Kecurangan, Belt and Road Initiative, People Power dan Khilafah
[image_3]
Oleh : Nazril Firaz Al-Farizi
Setelah kecurangan pemilu telah terjadi secara massif, rezim beserta tim kampanyenya langsung melakukan manuver dengan cepat yaitu melakukan pertemuan dengan TKN pada Selasa (30/04) di Rumah Heritage Menteng, Jakarta Pusat. Pertemuan itu untuk membahas kabinet periode berikutnya, pertanda mereka sudah yakin dan mantap pasti akan menang pilpres meski pengumuman resmi KPU masih sekitar 19 hari lagi.
Beberapa hari sebelumnya tepatnya hari Rabu (24/04) Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta istrinya Mufidah Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Natsir serta beberapa pejabat lainnya bertolak ke Beijing untuk menghadiri KTT Belt and Road Initiative (BRI) ke-2 selama 3 hari dari tanggal 25-27 April 2019, setelah sebelumnya pada KTT BRI pertama sudah dilaksakan pada 14-15 Mei 2017 yang dihadiri langsung oleh Jokowi.
Negara-negara yang turut mengikuti KTT BRI itu berjumlah 37 negara, tetapi jumlah negara sebagai peserta yang telah ikut di dalam proyek Belt and Road Initiative ini berjumlah 125 negara yang intinya sama-sama ingin China berinvestasi di negaranya masing-masing dalam membangun berbagai infrastruktur strategis. Pada hasil pertemuan ini, China telah menandatangani kontrak proyek-proyek baru senilai USD 64 miliar atau sekitar Rp 908 triliun dari beberapa negara lainnya, termasuk Indonesia yang disepakati dengan Luhut Binsar Panjaitan yang telah menandatangani kontrak sebanyak 23 proyek kepada China.
Kemudian bagaimana hubungannya dengan kecurangan, people power dan Khilafah?
Mari kita petakan dalam beberapa poin agar mudah tertangkap kejadian politik yang saling berhubungan tersebut.
1. China Dream vs America First
Kedua nama tersebut pada intinya merupakan nama tema besar utama sebagai strategi China dan Amerika untuk menjadikan dirinya sebagai pusat konektivitas perdagangan, teknologi dan politik untuk mengendalikan banyak negara di dunia.
China Dream ala Xi Jinping ada lebih dulu daripada America First ala Trump. China Dream sebagai sebutan indah dari nama One Belt One Road yang telah berubah nama menjadi Belt and Road Initiative yang digagas oleh Xi pada 2013 silam. Pada Maret 2013, Xi menyebutkan bahwa "China Dream" bukan sekedar impian untuk rakyat China demi kesejahteraan rakyat China, tetapi maksud dari kata itu adalah impian China untuk menciptakan "perdamaian, pembangunan, kerjasama, dan saling menguntungkan," ujar Xi. Cendikiawan China, Jin Kai pun mendefinisikan hal itu merupakan sebuah "eksplorasi rakyat China terhadap model perkembangan mereka sendiri dan kerinduan mereka akan 'peremajaan besar' bangsa China." Jin Kai menyebutnya sebagai, "sebagai visi untuk China sendiri," bukan sebagai rencana untuk menggulingkan "sistem global yang dipimpin AS." (Asia Times, 06/04/2019)
Gagasan America First sendiri muncul pada saat janji kampanye Donald Trump pada pemilihan presiden AS tahun 2016 silam sebagai pengganti kepemimpinan global AS sebelumnya yang dipimpin Obama bernama "Forward" pada 2012 yang merupakan terusan dari "Hope" dan "Change We Can Believe In" pada 2008 silam.
Kebijakan America First ala Trump yang katanya bertujuan untuk menciptakan dunia yang damai, walaupun menggunakan pendekatan yang militeristik, "Perdamaian melalui kekuatan akan ada di pusat kebijakan luar negeri itu" [1]. Kebijakan itu pun berfokus pula kepada ekonomi dan kerjasama luar negeri yang intinya ingin terus mempertahankan Amerika sebagai negara pertama, pengendali dunia, penguasa dunia, pemimpin dunia sekaligus melindungi kepentingan rakyatnya serta perusahaan-perusahaannya yang merupakan implementasi dari slogan "Make America Great Again!", mengingat China saat ini menjadi saingan kuat baru untuk menggeser posisi Amerika. [2]
Usaha Amerika untuk menghalangi dan menekan China agar tidak menggeser posisi Amerika diantaranya :
a. Perang Dagang
Perang dagang didahului oleh Amerika pada 22 Januari 2018, dimana AS membebankan tarif pada panel surya dan mesin cuci, meski tidak ditujukan khusus kepada China, tetapi China adalah pengekspor panel Surya. Kemudian pada tanggal 8 Maret 2018, AS memberlakukan tarif sebesar 25% untuk impor baja dan tarif 10% untuk alumunium senilai USD 32,5 miliar, dampaknya Uni Eropa, Meksiko, Kanada dan China membalas tarif kepada barang-barang AS. Kemudian pada 2 April 2018 China merespon dengan tarif senilai USD 3 miliar terhadap 128 produk impor AS termasuk jeruk, anggur, babi dan alumunium.
