Header Ads

PENJELASAN LURUS BAGI MEREKA YANG JAHIL DAN TERPEDAYA (Itsbat 'Aqidah dan Sikap Yang Benar Terhadap Siksa Kubur) [Bag 1]

PENJELASAN LURUS BAGI MEREKA YANG JAHIL DAN TERPEDAYA

(Itsbat 'Aqidah dan Sikap Yang Benar Terhadap Siksa Kubur)

Abu Mohammad Zain As Sakhawiy An Nawiy

MUQADDIMAH

Di antara upaya yang dilakukan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim untuk menjauhkan umat dari Hizbut Tahrir adalah menyebarkan peraguan, penyesatan, pendustaan, dan pembodohon atas pandangan dan pemikiran Hizbut Tahrir. Mereka berusaha mati-matian mencitrakan Hizbut Tahrir sebagai partai sesat yang memiliki pandangan dan pemikiran yang menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah. Berbagai macam fitnah dan propaganda untuk menyerang pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir terus digelar hingga akhirnya mereka sendirilah yang menuai kegagalan atas ijin Allah swt. Pasalnya, seiring dengan meningkatnya pemahaman umat terhadap Islam dan pulihnya kesadaran politik mereka; umat pun menyadari kebenaran, ketangguhan, kelurusan, dan kesucian pemikiran Hizbut Tahrir. Bahkan, umat Islam semakin menyadari urgensi Hizbut Tahrir bagi mereka. Kesadaran inilah yang menyebabkan umat berusaha dengan keras untuk melindungi dan menjaga Hizbut Tahrir dari musuh-musuhnya.

Seiring dengan perjalanan waktu, umat pun mampu membedakan mana kelompok benar yang tegak di atas kebenaran, berusaha menyatukan umat, dan mengembalikan kembali kejayaan kaum Muslim melalui tegaknya syariat dan Khilafah; serta mana kelompok sesat yang didirikan oleh penguasa-penguasa fasiq untuk membuat perpecahan, makar, fitnah di tengah-tengah kaum Muslim, dan menghalang-halangi tegaknya Khilafah Islamiyyah.

Di antara fitnah keji yang ditikamkan musuh-musuh Allah terhadap Hizb Tahrir adalah "Hizbut Tahrir menolak hadits ahad dan siksa kubur". Padahal, Hizbut Tahrir tidak pernah menolak hadits-hadits shahih yang berbicara tentang ketetapan akherat (ahkaam al-akhirat), semacam siksa kubur, melihat Allah (rukyatullah) dengan mata di hari akhir, dan lain sebagainya,. Di dalam kitab-kitab mutabannat Hizbut Tahrir –yang menjadi cermin dan rujukan pemikiran Hizbut Tahrir—, pembaca budiman tidak akan pernah menemukan statement-statemen dusta tersebut. Sebaliknya, di dalam kitab-kitab mutabannat Hizbut Tahrir, para pembaca akan mendapati penjelasan yang benar dan rajih mengenai hadits ahad shahih serta kedudukannya dalam itsbat 'aqidah (penetapan masalah aqidah). Bahkan, siapa saja yang teliti dan serius mengkaji kitab-kitab klasik karya ulama-ulama mu'tabar, pastilah akan berkesimpulan bahwa pandangan-pandangan Hisbut Tahrir, baik yang menyangkut masalah ushuluddin maupun ushulul ahkam, senantiasa sejalan dengan pandangan ulama-ulama mu'tabar yang menghendaki kesucian dan kelurusan 'aqidah Islamiyyah.

Hanya saja, para penyebar dusta dan fitnah dari kalangan antek-antek penguasa fasiq dan kafir, serta orang-orang jahil telah membodoh-bodohi umat dengan cara menebar isyu-isyu menyesatkan terhadap pandangan-pandangan Hizbut Tahrir, di antaranya adalah pandangan Hizbut Tahrir terhadap hadits ahad. Padahal, siapa saja yang memahami ushulul hadits serta pendapat para ulama salafush shalih mengenai masalah ini, pastilah ia berkesimpulan bahwa pandangan Hizbut Tahrir mengenai hadits ahad dan kedudukannya dalam istbat 'aqidah merupakan pandangan paling rajih yang juga dipegang oleh mayoritas ulama ahlus sunnah wal jama'ah dari kalangan para shahabat dan ulama-ulama salafush shalih.

