Header Ads

Dari Tata Kota Hingga Menata Ketaatan Kepada Allah

Berangkat dari artikel dalam sebuah media nasional yang berjudul Indonesia Belum Peduli Tata Kota yang diterbitkan 4 Oktober 2013 lalu, disana dibahas terkait dengan Peringatan Hari Habitat Dunia 2013 pada 7 Oktober tahun ini dengan tema "Urban Mobility" dan Indonesia sendiri mengambil tema "Kota Untuk Semua".


Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa ketidak pedulian itu tergambar dari tidak adanya visi dari pemerintah kota seperti bupati, wali kota atau gubernurnya. Selain itu, juga minimnya bantuan anggaran dana dari pemerintah pusat (APBD yang hanya dua sampai tiga persen saja).
 
The Asia Foundation merilis laporan bahwa lebih dari 80 % dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) hanya digunakan untuk belanja pegawai. Oleh karena itu, anggaran untuk bidang lainnya cenderung terabaikan (kompas.com, 2012). Dengan peningkatan anggaran belanja untuk pegawai, konsekuensi yang diterima adalah belanja untuk barang atau jasa, belanja modal, dan belanja lain-lain juga semakin berkurang.

Penataan ruang sendiri adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota atau RTRW Kota adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah kota. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota merupakan rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah kota, yang merupakan penjabaran dari RTRW provinsi, dan yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah kota, rencana struktur ruang wilayah kota, rencana pola ruang wilayah kota, penetapan kawasan strategis kota, arahan pemanfaatan ruang wilayah kota, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota (penataanruang.com).

Dari hal tersebut, dalam menata sebuah kota tentu bukan hanya bagaimana kita membangun dan mengelola tapi bagaimana kita merencanakan. Tidak hanya mantap dalam segi perencanaan fisik, namun terpenuhinya anggaran dana. Selain itu, bukan hanya sekedar rasa (peduli) dan bagaimana membangun sebuah visi ke depan, namun diperlukan kesadaran dalam memenuhi kewajiban bagi pihak terkait untuk tercapainya kenyamanan dan keamanan suatu lanskap bagi warganya. Tetapi inipun tak sekedar bagaimana menumbuhkan sebuah kesadaran tapi berkaitan dengan kestabilan perekonomian Indonesia. Mengapa? Karena kestabilan perekonomian nantinya akan mempengaruhi anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah nantinya. Pendapatan suatu negara juga terkait dengan bagaimana pengelolaan dan pengaturan sumber daya alam.

Dari segi perekonomian, pada senin (26/8/2013) lalu, perekonomian di Indonesia bukan lagi tidak stabil melainkan mencapai titik krisis. Terlihat dari nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah pada posisi Rp 10.800 (Reuters, 2013). Hal ini ternyata selalu berulang terjadi (bukan pertama kali terjadi), penyebabnya adanya faktor internal-substansial dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di dunia saat ini. Sistem ekonomi kapitalis ini dirancang sedemikian rupa dengan tujuan untuk mempertahankan eksistensinya. Padahal sejatinya merusak.

Di antara prinsip dan pola sistem kapitalis yang menyebabkan terjadinya krisis ini adalah: Sistem perbankan dengan suku bunga; berkembangnya sektor non riil; utang luar negeri yang menjadi tumpuan pembiayaan pembangunan; penggunaan sistem moneter yang tidak disandarkan pada emas dan perak; dan liberalisasi atau swastanisasi sumberdaya alam (Al-islam, edisi 669). Singkatnya sistem ekonomi kapitalislah yang menjadi biang krisis.

Menyangkut sumberdaya alam yang akan menjadi pemasukan pemerintahpun, ternyata dikelola dengan cara diliberaliasasi dan privatisasi. Akibatnya, hampir sebagian besar SDA dikuasai oleh swasta, terutama Asing, khususnya sumber energi. Menurut BPK, perusahaan asing menguasai 70 persen pertambangan migas; 75 persen tambang batu bara, bauksit, nikel, dan timah; 85 persen tambang tembaga dan emas; serta 50 persen perkebunan sawit ( tempo.com, 2013)

Tentu dalam hal ini, kita semua telah sepakat bahwa tidak hanya ilmu lanskap atau bidang ilmu tertentu saja yang dibutuhkan untuk membangun sebuah kota. Karena juga berkaitan dengan bidang ilmu lainnya. Bukan hanya berkaitan tentang sebuah lanskap dan infrastruktur yang dibutuhkan, tapi makhluk hidup yang berada pada suatu lanskap tersebut, serta aktivitas/interaksi dan hal apa yang membantu keberlangsungan makhluk hidup yang ada didalamnya. Itu artinya kitapun perlu melihat inti akar permasalahan yang ada. Kita tidak bisa melihat dengan sudut pandang parsial, yakni dari segi individu atau pihak instansi terkait saja untuk menyelesaikan suatu permasalahan dalam membangun sebuah kota. Karena satu dengan yang lainnya sangat berkaitan.