Ronde pertama terjadi pada 6 Juli 2018 dimana AS mulai berlakukan tarif 25% impor China senilai USD 34 miliar termasuk mesin, peralatan konstruksi dan elektronik. Kemudian pada 23 Agustus 2018 AS kembali berlakukan tarif sebesar 25% atas impor China senilai USD 16 miliar terhadap gerbong kereta api, minyak, bahan kimia, motor dan beberapa komponen elektronik sehingga total tarif impor China menjadi USD 50 miliar, akhirnya China berani membalas dengan tarif impor AS yang sama senilai USD 50 miliar.
Ronde kedua terjadi pada 18 September 2018 dimana AS membuat keputusan mengenakan tarif impor China sebesar USD 200 miliar yang mulai berlaku pada 24 September. Berbagai barang mulai dari tas tangan hingga sarung bisbol yang dikenakan tarif mulai dari 10% hingga 25%. Ini kira-kira setengah dari seluruh ekspor China ke AS. Maka China pun membalas atas barang-barang impor AS senilai USD 60 miliar juga diberlakukan pada 24 September. Dan pada ronde ketiga, Trump mengancam China jika membalas lagi, maka barang-barang berharga China senilai USD 2,67 miliar akan kena tarif pula, dan ini akan membawa total peningkatan tarif AS atas China menjadi USD 517 miliar, dengan bahasa sederhananya, semua barang China yang ada di Amerika dijual. (The Sydney Morning, 05/10/2018)
Meski China tengah digempur oleh Amerika pada perang tarif barang impor-impor kedua negara, China pun tetap menjalankan strateginya untuk melebarkan pengaruh ekonominya dengan terus menjalankan proyek Belt and Road Initiative (BRI), dimana AS telah melawan hal tersebut dengan mengatakan bahwa sesungguhnya BRI China adalah jebakan utang untuk menjajah negara yang tidak mampu membayar proyek infrastruktur China.
Bank Dunia dan IMF pun menuntut transparansi lebih lanjut tentang pengaturan pinjaman setelah menyoroti resiko pinjaman yang berlebihan kepada beberapa negara yang akhirnya malah menjadi korban jebakan hutang China. Direktur Pelaksana dan Ketua International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde, mengatakan bahwa, "Bank Dunia dan IMF telah bekerjasama untuk menghasilkan transparansi yang lebih baik dan dapat mengidentifikasi syarat dan ketentuan, volume dan jatuh tempo utang di luar sana," (Asia Times, 29/04).
Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh Sam Parker dan Gabrielle Chefitz berjudul "Examining the Debt Implications of the Belt and Road Initiative" (Meneliti Implikasi Hutang dari Inisiatif Sabuk dan Jalan) melihat dari perspektif kebijakan, mendeteksi akan ada sekitar 23 negara yang mungkin rentan terhadap "kesulitan hutang", salah satu diantaranya Pakistan, Djibouti, Maladewa, Laos, Mongolia, Montenegro, Tajikistan dan Kirgistan masuk dalam kategori "beresiko tinggi".
Hal ini terlihat jelas dialami salah satunya oleh Sri Lanka yang mana menyerahkan kendali atas Pelabuhan Hambantota yang dibiayai dengan pinjaman hutang China, meminjam kepada Merchants Port Holdings, perusahaan milik pemerintah China pada akhir 2017 lalu. Sri Lanka dibuat tunduk atas perjanjian sewa pelabuhan selama 99 tahun. Salah satu pengamat dari Observer Research Foundation di New Delhi, India, N Sathiya Moorthy mengatakan atas kasus pelabuhan itu, "Harga yang dibayar untuk mengurangi utang China dapat terbukti lebih mahal daripada beban utang yang ingin dikurangi Sri Lanka," (Asia Times, 29/04)
b. Perang AS vs China di Laut China Selatan
Sudah beberapa tahun terakhir ini China berambisi untuk menguasai Laut China Selatan seluas 1,35 juta mil persegi yang itu pun sekaligus merupakan jalur dari Belt and Road Initiative yang menghubungkan China dengan negara-negara Asia Tenggara. Terdapat beberapa kepulauan yang ada di Laut China Selatan diantaranya Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan Macclesfield Bank. Bahkan ada beberapa diantaranya merupakan pulau buatan serta penyempurnaan pulau sebelumnya.
China telah membangun pangkalan militer di Pulau Fiery Cross, Mischief dan terumbu karang Subi serta rencana akan kembali membangun di Pulau Woody, Tree dan Drummond menjadi, "basis strategis dan logistik nasional", ujar Zhang Jun, Sekretaris Partai Komunis China unit administrasi sekaligus Walikota Sansha di Kepulauan Paracel yang berada di bawah Provinsi Hainan, China. (Asia Times, 01/04)
Kehadiran AS di Laut China Selatan pun ditandai dengan adanya kapal perang perusak USS McCampbell Arleigh Burke ke Kepulauan Paracel pada Januari lalu, sementara USS Spruance dan USS Preble berpatroli di dekat Mischief Reef yang diklaim China di Kepulauan Spratly pada Februari. Kapal-kapal AS telah melakukan operasi kebebasan navigasi (Freedom of Navigation Operations/FONOP) sebanyak 7 kali di Laut China Selatan, 5 diantaranya sudah dilakukan sepanjang tahun 2018. Hal itu dilakukan untuk melawan kebijakan China yang sangat membatasi atau bahkan melarang pihak lain untuk melakukan navigasi di Laut China Selatan.