Namun, demi melaksanakan kewajiban "meluruskan yang bengkok dan menjernihkan yang keruh", kami akan menjelaskan masalah ini sesuai rujukan dan timbangan yang lurus dan benar.

Para pembaca budiman, agar anda benar-benar memahami kedudukan hadits ahad dalam masalah itsbat 'aqidah (penetapan 'aqidah) –termasuk di dalamnya siksa kubur--, maka anda harus memahami terlebih dahulu perkara-perkara berikut ini:

  1. Definisi dan Cakupan 'Aqidah

  2. Itsbat 'Aqidah (Penetapan 'Aqidah)

  3. Kedudukan Hadits Ahad Dalam Itsbat 'Aqidah

  4. Sikap Seorang Muslim Terhadap Hadits Ahad Shahih


DEFINISI DAN CAKUPAN 'AQIDAH

Menurut istilah, kata i’tiqaad atau al-iman (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan bukti). Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani rahimahullah menyatakan:
"العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى. ومعنى الإيمان هو التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل، لأنه إذا كان التصديق عن غير دليل لا يكون إيماناً. إذ لا يكون تصديقاً جازماً إلا إذا كان ناجماً عن دليل. فإن لم يكن له دليل لا يتأتى فيه الجزم، فيكون تصديقاً فقط لخبر من الأخبار فلا يعتبر إيماناً. وعليه فلابد أن يكون التصديق عن دليل حتى يكون جازماً أي حتى يكون إيماناً. ومن هنا كان لابد من وجود الدليل على كل ما يُطلب الإيمان به حتى يكون التصديق به إيماناً. فوجود الدليل شرط أساسي في وجود الإيمان بغض النظر عن كونه صحيحاً أو فاسداً..."

"'Aqidah Islaamiyyah adalah iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab SuciNya, Rasul-rasulNya, hari akhir, serta qadla' dan qadar, baik buruknya dari Allah swt. Makna "al-iman" adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi' 'an daliil" (pembenaran yang bersifat pasti, berkesesuaian dengan fakta, dan ditunjang oleh dalil)". Sebab, jika "tashdiiq" (pembenaran) tidak ditunjang oleh dalil, maka "tashdiiq" seperti ini tidak disebut dengan "iman". Pasalnya, sebuah pembenaran (tashdiiq) tidak akan menjadi pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiq al-jaazim), kecuali muncul dari dalil. Jika sebuah pembenaran tidak memiliki dalil (bukti), maka pembenaran tersebut tidak memiliki kepastian. Pembenaran yang tidak ditunjang oleh dalil hanya akan menjadi pembenaran terhadap suatu khabar dari khabar-khabar yang ada; dan tidak dianggap sebagai iman. Oleh karena itu, sebuah pembenaran (tashdiiq), baru dianggap pembenaran yang bersifat pasti atau iman, jika pembenaran tersebut ditunjang oleh dalil. Atas dasar itu, adanya sebuah dalil yang menunjang setiap perkara yang wajib diimani, sehingga sebuah "tashdiiq" disebut dengan "iman"; merupakan sebuah keharusan. Keberadaan dalil merupakan syarat asasi dalam keimanan, tanpa memandang apakah keimanan itu shahih atau fasid..." [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 29. Bandingkan pula dengan Prof. Mahmud Syaltut, Islam; 'Aqidah wa Syari'ah, ed. III, Daar al-Qalam, 1966, hal.56; Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dhann fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22]

Masih menurut Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy rahimahullah, perkara-perkara 'aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil qath'iy. Beliau rahimahullah menyatakan:

أما العقيدة فإنها التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل. وما دامت هذه هي حقيقة العقيدة، وهذا هو واقعها، فلابد أن يكون دليلها محدثاً التصديق الجازم. وهذا لا يتأتى مطلقاً إلا إذا كان هذا الدليل نفسه دليلاً مجزوماً به حتى يصلح دليلاً للجزم.

"Adapun 'aqidah, maka, 'aqidah adalah pembenaran yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta, dan ditunjang oleh dalil. Semampang definisi ini adalah hakekat 'aqidah dan realitas dari 'aqidah, maka dalil 'aqidah harus mengantarkan kepada pembenaran yang bersifat pasti. Hal ini tidak akan tercapai secara mutlak, kecuali jika dalil tersebut adalah dalil pasti sehingga layak menjadi dalil untuk sebuah kepastian".[ Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 191].

