Header Ads

Mengakhiri Polemik Perbedaan Awal dan Akhir Ramadlan

Mengakhiri Polemik Perbedaan Awal dan Akhir Ramadlan
Oleh : Indra Fakhruddin (Pengamat Sosial Politik)


Kebahagiaan terpancar tak terbendung. Ramadlan kali ini umat islam mengawali secara bersama-sama. Harapun tersemat semoga bisa mengakhiri ramadlan bersamaan. Sehingga seluruh umat islam dapat merasakan utuhnya berhari raya iedul fitri serentak. Alangkah lengkap rasanya kebahagian umat mulia ini, untuk selamanya dapat bersama-sama dalam satu Ramadlan, satu hari raya dan satu khilafah.


***

Keterlibatan Negara

Terbukti bahwa penentuan awal dan akhir ramadlan tidak bisa dipisahkan dari peran negara, sebagai institusi politik. Terlepas dari perbedaan pendapat penentuan awal dan akhir ramadlan, baik itu yang menggunakan metode rukyah maupun hisab, pada ujungnya keterlibatan negara tidak bisa dihindari. Puasa dibulan ramadlan merupakan ibadah mahdloh sebagaimana puasa dan haji. Tetapi tanpa keterlibatan negara tidak akan sempurna. Dapat dibuktikan, negara melalui Kementetian Agama selalu membentuk tim untuk menetukan awal dan akhir ramadlan yang tergabung dalam sidang istbat. Harapannya dapat dijadikan patokan resmi dalam menetukan pelaksanaan ibadah puasa maupun hari raya secara bersama.

Sebagian besar masyarakat awam, bila ditanya tentang persoalan awal dan akhir ramadlan selalu berdalih " mengikuti yang diatas", maksudnya apa kata pemerintah. Memang ada lapis masyarakat, dalam hal ini menyandarkan keputusannya pada lembaga keagamaan yang diikutinya. Misalnya warga nahdliyin mengikuti keputusan resmi Nahdlatul Ulama begitu juga bagi warga muhammadiyah ataupun yang lainnya. Tapi kuantitasnya tidak begitu besar bila dibandingkan dengan yang mengikuti pemerintah.


Tersandung Nasionalisme

Jujur sebenarnya umat islam ingin berpuasa dan berhari raya secara bersamaan. Hanya persoalannya menjadi rumit ada beberapa kendala, terutama adanya kutub yang berseberangan dalam hal perbedaan metode penentuan awal dan akhir ramadlan. Antara kutub rukyah dan kutub hisab sangat sulit ketemu, itu pun masih ada kendala masing-masing kutub ada ikhtilaf lagi. Walaupun secara jumhur ulama pendapat rukyah yang paling rojih, tetapi toh juga masih belum bisa mengatasi problem untuk menyatukan awal dan akhir hari raya.

Sebenarnya tinggal satu secercah harapan yaitu menyandarkan ketundukan keputusan kepada otoritas pemerintah. Namun sekali lagi ini juga masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana faktanya sekarang pemerintahan (negara) yang dihuni oleh milyaran umat islam begitu banyak? Bila masing-masing umat islam menyandarkan pada keputusan negaranya dan kebetulan ada perbedaan antara satu negara dengan negara yang lain trus bagaimana bisa meraih satu kesamaan waktu? Ini persoalan fundamentalnya dimana negeri islam terpecah belah dalam keratan negara nasionalisme.

Selama persoalan pokok ini tak pernah dipikirkan jalan keluarnya maka, mustahil bisa mendambakan kebersamaan dalam mengawali puasa dan berhari raya. Andai bisa bersama-sama seperti tahun ini tak lebih karena faktor "kebetulan" secara rukyah dan hisab pas serasi. Kedepannya tak menjamin bisa bersamaan sebagaimana pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Ketika negeri islam masih egois dengan nasionalimenya maka siklus perbedaan akan terus berputar.

Butuh Khilafah

Akhirnya, momentum ramadlan ini adalah harga mahal untuk membangun kesadaran bahwa umat islam sangat membutuhkan negara khilafah yang mampu menyatukan umat islam diseluruh pelosok dunia bukan hanya persoalan politik dan geografis namun juga menyangkut urusan ibadah puasa dan hari raya yang menjadi simbol kebesaran umat islam.

Terbukti nasionalisme telah memasung umat islam jatuh kejurang perbedaan yang besar berujung pada keterpecah-belahan berdampak mengecilkan potensi umat islam. Akhirnya umat lainnya memperlakukan umat islam dengan semena-mena tanpa rasa takut sedikitpun. Sungguh menyakitkan.

Hal ini membuktikan bahwa antara politik dan spiritual bagai dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Islam harus hadirkan dalam format islam politik dan spiritual. Mengakhiri polemik berkepanjangan dalam mengawali dan mengakhiri ramadlan hanya bisa tuntas dengan menghapus nasionalisme. [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.