Header Ads

Dr. Saharuddin Daming: Kepala Densus 88 bisa diseret ke mahkamah kejahatan internasional

Karena seringnya melakukan pelanggaran HAM berat dengan menjadikan pembunuhan dan penyiksaan secara sistimatis terhadap para aktifis Islam yang difitnah sebagai teroris, akhirnya Densus 88 Anti Teror Mabes Polri dituntut oleh sejumlah pimpinan Ormas Islam untuk dibubarkan. Sebenarnya wacana pembubaran Densus sudah bergulir sejak tahun 2006 lalu ketika pasukan siluman yang dibiayai dari dana asing itu sering melakukan teror terhadap para mujahiddin pasca bentrokan Islam versus Kristen dan Katolik di Ambon dan Poso (1999-2001).



Para mujahiddin di kedua wilayah bergolak itu sering dijadikan sasaran teror oleh pasukan Densus dengan tuduhan sebagai teroris, sementara laskar Kristen yang kerjanya membunuhi umat Islam malah dibiarkan terus berkeliaran melakukan teror terhadap umat Islam. Hal itu menunjukkan aparat Densus yang mayoritas Kristen dan Katolik itu telah ditugaskan untuk memburu para mujahiddin Ambon dan Poso serta wilayah lainnya dengan tuduhan sebagai teroris.     

Akhirnya dengan dipimpin Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin, sejumlah tokoh ormas Islam menemui Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo di Mabes Polri , Kamis (28/2) lalu. Mereka menuntut agar Densus 88 dibubarkan karena telah melakukan berbagai macam pelanggaran HAM berat dan selalu menimbulkan stigma negatif terhadap umat Islam.

Menyusul keinginan para pimpinan ormas Islam untuk membubarkan Densus, secara tiba-tiba Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai yang dikenal sangat anti Islam, mengusulkan agar UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bisa juga diberlakukan terhadap separatis OPM di Papua. Hal ini terasa aneh, sebab sebelumnya Ansyaad Mbai mengatakan tindakan kekacauan di Papua secara obyektif dinilai sebagai aksi teror. Namun ia menegaskan bahwa “teror tersebut tidak terkait dengan terorisme internasional”, seperti yang dihadapi dunia saat ini.

Dengan kata lain, Ansyaad Mbai ingin mengatakan bahwa kerusuhan di Papua yang telah menelan puluhan korban dari TNI dan Polri termasuk terakhir dalam kasus penembakan di Kabupaten Puncak yang menewaskan 8 prajurit TNI (Jumat, 22/2) lalu, bukanlah terorisme tetapi separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Sehingga gerombolan bersenjata dengan bantuan asing itu  hanya dijerat dengan UU Darurat 12/1951 tentang Kepemilikan Bahan Peledak dan Senjata Api, bukan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dengan demikian, sebenarnya pernyatan Ansyaad Mbai itu hanya lip service saja untuk mengendorkan kuatnya tekanan umat Islam kepada Pemerintahan SBY agar Densus dibubarkan, karena selama ini hanya digunakan untuk menfitnah umat Islam dengan menimbulkan stigma negatif demi kepentingan asing yang membiayai operasinya. Padahal sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, Islam sangat anti pada terorisme dan segala bentuk tindak kejahatan yang merugikan kemanusiaan.         

Dalam kasus separatis OPM di Papua, bantuan asing terutama dari AS dan Australia, sudah semakin nyata. Terbukti dalam kasus Papua, AS tidak berdiri sendiri. AS berkolaborasi dengan Inggris, Belanda dan Australia. Menlu AS Hillary Clinton pada  10 November 2011 lalu di Hawai AS mengatakan bahwa Pemerintah AS telah khawatir atas kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, sehingga pihaknya akan mendorong adanya dialog dan reformasi politik berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua. AS sering bermuka dua. AS bekerja sama dengan Australia untuk mengontrol separatis. Selain itu juga melindungi kepentingan AS seperti Freeport. Lamban dan hati-hatinya sikap pemerintahan SBY terhadap kasus Papua bisa dipahami karena bersinggungan dengan kepentingan terorisme dunia –Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya – yang telah menumpahkan darah kaum Muslimin di berbagai negara dengan dalih global war on terrorism (GWoT) atau perang global melawan terorisme .

Memang selama ini Densus 88 Mabes Polri yang diprediksi memiliki 500 anggota dan tersebar di berbagai Polda, mendapat kucuran dollar melimpah dari Australia dan AS. Mereka juga mendapat pelatihan anti teroris dari CIA, FBI dan AFP termasuk bantuan perekrutan, pelatihan dan peralatan modern. Kantor Pusat Densus di Jakarta cukup megah yang dibangun dengan bantuan pemerintah Australia sebesar 40 juta dollar. Selain itu setiap tahunnya masih mendapat bantuan 16 juta dollar dari AFP. Sementara pemerintah AS juga membantu secara rutin setiap tahunnya melalaui program bantuanAnti Terrorism Assistance (ATA) sejak zaman Presiden Bush. Selain itu Densus 88 juga memiliki pesawat khusus Boeing-737 yang bisa digunakan kemanapun mereka ingin pergi.

