Header Ads

Parpol Islam, antara Fakta dan Hukum

Setelah Mukernas PKS yang dilaksanakan 1-3 Februari 2008 di Hotel Inna Bali Beach Denpasar Bali, bahwa PKS mentargetkan akan meraup suara sebanyak 20 % dalam Pemilu 2009 yang lalu. Untuk itu PKS akan membuka kepada siapa saja dari berbagai suku dan agama untuk masuk menjadi anggota PKS.

Kini dalam Munas PKS kedua yang dilaksanakan 16-20 Juni 2010 di Hotel Ritz Carlton Jakarta, bahwa PKS akan mengamandemen AD/ART nya agar mendapatkan legal formal menempatkan orang-orang di luar Islam sebagai pengurus di tingkat pusat. Sebab dalam Anggaran Rumah Tangga PKS, setiap pengangkatan anggota, (baik pemula hingga ahli) harus melakukan janji mengucapkan shighat janji setia yang dimulai dengan membaca basmallah dan syahadat. Sementara itu presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq mengatakan bahwa tidak ada peraturan orang non muslim harus bersyahadat ketika ingin menjadi pengurus. Pendapat ini sangat bertentangan dengan ART partai, untuk itulah Munas akan melakukan amandemen AD/ART partai.

Sesungguhnya apa dan bagaimana seharusnya Partai Politik Islam itu ? Tulisan di bawah bermaksud untuk menjelaskan tentang Partai Politik dalam Islam.

Hukum Parpol Islam
Partai Politik merupakan salah satu dari amal manusia, yaitu terkategori dalam amal jama’ah. Amal jama’ah seperti halnya amal fardhiyah (amal individu), dan amal daulah (amal Negara) haruslah dilaksanakan secara sempurna, mengikuti apa yang telah ditetapkan Allah dengan contoh Rasulullah saw. Sesungguhnya Allah telah mengatur aktifitas manusia dalam berkelompok atau berpartai dalam firman-Nya di surat Ali Imran ayat 104 :

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan al-Khayr (Islam), memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104)

Imam asy-Syaukaaniy dalam kitab tafsirnya Fathul-Qodiir juz 2 / 8 :
`”.. huruf min pada firman Allah, minkum adalah min littab’idh (menunjukkan sebagian), meski ada juga yang mengatakan min lil-bayan al-jinsi, namun yang rajih (unggul) adalah pendapat yang pertama; yakni min littab’idh (sebagian) – sehingga maknanya menjadi ” dan hendaknya ada sebagian dari kalian… – oleh karena itu dakwah amar ma’ruf nahi ‘anil munkar hukumnya fardhu kifayah, khusus bagi orang orang dari kalangan min ahli al-’ilmi, yakni orang orang yang memahami mana yang merupakan kebaikan dan mana yang merupakan perbuatan munkar.


Imam al-Qurthubiy berkata : pendapat yang awwal lebih shahih yaitu (min littab’idh/ sebagian), sehingga menunjukkan bahwa amar makruf nahi munkar itu hukumnya fardhu kifayah.

Imam as-Suyuuthiy dalam tafsir Jalalain juz 1 / 396 :
min pada firman Allah surah ali-’Imran 104 : min kum – littab’idh (sebagian dari kalian), oleh karenanya disebutkan hukumnya sebagai fardhu kifayah, tidak diwajibkan atas seluruh umat, juga tidak pantas bagi setiap orang, seperti orang bodoh misalnya, (tidak mungkin ia melakukan amar ma’ruf nahi munkar).


Imam Abu Ja’far ath-Thobariy (224 – 310 Hijriyah), dalam tafsirnya juz 7 hal. 90:
” Berkata abu Ja’far : Allah Maha Agung atas segala PujianNYA, hendaknya ada di antara kalian, wahai orang orang mukmin “ummah” , Abu Ja’far menjelaskan: ummah yang dimaksud adalah jamaa’ah (kelompok), mereka orang orang yang menyeru manusia kepada kebajikan ” yakni yang menyeru kepada al-Islam dan syari’at-syari’at-Nya, yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hambaNya yakni : jama’ah yang menyeru kepada yang ma’ruf “, beliau menjelaskan lagi : artinya: jamaa’ah yang menyeru manusia agar manusia mengikuti Nabi Muhammad saw dan agamanya yang datang kepadanya dari sisi Allah Swt, mencegah dari yang munkar maknanya adalah “: mencegah manusia dari kufur kepada Allah dan mencegah manusia dari berdusta kepada Nabi Muhammad Saw dan mencegah manusia dari dusta terhadap apa apa yang datang dari sisi Allah Swt ( jama’ah yang mencegah manusia dari dusta terhadap syari’ah syari’ahNYA)

