi adalah masalah sistem dan ideologi. Sistem demokrasi menjadi biang korupsi dan ideologi sekuler kapitalisme menjadi habitat hidup korupsi. Negeri ini bersih dari korupsi akan terus sebatas mimpi, selama ideologi sekuler kapitalisme dan demokrasi tidak diganti.
Syariah Islam Menjadi Solusi
Korupsi saat ini bukan hanya karena rakus harta, tapi juga karena motiv kekuasaan. Politisi dan para wakil rakyat yang turut mempengaruhi kebijakan dan pengisian jabatan menjadi salah satu pintu korupsi. Wakil rakyat yang turut memiliki otoritas penganggaran, penentuan kebijakan, penentuan proyek, dan pengisian jabatan memunculkan mafia anggaran, makelar proyek, calo jabatan, dsb. Kekuasaan legislasi membuat undang-undang di tengah desakan biaya politik tinggi, akhirnya UU dan aturan diperdagangkan demi kepentingan kapitalis bahkan asing, dengan imbalan uang.
Semua itu ditutup rapat oleh Syariah Islam. Dalam Sistem Islam, politisi dan anggota Majelis Ummat, tidak turut menentukan UU, kebijakan, anggaran, proyek dan pengisian jabatan. Politisi dan anggota Majelis Ummat hanya fokus pada fungsi kontrol dan koreksi, termasuk menggunakan jalur Mahkamah Mazhalim. Adapun penentuan kepala daerah, ia ditunjuk oleh Khalifah. Namun keberlangsungannya selain ditentukan oleh Khalifah, juga ditentukan oleh penerimaan masyarakat termasuk para anggota Majelis Wilayah. Jika mereka tidak menerimanya atau meminta diganti, maka Khalifah harus mengganti kepala daerah itu. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Rasul saw yang mengganti al-‘Ala’ bin al-Hadhrami sebagai gubernur Bahrain ketika masyarakat mengajukan keberatan atasnya.
Sementara motiv kerakusan harta dibabat dengan penegakan hukum atas kasus korupsi. Syariah Islam memberi batasan yang simpel dan jelas tentang harta ghulul (harta yang diperoleh secara ilegal). Rasul saw bersabda:
«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ»
Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian untuknya (gaji) maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim)
Hadits ini jelas, bahwa harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan yang telah ditentukan, apapun namanya, baik hadiah, fee, pungutan, dsb, merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.
Menurut hadits ini, pemberian (pendapatan) aparat harus jelas, maka pertambahan kekayaan yang wajar dari aparat itu juga akan jelas. Pertambahan diluar kadar yang wajar itu harus dipertanggungjawabkan dan dibuktikan perolehannya secara sah. Sebab jika tidak, itu termasuk harta ghulul dan harus diserahkan ke kas negara. Hal itu mudah diketahui melalui pencatatan kekayaan aparat, pejabat dan penguasa seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra.
Abdullah bin Umar menuturkan, Khalifah Umar bin Khaththab memerintahkan pencatatan harta para penguasa daerah. Jika ada kelebihan kekayaan dari jumlah yang wajar, maka Umar membagi dua kelebihan harta mereka itu. Setengah untuk pejabat itu dan setengahnya disita dan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal (Al-Hafizh as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, hal 132). Apa yang dilakukan oleh Umar itu didengar dan disaksikan oleh para sahabat, dan tidak ada dari mereka yang mengingkarinya sehingga menjadi ijmak sahabat bahwa hal itu adalah dibenarkan dan disyariatkan.
Berbekal catatan harta itu, bisa dibuktikan adanya kelebihan harta aparat, pejabat dan penguasa yang tidak wajar. Selanjutnya aparat, pejabat atau penguasa itu harus membuktikan bahwa kelebihan harta itu diperoleh secara sah. Proses pembuktian seperti itulah yang disebut proses pembuktian terbalik. Jika ia tidak bisa membuktikan, maka jumlah harta yang tidak bisa dibuktikan perolehannya secara sah, sebagian atau seluruhnya disita dan dimasukkan ke kas negara. Penyitaan harta yang tidak bisa dibuktikan perolehannya secara sah itulah yang disebut “pemiskinan” koruptor. Cara itu sangat ampuh untuk memberantas korupsi dan menindak koruptor, sebab langsung menohok motiv rakus harta yang mendorong koruptor melakukan korupsi. Jika cara seperti itu diterapkan, maka tidak ada lagi kebuntuan pemberantasan korupsi akibat aparat kesulitan menemukan bukti materiil. Aparat cukup membuktikan adanya kelebihan harta kekayaan yang tak wajar. Hal itu bisa dilakukan berdasarkan rekening, inventaris kekayaan, harta yang dimiliki, atau laporan kekayaan.
Proses itu diterapkan pada diri pejabat dan orang-orang dekatnya. Umar bin Khaththab ra. pernah menyita harta Abu Bakrah ra. Ketika ia protes, “Aku tidak bekerja kepada anda”, Khalifah Umar menjawab, “Benar, tetapi saudaramu menjadi pengurus Baitul Mal dan bagi hasil tanah garapan di Ubullah (di Bashrah, Iraq); dan ia meminjamkan uang dari Baitul Mal kepadamu untuk berdagang.” (Syahid al-Mihrab, hal. 284). Begitu pun Umar pernah menyita dari Abu Sufyan harta pemberian anaknya, Muawiyah, gubernur Syam.
Terhadap koruptor dijatuhkan sanksi tegas yang memberikan efek jera. Korupsi termasuk sanksi ta’zir, bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi, menurut batasan syariah. Bentuknya bisa berupa penyitaan harta, tasyhîr (diekspos), penjara sangat lama, dijilid, hingga hukuman mati. Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam waktu sangat lama (Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528).
Sebelum semua itu korupsi bisa dicegah oleh keimanan dan ketakwaan. Karena dengan itu orang akan takut melakukan  korupsi karena takut azab di akhirat. Allah berfirman :
وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَة
Barangsiapa berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (QS. Ali ‘Imran [3]: 161)
Lebih takut lagi karena ternyata harta ghulul itu tidak bisa dibersihkan dengan bersedekah. Sebab Nabi saw bersabda:
«لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ»
Allah tidak akan menerima shalat tanpa kesucian (bersuci) dan juga tidak menerima shadaqah dari harta ghulul (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad)
Wahai Kaum Muslimin
Jelaslah, korupsi akan bisa dibabat tuntas melalui penerapan syariah Islam secara utuh. Karena itu, harapan besar agar negeri ini bersih dari korupsi seharusnya kita wujudkan dengan berjuang sungguh-sungguh untuk menerapkan syariah Islam secara total dalam naungan Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
Komentar
Pengungkapan tindak korupsi akhir-akhir ini terus terjadi, seperti tidak akan berujung. Seorang tokoh politik mengatakan, korupsi menjadi watak politik Indonesia. Dengan demikian, terbongkarnya praktik korupsi di lingkungan politisi atau partai politik hanya masalah nasib dan waktu (Kompas, 4/2)
- Betul, sebab korupsi itu masalah ideologi sekuler kapitalisme dan sistem demokrasi yang sekarang diterapkan.
- Selama ideologi dan sistem itu masih diterapkan, selama itu pula korupsi terus terjadi.
- Ingin negeri ini bersih dari korupsi? Campakkan sekulerisme kapitalisme dan tinggakan demokrasi.
[Al-Islam] Edisi 643, 27 Rabiul Awwal 1434 H/8 Pebruari 2013 M
Tidak ada komentar