Maka tidaklah mengherankan jika jabatan Kepala Densus yang berpangkat Irjen Polisi itu selalu menjadi incaran perwira tinggi Polri. Selain fasilitasnya mengiurkan, juga membuat gengsi dan harga diri sebagai polisi khusus semakin tinggi. Bahkan Kepala Densus pertama dan mantan Kepala BNN, Komjen (Pol) Gories Mere yang sudah lama meninggalkan Densus, masih sering melakukan operasi anti teroris bersama personil Densus, seperti terungkap pada insiden Bandara Polonia Medan antara pasukan Densus vs prajurit  TNI AU tahun 2010 lalu.

Berikut ini wawancara Tabloid Suara Islam dengan mantan Komisioner Komnas HAM, Dr Saharuddin Daming SH MH, seputar pelanggaran HAM berat yang dilakukan personil Densus, yang bisa menjadikan kepala Densus diseret ke Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Courts) di Den Haag sebagaimana para penjahat perang Serbia yang melakukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusian dalam perang di Bosnia Herzegovina (1992-1995).

Bagaimana komentar anda atas tuntutan para pemimpin umat Islam agar Densus 88 dibubarkan?
 

Apa yang dilakukan Densus 88 sudah tidak lagi masuk dalam kategori penegakan hukum, tetapi itu suatu bentuk kezaliman yang terang-terangan.  Saya kira Densus lebih mewakili kepentingan asing daripada kedaulatan negara. Sejak semula saya sudah tidak percaya kalau Demsus mengusung kepentingan nasional, terbukti mereka menerima dana asing dan itu pasti tidak independen.

Apakah memang selama ini Densus menjadi alat pihak asing di Indonesia?
 

Ya, Densus sengaja menjual terorisme kepada pihak asing agar terus memberikan dukungan dana. Dengan terus menciptakan terorisme, maka dana asing akan terus mengalir ke kocek Densus. Kalau tidak ada teroris, maka dana asing akan terhenti dan Densus akan menjadi kurus kering. Itu akan menjadi momok bagi pimpinan Densus.

Jadi Densus akan tetap dipertahankan meski selalu membebani anggaran negara. Berapa kira-kira anggaran Densus yang menggerogoti APBN?
 

Saharuddin Daming: Ya, Densus sedapat mungkin akan terus dipertahankan dan kalau perlu diciptakan teroris-teroris baru agat Densus tetap eksis. Jadi Densus akan senang kalau ada teroris, sedangkan kalau tidak ada maka akan diciptakan teroris baru. Setahu saya setiap tahun anggaran Densus mencapai Rp 2 triliun dari APBN dan itu sangat membebani negara. Dana itu terlalu besar untuk sebuah satuan kecil seperti Densus yang anggotanya tidak begitu banyak. Tentu saja ini menimbulkan kecemburuan di kalangan  satuan Polri lainnya, dimana selama ini Densus merasa superior dan arogan.

Terbukti terjadi kasus antara Densus vs TNI AU di Bandara Polonia Medan beberapa waktu lalu, dimana hampir saja terjadi bentrok antara Densus dengan personil TNI AU yang menjaga Bandara Polonia Medan. TNI AU hampir saja mengeluarkan statement untuk melarang Densus di Bandara Polonia gara-gara sikapnya yang sangat arogan terhadap TNI AU. Ini menunjukkan Densus tidak taat hukum.

Apakah selama ini Densus telah melakukan pelanggaran HAM berat?
 

Saharuddin Daming: Sangat jelas, Densus telah melakukan pelanggaran HAM berat. Ciri cirinya telah diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yakni genosida dan kejahatan kemanusian. Semua unsur itu dengan sistimatis telah terpenuhi oleh Densus. Densus melakukan hukuman mati tanpa peradilan dan memberlakukan korban dengan cara tidak manusiawi. Jadi kelakuan personil Densus itu  jelas memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat. Hanya orang bodoh saja yang tidak mengakuinya sebagai pelanggaran HAM berat.

Jadi selama ini sasaran tembak Densus memang umat Islam?
 

Saharuddin Daming: Itu sudah jelas ! Kalau gerakan separatis seperti OPM Papua dan RMS  Maluku yang jauh lebih beringas dan banyak menimbulkan korban personil TNI dan Polri, tidak dilawan dengan Densus. Tetapi kalau ada sekelompok umat Islam yang ingin memperjuangkan agamanya, mereka dituduh sebagai teroris. Hal itu berarti Densus telah menjadi drakula bagi umat Islam Indonesia karena sasarannya hanya umat Islam saja, tidak ada umat agama lainnya. Densus juga sering melecehkan tempat suci umat Islam seperti masjid dimana masuk ke masjid tetap memakai sepatu, bahkan menyeret orang ketika masih sholat seperti kejadian di Medan.    