Tafsir ibnu Katsiir (700 – 774 hijriyah) juz 2 hal 91 :
Berkata Abu Ja’far al-Baqir : Rasulullah saw membaca ayat : waltakun minkum ummatun yad’uuna ila al-khair . . . kemudian Nabi saw bersabda : al-khair adalah mengikuti al-Quran dan sunnah sunnahku.” (HR. ibnu Marduwaih)
Dan yang dimaksud dari ayat ini (TQS. Ali Imran : 104), adalah : hendaknya ada pada diri kalian “firqoh” (jamaa’ah / kelompok / hizb / ummah / thooifah), karena yang demikian itu diwajibkan atas setiap individu sesuai dengan kemampuanya. Sebagaimana telah disebutkan di dalam shahih Muslim dari Abi Hurairah ra. Ia berkata: Rasulullah saw bersabda : "Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika ia tidak mampu (dengan tanganya) maka rubahlah melalui lisannya, jika ia tidak mampu (merubah dengan lisannya) maka rubahlah dengan hatinya, namun yang demikian itu selemah lemahnya iman,.” Dalam riwayat lain : "tidak ada iman pada diri orang itu meski hanya sebesar biji sawi.”

Ketika menafsirkan kata ummah dalam ayat di atas, Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar menyebutkan, “Obyek seruan perintah ini adalah seluruh jamaah orang-orang Mukmin yang mendapat tugas dan kewajiban untuk memilih kelompok yang akan melakukan kewajiban ini. Di sini ada dua hal yang terkandung. Pertama, perkara ini wajib bagi semua kaum Muslim. Kedua, perkara ini wajib bagi sekelompok orang yang mereka pilih.”

Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa makna yang tepat untuk kata umah dalam ayat ini adalah suatu kelompok yang khusus dibentuk dari individu-individu yang memiliki hubungan penyatuan sekaligus merupakan kesatuan yang menyatukan mereka seperti layaknya anggota badan dalam tubuh manusia.

Jika kita melihat pendapat para mufasirin tersebut, maka kita bisa mengambil pelajaran bahwa keharusan adanya Firqoh pada diri ummat, yang menyeru kepada al-khair , menurut imam ibn Katsiir dalam tafsir ali-Imran : 104. Aktivitas amar makruf, menurut Ibn Katsir dalam tafsirnya, adalah segala kegiatan untuk melaksanakan aturan Islam, sedangkan nahi mungkar diartikannya sebagai kegiatan yang mencegah pelaksanaan segala sesuatu yang tidak bersumber dari aturan Islam. Di dalamnya mencakup aktivitas menyeru para penguasa agar mereka berbuat makruf dan mencegahnya dari berbuat mungkar. Bahkan, inilah bagian terpenting dari aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sebab, tidak ada kemakrufan atau kemungkaran yang lebih besar pengaruhnya terhadap masyarakat kecuali yang dilakukan oleh para penguasa. Dari sini dapat dipahami bahwa aktivitas amar makruf nahi mungkar, khususnya yang ditujukan kepada para penguasa, merupakan bagian dari aktivitas politik. Oleh karena itu, ayat di atas secara tidak langsung mengandung tuntutan kepada kaum Muslim untuk mendirikan partai politik, yakni partai yang mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.

Adapun jama’ah yang dimaksud adalah dengan ciri ciri : hanya beranggotakan orang orang mukmin saja, bukan Partai terbuka di mana orang orang kafir atau fasiq berada di dalamnya, sebab bagaimana mungkin orang kafir akan melaksanakan syari’ah sedangkan aqidah mereka menyebabkan seluruh amal amalnya tertolak dari sisi Allah ta’ala. (tafsir ath-Thoobariy di atas).