Di dalam Kitab al-Wajiz fii 'Aqiidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa'ah dinyatakan:

وفي الاصطلاح : هي الأمور التي يجب أن يُصَدِّقَ بها القلب ، وتطمئن إِليها النفس ، حتى تكون يقينا ثابتا لا يمازجها ريب ، ولا يخالطها شك .أَي : الإِيمان الجازم الذي لا يتطرَّق إِليه شك لدى معتقده ، ويجب أَن يكون مطابقا للواقع ، لا يقبل شكا ولا ظنا ؛ فإِن لم يصل العلم إِلى درجة اليقين الجازم لا يُسَمى عقيدة. وسمي عقيدة ؛ لأَنَّ الإِنسان يعقد عليه قلبَه .

"Secara istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan menentramkan jiwa, sehingga perkara-perkara tersebut menjadi sebuah keyakinan yang tidak disusupi oleh keraguan dan bercampur dengan persangkaan (al-syakk). Dengan kata lain, 'aqidah adalah keimanan pasti (al-iiman al-jaazim) yang tidak dihinggapi keraguan pada diri orang yang menyakininya; dan ia harus sesuai dengan kenyataan, tidak mengandung keraguan dan persangkaan. Dan jika sebuah keyakinan tidak mencapai taraf al-iiman al-jaazim (iman yang pasti), maka perkara itu tidak dinamakan dengan aqidah. Disebut 'aqidah karena, manusia akan mengikatkan hatinya kepada perkara tersebut (aqidah)". ['Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, Al-Wajiiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih, juz 1, hal. 11-13]

Penjelasan 'Allamah Taqiyyuddin An Nabhani di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Imam al-Jurjani di dalam kitab al-Ta'rifaat. Imam al-Jurjani menyatakan:

الإيمان في اللغة: التصديق بالقلب، وفي الشرع: هو الاعتقاد بالقلب والإقرار باللسان. وقيل: من شهد وعمل ولم يعتقد فهو منافق، ومن شهد ولم يعمل واعتقد فهو فاسق، ومن أخل بالشهادة فهو كافر.

"Secara literal, iman adalah tashdiiq al-qalb (pembenaran dalam hati). Sedangkan menurut syariat, iman adalah al-i'tiqaad bi al-qalb wa al-iqraar bi al-lisaan (keyakinan dalam hati dan diucapkan dengan lisan)". Dinyatakan, "Barangsiapa bersyahadat dan beramal, namun tidak menyakini, maka ia adalah orang munafik; barangsiapa bersyahadat namun tidak mengamalkan dan menyakini, maka ia adalah orang fasik; dan siapa saja tidak bersyahadat maka ia adalah orang kafir". [Imam al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 12]

Terma lain yang digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan pengertian 'aqidah dan iman adalah ilmu. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kata iman, 'aqidah, dan ilmu kadang-kadang digunakan dengan makna yang sama. Adapun makna "al-ilmu", sebagaimana dijelaskan di dalam Kitab al-Ta'riifaat adalah sebagai berikut:

العلم هو الاعتقاد الجازم المطابق للواقع، وقال الحكماء: هو حصول صورة الشيء في العقل، والأول أخص من الثاني، وقيل: العلم هو إدراك الشيء على ما هو به، وقيل: زوال الخفاء من المعلوم، والجهل نقيضه، .....وقيل: العلم: صفة راسخة تدرك بها الكليات والجزئيات...."

"Al-'ilmu adalah i'tiqaad al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi' (ilmu (keyakinan) adalah keyakinan pasti yang sejalan dengan realitas)" Sedangkan menurut Ahli Hikmah, ilmu adalah sampainya penggambaran sesuatu ke dalam akal. Definisi yang pertama ini lebih khusus dibandingkan yang kedua. Ada pula yang mendefinisikan ilmu dengan memahami hakekat yang terkandung di dalam sesuatu. Ada pula yang mengartikannya dengan hilangnya kesamaran dari sesuatu yang hendak diketahui; dan lawannya adalah al-jahlu (kebodohan)"...Ada pula yang menyatakan bahwa ilmu adalah sifat mendalam yang dengannya bisa dipahami perkara-perkara yang bersifat kulli (integral) dan juz'iy (parsial)". [Imam al-Jurjaniy, al-Ta'riifaat, juz 1, hal. 49]

Imam al-Baghawiy, di dalam Tafsir al-Baghawiy menyatakan:

وحقيقة الإيمان التصديق بالقلب، قال الله تعالى "وما أنت بمؤمن لنا"( 17-يوسف ) [أي بمصدق لنا] (4) وهو في الشريعة: الاعتقاد بالقلب والإقرار باللسان والعمل بالأركان، فسمي الإقرار والعمل إيمانا؛ لوجه من المناسبة، لأنه من شرائعه.

