Header Ads

Membendung Opini Negatif War On Terorisme

Pendahuluan

Selama hampir lima tahun negeri ini relatif aman dari aksi terorisme. Namun, tiba-tiba bom meledak di dua hotel prestisius yang "sangat Amerika": JW Mamott dan Ritz Carlton, padahal kedua hotel ini terkenal amat ketat prosedur pengamanannya. Di sana juga biasa bermalam banyakwarga asing.

Peristiwa ini lalu diikuti dengan serentetan perburuan teroris; razia di berbagai tempat; pemasangan daftar pencarian orang hingga pengerahan 600 polisi hanya untuk inelumpuhkan tiga orang dalam sebuah rumah kecil di Temanggung, yang belakangan ternyata hanya berisi satu orang. Yang mengherankan, operasi ini lebih mirip perang, bukan pelumpuhan yang teoretis bisa dilakukan dengan tembakan gas bius yang tidak melukai.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah pihak pertama yang paling cepat bereaksi pasca bom dengan menengarai adanya kelompok yang tidak puas dengan hasil Pilpres. Mereka bermaksud mengepung gedung KPU saat rekapitulasi suara, menggagalkan pelantikan presiden barn, dan menjadikan Indonesia seperti Iran yang rusuh pasca Pemilu. Polisi juga mengungkap jaringan teroris di Jatiasih Bekasi yang berrnaksud melakukan penyerangan di rumah kediaman SBY di Cikeas, tepat pada hari kemerdekaan Rl. Tentu, sinyalemen itu mengundang reaksi dari lawan politik SBY, Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto, yang menegaskan partai politik yang komitmen dalam proses demokrasi tak akan pernah menempuh jalan kekerasan, sekalipun para jenderal purnawirawan yang menjadi cawapres itu di masa lalu pernah terkena stigma sebagai otak pelanggaran HAM berat. Pemerintah diminta fokus dalam membongkar sumber terorisme dan tak perlu menyinggung lawan politik yang bersikap kritis. Karenanya, ada pihak-pihakyang justru menduga bahwa liputan media yang over-dosis atas isu terorisme sengaja dibuat untuk mengalahkan liputan yang obyektif atas sidang kasus gugatan Pemilu atau Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Tak lama, isu pertama ini pun menguap. Sekarang bahkan terlihat kedekatan para petinggi partai-partai pengusung Megawati-Prabowo maupun JK-Wiranto dengan Partai Demokrat baik untuk mengusung calon-calon pimpinan DPR/MPR maupun mengisi kursi kabinet.

Yang kedua adalah isu bisnis. Ledakan bom itu membuat klub sepakbola Manchester United (MU) batal main di Senayan. Beberapa negara mengumumkan travel warning. Dunia pariwisata terpukul. Mirip pasca “Bom Bali" tahun 2002. Namun, sebagian pelaku pariwisata menyaksikan, pasca bom Bali itu terjadi alih kepemilikan yang cukup massif atas beberapa properti pariwasata milik swasta nasional kepada investor asing. Banyak properti seperti hotel atau restoran yang dijual murah karena pernilik aslinya terancam bangkrut.

Adapun yang ketiga adalah isu pembunuhan karakter atas kelompok-kelompok Islam. Pada Pilpres lalu, hampir semua partai Islam atau yang berkonstituen Islam mendukung SBY dan ada kekhawatiran kelompok tertentu bahwa partai-partai ini akan rnendominasi kabinet. Lalu diaturlah strategi agar para tersangka terorisme ini selalu "dekat" dengan kalangan aktivis Islam, baik di ormas maupun parpol. Muhjahri, misalnya, pemilik rumah di Temanggung yang diserbu Densus 88 karena diduga dipakai sembunyi Noordin M Top, adalah pensiunan Departemen Agama yang kini menjadi guru bantu di SMA Muhammadiyah Kedu. Kemudian M Jibril yang ditangkap karena diduga menjadi kaki tangan Noordin M Top adalah anak Abu Jibril, salah seorang petinggi Majelis Mujahidin Indonesia, yang termasuk getol menyerukan penerapan syariah Islam. Lalu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi pendukung setia SBY sejak 2004, kena juga. Pertama, karena tuduhan bahwa ideologi teroris adalah wahabi atau salafi, hal yang sedikit banyak memang ada di sejumlah kalangan PKS, walaupun mungkin bukan mayoritas. Kedua, Polisi menetapkan empat orang tersangka sebagai buron, dua di antaranya bersaudara: Syaifuddin Zuhri dan Muhammad Syahrir, yang temyata bersaudara dengan Anugrah, anggota DPRD Kabupaten Tangerang dari fraksi PKS.

Pola-pola Membangun Opini Negatif
Isu ketiga ini yang menjadi benar-benar liar. Polanya selalu sama: informasi yang tidak berimbang dan generalisasi.