Tindakan AS lainnya yaitu mengirimkan 2 pesawat pengebom berkemampuan nuklir B-52 Stratofortress ke Laut China Selatan yang berangkat dari Pangkalan Angkatan Udara Andersen, Guam pada 13 Maret 2019 lalu. Kemudian AS pun menjual pesawat tempur F-16 ke Taiwan yang saat ini sebagai negara yang berkonflik dengan China karena China bersikukuh bahwa Taiwan harus bergabung di bawah wilayah China. Taiwan pun sedang mengklaim Kepulauan Paracel di Laut China Selatan. Taiwan membeli sekitar 60 buat jet tempur F-16 dari AS, meski Taiwan pun meminta untuk membeli F-35 yang merupakan jet siluman tercanggih, tapi AS menolak.
Sebaliknya, AS menerima rencana dari Singapura yang mempunyai anggaran pertahanan sebesar USD 16,7 miliar untuk diantaranya digunakan membeli 12 jet tempur F-35 untuk mempersiapkan diri menghadapi konflik China di Laut China Selatan.
Jadi seperti biasa, Amerika hadir bak pahlawan untuk menyelamatkan negara-negara kecil sekitar Laut China Selatan yang tidak berdaya di hadapan China, sekaligus ini pun adalah tindakan AS untuk menekan jalur Belt and Road Initiative yang melewati Laut China Selatan serta menekan China agar tidak sampai menggeser posisi pengaruh AS Asia Tenggara, maupun kancah dunia.
2. Kecurangan Terencana, People Power hingga Khilafah
Begitu massif dan seolah seperti semua telah direncanakan akan kecurangan pemilu khususnya pilpres 2019 ini, mulai dari lembaga survei hitung cepat, pencoblosan surat suara oleh petugas TPS, perampokan kotak suara, pembakaran kotak suara, penganiayaan terhadap petugas dan pengawas hingga meninggal dunia, sampai kekeliruan yang terus berulang oleh KPU di dalam input data yang tidak sesuai C1.
KPU sendiri semakin memperlihatkan kejanggalannya dan malah justru mengiyakan bahwa dirinya disinyalir memang curang, ketika banyak masyarakat yang memviralkan ketidaksesuaian input data di Situng KPU dengan data C1, KPU menentang masyarakat melakukan viral itu, tetapi harus langsung lapor ke KPU. Kemudian beberapa hari terakhir ini, KPU semakin terlihat panik ketika masyarakat mulai berencana akan melaporkan bahwa KPU itu curang, justru sebaliknya KPU malah menyerang balik untuk menekan aparat agar menangkap orang-orang yang dianggap telah mencemarkan nama baik KPU yang dituduh curang karena melakukan banyak kesalahan input data yang terus berulang.
Kita pasti masih terngiang dengan ucapan Jokowi di saat debat calon presiden-wakil presiden ke-1 tanggal 17 Januari lalu, dimana dia selalu berkata, "ya gampang tinggal laporkan saja ke polisi. Lapor, lapor, agar diketahui dan ditindaklanjuti," tetapi sayangnya lucunya rezim ini, pihak polisi pun sudah tidak punya keadilan sama sekali karena ketika yang dilaporkan itu adalah pihak oposisi, maka tak perlu waktu lama untuk menindaklanjutinya, hingga akhirnya ditahan. Tetapi ketika yang dilaporkan itu adalah pihak yang pro atau berafiliasi dengan rezim, maka justru yang melaporkan itu yang diringkus polisi.
Jadi mungkin saat ini bagi masyarakat yang akan melaporkan KPU itu terindikasi curang, justru malah yang melaporkan itu yang diperiksa polisi, yang ditindaklanjuti itu adalah masyarakat yang melaporkan, bukan KPUnya.
Jika dipikir-pikir, seolah semua ini benar-benar memang sudah dipersiapkan secara terencana. Seolah sudah disusun plan berlapis-lapis. Mungkin ketika misal akhirnya hasil perhitungan resmi KPU pun menyatakan petahana menang kembali, kemudian masyarakat masih punya jalur hukum ke MK, bisa jadi MK pun adalah lapis tempur rezim berikutnya yang memang sudah disetting para hakimnya untuk tetap memenangkan sidang atas petahana sehingga selesailah masalah, tinggal menunggu pelantikan Oktober 2019 nanti.
Di paragraf pertama dan kedua tulisan ini tadi sudah membahas tentang manuver kontroversi yang dilakukan rezim yang melakukan penandatanganan kontrak 23 proyek Belt and Road Initiative China serta TKN yang langsung berkumpul dengan Jokowi membahas formasi kabinet periode 2019-2024. Tindakan itu merupakan bukti bahwa mereka telah sangat percaya diri akan kemenangan mereka yang sudah direncanakan secara tersistematis atas plan yang berlapis-lapis, dan bukti bahwa justru itu adalah pengakuan secara tidak langsung bahwa mereka memang curang, karena tidak memperdulikan protes maupun gugatan masyarakat maupun pihak oposisi soal kecurangan, sehingga mereka pun terus berjalan saja dengan menikmati keadaan sembari melakukan rencana kedepan menteken kontrak serta membahas kabinet.