"Hakekat iman adalah tashdiiq bi al-qalbi (pembenaran di dalam hati). Allah swt berfirman, "Dan sesungguhnya engkau tidak akan percaya kepada kami".[Yusuf:17], maksudnya adalah mushaddiq lanaa (mempercayai kami). Sedangkan menurut syariat, iman adalah i'tiqaad di dalam hati, diakui dengan lisan, dan amalkan dengan rukun-rukun tertentu. Pengakuan dan amal disebut dengan iman, karena keduanya merupakan bagian dari syariat-syariat yang berhubungan erat dengan iman". [Imam al-Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 1, hal. 60]

Penjelasan di atas diperkuat oleh pernyataan Imam Nawawi rahimahullah:

وَاتَّفَقَ أَهْل السُّنَّة مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاء وَالْمُتَكَلِّمِينَ عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِن الَّذِي يُحْكَمُ بِأَنَّهُ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة وَلَا يُخَلَّد فِي النَّار لَا يَكُون إِلَّا مَنْ اِعْتَقَدَ بِقَلْبِهِ دِينَ الْإِسْلَامِ اِعْتِقَادًا جَازِمًا خَالِيًا مِنْ الشُّكُوك ، وَنَطَقَ بِالشَّهَادَتَيْنِ ، فَإِنْ اِقْتَصَرَ عَلَى إِحْدَاهُمَا لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة أَصْلًا إِلَّا إِذَا عَجَزَ عَنْ النُّطْق لِخَلَلٍ فِي لِسَانه أَوْ لِعَدَمِ التَّمَكُّن مِنْهُ لِمُعَاجَلَةِ الْمَنِيَّةِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَكُون مُؤْمِنًا.

"Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa Mukmin yang ditetapkan termasuk bagian ahlul kiblat dan tidak akan kekal di dalam neraka tidak lain tidak bukan adalah orang yang menyakini dienul Islam di dalam hatinya dengan keyakinan yang pasti tanpa ada keraguan sedikitpun, dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika salah satu syarat itu kurang, maka orang itu tidak termasuk ahlul kiblat pada konteks asalnya; kecuali jika ia tidak mampu mengucapkan dua kalimat syahadat karena cacat lisannya, atau karena tidak adanya kemungkinan bagi dirinya untuk mengucapkannya (dua kalimat syahadat) karena keburu meninggal dunia, atau karena sebab lain. Maka dalam kondisi seperti ini orang tersebut termasuk orang Mukmin". [ Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49]

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan beberapa point penting berikut ini:

  1. 'Aqidah adalah perkara-perkara yang wajib diimani dan diikatkan di dalam hati, dan dibenarkan secara pasti (tashdiiq al-jaazim), sesuai dengan fakta, dan ditunjang oleh bukti.

  2. Sebuah keyakinan tidak absah dikategorikan sebagai bagian dari 'aqidah Islamiyyah –yang berkonsekuensi kepada iman dan kafir-- jika keyakinan tersebut belum mencapai taraf 'ilmu yaqiin, atau tashdiiq al-jaazim (kepastian atau pembenaran yang bersifat pasti).


ITSBAT 'AQIDAH (PENETAPAN 'AQIDAH)

Itsbat 'aqidah adalah penetapan apakah suatu perkara absah dimasukkan ke dalam 'aqidah Islaamiyyah atau tidak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, 'aqidah atau iman adalah tashdiiq al-jaazim al-mutaabiq lil waaqi' 'an daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan fakta dan ditunjang oleh dalil (burhan). Berdasarkan definisi ini, maka, syarat-syarat itsbat 'aqidah adalah sebagai berikut:

Pertama, perkara tersebut harus ditetapkan oleh dalil yang bersifat pasti (qath'iy), dan tidak mengandung kesamaran sedikitpun. Jika suatu perkara masih mengandung kesamaran, walaupun sisi kebenarannya lebih kuat (dzann), maka perkara seperti ini tidak absah dijadikan sebagai bagian dari 'aqidah Islaamiyyah.