Tatkala dua pengebom bunuh diri diketahui identitasnya, Dani Dwi Permana dan Nana. Ikhwan Maulana, terbetik kabar bahwa perekrut teroris berasal dari kelompok Islam (jawa Pos, 20 Agustus 2009). Secara khusus, Dani dikenal sebagai anak rajin dan siswa yang aktif dalam kegiatari rohani Islam di sekolahnya. Aktivitas pembinaan remaja Muslim di masjid dan sekolah selama ini memang menjadi program andalan ormas dan parpol Islam. Tujuan sesungguhnya adalah membangun kesadaran dan ketahanan moral serta mencegah penyakit sosial seperti penyalahgunaan narkoba dan tawuran massal. Namun, tujuan mulia ini kini tenggelam di tengah histeria massal akan bahaya terorisme.

Pola-pola pendekatan gaya Orde Baru mulai muncul lagi. Timbul wacana agar RUU Intelijen dan RULI Rahasia Negara segera disahkan. Timbul wacana agar TNI digerakkan kembali untuk ikut memerangi terorisme yang saat ini hanya diperankan oleh polisi. Timbul wacana untuk,mengawasi dakwah, meski kermudian dibantah sendiri oleh Kapolri Bambang Hendarso. Bahkan timbul wacana untuk mewaspadai simbol-simbol umat Islam. Seorang Pangdam Diponegoro bahkan meminta masyarakat untuk mewaspadai orang-orang yang berjenggot, berjubah dan bersorban, seakan lupa bahwa Pangeran Diponegoro yang namanya digunakan untuk Kodamnya, adalah orang seperti itu. Akibatnya, kelompok dakwah Islam Jamaah Tablig yang selama ini menonjol dari tampilan lahiriahnya (berjenggot, berjubah dan bersorban) pun menjadi korban; diusir dari masjid-masjid yang sedang mereka singgahi.

Dalam isu terorisme ini, mayoritas media massa sepertinya alergi menerapkan kaidah utama jurnalistik, yaitu informasi yang berimbang (cover both side). Akal sehat mereka seperti di-switch-off. Semuanya langsung menghukum para tersangka jauh sebelum proses peradilan. Mereka kena "trial by press", terutama yang sudah tewas dan tidak bisa membela diri lagi. Padahal tidak mudah memastikan bahwa mereka itu adalah pelaku bom bunuh diri atau sedang melakukan aktivitas istisyhad (mencari syahid). Bagaimana dengan kemungkinan bahwa mereka tidak tahu-menahu kalau membawa suatu titipan mengerikan dari orang yang tidak mereka kenal, kemudian titipan itu dinyalakan dengan pewaktu (timer) atau kontrol jarakj auh? Secara teoretis, sangat sulit menembus pemeriksaan hotel, kecuali ada orang dalam yang terlibat. Namun, hotel sekaliber JW Mariott atau Ritz Carlton apa sembarangan dalam merekrut karyawannya? Kemungkinan-kemungkinan ini tak pernah ditindaklanjuti.

Demikian juga dengan motif. Di negeri-negeri di mana teror menjadi realitas sehari-hari, seperti di Irak dan Palestina, atau dulu di Irlandia Utara, terjadi oleh suatu latar belakang politik yang jelas. Biasanya bahkan pasca bom ada tuntutan yang jelas dari pihak yang jelas, sekalipun dikirim dari tempat persembunyian. Mereka juga akan mengancam meledakkan bom-bom berikutnya jika tuntutannya tidak dipenuhi. Namun, bom-bom yang terjadi di Indonesia selalu menyisakan misteri. Tak pernah jelas tuntutannya apa, dari siapa, kepada siapa.

Media juga jarang mengungkap bahwa potensi terorisme itubisa ada di semua kelompok masyarakat, terutama justru dari aparat intelijen sendiri, yang memiliki akses terhadap senjata dan bahan peledak, serta kemampuan inflitrasi atas kelompok radikal. Kelompok teroris yang memiliki ideologi kuat serta kemampuan teknis sekalipun belum tentu bisa meledakkan bom tanpa akses memadai.

Celakanya, media yang bersimpati dengan agenda umat Islam juga masih minoritas. Mayoritas media ikut larut dalam opini mainstream, atau setidaknya diam dan pasif. Padahal dalam dunia yang kapitalis seperti saat ini, media adalah simbol yang paling menonjol, yang telah memasuki setiap rumah dalam segala bentuk dan warna. Doktrin demokrasi menyatakan bahwa media yang bebas dan mandiri adalah pilar demokrasi yang bisa menuntut pertanggungjawaban dari negara. Faktanya, media di Indonesia tidak bebas dan mandiri, karena hitung-hitungan untung-rugi dengan ikut mainstream atau menentang mainstream.