Sebab jama’ah tersebut memiliki tugas hanya menyeru kepada al-khair yakni : al-islam dan syari’ah-syari’ah-NYA (lihat lagi tafsir imam ath-Thobary, [3: 104]), bukan kelompok atau partai yang mengajak kepada golongan, bukan jamaa’ah yang mengajak kepada kekuasaan, ambisi kursi. Melainkan jamaa’ah yang mencegah manusia dari kufur kepada Allah, mencegah manusia berdusta kepada Nabi Muhammad saw, dan kelompok/ jamaa’ah yang mencegah manusia dari meninggalkan syari’ah (lihat lagi tafsir ath-Thobary, dan yang lainnya), jamaa’ah yang disebutkan inilah yang dituntut (Fardhu ‘Ain) kita bergabung di dalamnya, hingga visi misi jamaa’ah tersebut terlaksana secara sempurna. Barulah hukum itu kembali menjadi fardhu kifayah bergabung dengan aktivitas jamaa’ah dakwah bagi kaum muslimin yang lainya.

Sehingga merupakan suatu keharaman bagi partai / kelompok yang mengambil anggota dari orang-orang kafir. Sebab, seruan dalam ayat tersebut adalah hanya ditujukan kepada orang-orang mukmin, bukan kepada orang-orang kafir. Dan orang-orang kafir tidak akan bisa dan mau melaksanakan tugas-tugas dalam ayat tersebut, seperti menyeru kepada syari’at-syari’at Allah, dan melakukan amar makruf nahi ‘anil munkar.

Berideologi Islam
Istilah politik yang disandang oleh partai politik Islam pemaknaannya harus tetap merujuk pada akar kata politik (siyâsah) dalam bahasa Arab, sebagaimana yang ditunjukkan dalam salah satu hadis Rasulullah saw.:

Bani Israil diurus dan diatur oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Akan tetapi, tidak ada nabi sesudahku; yang ada adalah para khalifah, yang kemudian akan banyak sekali jumlahnya. (HR Muslim)

Dalam kamus al-Muhîth, kata politik mengambil akar kata bahasa Arab sâsa, yang berarti mengatur/mengurus urusan rakyat melalui perintah-perintah dan larangan-larangan. Dengan kata lain, politik adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan pengaturan (dan pengurusan) urusan rakyat. Jadi, partai politik Islam itu adalah sekumpulan orang dari kaum Muslim yang membentuk jamaah/partai/kelompok yang berdiri berdasarkan akidah Islam dengan aktivitas mendakwahkan Islam serta melakukan amar makruf nahi mungkar.

Partai Islam yang kokoh haruslah berbasis ideologi Islam. Begitulah Nabi saw. mencontohkan. Suatu partai tidak dapat disebut partai yang berbasis ideologi jika anggota-anggotanya berkumpul berdasarkan pengkultusan individu pemimpin atau tokoh-tokohnya maupun doktrin-doktrin partai yang sama sekali tidak ada realitasnya. Partai semacam ini pada umumnya mengumpulkan anggotanya berdasarkan perasaan emosional, ras, suku, bangsa, kedaerahan, profesi, instansi, kolega, kepentingan sesaat, bisnis, atau perkara-perkara lain yang tidak mengandung suatu ide atau pemikiran yang jelas.

Sebaliknya, partai politik ideologis adalah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi yang di-IMANI oleh anggota-anggotanya dan hendak direalisasikan di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, disebut partai politik idelogis bila para pengikut partai itu sudah memahami ideologinya dan mereka berkehendak menanamkan ideologi itu di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, ideologilah yang menjadi azas, ruh, dan jiwa partai.

Berdasarkan pemaparan di atas, setiap partai Islam yang berjuang demi Islam tidak dapat dikatakan sebagai partai politik ideologis Islam, kecuali jika mereka beranggotakan orang islam dan memilih serta menentukan pemikiran Islam secara jelas dan rinci hingga mampu mewujudkan Islam sebagai sebuah sistem hidup yang akan direalisasikan di tengah-tengah masyarakat.

Inilah gambaran sekilas tentang partai politik dalam ajaran Islam. Ironis memang, jika kita bandingkan dengan fakta yang ada sekarang ini. Namun kita harus mengingat firman Allah SWT:

Inilah jalan-Ku yang lurus. Oleh karena itu, ikutilah jalan itu, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan tersebut mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.
(QS al-An‘am [6]: 153)

Wallahu a’lam,

Raden Mas Bejo

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.