Kedua, perkara-perkara tersebut berhubungan dengan masalah-masalah keyakinan, bukan perbuatan. Perkara-perkara yang berkaitan dengan perbuatan (al-'amaliyyah) dimasukkan ke dalam persoalan syariat, bukan 'aqidah.

Ketiga, perkara yang diyakini tersebut sesuai dengan fakta (realitas). Keyakinan yang tidak sejalan dengan fakta, semacam khayalan atau pemikiran-pemikiran yang tidak ada realitasnya atau tidak ada wujudnya dalam realitas, tidak boleh dimasukkan dalam perkara iman atau 'aqidah yang dituntut oleh syariat. Misalnya, keyakinan bahwa matahari adalah Tuhan yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, tahayul, khurafat, reinkarnasi, animisme, dinamisme, dan lain sebagainya. Keyakinan seperti ini, walaupun diyakini oleh pemeluknya dengan keyakinan yang pasti, namun, keyakinan seperti ini tidak dianggap bagian dari keimanan/i'tiqad. Sebab, keyakinan-keyakinan seperti itu bertentangan dengan fakta.

Untuk syarat kedua dan ketiga, kami tidak akan merincinya secara lebih mendalam. Sebab, selain sudah diketahui oleh khalayak umum, juga akan memakan tempat yang cukup banyak. Dalam tulisan ini, kita akan membahas syarat pertama secara lebih rinci dan mendalam. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, karena perkara 'aqidah meniscayakan adanya pembenaran pasti yang lahir dari sebuah bukti (dalil), maka dalil yang absah dijadikan sebagai dasar untuk itsbat 'aqidah adalah dalil-dalil yang mampu mengantarkan kepastian ('ilmu yaqin); yakni dalil yang qath'iy tsubut dan qath'iy dilalahnya. Dalil-dalil syar'iy yang memenuhi kategori ini adalah Al-Quran dan Hadits Mutawatir yang dilalahnya qath'iy. Adapun nash-nash Al-Quran atau hadits mutawatir yang dilalahnya (maknanya) dzanniy, maka dalil seperti ini tidak absah dijadikan dalil untuk membangun perkara 'aqidah. Demikian juga hadits-hadits ahad shahih, baik qath'iy dilalahnya maupun dzanniy dilalahnya, tidak absah untuk menetapkan perkara-perkara 'aqidah (itsbat 'aqidah).

Imam al-Jalil Asy Syathibiy rahimahullah, dalam Kitab Al-Muwaafiqaat , pada saat membahas masalah ushulul fikih, menyatakan:

إن أصول الفقه في الدين قطعية لا ظنية، والدليل على ذلك أنها راجعة إلى كليات الشريعة، وما كان كذلك فهو قطعي....والثاني: أنها لو كانت ظنية لم تكن راجعة إلى أمر عقلي، إذ الظن لا يُقبل في العقليات ولا إلى كلي شرعي لأن الظن إنما يتعلق بالجزئيات؛ إذ لو جاز تعلق الظن بكليات الشريعة لجاز تعلقه بأصل الشريعة لأنه الكلي الأول وذلك غير جائز عادة ....الثالث: أنه لو جاز جعل الظني أصلا في أصول الفقه لجاز جعله أصلا في أصول الدين، وليس كذلك باتفاق، فكذلك هنا لأن نسبة أصول الفقه من الشريعة كنسبة أصول الدين، وإن تفاوتت في المرتبة فقد استوت بأنها كليات معتبرة في كل ملة وهي داخلة في حفظ الدين من الضروريات. ... ويقول رحمه الله: والجواب أن الأصل على كل تقدير لا بد أن يكون مقطوعاً به لأنه إن كان مظنوناً تطرق إليه احتمال الإخلاف ومثل هذا لا يُجعل أصلا في الدين عملا بالاستقراء؛ وقال: وقد قال بعضهم لا سبيل إلى إثبات أصول الشريعة بالظن لأنه تشريع ولم نتعبد بالظن إلا في الفروع) (1) الموافقات. الشاطبي. شرح الشيخ عبد الله دراز 1/29-31