Atas semua kejadian ini, para ulama nasional pun kembali mengadakan Ijtima Ulama III di bawah kepemimpinan Ust.Yusuf Muhammad Martak (Ketua GNPF Ulama) di Hotel Lor In, Sentul, Bogor pada Rabu (01/05) yang dihadiri sekitar 500 ulama dan tokoh untuk menindaklanjuti kondisi pasca pilpres saat ini. Dari hasil Ijtima Ulama ini pun, keluar rekomendasi yang telah diteken oleh KH.Abdul Rasyid Abdullah Syafie, Ust.Yusuf Muhammad Martak, Ust.Zaitul Rasmin, Ust.Slamet Ma'arif, KH.Sobri Lubis dan Ust.Bachtiar Nashir. Rekomendasi ini berjumlah 5 poin diantaranya :
a. Menyimpulkan bahwa telah terjadi berbagai kecurangan dan kejahatan yang bersifat tersitruktur, sistematis dan masif dalam proses pemilu 2019.
b. Mendorong dan meminta kepada BPN PAS untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme legal prosedural tentang terjadinya berbagai kecurangan dan kejahatan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam proses pilpres 2019.
c. Mendesak Bawaslu dan KPU untuk memutuskan pembatalan/diskualifikasi paslon capres cawapres 01.
d. Mengajak umat dan seluruh anak bangsa untuk mengawal dan mendampingi perjuangan penegakan hukum dengan cara syar’i dan legal konstitusional dalam melawan kecurangan dan kejahatan serta ketidakadilan termasuk perjuangan/diskualifikasi paslon capres cawapres 01 yang melakukan kecurangan dan kejahatan dalam pilpres 2019.
e. Memutuskan bahwa perjuangan melawan kecurangan dan kejahatan serta ketidakadilan adalah bentuk amar makruf nahi munkar, konstitusional dan sah secara hukum demi menjaga keutuhan NKRI dan kedaulatan rakyat.
Tetapi apalah sayang, Ijtima Ulama 3 ini diabaikan dan dihiraukan oleh rezim, TKN maupun KPU, seolah hanya sekedar ancaman dari anak kecil kepada orang dewasa yang tidak akan didengar karena dianggap remeh.
Kami yang membuat tulisan ini yakin, petahana akan berlanjut terus karena dimungkinkan semua hal ini sudah tersistematis pembuatan rencana yang berlapis-lapis sampai ke MK. Maka justru dengan semua kecurangan ini, rezim malah membuat umat semakin muak dan semakin jauh dari ketaatan kepada rezim, karena memang tidak boleh ada ketaatan kepada pemimpin dzalim, munafik dan fasik yang terlebih lagi jelas-jelas tidak menerapkan hukum Allah secara kaffah.
Segala prosedur hukum yang ada pun sudah sia-sia dan percuma untuk ditempuh karena semua Instrumen negara berpihak kepada rezim. Hukum sudah kalah oleh kepentingan politik. Maka cara yang akan dilakukan umat adalah people power sebagai sesuatu hal alami dimana umat akan menuntut keadilan dan mencari perubahan.
Hanya saja umat perlu diarahkan kepada arah yang hakiki, bukan arah yang parsial yang hanya bersandar kepada fakta saat ini. Dengan adanya kejadian ini, maka menjadi hikmah yang luar biasa bagi umat bahwa sesungguhnya semua cara ini bukanlah solusi, bahwa semua ini adalah percuma dan sia-sia, karena sekedar hanya dapat bermain di dalam wahana permainan saja, bukan penguasaan wahana permainan itu, apalagi menguasai dan mengganti total wahana itu, karena pemilik wahana permainan itu sudah ada, dialah para kapitalis asing dan aseng yang saat ini sedang bertarung antara China vs Amerika seperti yang sudah kami kemukakan di poin sebelumnya. Terlebih lagi rezim sudah teken kontrak 23 proyek Belt and Road Initiative, maka itu semakin membuat negeri ini ada dalam cengkraman China yang dibayang-bayangi Amerika.
Lalu siapakah yang harus dijadikan solusi?
Secara alami para ulama dan umat akan mengarah kepada Syariah dan Khilafah sebagai titik jenuh muak luar biasa atas kerusakan kapitalisme demokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi.
"Apabila partai telah berhasil menyatukan berbagai pemikiran, keyakinan, dan pendapat, berarti partai telah menciptakan persatuan umat luar dalam, telah meleburnya dengan Islam, dan membersihkannya dari kotoran. Terwujudlah kemudian umat yang satu. Dan dengan demikian, lahirlah persatuan yang benar." [3]
Wallahu alam bishowab.
Nazril Firaz Al-Farizi
Catatan kaki :
[1] White House, America First Foreign Policy.
[2] Wasinski M, Donald Trump's Foreign Policy Stances: Unpredictability and Neo-Isolationism.
