Header Ads

PENJELASAN LURUS BAGI MEREKA YANG JAHIL DAN TERPEDAYA (Itsbat 'Aqidah dan Sikap Yang Benar Terhadap Siksa Kubur) [Bag 2]

KEDUDUKAN HADITS AHAD DALAM ITSBAT 'AQIDAH

Apakah hadits ahad bisa dijadikan dalil untuk mengitsbat masalah-masalah 'aqidah?

Jawabnya; tidak ada keraguan dan syubhat sedikitpun bahwasanya hadits ahad tidaklah absah untuk mengitsbat perkara-perkara 'aqidah. Pasalnya, hadits ahad tidak menghasilkan kepastian (ilmu yaqin). Hadits ahad hanya menghasilkan dzann belaka. Atas dasar itu, hadits ahad tidak absah dijadikan sebagai dalil untuk mengitsbat perkara-perkara 'aqidah. Inilah pendapat rajih yang dipegang oleh mayoritas ulama, baik dari kalangan shahabat, tabi'un, dan tabi'ut tabi'iin. Kami tidak akan menukil semua pendapat tersebut, namun, kami hanya akan menukil sebagian pendapat dari kalangan ulama-ulama mu'tabar saja.

Di dalam kitab Mafaatih al-Ghaib, pada saat membahas itsbat apakah tasmiyyah (bismillahirrahmaanirrahim) termasuk bagian dari Al Quran atau tidak, Imam al-Jalil Muhammad Fakhr al-Diin al-Raaziy rahimahullah menyatakan:
المسألة الخامسة : في تقرير أن هذه المسألة ليست من المسائل القطعية ، وزعم القاضي أبو بكر أنها من المسائل القطعية ، قال : والخطأ فيها إن لم يبلغ إلى حد التكفير فلا أقل من التفسيق ، واحتج عليه بأن التسمية لو كانت من القرآن لكان طريق إثباته إما التواتر أو الآحاد والأول باطل ، لأنه لو ثبت بالتواتر كون التسمية من القرآن لحصل العلم الضروري بأنها من القرآن ، ولو كانت كذلك لامتنع وقوع الخلاف فيه بين الأمة . والثاني : أيضاً باطل؛ لأن خبر الواحد لا يفيد إلا الظن ، فلو جعلناه طريقاً إلى إثبات القرآن لخرج القرآن عن كونه حجة يقينية ولصار ذلك ظنياً ، ولو جاز ذلك لجاز ادعاء الروافض في أن القرآن دخله الزيادة والنقصان والتغيير والتحريف ، وذلك يبطل الإسلام .

"Masalah kelima; dalam penetapan bahwa masalah ini bukanlah termasuk masalah qath'iyyah. Abu Bakar al-Baqillaniy berpendapat bahwa tasmiyyah termasuk masalah qath'iyyah. Ia berkata, "Kesalahan di dalamnya jika tidak mencapai batas pengkafiran, maka paling sedikit adalah fasiq. Pendapat beliau ini dibantah; seandainya tasmiyyah (bismillahirrahmaanirrahiim) termasuk bagian al-Quran, maka jalan itsbatnya (jalan penetapannya), bisa saja dengan riwayat mutawatir atau riwayat ahad. Adapun asumsi pertama (ditetapkan berdasarkan riwayat mutawatir) adalah bathil. Sebab, seandainya keberadaan bismillaahirrahmaanirrahiim sebagai bagian dari al-Quran ditetapkan berdasarkan riwayat mutawatir, tentunya hal ini akan menghasilkan ilmu dlaruriy (pembenaran yang bersifat pasti) bahwa tasmiyyah termasuk bagian Al Quran. Selain itu, seandainya hal itu benar, tentunya tidak boleh terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat mengenai masalah ini. Kedua; asumsi kedua ini (ditetapkan berdasarkan riwayat ahad) juga bathil. Sebab, khabar ahad tidak berfaedah apapun kecuali sekedar dhann. Seandainya kita menjadikan hadits ahad sebagai jalan untuk penetapan al-Quran, niscaya lenyaplah keberadaan al-Quran sebagai hujjah yang menyakinkan, dan jadilah ia hujjah yang meragukan. Seandainya hal ini boleh, tentunya, benar juga dakwaan kaum Rawaafidl bahwa al-Quran telah mengalami tambahan, pengurangan, pengubahan, dan penyimpangan. Dan sesungguhnya hal ini telah membatalkan Islam sendiri". [Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 176]

Di dalam Fatawa al-Azhar pada bab al-'Amal bi Ahaadiits al-Ahaad (Beramal dengan Hadits Ahad) disebutkan:
العمل بأحاديث الآحاد:

السؤل: نقرأ فى بعض الكتب عند الاستدلال على بعض الأحكام بحديث نبوى، أن هذا حديث آحاد يفيد القطع ، فما هى أحاديث الآحاد، وما هى منزلتها فى الاستدلال على أحكام الدين ؟ الجواب: أحاديث الآحاد هى التى لم يبلغ رواتها حد التواتر الذى يفيد القطع واليقين ، والحديث المتواتر هو الذى رواه جمع عن جمع يؤمن تواطؤهم على الكذب ، وأحاديث الآحاد أنواع ، منها المشهور الذى رواه ثلاثة فأكثر، والعزيز الذى رواه اثنان ، والغريب الذى رواه واحد فقط . وهى من أقسام الحديث الصحيح ، وهناك الحديث الحسن والحديث الضعيف والحديث الموضوع ، وهناك تقسيمات لهذه الأحاديث فى علم مصطلح الحديث ، ويهمنا الآن الحديث الصحيح بقسميه الآحاد والمتواتر .