"Sesungguhnya, ushul fikih dalam Dienul Islam haruslah qath'iy, tidak boleh dzanniy. Dalil untuk hal ini adalah; bahwa ushul fikih menjadi dasar untuk kulliyat asy-syar'iyyah (kemenyeluruhan syariat). Selama ushul fikih seperti ini, maka ia haruslah qath'iy....Kedua, seandainya ushul fikih boleh dzanniy, niscaya ia tidak bisa menjadi dasar untuk perkara-perkara 'aqliyyah. Pasalnya, dzanniy tidak diterima dalam perkara-perkara 'aqliyyah, dan tidak juga dalam perkara-perkara kemenyeluruhan syariat (kulliyat asy syarii'ah). Sebab, dzann hanya berkaitan dengan perkara-perkara parsial (juz'iyyat)….Ketiga, seandainya boleh menjadikan perkara dzanniy sebagai asal (fundamen) dalam ushul fikih, tentunya boleh juga menjadikan perkara dzanniy sebagai asal dalam perkara ushul al-diin. Padahal, hal ini tidak boleh berdasarkan kesepakatan. Selain itu, kedudukan ushul fikih dalam syariat sama persis seperti kedudukan ushuluddin; meskipun berbeda dalam martabat (kedudukan), namun setara dari sisi bahwa ushul fikih adalah kulliyat al-mu'tabarah (kemenyeluruhan yang diakui) pada setiap millah (agama). Dan ia termasuk penjagaan terhadap agama dari darurat-darurat…"[Imam Asy Syathibiy, al-Muwaafiqaat, Syarh Asy Syaikh 'Abdullah Daraaz, juz 1, hal. 29-31]

Berdasarkan penjelasan Imam Asy Syathibiy di atas, dapat disimpulkan bahwa perkara-perkara ushul, baik ushuluddin ('aqidah) maupun ushulusy syari'ah haruslah qath'iy dan tidak boleh dzanniy. Dalil yang absah dijadikan sandaran baik dalam perkara ushuluddin maupun ushulusy syari'at haruslah dalil-dalil yang menghasilkan kepastian (ilmu yaqin/tashdiiq al-jaazim). Dalil-dalil dzanniy tidak absah dijadikan dalil untuk menetapkan (itsbat) perkara-perkara ushuluddin dan ushulusy syari'ah. Adapun dalil qath'iy yang bisa mengantarkan kepastian adalah dalil yang tsubut dan dilalahnya qath'iy. Dalil yang tsubut dan dilalahnya qath'iy adalah Al-Quran dan hadits mutawatir yang dilalahnya pasti.

Imam As Sarakhsiy dalam Kitab Ushuul al-Sarakhsiy berkata:

ولا خلاف أن أصل الدين كالتوحيد وصفات الله وإثبات النبوة لا يكون إلا بطريق يوجب العلم قطعا ولا يكون فيه شك ولا شبهة، فكذلك فيما يكون من أمر الدين.

"Tidak ada khilaf, bahwa perkara ushuluddin, seperti tauhid, Shifat-shifat Allah, itsbat kenabian, tidak boleh ditetapkan kecuali dengan jalan yang bisa mengantarkan ilmu secara pasti, tidak ada keraguan maupun syubhat. Demikian pula pada perkara-perkara yang menjadi bagian perkara-perkara diin (ushul)".[Imam As Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1, hal.322].

Imam Jamaluddin Al Asnawiy berkata:

وأما بالآحاد فهو باطل لأن رواية الآحاد إن أفادت فإنما تفيد الظن والشارع إنما أجاز الظن في المسائل العملية وهي الفروع دون العلمية كقواعد أصول الدين وكذلك قواعد أصول الفقه ..."

"Adapun riwayat-riwayat ahad, maka ia bathil. Pasalnya, riwayat-riwayat ahad, meskipun memiliki faedah, namun ia hanya berfaedah kepada dzann. Asy Syaari' (Pembuat Hukum) hanya membolehkan dzann dalam perkara-perkara 'amaliyyah, yakni untuk perkara-perkara furu', tidak untuk perkara-perkara ilmiyyah, seperti kaedah-kaedah ushuluddin; dan demikian pula kaedah-kaedah ushul fikih.."[Dikutip dari 'Alim al-'Allamah Abu Malik, Adillah al-I'tiqaad, hal.22]

Imam Qurthubiy, pada saat menafsirkan firman Allah swt "[wa maa yattabi' aktsaruhum illa dzanna]; menyatakan:

وقيل: الحق هنا اليقين، أي ليس الظن كاليقين، وفي هذه الآية دليل على أنه لا يكتفى بالظن في العقائد

