Header Ads

Golput dan Krisis Demokrasi

Ancaman Abdurrahman Wahid untuk menyerukan golput jadi perbincangan yang panas di kalangan politisi. Muncul pertanyaan apakah seruan Ketua Dewan Syuro PKB itu akan diikuti oleh masyarakat atau tidak. Namun yang jelas, baik ada seruan atau potensi golput memang sudah tinggi. Data Kompas menunjukkan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 92,74 persen. Pada pemilu legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi turun menjadi 84,07 persen. Adapun tingkat partisipasi pada Pemilu Presiden 2004 di putaran I dan putaran II masing- masing sebesar 78,23 persen dan 77,44 persen. (Kompas; 17/06/2008)

Rendahnya partisipasi politik masyarakat juga tercermin dari ‘menang’nya golput di beberapa pilkada seperti di Jawa Barat dan Sumatra Utara. Masyarakat pun semakin hilang kepercayaan kepada partai politik yang ada. Beberapa lembaga survey membuktikan hal itu.

Rendahnya partisipasi politik ini bisa dimengerti. Masyarakat tampaknya kecewa terhadap partai politik dan aktivitas politik lainnya. Menurut Saiful Mujani, Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia, Kondisi ini terjadi karena hasil pemilu dan kegiatan politik lainnya dirasakan semakin jauh dari ekspektasi publik. (Kompas; 17/6/2008)

Wajar pula dalam kondisi politik Indonesia membuat banyak pihak mempertanyakan kelayakan sistem demokrasi. Apakah memang sistem yang baik bagi mereka? Kenapa sistem ini tidak mensejahterakan mereka? Klaim demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan, sepertinya hanya mimpi. Tadinya rakyat berharap banyak dengan dipilihnya presiden secara langsung, kepala negara terpilih akan lebih memihak kepada rakyat. Kenyataannya malah sebaliknya. Kebijakan pemerintah justru lebih pro kepada kelompok bisnis, perusahaan asing, dibanding untuk kepentingan rakyat.

Kenaikan BBM lebih dari 100 % tahun 2005 yang kemudian dinaikkan lagi sekitar 28,7 % tahun ini mencerminkan hal ini. Padahal sudah jelas, kenaikan BBM ini menyebabkan penderitaan masyarakat semakin berat. Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan privatisasi pemerintah, semakin membuat rakyat kecewa.

Ironisnya, pemerintah lebih memilih tunduk kepada Asing daripada berpihak pada rakyat. Usulan mengambil alih perusahan tambang emas, minyak, batu baru dari swasta dan perusahan asing justru ditolak. Padahal, kalaulah kekayaan alam milik rakyat ini dikelola secara baik oleh pemerintah akan menjadi sumber pendapatan negara yang luar biasa banyak. Katanya butuh dana, tapi blok Cepu yang kaya malah dijual kepada asing.

Usulan untuk menunda pembayaran utang juga ditolak, tanpa alasan yang jelas. Sepertinya pemerintah lebih mementingkan menjaga ‘image‘ sebagai ‘goodboy‘ di depan negara–negara donor kapitalis. Dibanding, menjadi penguasa yang baik untuk rakyatnya.

Partai-partai politik juga tidak jauh beda. Mereka yang dipilih oleh rakyat, logikanya tentu saja harus memihak rakyat. Kenyataannya tidaklah begitu. Justru lewat proses demokrasi, DPR mengeluarkan UU yang lebih berpihak kepada kelompok bisnis bermodal besar terutama penguasa asing. UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, semuanya berpihak pada asing. Dan itu secara resmi dan legal disahkan oleh partai-partai politik di DPR.

Memang ada partai politik yang sepertinya kritis. Tapi lebih sering sekedar retorika atau cuap-cuap politik. Bisa disebut tidak ada yang benar-benar ‘full power‘ melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Tampak dari mandulnya partai-partai politik membendung kenaikan BBM dan impor beras. Yang diperdebatkan malah masalah-masalah teknis interpelasi atau angket. Belum lagi cacat politik partai kritis, yang di saat memerintah, kebijakannya sama saja, sama-sama neo-liberal. Contohnya aset negara juga dijual dengan murah.

Kemuakan masyarakat terhadap partai politik semakin bertambah-tambah. Rakyat melihat di depan mata mereka, bagaimana para politisi ini lebih disibukkan oleh suap menyuap, uang pelicin, yang istilah kerennya uang gratifikasi. Alih-alih mengurus rakyat, sebagian politisi partai politik malah disibukkan skandal seks yang memalukan. Lagi-lagi logika, wakil rakyat yang dipilih rakyat akan berpihak kepada rakyat runtuh.

Memang sistem demokrasi secara natural akan membentuk negara korporasi. Pilar negara korporasi ini adalah elit politik dan kelompok bisnis. Kelompok bisnis mem-backup politisi dengan dana, maklum saja biaya politik demokrasi memang mahal. Setelah terpilih sang politisi terpaksa balas budi, membuat kebijakan untuk kepentingan kelompok bisnis. Lagi-lagi kepentingan rakyat disingkirkan.

Kembali kepada syariah Islam, jelas merupakan pilihan yang terbaik saat ini. Berdasarkan syariah Islam, Kholifah sebagai kepala negara dipilih oleh rakyat untuk menjalankan syariah Islam. Berdasarkan syariah Islam, negara harus menjamin kesejahteraan masyarakat, menjamin kebutuhan pokok tiap individu masyarakat. Syariah Islam juga mewajibkan Kholifah untuk menjamin pendidikan dan kesehatan rakyatnya secara gratis.

Pemilikan umum (al milkiyah al ‘ammah) yang merupakan milik rakyat akan dikelola dengan baik untuk kepentingan rakyat. Tambang emas, minyak, batu bara, hutan adalah milik umum yang harus dikelola secara baik dan hasilnya diserahkan kepada rakyat. Air dan listrik adalah milik umum, yang tidak boleh diswastanisasi yang berakibat harganya menjadi mahal. Air dan listrik dikelola dengan baik oleh negara untuk dikonsumsi dengan murah oleh rakyat.

Sistem Khilafah akan menerapkan syariah Islam yang rahmatan lil alamin. Syariah merupakan aturan hidup yang bersumber dari Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang kalau diterapkan pastilah akan memberikan kebaikan kepada manusia. Tidak seperti hukum dalam sistem demokrasi yang lebih berpihak kepada segelintir minoritas pemilik modal. (Farid Wadjdi)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.