[3] Taqiyuddin An-Nabhani, At-Takattul al-Hizby (terjemah) hal.38
Oleh : Nazril Firaz Al-Farizi
Setelah kecurangan pemilu telah terjadi secara massif, rezim beserta tim kampanyenya langsung melakukan manuver dengan cepat yaitu melakukan pertemuan dengan TKN pada Selasa (30/04) di Rumah Heritage Menteng, Jakarta Pusat. Pertemuan itu untuk membahas kabinet periode berikutnya, pertanda mereka sudah yakin dan mantap pasti akan menang pilpres meski pengumuman resmi KPU masih sekitar 19 hari lagi.
Beberapa hari sebelumnya tepatnya hari Rabu (24/04) Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta istrinya Mufidah Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Natsir serta beberapa pejabat lainnya bertolak ke Beijing untuk menghadiri KTT Belt and Road Initiative (BRI) ke-2 selama 3 hari dari tanggal 25-27 April 2019, setelah sebelumnya pada KTT BRI pertama sudah dilaksakan pada 14-15 Mei 2017 yang dihadiri langsung oleh Jokowi.
Negara-negara yang turut mengikuti KTT BRI itu berjumlah 37 negara, tetapi jumlah negara sebagai peserta yang telah ikut di dalam proyek Belt and Road Initiative ini berjumlah 125 negara yang intinya sama-sama ingin China berinvestasi di negaranya masing-masing dalam membangun berbagai infrastruktur strategis. Pada hasil pertemuan ini, China telah menandatangani kontrak proyek-proyek baru senilai USD 64 miliar atau sekitar Rp 908 triliun dari beberapa negara lainnya, termasuk Indonesia yang disepakati dengan Luhut Binsar Panjaitan yang telah menandatangani kontrak sebanyak 23 proyek kepada China.
Kemudian bagaimana hubungannya dengan kecurangan, people power dan Khilafah?
Mari kita petakan dalam beberapa poin agar mudah tertangkap kejadian politik yang saling berhubungan tersebut.
1. China Dream vs America First
Kedua nama tersebut pada intinya merupakan nama tema besar utama sebagai strategi China dan Amerika untuk menjadikan dirinya sebagai pusat konektivitas perdagangan, teknologi dan politik untuk mengendalikan banyak negara di dunia.
China Dream ala Xi Jinping ada lebih dulu daripada America First ala Trump. China Dream sebagai sebutan indah dari nama One Belt One Road yang telah berubah nama menjadi Belt and Road Initiative yang digagas oleh Xi pada 2013 silam. Pada Maret 2013, Xi menyebutkan bahwa "China Dream" bukan sekedar impian untuk rakyat China demi kesejahteraan rakyat China, tetapi maksud dari kata itu adalah impian China untuk menciptakan "perdamaian, pembangunan, kerjasama, dan saling menguntungkan," ujar Xi. Cendikiawan China, Jin Kai pun mendefinisikan hal itu merupakan sebuah "eksplorasi rakyat China terhadap model perkembangan mereka sendiri dan kerinduan mereka akan 'peremajaan besar' bangsa China." Jin Kai menyebutnya sebagai, "sebagai visi untuk China sendiri," bukan sebagai rencana untuk menggulingkan "sistem global yang dipimpin AS." (Asia Times, 06/04/2019)
Gagasan America First sendiri muncul pada saat janji kampanye Donald Trump pada pemilihan presiden AS tahun 2016 silam sebagai pengganti kepemimpinan global AS sebelumnya yang dipimpin Obama bernama "Forward" pada 2012 yang merupakan terusan dari "Hope" dan "Change We Can Believe In" pada 2008 silam.
Kebijakan America First ala Trump yang katanya bertujuan untuk menciptakan dunia yang damai, walaupun menggunakan pendekatan yang militeristik, "Perdamaian melalui kekuatan akan ada di pusat kebijakan luar negeri itu" [1]. Kebijakan itu pun berfokus pula kepada ekonomi dan kerjasama luar negeri yang intinya ingin terus mempertahankan Amerika sebagai negara pertama, pengendali dunia, penguasa dunia, pemimpin dunia sekaligus melindungi kepentingan rakyatnya serta perusahaan-perusahaannya yang merupakan implementasi dari slogan "Make America Great Again!", mengingat China saat ini menjadi saingan kuat baru untuk menggeser posisi Amerika. [2]
Usaha Amerika untuk menghalangi dan menekan China agar tidak menggeser posisi Amerika diantaranya :
a. Perang Dagang
Perang dagang didahului oleh Amerika pada 22 Januari 2018, dimana AS membebankan tarif pada panel surya dan mesin cuci, meski tidak ditujukan khusus kepada China, tetapi China adalah pengekspor panel Surya. Kemudian pada tanggal 8 Maret 2018, AS memberlakukan tarif sebesar 25% untuk impor baja dan tarif 10% untuk alumunium senilai USD 32,5 miliar, dampaknya Uni Eropa, Meksiko, Kanada dan China membalas tarif kepada barang-barang AS. Kemudian pada 2 April 2018 China merespon dengan tarif senilai USD 3 miliar terhadap 128 produk impor AS termasuk jeruk, anggur, babi dan alumunium.