"Dinyatakan: al-haq di sini adalah yaqin, yakni dzann itu berbeda dengan yaqin. Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa dzann tidak cukup (untuk menetapkan) dalam perkara-perkara 'aqidah".[Imam Qurthubiy, Al-Jaami' li Ahkaam al-Quran (Tafsir al-Qurthubiy), juz 8, 343]

Imam 'Abdurrahman al-Jaziriy, dalam Kitab al-Fiqh 'Ala al-Madzaahib al-Arba'ah menyatakan:

ومن الحسن أن يقال: أن مثل هذه الأحاديث تجزئ في المسائل الفرعية لا في المسائل الاعتقادية، فان العقائد لا تبنى إلا على الأدلة اليقينية، وهذه الأحاديث مهما كانت صحيحة فهي أحاديث آحاد لا تفيد إلا الظن، لان الأحاديث الصحيحة يجب أن يكون لها قيمتها في الإثبات فهي معضدة للبراهين العقلية]

"Baik dinyatakan bahwasanya hadits-hadits seperti ini (hadits tentang Nabi saw tersihir) digolongkan dalam masalah furu'iyyah bukan dalam masalah-masalah i'tiqaadiyyah. Sebab, 'aqidah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan. Dan hadits-hadits seperti ini, walaupun shahih, akan tetapi ia adalah hadits ahad yang tidak berfaedah kecuali dzann belaka..."[Imam 'Abdurrahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh 'Ala al-Madzaahib al-Arba'ah , juz 5, hal. 391-392]

Imam Taftazaniy, seorang ulama pilihan dari madzhab Syafi'iy, dalam Syarh al-'Aqaaid al-Nasafiyyah, pada saat membicarakan tentang jumlah para Nabi, berkata:

يعني أن خبر الواحد على تقدير اشتماله على جميع الشرائط المذكورة في أصول الفقه لا يفيد إلا الظن، ولا عبرة بالظن في باب الاعتقادات،"

"Yakni, khabar ahad yang telah memenuhi seluruh syarat-syarat yang disebutkan dalam ushul fikih, tidak berfaedah kecuali hanya dzann. Sedangkan dzann sama sekali tidak bernilai dalam (menetapkan) bab 'aqidah-'aqidah".[ Imam Taftazaniy, Syarh al-'Aqaaid al-Nasafiyyah, hal.124]

Syaikh Hasan al-'Athaar berkata:

[قال الجلال المحلي "نهى الله عن إتباع غير العلم" .... والنهي للتحريم، فلا يكون واجبا، وقوله "ذم على إتباع الظن يدل على حرمته" أي أن إتباع الظن في العقائد حرام شرعا، لان النهي ورد من الله تبارك وتعالى عن إتباع الظن في العقائد كما سبق وأن وضحت

"Berkata al-Jalaal al-Mahaliy, "Allah melarang dari ittibaa' ghair al-ilm (mengikuti selain ilmu)"…Dan larangan tersebut adalah untuk pengharaman. Atas dasar itu tidak menjadi wajib. Ada pun perkataan beliau, "Celaan mengikuti dzann menunjukkan keharaman mengikuti dzann", yakni, mengikuti dzann dalam masalah 'aqidah adalah haram secara syar'iy. Sebab, larangan mengikuti dzann dalam masalah 'aqidah berasal dari Allah swt sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan saya telah menjelaskan".[Syaikh Hasan al-'Athaar dalam Syarahnya atas Syarah al-Jalaal al-Mahalliy, juz 2/157]

Imam Zarqaniy dalam Kitab Manaahil al-'Irfaan, berkata:

رابعها: أنّ تلك الروايات مليئةٌ بالإسرائيليات، ومنها كثير من الخرافات التي يقوم الدليل على بطلانها. ومنها ما يتعلق بأمور العقائد التي لا يجوز الأخذ فيها بالظن ولا برواية الآحاد، بل لا بد من دليل قاطع فيها، كالروايات التي تتحدث عن أشراط الساعة، وأهوال القيامة، وأحوال الآخرة، تذكرُ على أنّها اعتقادات في الإسلام. انتهى

