Header Ads

Pengamat Hubungan Internasional: Amerika Tak Beretika!

Pemerintah Indonesia melayangkan nota protes ke Kedubes Amerika Serikat setelah koran terkemuka di Australia Sydney Morning Herald, Selasa (29/10), menyebut Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, sebagai salah satu dari 90 pos yang memiliki fasilitas penyadapan intelijen AS di seluruh dunia. Lantas apa dampak nota protes tersebut bagi hubugan kedua negara?Temukan jawabannya dalam perbincangan wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana. Berikut petikannya.

Bagaimana tanggapan Anda atas disinyalirnya Amerika menyadap Indonesia?
Informasi ini bukan informasi yang baru. Persoalannya menjadi ‘heboh’ karena informasi ini disampaikan oleh disitir NSA (National Security Agency) Amerika Serikat, sehingga seolah keakuratan informasinya bisa dipertanggungjawabkan, karena ini adalah informasi ‘orang dalam’.
Persoalan kebenarannya, sebenarnya sudah ada indikasi kuat ke arah sana. Dengan memahami Amerika Serikat adalah negara adidaya yang memiliki kepentingan politik di level global, maka ‘wajar’ bagi Amerika Serikat melakukan hal itu semua. Terlebih sepanjang sejarah diplomasinya, Amerika Serikat memang tidak punya etika dalam pergaulan dunia internasional.
Bukankah dalam hubungan satu negara dengan negara lainnya, sadap menyadap adalah sesuatu yang biasa dilakukan?
Dalam hubungan antar negara, informasi terkait dengan negara yang berhubungan dengan suatu negara adalah hal yang penting. Untuk bisa menentukan sikap, baik sikap politik, maupun nantinya akan berujung kepada kebijakan politik dan lainnya, sangat bergantung kepada informasi tentang negara yang akan berhubungan dengan negara tersebut.
Persoalannya adalah apakah informasi tersebut hanya informasi publik, informasi yang beredar secara luas, atau butuh informasi di balik layar. Maka di sinilah peran dari penyadapan. Sehingga sebenarnya penyadapan ini adalah lazim dilakukan untuk mendapatkan informasi ‘rahasia’.
Dengan bekal informasi ‘rahasia’ ini, maka diharapkan sikap dan kebijakan yang dibuat bisa lebih mencerminkan fakta riil yang dihadapi oleh suatu negara.
Apa tujuan suatu negara menyadap negara lain?
Ya itu tadi, penyadapan dilakukan karena tidak merasa cukup dengan informasi publik, maka dibutuhkan cara untuk mendapatkan informasi ‘rahasia’ (confidential/secret information). Dengan harapan dengan bekal informasi rahasia ini suatu negara dapat bersikap kepada negara lain dengan sikap yang lebih ‘tepat’.
Apa pula bahaya yang mengancam bagi negara yang disadap?
Tentu, bagi negara yang disadap, berarti rahasianya terbongkar. Sesuatu yang mestinya bersifat terbatas, karena mungkin terkait dengan rahasia negara, strategi yang ‘top secret’, menjadi hilang maknanya karena diketahui pihak lain, apalagi kalau pihak lain ini adalah musuh dari negara yang bersangkutan. Ini adalah hal yang sangat membahayakan.
Bagaimana pula reaksi negara-negara yang disadap?
Tentunya, bagi negara yang mengetahui bahwa dirinya disadap oleh negara lain, reaksi normalnya adalah marah, protes, terhadap tindakan tersebut. Mengapa? Karena tindakan penyadapan ini adalah tindakan ilegal. Mengambil informasi tidak dengan jalur resmi, secara diam-diam, bahkan bisa dipastikan dilakukan dengan tindakan kriminal seperti masuk suatu wilayah tanpa izin, menempelkan peralatan penyadapan di barang milik orang lain dan lain sebagainya.
Jadi, apakah sikap pemerintah yang memanggil pihak Dubes Amerika dan mengajukan nota protes, sudah tepat?
Pemanggilan perwakilan negara yang dituduh melakukan penyadapan adalah tindakan yang lazim dilakukan dalam pola hubungan antar negara. Persoalannya adalah seberapa efektif tindakan tersebut.
Kalau berdasarkan kajian historis diplomasi, menurut Holsti, telah didokumentasikan ada sekitar 14 ragam tindakan (action) yang dilakukan suatu negara vis a vis negara lain jika suatu konflik atau krisis terjadi.
Di antaranya adalah surat protes, denials/accusation, pemanggilan dubes untuk ‘konsultasi’, penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda anti negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan nonviolent, peniadaan kontak antar warganegara (termasuk komunikasi), blokade formal, penggunaan kekuatan militer terbatas (limited use of force) dan pencetusan perang.
Namun tindakan-tindakan tersebut tidak mesti berurutan, karena dapat saja melompat dari yang satu ke yang lain. Dalam kasus penyadapan ini, maka langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia masih langkah yang ‘ringan’.
Mengapa Indonesia memilih langkah yang ringan?
Ada dua kemungkinan. Pertama, karena penyadapan ini belum memberikan dampak luar biasa bagi Indonesia. Kedua,karena Indonesia masih sangat bergantung pada Amerika Serikat sehingga untuk melangkah ke tahapan diplomatik berikutnya perlu pertimbangan yang panjang.
Menariknya, empat hari sebelum pemberitaan penyadapan di media Australia itu, Menhan Purnomo Yusgiantoro membantah kalau alat telekomunikasi Presiden SBY disadap Amerika, lantaran Indonesia memiliki Lembaga Sandi Negara. Apakah itu berarti pemerintah sudah tahu bahwa Amerika berupaya menyadap?