Ronde pertama terjadi pada 6 Juli 2018 dimana AS mulai berlakukan tarif 25% impor China senilai USD 34 miliar termasuk mesin, peralatan konstruksi dan elektronik. Kemudian pada 23 Agustus 2018 AS kembali berlakukan tarif sebesar 25% atas impor China senilai USD 16 miliar terhadap gerbong kereta api, minyak, bahan kimia, motor dan beberapa komponen elektronik sehingga total tarif impor China menjadi USD 50 miliar, akhirnya China berani membalas dengan tarif impor AS yang sama senilai USD 50 miliar.
Ronde kedua terjadi pada 18 September 2018 dimana AS membuat keputusan mengenakan tarif impor China sebesar USD 200 miliar yang mulai berlaku pada 24 September. Berbagai barang mulai dari tas tangan hingga sarung bisbol yang dikenakan tarif mulai dari 10% hingga 25%. Ini kira-kira setengah dari seluruh ekspor China ke AS. Maka China pun membalas atas barang-barang impor AS senilai USD 60 miliar juga diberlakukan pada 24 September. Dan pada ronde ketiga, Trump mengancam China jika membalas lagi, maka barang-barang berharga China senilai USD 2,67 miliar akan kena tarif pula, dan ini akan membawa total peningkatan tarif AS atas China menjadi USD 517 miliar, dengan bahasa sederhananya, semua barang China yang ada di Amerika dijual. (The Sydney Morning, 05/10/2018)
Meski China tengah digempur oleh Amerika pada perang tarif barang impor-impor kedua negara, China pun tetap menjalankan strateginya untuk melebarkan pengaruh ekonominya dengan terus menjalankan proyek Belt and Road Initiative (BRI), dimana AS telah melawan hal tersebut dengan mengatakan bahwa sesungguhnya BRI China adalah jebakan utang untuk menjajah negara yang tidak mampu membayar proyek infrastruktur China.
Bank Dunia dan IMF pun menuntut transparansi lebih lanjut tentang pengaturan pinjaman setelah menyoroti resiko pinjaman yang berlebihan kepada beberapa negara yang akhirnya malah menjadi korban jebakan hutang China. Direktur Pelaksana dan Ketua International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde, mengatakan bahwa, "Bank Dunia dan IMF telah bekerjasama untuk menghasilkan transparansi yang lebih baik dan dapat mengidentifikasi syarat dan ketentuan, volume dan jatuh tempo utang di luar sana," (Asia Times, 29/04).
Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh Sam Parker dan Gabrielle Chefitz berjudul "Examining the Debt Implications of the Belt and Road Initiative" (Meneliti Implikasi Hutang dari Inisiatif Sabuk dan Jalan) melihat dari perspektif kebijakan, mendeteksi akan ada sekitar 23 negara yang mungkin rentan terhadap "kesulitan hutang", salah satu diantaranya Pakistan, Djibouti, Maladewa, Laos, Mongolia, Montenegro, Tajikistan dan Kirgistan masuk dalam kategori "beresiko tinggi".
Hal ini terlihat jelas dialami salah satunya oleh Sri Lanka yang mana menyerahkan kendali atas Pelabuhan Hambantota yang dibiayai dengan pinjaman hutang China, meminjam kepada Merchants Port Holdings, perusahaan milik pemerintah China pada akhir 2017 lalu. Sri Lanka dibuat tunduk atas perjanjian sewa pelabuhan selama 99 tahun. Salah satu pengamat dari Observer Research Foundation di New Delhi, India, N Sathiya Moorthy mengatakan atas kasus pelabuhan itu, "Harga yang dibayar untuk mengurangi utang China dapat terbukti lebih mahal daripada beban utang yang ingin dikurangi Sri Lanka," (Asia Times, 29/04)
b. Perang AS vs China di Laut China Selatan
Sudah beberapa tahun terakhir ini China berambisi untuk menguasai Laut China Selatan seluas 1,35 juta mil persegi yang itu pun sekaligus merupakan jalur dari Belt and Road Initiative yang menghubungkan China dengan negara-negara Asia Tenggara. Terdapat beberapa kepulauan yang ada di Laut China Selatan diantaranya Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan Macclesfield Bank. Bahkan ada beberapa diantaranya merupakan pulau buatan serta penyempurnaan pulau sebelumnya.
China telah membangun pangkalan militer di Pulau Fiery Cross, Mischief dan terumbu karang Subi serta rencana akan kembali membangun di Pulau Woody, Tree dan Drummond menjadi, "basis strategis dan logistik nasional", ujar Zhang Jun, Sekretaris Partai Komunis China unit administrasi sekaligus Walikota Sansha di Kepulauan Paracel yang berada di bawah Provinsi Hainan, China. (Asia Times, 01/04)
Kehadiran AS di Laut China Selatan pun ditandai dengan adanya kapal perang perusak USS McCampbell Arleigh Burke ke Kepulauan Paracel pada Januari lalu, sementara USS Spruance dan USS Preble berpatroli di dekat Mischief Reef yang diklaim China di Kepulauan Spratly pada Februari. Kapal-kapal AS telah melakukan operasi kebebasan navigasi (Freedom of Navigation Operations/FONOP) sebanyak 7 kali di Laut China Selatan, 5 diantaranya sudah dilakukan sepanjang tahun 2018. Hal itu dilakukan untuk melawan kebijakan China yang sangat membatasi atau bahkan melarang pihak lain untuk melakukan navigasi di Laut China Selatan.