Sebagai seorang muslim tentu kita meyakini betul bahwa Islam adalah agama yang komperhensif. Segala bidang kehidupan semuanya sudah diatur menurut syariat. Tidak ada sedikitpun bidang yang tidak diperhatikan oleh syariat. Karena Islam memiliki kriteria dan karakteristik yang justru sebenarnya lebih layak untuk dianut oleh seluruh pemikir, pakar, ahli, dan para ilmuan. Lantas apakah mungkin permasalah seperti penataan kota ini dapat diselesaikan dengan Islam?

Syariat Islam bila dikaitkan dengan penataan kota, berisi tentang sekumpulan peraturan atau prosedur berupa undang-undang dan hukum terkait dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Selanjutnya syariat itu harus ditafsirkan kedalam fikih Islam yang secara implementatif dijadikan solusi dalam memecahkan segala permasalahan perkotaan. Menurut Drs. Dyayadi, MT, fikih perkotaan termasuk kedalam ruang lingkup fikih siyasi (Tata Kota Menurut Islam, 2008).

Fikih siyasi adalah ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa hukum, pengaturan, dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran Islam untuk mewujudkan kepentingan orang banyak (Ensiklopedi Hukum Islam, 1996).

Secara terminologis, fikih sendiri berarti pengetahuan tentang hukum syara (hukum Islam) yang bersifat praktis dan diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Adapun As-siyasi berarti mengurus atau memelihara ketertiban dan kemaslahatan manusia berdasarkan syariat Islam. Ditambah lagi dalam Ensiklopedi tersebut bahwa fikih siyasi adalah bagian dari siyasah syari’iyyah (politik hukum Islam).

Namun sayangnya dalam sebuah penataan kota, kaum muslim sendiri acuh. Islam justru sama sekali tidak dilirik dan masih dipandang sebelah mata seolah-olah permasalahan kota hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Sehingga dalam memecahkan permasalahan yang ada bukan lagi menjadi urusan ulama atau ahli hukum Islam (mujtahid). Pola pikir ini adalah pola pikir parsial (sekuler), yaitu memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu dunia. Padahal Islam tidak mengenal pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kaum muslim seharusnya menempatkan Islam sebagai ‘hakim’ didalam realita kehidupannya.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (TQS. Al-Maidah: 44)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (TQS. Al-Maidah: 45)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (TQS. Al-Maidah: 47)

Imam Ibn Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, yakni menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada rasul-Ku, ia berpaling darinya dan berpura-pura melupakannya dan mengambil dari selainnya sebagai petunjuknya; “maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” yakni di dunia.” (Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).

Selain itu dalam penerapan syariat Islam, tidak bisa dibangun secara terpisah (parsial), Jadi harus menyeluruh. Tidak bisa penerapan syariat Islam dalam penataan perkotaan saja dulu, atau perekonomian dahulu. Penerapan syariat Islam secara keseluruhan hanya bisa dicapai dengan adanya institusi khilafah. Kita tentu wajib optimis, Khilafah akan kembali tegak, termasuk di Indonesia. Alasannya adalah karena, tegaknya syariah dan khilafah merupakan janji Allah SWT

“Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal salih dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahwa Ia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: Khalifah-khalifah yang berkuasa dan Ia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (agama Islam) yang telah diridhaiNya untuk mereka dan Ia juga akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu yang lain denganKu. Dan (ingatlah) sesiapa yang kufur ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang derhaka.” (TQS. An-Nur: 55)

Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Rasul saw juga telah mengabarkan akan kembalinya al-Khilafah ar-Rasyidah kedua setelah era penguasa diktator. Rasul bersabda: “… kemudian akan ada khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.” (HR Ahmad dan ath-Thayalisi). Sejatinya, ketika lisan Rasulullah telah mengabarkanya maka tak ada keraguan sedikitpun atasnya.

Perjuangan menerapkan syariah dan menegakkan Khilafah tentu tak lepas dari para peran pengemban dakwah. Peran seperti ini tentu bukanlah peran murahan, dan amalan yang hina apalagi rendah. Melainkan peran yang sangat mulia di mata Allah. Karena aktivitas ini adalah aktivitas menyeru, dan menata cara berfikir kaum muslim menuju ketaatan secara total kepada Allah. Sebagai bukti ketaatan atas keimanan pada janji Allah dan membenarkan kabar gembira Rasulullah saw. Tentu hal inipun didorong oleh keimanan (akidah Islam) dan kewajiban menjalankan seluruh syariah Islam.

Jika bukan kita (kaum muslim) yang melakukan ketaatan dengan sempurna untuk melaksanakan syariatnya, lalu siapa lagi?

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (TQS. Al-Anfal: 24).

Nama     : Yasyirah
HP         : 0852 1785 0430
Email      : iyasyasyirah@gmail.com
Aktivitas : Mahasiswi Departemen Arsitektur Lanskap, Institut Pertanian Bogor.

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.