Pastinya, setiap pemerintah, termasuk Indonesia paham bahwa negara sekaliber Amerika Serikat ketika membuka perwakilan diplomatiknya akan membawa konsekuensi penyadapan. Karena salah satu tugas dari perwakilan diplomatik adalah memberikan informasi kepada negara pengirimnya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, bahwa salah satu fungsi dari perwakilan diplomatik adalah memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima, sesuai dengan undang-undang dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim.
Dan tentunya para staf diplomatik akan berusaha dengan segala cara mendapatkan informasi yang ‘terbaik’, walau harus dengan cara penyadapan yang ilegal.
Mengapa baru mengajukan nota protes setelah pemberitaan itu?
Protes setelah ada pemberitaan, tentunya adalah sikap yang harus ditunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa Indonesia masih berdaulat, tidak mau diintervensi negara lain.
Memang apa konsekuensi dari nota protes tersebut bagi kedua negara tersebut?
Konsekuensinya hanya menunjukkan keberatan, ketidaksukaan terhadap tindakan suatu negara kepada negara yang bersangkutan. Sehingga dengan ada nota protes ini, negara yang melakukan kesalahan dapat memperbaiki tindakan-tindakannya.
Tentunya bila nota protes ini tidak diindahkan, mestinya dilanjutkan kepada tindakan diplomatik yang lebih tinggi, seperti pengusiran atau sampai kepada pemutusan hubungan diplomatik.
Apakah konsekuensi tersebut cukup setimpal dengan risiko yang didapat Indonesia, karena disadap?
Inilah yang senatiasa dijadikan pertimbangan oleh pemerintah. Sejauh ini kita melihat nota protes yang dilakukan hanya sampai menunjukkan ketidaksukaan, atau bahkan hanya meredam agar rakyat Indonesia tidak bergejolak karena melihat kedaulatan negaranya diacak-acak. Setelah isunya mereda, faktanya hubungan antar kedua negara pulih seperti sedia kala.
Berarti itu hanya basa-basi diplomasi untuk menipu rakyatnya sendiri?
Bisa dikatakan demikian.[] [htipress/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.