Tindakan AS lainnya yaitu mengirimkan 2 pesawat pengebom berkemampuan nuklir B-52 Stratofortress ke Laut China Selatan yang berangkat dari Pangkalan Angkatan Udara Andersen, Guam pada 13 Maret 2019 lalu. Kemudian AS pun menjual pesawat tempur F-16 ke Taiwan yang saat ini sebagai negara yang berkonflik dengan China karena China bersikukuh bahwa Taiwan harus bergabung di bawah wilayah China. Taiwan pun sedang mengklaim Kepulauan Paracel di Laut China Selatan. Taiwan membeli sekitar 60 buat jet tempur F-16 dari AS, meski Taiwan pun meminta untuk membeli F-35 yang merupakan jet siluman tercanggih, tapi AS menolak.
Sebaliknya, AS menerima rencana dari Singapura yang mempunyai anggaran pertahanan sebesar USD 16,7 miliar untuk diantaranya digunakan membeli 12 jet tempur F-35 untuk mempersiapkan diri menghadapi konflik China di Laut China Selatan.
Jadi seperti biasa, Amerika hadir bak pahlawan untuk menyelamatkan negara-negara kecil sekitar Laut China Selatan yang tidak berdaya di hadapan China, sekaligus ini pun adalah tindakan AS untuk menekan jalur Belt and Road Initiative yang melewati Laut China Selatan serta menekan China agar tidak sampai menggeser posisi pengaruh AS Asia Tenggara, maupun kancah dunia.
2. Kecurangan Terencana, People Power hingga Khilafah
Begitu massif dan seolah seperti semua telah direncanakan akan kecurangan pemilu khususnya pilpres 2019 ini, mulai dari lembaga survei hitung cepat, pencoblosan surat suara oleh petugas TPS, perampokan kotak suara, pembakaran kotak suara, penganiayaan terhadap petugas dan pengawas hingga meninggal dunia, sampai kekeliruan yang terus berulang oleh KPU di dalam input data yang tidak sesuai C1.
KPU sendiri semakin memperlihatkan kejanggalannya dan malah justru mengiyakan bahwa dirinya disinyalir memang curang, ketika banyak masyarakat yang memviralkan ketidaksesuaian input data di Situng KPU dengan data C1, KPU menentang masyarakat melakukan viral itu, tetapi harus langsung lapor ke KPU. Kemudian beberapa hari terakhir ini, KPU semakin terlihat panik ketika masyarakat mulai berencana akan melaporkan bahwa KPU itu curang, justru sebaliknya KPU malah menyerang balik untuk menekan aparat agar menangkap orang-orang yang dianggap telah mencemarkan nama baik KPU yang dituduh curang karena melakukan banyak kesalahan input data yang terus berulang.
Kita pasti masih terngiang dengan ucapan Jokowi di saat debat calon presiden-wakil presiden ke-1 tanggal 17 Januari lalu, dimana dia selalu berkata, "ya gampang tinggal laporkan saja ke polisi. Lapor, lapor, agar diketahui dan ditindaklanjuti," tetapi sayangnya lucunya rezim ini, pihak polisi pun sudah tidak punya keadilan sama sekali karena ketika yang dilaporkan itu adalah pihak oposisi, maka tak perlu waktu lama untuk menindaklanjutinya, hingga akhirnya ditahan. Tetapi ketika yang dilaporkan itu adalah pihak yang pro atau berafiliasi dengan rezim, maka justru yang melaporkan itu yang diringkus polisi.
Jadi mungkin saat ini bagi masyarakat yang akan melaporkan KPU itu terindikasi curang, justru malah yang melaporkan itu yang diperiksa polisi, yang ditindaklanjuti itu adalah masyarakat yang melaporkan, bukan KPUnya.
Jika dipikir-pikir, seolah semua ini benar-benar memang sudah dipersiapkan secara terencana. Seolah sudah disusun plan berlapis-lapis. Mungkin ketika misal akhirnya hasil perhitungan resmi KPU pun menyatakan petahana menang kembali, kemudian masyarakat masih punya jalur hukum ke MK, bisa jadi MK pun adalah lapis tempur rezim berikutnya yang memang sudah disetting para hakimnya untuk tetap memenangkan sidang atas petahana sehingga selesailah masalah, tinggal menunggu pelantikan Oktober 2019 nanti.
Di paragraf pertama dan kedua tulisan ini tadi sudah membahas tentang manuver kontroversi yang dilakukan rezim yang melakukan penandatanganan kontrak 23 proyek Belt and Road Initiative China serta TKN yang langsung berkumpul dengan Jokowi membahas formasi kabinet periode 2019-2024. Tindakan itu merupakan bukti bahwa mereka telah sangat percaya diri akan kemenangan mereka yang sudah direncanakan secara tersistematis atas plan yang berlapis-lapis, dan bukti bahwa justru itu adalah pengakuan secara tidak langsung bahwa mereka memang curang, karena tidak memperdulikan protes maupun gugatan masyarakat maupun pihak oposisi soal kecurangan, sehingga mereka pun terus berjalan saja dengan menikmati keadaan sembari melakukan rencana kedepan menteken kontrak serta membahas kabinet.