Bagaimana dengan BNPT, apakah perlu dibubarkan?
 

Saharuddin Daming: Densus dan BNPT sama saja, ditujukan untuk memecah belah umat Islam Indonesia. Seperti misi deradikalisasi BNPT dengan dalih untuk menyelamatkan negara, justru digunakan untuk menciptakan permusuhan di masyarakat, sehingga bisa melebar kemana-mana dan menebar kebencian. Saya kira itu sudah merupakan pelanggaran hukum. Dalam UU dikatakan, siapa saja yang menebar kebencian dan permusuhan di masyarakat, maka itu suatu kejahatan. Hal itu justru dilakukan Densus dan BNPT sendiri. Jadi Densus sudah terlalu jauh kalau dikatakan sebagai aparat penegak hukum, justru dia melanggar hukum itu sendiri dengan menciptakan permusuhan abadi dengan umat Islam. Saya kira tidak hanya Densus yang wajib dibubarkan, BNPT juga wajib dilikuidasi agar tidak terus menerus menimbulkan permusuhan di masyarakat.

Apakah membunuh orang dengan seenaknya, juga merupakan pelanggaran HAM?
 

Saharuddin Daming: Sudah jelas ! Selain melanggar HAM, juga diluar pri kemanusiaan. Seperti kasus pembunuhan oleh Densus di Makassar dan Dompu, dimana pembunuhan di Makassar dilakukan di depan masjid ketika akan sholat Jum’at, padahal mereka sama sekali tidak melawan dan tidak bersenjata. Tetapi kemudian dibuat skenario seolah-olah terjadi perlawanan sehingga terpaksa dibunuh dengan kejamnya. Densus berdalih telah melalui prosedur hukum yang berlaku.

Densus sudah terlalu jauh mencederai perasaan umat Islam Indonesia. Apakah wajar dan pantas kalau menembaki orang yang tidak bersalah dan tidak melawan, apalagi akan pergi ke masjid untuk sholat jum’at. Anehnya, petinggi Polri justru membela tindakan brutal Densus tersebut. Saya kira tindakan Densus itu sangat arogan dan merupakan serta kebrutalan secara nasional yang dilakukan oleh satuan polisi yang tidak mengindahkan nilai-nilai martabat kemanusiaan sehingga merupakan suatu kezaliman.     

Apakah pelanggaran HAM berat oleh kepala Densus itu bisa dilaporkan ke International Criminal Courts (ICC) sebagaimana para penjahat perang Serbia yang akhirnya diadili dan dihukumn di Den-Haag, Belanda? 
 

Saharuddin Daming: Pelanggaran HAM berat oleh kepala Densus itu wajib dilaporkan ke Mahkamah Kejahatan Internasional di Den-Haag, Belanda. Sebab negara dengan sengaja membiarkan terjadinya pembunuhan secara semena-mena, sedangkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak selektif dan tidak memiliki sensitifitas sama sekali. Dimana rakyatnya dibantai oleh negaranya sendiri dengan dalih penegakan hukum. Presiden seharusnya wajib bertanggungjawab, makanya dia terus melakukan pembelaan mati-matian kepada Densus. Bahkan dia selalu menginstruksikan Densus agar terus melakukan pemburuan secara massif dan tanpa ampun terhadap terduga teroris. Apa yang disampaikan Presiden itu telah menjadi amunisi bagi Densus untuk terus melakukan pelanggaran HAM berat melalui tindakan kebrutalan dan kebiadabannya.

Saya kira selama ini Presiden tidak mendapatkan informasi yang akurat dan tidak memperoleh informasi dengan perbandingan secara proporsional. Apa yang di dengarnya langsung diterima meskipun sumbernya hanya dari Densus, dengan tidak meminta hasil investigasi dari lembaga lain seperti Komnas HAM. Lemahnya kepemimpinan nasional kita adalah hanya mau mendengar dari satu pihak saja, sehingga mudah sekali dikibuli.

Seperti dulu ada isu murahan dimana dikabarkan sekelompok teroris ingin menyerang Presiden, sehingga Presiden menjadi kebakaran jenggot. Daripada diserang, maka Presiden memerintahkan peningkatan keamanan dirinya, padahal semua itu hasil jualan Densus agar tetap eksis dan dananya terus menggelontor ke koceknya.  Sebab  kalau sudah tidak ada teroris, maka habislah Densus. Makanya perlu diciptakan teroris-teroris baru atau teroris jadi-jadian agar Densus tetap eksis dengan dana bantuan asing dan anggaran yang luar biasa besarnya meski terus menerus menggerogoti APBN. [suaraislam/arrahmah/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.