Dari sini semua terlihat bahwa isu terorisme ini memang sesuai dengan skenario War On Terorisme dari Amerika dari masa Presiden George W. Bush, dan tujuan akhirnya adalah War On Idea/War On Islam (WOI). Tak ada idea yang lebih ditakuti oleh Barat saat ini selain ide tegaknya syariah dan Khilafah, karena Khilafah ini yang diperhitungkan masih mampu melawan hegemoni Amerika.

Dampaknya jelas: opini negatif (stigma) terhadap Islam. Umat jadi luntur kepercayaannya terhadap ulama dan simbol-simbol Islam. Antara anggota masyarakat jadi saling curiga-"jangan-jangan tetangganya yang selama ini baik-baik saja adalah kaki tangan Noordin M Top". Mereka juga jadi mudah diadu domba sehingga mudah pula main hakim sendiri. Masyarakat jadi khawatir terhadap pendidikan tradisional Islam seperti pesantren. Jika tren ini berlanjut, dakwah yang sejak era reformasi agak naik daun akan "setback", mundur secara massif. "Islamo-phobia" atau ketakutan terhadap Islam marak lagi. Orang yang menyampaikan konsep akidah dengan gagasan kehidupan akhirat saja, sedangkan batas antara hidup di dunia dan di surga adalah kematian, bisa dituduh menyebarkan ideologi terorisme. Jika demikian, berhasillah agenda teroris yang sesungguhnya, yakni: menjauhkan masyarakat dari berbagai aspek syariah Islam seperti dari konsep jihad dan syahid.

Langkah-langkah Praktis Kontra Opini
Meskipun ada variasi perbedaan pandangan politik dari berbagai media, mayoritas sepakat dalam mengadopsi pandangan hidup sekular. Karena itu, perlu diupayakan langkan-langkah praktis kontra opini oleh berbagai pihak.

Pihak pertama adalah setiap individu Muslim yang telah tercerahkan (yaitu para intelektual dan ulama). Mereka hendaknya berusaha menularkannya kepada siapapun
yang mau mendengarnya. Bagi kalangan, tertentu, boleh jadi pendapat yang dikenal kredibel seorang individu lebih dipercaya daripada pendapat media.
Kedua adalah peran ormas-ormas dan parpol-parpol Islam. Mereka harus segera berkonsolidasi. Semua harus sepakat, bahwa lambat atau cepat, WOT/WOI akan menggulung mereka. Mereka jangan merasa aman karena telah "dekat" dengan penguasa, lantaran menjadi barisan pendukungnya dalam Pemilu/Pilpres. Politik dalam sistem kapitalis hakikatnya adalah oportunis. Tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Kawan bisa dikorbankan demi "kepentingan" yang dianggap lebih besar dari sudut pandang kapitalis! Ormas dan parpol Islam ini dapat menjadi "pressure-group" untuk menekan media, baik dengan mendatangi redaksi, menempuh langkah hukum, menekan pemerintah untuk membuat peraturan, hingga menerbitkan media tandingan.

Ketiga adalah peran negara. Tanpa adanya negara, akan sulit sekali untuk membentuk opini global. Israel telah menunjukkan bahwa populasi yang kecil tetapi didukung oleh suatu negara ternyata mampu mencapai tujuan yang penting. Raksasa media Barat dan jaringannya juga didukung, oleh negara. Rupert Murdoch dan Ted Turner didukung oleh negara sekular yang sangat berpengaruh. BBC. Sky dan CNN didukung oleh negara kapitalis untuk menyebarluaskan ideologinya. Di sisi lain, media Islam saat ini tidak didukung oleh satu negara manapun.

Kesimpulan
Harus jelas bagi kita, bahwa sumber kebencian media Barat terhadap Islam adalah bersifat ideologis. Media adalah bagian dari kapitalis sekuler liberal. Rezim ini menyebarluaskan kepentingan penguasaan materi dan ideologi sekular secara global. Apapun yang merintangi mereka, terutama Islam dan Muslim, akan dipersetankan dan dihilangkan martabat kemanusiaannya. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip dasar Islam berlawanan dengan Kapitalisme. Dengan demikian, bisa dipahami adanya jurnalis yang kritis terhadap Islam, yang sekadar mengikuti mainstream anti-Islam, atau sekadar oportunis. Tidak aneh pula jika produk jurnalisme yang ada terkesan kurang cerdas dan penuh kebingungan. Namun. dengan kerjasama para individu, terutama ulama dan intelektual Islam, serta ormas dan parpol Islam yang kompak, opini negatifyangbegitu hebat ini tentu masih bisa kita bendung. Jika negara Khilafah tegak kembali, upaya membendung ini tentu akan lebih efektif lagi, bahkan untuk opini negatif yang bersifat global. []

Oleh : Fahmi Amhar

Al Wa'ie

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.