Atas semua kejadian ini, para ulama nasional pun kembali mengadakan Ijtima Ulama III di bawah kepemimpinan Ust.Yusuf Muhammad Martak (Ketua GNPF Ulama) di Hotel Lor In, Sentul, Bogor pada Rabu (01/05) yang dihadiri sekitar 500 ulama dan tokoh untuk menindaklanjuti kondisi pasca pilpres saat ini. Dari hasil Ijtima Ulama ini pun, keluar rekomendasi yang telah diteken oleh KH.Abdul Rasyid Abdullah Syafie, Ust.Yusuf Muhammad Martak, Ust.Zaitul Rasmin, Ust.Slamet Ma'arif, KH.Sobri Lubis dan Ust.Bachtiar Nashir. Rekomendasi ini berjumlah 5 poin diantaranya :
a. Menyimpulkan bahwa telah terjadi berbagai kecurangan dan kejahatan yang bersifat tersitruktur, sistematis dan masif dalam proses pemilu 2019.
b. Mendorong dan meminta kepada BPN PAS untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme legal prosedural tentang terjadinya berbagai kecurangan dan kejahatan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam proses pilpres 2019.
c. Mendesak Bawaslu dan KPU untuk memutuskan pembatalan/diskualifikasi paslon capres cawapres 01.
d. Mengajak umat dan seluruh anak bangsa untuk mengawal dan mendampingi perjuangan penegakan hukum dengan cara syar’i dan legal konstitusional dalam melawan kecurangan dan kejahatan serta ketidakadilan termasuk perjuangan/diskualifikasi paslon capres cawapres 01 yang melakukan kecurangan dan kejahatan dalam pilpres 2019.
e. Memutuskan bahwa perjuangan melawan kecurangan dan kejahatan serta ketidakadilan adalah bentuk amar makruf nahi munkar, konstitusional dan sah secara hukum demi menjaga keutuhan NKRI dan kedaulatan rakyat.
Tetapi apalah sayang, Ijtima Ulama 3 ini diabaikan dan dihiraukan oleh rezim, TKN maupun KPU, seolah hanya sekedar ancaman dari anak kecil kepada orang dewasa yang tidak akan didengar karena dianggap remeh.
Kami yang membuat tulisan ini yakin, petahana akan berlanjut terus karena dimungkinkan semua hal ini sudah tersistematis pembuatan rencana yang berlapis-lapis sampai ke MK. Maka justru dengan semua kecurangan ini, rezim malah membuat umat semakin muak dan semakin jauh dari ketaatan kepada rezim, karena memang tidak boleh ada ketaatan kepada pemimpin dzalim, munafik dan fasik yang terlebih lagi jelas-jelas tidak menerapkan hukum Allah secara kaffah.
Segala prosedur hukum yang ada pun sudah sia-sia dan percuma untuk ditempuh karena semua Instrumen negara berpihak kepada rezim. Hukum sudah kalah oleh kepentingan politik. Maka cara yang akan dilakukan umat adalah people power sebagai sesuatu hal alami dimana umat akan menuntut keadilan dan mencari perubahan.
Hanya saja umat perlu diarahkan kepada arah yang hakiki, bukan arah yang parsial yang hanya bersandar kepada fakta saat ini. Dengan adanya kejadian ini, maka menjadi hikmah yang luar biasa bagi umat bahwa sesungguhnya semua cara ini bukanlah solusi, bahwa semua ini adalah percuma dan sia-sia, karena sekedar hanya dapat bermain di dalam wahana permainan saja, bukan penguasaan wahana permainan itu, apalagi menguasai dan mengganti total wahana itu, karena pemilik wahana permainan itu sudah ada, dialah para kapitalis asing dan aseng yang saat ini sedang bertarung antara China vs Amerika seperti yang sudah kami kemukakan di poin sebelumnya. Terlebih lagi rezim sudah teken kontrak 23 proyek Belt and Road Initiative, maka itu semakin membuat negeri ini ada dalam cengkraman China yang dibayang-bayangi Amerika.
Lalu siapakah yang harus dijadikan solusi?
Secara alami para ulama dan umat akan mengarah kepada Syariah dan Khilafah sebagai titik jenuh muak luar biasa atas kerusakan kapitalisme demokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi.
"Apabila partai telah berhasil menyatukan berbagai pemikiran, keyakinan, dan pendapat, berarti partai telah menciptakan persatuan umat luar dalam, telah meleburnya dengan Islam, dan membersihkannya dari kotoran. Terwujudlah kemudian umat yang satu. Dan dengan demikian, lahirlah persatuan yang benar." [3]
Wallahu alam bishowab.
Nazril Firaz Al-Farizi
Catatan kaki :
[1] White House, America First Foreign Policy.
[2] Wasinski M, Donald Trump's Foreign Policy Stances: Unpredictability and Neo-Isolationism.
[3] Taqiyuddin An-Nabhani, At-Takattul al-Hizby (terjemah) hal.38
Tidak ada komentar