"Keempat: riwayat-riwayat itu dipenuhi dengan cerita-cerita Israiliyyat. Sebagian besar di antaranya adalah khurafat-khurafat yang telah tegak dalil yang menunjukkan kebathilannya. Di antara riwayat tersebut ada yang berkaitan dengan perkara-perkara 'aqidah yang tidak boleh ditetapkan berdasarkan dzann maupun dengan riwayat ahad. Akan tetapi, harus ditegakkan di atas dalil-dalil qath'iy, seperti riwayat-riwayat yang berbicara tentang tanda-tanda kiamat, keadaan kiamat dan akherat; disebutkan bahwa hal-hal tersebut termasuk i'tiqad-i'tiqad di dalam Islam". [Dikutip dari 'Alim al-'Allamah Abu Malik, Adillah al-I'tiqaad, hal.25]

Syaikh Mahmud Syaltut dalam Kitab Al-Islam: 'Aqidah wa Syari'ah berkata:

وقد اتفق العلماء على أن الدليل العقلى الذى سلمت مقدمته, و انتهت فى أحكامها إلى الحس أو الضرورة, يفيـد ذلك اليقين و يحقق الإيمان المطلوب. أما الأدلة النقلية فقد ذهب كثير من العلماء إلى أنها لا تفيد اليقين, ولا تحصل الإيمان المطلوب, ولا تثبت بها وحدها عقيدة. قالوا: ذلك لأنها مجال واسع لاحتمالات كثيرة تحول دون هذا الإثبات. والذين ذهبوا إلى أن الدليل النقلى يفيـد اليقين و يثبت العقيدة شروطا فيه أن يكون قطعيا فى وروده, قطعيا فى دلالته. ومعنى كونه قطعيا فى وروده: ألا يكون هناك أى شبهة فى ثبوته عن الرسول صلى الله عليه و سلم, و ذلك إنما يكون فى المتواتر فقط. ومعنى كونه قطعيا فى دلالته أن يكون نصًا محكمًا فى معناه, وذلك إنما يكون فيما لا يحتمل التأويل. فإذا كان الدليل النقلى بهذه المثابة أفاد اليقين و صلح لأن تثبت به العقيدة.

" Para ulama telah sepakat bahwa dalil 'aqliy yang selamat muqaddimahnya dan penetapan-penetapannya berakhir pada penginderaan atau dlarurah, maka dalil seperti ini menghasilkan keyakinan dan bisa mewujudkan keimanan yang dituntut. Sedangkan dalil naqliy, maka sebagian besar ulama berpendapat bahwa ia tidak menghasilkan keyakinan, dan tidak menghasilkan keimanan yang dituntut, dan tidak bisa menetapkan (itsbat) iman. Mereka menyatakan seperti itu karena dalil naqliy masih membuka ruang yang sangat lebar akan adanya kenisbian-kenisbian yang sangat banyak sehingga tidak bisa digunakan untuk istbat (penetapan) [masalah keyakinan]. Sedangkan ulama-ulama yang berpendapat bahwa dalil naqliy bisa menghasilkan keyakinan dan bisa menetapkan perkara 'aqidah mensyaratkan harus qath'iy wurud dan dilalahnya. Yang dimaksud dengan qathiy wurud adalah tidak ada kesamaran dalam penetapannya bahwa berita tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw; dan ini hanya ada pada riwayat-riwayat mutawatir saja. Adapun yang dimaksud dengan qath'iy dilalah adalah maknanya jelas (muhkam); dan ini hanya ada para riwayat yang tidak membuka ruang adanya penakwilan. Jika dalil naqliy memenuhi syarat ini, maka ia menghasilkan keyakinan dan layak untuk menetapkan (itsbat) 'aqidah". [Syaikh Mahmud Syaltut, Al Islaam; 'Aqiidah wa Syarii'ah, ed 3, hal. 56-57]

Dari penjelasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa suatu perkara baru absah ditetapkan sebagai bagian dari 'aqidah Islamiyyah jika perkara tersebut ditunjang oleh dalil qath'iy. Yang dimaksud dengan dalil qath'iy di sini adalah dalil yang dari sisi sumbernya dan maknanya tidak mengandung kesamaran; dan yang bisa mewujudkan syarat ini hanyalah al-Quran dan hadits mutawatir yang dilalahnya qath'iy, tidak mengandung kesamaran dan menutup kemungkinan adanya perbedaan dalam hal interpretasi. Sedangkan dalil-dalil lain, selain dalil ini, tidak absah dijadikan dalil untuk mengitsbat perkara-perkara yang membutuhkan ilmu yaqin.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.