Header Ads

Menepis Syubhat

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ(*)إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
[TQS Al Mumtahanah (60):8-9]

Walaupun ayat ini tidak ada kaitannya dengan hukum bolehnya kaum Muslim menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, namun, anehnya, sebagian orang sesat telah menjadikan ayat ini sebagai dalil kebolehan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin negara. Mereka beralasan, bahwa orang-orang kafir yang tidak memusuhi Islam dan kaum Muslim wajib diperlakukan adil, dan salah satu refleksi dari ”berbuat adil kepada mereka” adalah memberi hak kepada mereka untuk menjabat sebagai kepala negara memimpin orang beriman.

Pada dasarnya, ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan hukum kepemimpinan orang kafir, akan tetapi berkaitan dengan hukum umum yang harus ditunaikan kaum Muslim kepada orang-orang kafir yang tidak memusuhi Islam dan kaum Muslim. Yang dimaksud hukum umum di sini adalah ketentuan-ketentuan Islam yang berkaitan dengan hak-hak orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslim, baik mereka berkedudukan sebagai ahlu dzimmah, musta’min, maupun mu’aahid. Jika orang-orang kafir tidak melakukan permusuhan kepada kaum Muslim, maka mereka harus diperlakukan secara adil, dengan jalan menunaikan hak-hak mereka. Misalnya, jika seorang Mukmin merampas tanah atau harta ahlu dzimmah, maka seorang Khalifah harus menghukum orang Mukmin tersebut dan mengembalikan hak-hak kafir mu’ahid yang dirampas. Adapun hukum khusus mengenai larangan menjadikan kaum kafir sebagai pemimpin telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang bersifat khusus, dan seorang Muslim wajib mengambil dalil-dalil yang bersifat khusus tersebut.

Seorang Kepala Negara Harus Menerapkan Syariat

Syarat seorang kepala negara, tidak hanya harus Muslim, akan tetapi ia dipilih untuk menerapkan hukum syariat. Jika seorang pemimpin tidak menjalankan dan menerapkan syariat Islam, maka ia tidak absah menduduki jabatan kepemimpinan di dalam Islam. Pasalnya, seorang pemimpin (kepala negara) diangkat untuk menerapkan syariat Islam, bukan untuk menegakkan sistem pemerintahan kufur dan menerapkan hukum-hukum kufur. Al-Quran telah menetapkan masalah ini di banyak tempat; diantaranya:
Hukum yang diberlakukan untuk mengatur urusan kenegaraan dan rakyat, hanyalah hukum yang bersumber dari Al-Kitab dan Al-Sunnah. Bukti yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, diantaranya adalah firman Allah swt berikut ini;

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ


“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”
[TQS Al Maidah (5): 44].

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ


“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
[TQS. Al Maidah (5):47].

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
[TQS Al Maidah (5): 45]

Ayat-ayat ini telah memberikan batasan yang sangat jelas kepada kepala negara agar ia mengatur urusan-urusan rakyatnya hanya berdasarkan hukum-hukum Allah swt. Dengan demikian, seorang penguasa dalam menjalankan urusan pemerintahannya harus terikat dengan syariat Islam. Seorang kepala negara dilarang memecahkan suatu masalah berdasarkan hukum kufur atau berusaha mengkompromikan Islam dengan sesuatu yang bukan berasal dari Islam. Allah SWT berfirman dalam khithab-Nya kepada Rasul;

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”
(TQS. Al Maidah [5]: 49)

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ


“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”
(TQS. Al Maidah [5]: 48)

Hanya saja, Islam membolehkan penguasa melakukan ijtihad untuk memahami Al-Kitab dan Al- Sunnah. Yang dimaksud ijtihad di sini adalah; mencurahkan segenap tenaga dan upaya dalam memahami dan mengambil istinbath berbagai hukum dari dua sumber itu. Diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengutus Mu’adz RA ke Yaman, lalu beliau bertanya kepadanya, “Dengan apa kamu akan memutuskan perkara?” Jawab Mu’adz: “Dengan Kitabullah”. Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukan?” Mu’adz menjawab: “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasulullah Saw. bertanya: “Jika kamu tidak menemukan?” Mua’dz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapatku,” jawab Mu’adz RA. Mendengar jawaban yang sangat cerdas ini, Rasulullah SAW langsung memuji Allah, “Segala puji bagi Allah Yang memberi taufiq kepada utusan Rasul-Nya terhadap sesuatu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.”

Allah juga memberi pahala bagi penguasa yang melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya salah. Hal semacam ini tentunya sangat mendorong penguasa untuk terus melakukan ijtihad. Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Amru bin ‘Ash bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika penguasa menjalankan pemerintahan, lalu berijtihad, kemudian benar, maka baginya dua pahala. Jika menjalankan pemerintahan, lalu ijtihad, kemudian salah, maka baginya satu pahala.“

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya seorang kepala negara wajib menerapkan syariat Islam, dan mengatur seluruh interaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan hukum syariat semata. Dan hal ini hanya bisa diwujudkan jika sistem pemerintahan yang ditegakkan di tengah-tengah rakyat adalah Khilafah Islamiyyah. Walhasil, bagaimana mungkin seorang kepala negara bisa menerapkan dan mengatur seluruh urusan rakyat hanya dengan syariat Islam, sementara itu, sistem pemerintahan yang diberlakukan adalah sistem pemerintahan demokrasi sekuler?
(Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, Lajnah Tsaqafyyah DPP HI)

Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13/8-9
Ibid, juz 13/8
Ibid, hal. 259-260

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.