Header Ads

Posisi al-Qur’an dan as-Sunnah Dalam Kehidupan Bernegara

Posisi al-Qur’an dan as-Sunnah Dalam Kehidupan Bernegara
Kita mungkin sudah terbiasa mendengar adanya ketentuan di sebuah pesantren atau madrasah bahwa lembaga dan seluruh penghuninya harus tunduk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita tidak merasa heran jika segala masalah yang muncul di lembaga tersebut akan dicari pemecahannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Tidak sulit bagi kita untuk membayangkan adanya seorang santri yang dihukum oleh pihak pesantren tatkala yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran terhadap al-Qur’an atau as-Sunnah. Bahkan, masih terhitung wajar jika ada protes dari pihak wali santri kepada pengurus pesantren ketika ada kebijakan pesantren yang dipandang melanggar sebuah  ayat al-Qur’an atau hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika hal di atas cukup wajar dan mudah untuk kita bayangkan, pertanyaannya sekarang adalah: apakah anda pernah membayangkan adanya sebuah negara yang menjadikan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai aturan yang mengikat bagi lembaga negara dan seluruh rakyatnya secara formal? Coba bayangkan, jika itu terjadi, maka semua masalah kenegaraan akan digali pemecahannya dari al-Qur’an dan kitab-kitab hadits; seorang warga negara, bahkan pejabatnya, bisa dijatuhi sanksi karena melanggar al-Qur’an surat sekian ayat sekian, atau melanggar hadits shahih yang diriwayat Imam A dalam kitab B nomor sekian; tak hanya itu, warga negara juga bisa mengajukan gugatan pembatalan terhadap suatu hukum atau kebijakan negara semata-mata karena kebijakan itu terbukti bertentangan dengan kandungan hukum dari suatu ayat atau hadits-hadits nabawi. Apakah menurut anda angan-angan semacam ini tidak terlalu naif?

Ya, kebanyakan manusia yang lahir dan dibesarkan dalam milieu sekulerisme seperti sekarang ini mungkin tak dapat membayangkan bagaimana dalil-dalil keagamaan bisa diajukan sebagai argumen dalam ranah hukum atau kebijakan formal kenegaraan. Terlalu polos dan naif jika ada seorang warga yang datang ke MK untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah undang-undang dengan alasan undang-undang tersebut menyalahi sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan begitu?
Namun anda boleh tidak percaya, meski dalam kacamata sekulersime hal tersebut kelihatan naif, nyatanya, ketentuan bahwa negara dan warganya harus menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai acuan hukum -yang mengikat secara formal- ternyata ada di dalam al-Qur’an secara jelas. Dalam surat an-Nisa’ ayat 59Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا} [النساء: 59]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Maka jika kalian semua berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat di atas secara jelas memerintahkan kepada orang-orang yang mengaku beriman untuk taat kepada ulil amri, yang menurut penafsiran yang terkuat maknanya adalah pemimpin atau penguasa, sebagaimana ditegaskan oleh ath-Thabari dalam tafsirnya. Setelah itu, ayat ini secara eksplisit memberikan ketentuan bagi mereka semua untuk mengembalikan segala perselisihan yang terjadi di antara mereka kepada Allah dan rasulNya. Artinya, di sini ada perintah untuk selalu merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul di antara mereka.
Terkait ungkapan “maka jika kalian berselisih (fa in tanaza’tum)”, maka kata “kalian” di sini meliputi semua pihak yang mungkin berselisih, yaitu seluruh kaum mu’min dan para pemimpin mereka (ulul amri). Sedangkan ungkapan “dalam segala hal” (fii syai’in) menunjukkan keumuman, yaitu dalam segala macam masalah. Dengan demikian, di sini ada ketentuan bahwa segenap persengketaan yang terjadi di antara rakyat harus diselesaikan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Demikian pula halnya dengan setiap persengketaan yang terjadi di antara warga negara dengan pemimpin mereka, penyelesaiannya juga harus didasarkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka dalam ayat ini ada ketentuan yang jelas bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah harus menjadi sumber hukum yang bersifat formal, yang mengikat negara dan warga negara. Demikianlah ketentuannya dalam Islam. Inilah yang dimaksud dengan kedaulatan syariat atau kedaulatan syara’, negara dan warganya sama-sama harus tunduk di bawah Syariah Islam.
Hal ini diterangkan oleh Imam ath-Thabari dalam Tafsirnya. Beliau mengatakan:
“Firman Allah, “Maka jika kalian semua berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul”, yang dimaksud oleh Allah Jalla tsanauhu adalah: jika kalian berbeda pendapat –wahai orang-orang yang beriman- dalam segala hal terkait urusan agama kalian, yang terjadi di antara sesama kalian atau di antara kalian dengan para pemimpin kalian, kemudian kalian berselisih, “maka kembalikanlah ia kepada Allah”, maksudnya: maka dapatkanlah pengetahuan hukum mengenai perkara yang menjadi perselisihan di antara sesama kalian atau di antara kalian dengan para pemimpin kalian itu dari sisi Allah, maksudnya: dari kitabullah. Maka ikutilah apa-apa yang kalian dapati di dalamnya, taatilah Allah dengan jalan kalian mengikuti apa yang ada di dalamnya, baik berupa perintah, larangan, hukum maupun keputusanNya. Adapun firmanNya: “dan Rasul (Nya)”, maka Dia (seolah-olah) berfirman: jika kalian tidak mendapati pengetahuan tentang perkara itu di dalam kitabullah secara jelas, maka dapatkanlah pengetahuan hukum mengenai hal itu dari Rasul, jika ia masih hidup, dan jika ia telah wafat maka dari sunnahnya. “jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”, (seolah) Dia berfirman: kerjakanlah hal yang demikian itu jika kalian percaya kepada Allah dan hari akhir, maksudnya: percaya kepada tempat kembali yang di dalamnya terdapat pahala dan siksa. Jika kalian mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada kalian itu, maka kalian mendapatkan pahala yang melimpah, dan jika kalian tidak melaksanakannya maka kalian akan mendapatkan siksa yang pedih.” Demikian penjelasan imam ath-Thabari.
Jadi jelaslah, bahwa ayat ini menghendaki agar al-Qur’an dan as-Sunnah secara formal mengikat negara dan rakyat secara bersama-sama. Maka dari itu, tidaklah salah jika hari ini ada sebagian umat Islam yang terus berusaha agar ayat ini bisa terealiasai. Ketentuan tersebut hanya bisa terwujud melalui tegaknya sebuah negara yang menjadikan kedaulatan di tangan syara’, di mana negara dan warganya sama-sama tunduk kepada syariat, hukum Allah ditegakkan, segenap masalah dan perselisihan dicari penyelesaiannya dalam kitabullah dan sunnah rasulNya. Dengan kata lain, negara tersebut pastilah sebuah negara yang secara legal menetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum. Tak salah kiranya jika surat an Nisa’ ayat 59 ini sering dijadikan dalil akan wajibnya eksistensi negara Islam. Wallahu a’lam. Titok Priastomo [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.