يقول علماء الأصول : إن أحاديث الآحاد يجب العمل بها فى الأحكام الشرعية العملية ، باعتبارها فروعا ، ولا يعمل بها فى العقائد باعتبارها أصولا للدين ، وهذا ما يفيده ما نقل عن جمهور الصحابة والتابعين ، وأقوال علماء الفقه والأصول ، ولم يخالف فى ذلك سوى بعض فقهاء أهل الظاهر وأحمد فى رواية عنه .

فأحاديث الآحاد مهما بلغت قوتها كالمشهور منها لا تفيد العلم اليقينى الذى يعتمد عليه فى العقائد، بل تفيد الظن الذى يكفى فى وجوب العمل بها فى الفروع ، جاء ذلك فى كثير من المراجع ، وصرح به النووى فى شرح صحيح مسلم "ج 1 ص 20 " وجعل منها ما رواه البخارى ومسلم رادًا به على ابن الصلاح الذى قال : إن ما روياه يفيد العلم النظرى .

من هذا يعلم أن أحاديث الآحاد الصحيحة لا تفيد إلا الظن ويجب العمل بها فى الفروع لا فى العقائد، وإفادة الظن أو اليقين فى الأحاديث قد تكون من جهة الرواية، فالمتواتر يفيد اليقين والآحاد لا تفيده ، وقد تكون من جهة الدلالة أى دلالة اللفظ على معناه ، وذلك مشترك بين جميع الأحاديث وبين القرآن الكريم ، فاللفظ إذا لم يحتمل إلا معنى واحدا كان قطعى الدلالة ، وإذا احتمل أكثر من معنى كان ظنى الدلالة، كلفظ العين ، يطلق على العين الباصرة وعلى عين الماء ، وعلى الذهب وعلى الجاسوس . ولفظ الفتنة يطلق على الامتحان وعلى الكفر وعلى العذاب ، وعلى الوقيعة بين الناس ، والشواهد على ذلك كثيرة .

وتفريعا على ذلك لو وقع خلاف فى مسألة فرعية دليلها خبر آحاد وأنكر الإنسان حجية هذا الخبر لا يكون بذلك كافرا أو فاسقا وإلا لحكم بذلك على أئمة الفقه المختلفين فى بعض المسائل ، مع الأخذ فى الاعتبار أن هذا الإنكار له مسوغ شرعى ، فإذا تأيد هذا الخبر وما يدل عليه من حكم بالإجماع عليه صار قويا ، ومن جحده كان مخطئا ، وإن كان لا يحكم عليه بالكفر " فتاوى معاصرة للشيخ جاد الحق على جاد الحق ص 49 - 60


"Pertanyaan : Kami membaca beberapa kitab tatkala beristidlal dengan hadits Nabawiy untuk menggali sebagian hukum-hukum syariat, di situ dinyatakan bahwasanya hadits tersebut adalah hadits ahad yang menghasilkan keyakinan. Lantas, apa hadits ahad itu; dan bagaimana kedudukannya dalam istidlal hukum-hukum agama? Jawab: Hadits ahad adalah hadits yang perawinya tidak mencapai batas mutawatir yang menghasilkan kepastian dan keyakinan (qath'iy wa yaqiin). Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok rawi dari sekelompok rawi lainnya, yang bisa dipercaya (diyakini) bahwa mereka tidak mungkin berdusta. Hadits ahad itu dibagi menjadi beberapa macam. Diantaranya adalah hadits masyhur, yakni hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih. Ada pula hadits 'Aziiz, yakni hadits yang diriwayatkan dua orang; dan ada pula hadits gharib, yakni hadits yang diriwayatkan oleh satu orang. Hadits ini dibagi lagi menjadi hadits shahih, hasan, dla'if, dan hadits maudlu' (buatan). Dan masih banyak lagi pembagian-pembagian hadits semacam ini di dalam ilmu mushthalah al-hadits. Nah, yang dibahas sekarang adalah hadits shahih yang terklasifikasi dalam hadits ahad dan mutawatir.

'Ulama ushul berpendapat; sesungguhnya hadits-hadits ahad yang berbicara masalah hukum-hukum syariat amaliyyah wajib untuk diamalkan, dengan asumsi bahwa ia adalah perkara cabang. Akan tetapi, hadits ahad tidak diamalkan dalam perkara-perkara 'aqidah yang dianggap sebagai ushuluddin. Kesimpulan semacam ini dinukil dari mayoritas para shahabat, tabi'in, sekaligus sebagai pendapat ulama-ulama fiqh dan ushul. Tidak ada satupun ulama yang menyelisihi hal ini (hadits ahad bukanlah hujjah dalam perkara aqidah), kecuali sebagian fuqaha ahli dzahir, dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari beliau. Oleh karena itu, betapapun kuatnya hadits ahad, seperti hadits-hadits masyhur, sesungguhnya ia tidak menghasilkan ilmu al-yaqiin (kepastian) yang bisa dijadikan sandaran (hujjah) untuk membangun perkara-perkara aqidah. Akan tetapi, hadits ahad hanya menghasilkan dhannn yang wajib diamalkan dalam masalah-masalah furu' (cabang). Pendapat semacam ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab rujukan. Imam Nawawiy sudah menjelaskan masalah ini dengan sangat jelas di dalam Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal. 20. Penjelasan ini beliau terapkan dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sebagai bantahan beliau atas pendapat Ibnu Shalah yang menyatakan, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim menghasilkan keyakinan.

Dari sinilah dapat diketahui bahwa hadits ahad yang shahih tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya sekedar dhannn. Namun, ia wajib untuk diamalkan dalam masalah-masalah furu', bukan dalam masalah aqidah. Ke-dhannn-an atau ke-yakin-an yang dihasilkan dari hadits, kadang-kadang berasal dari sisi perawinya. Hadits mutawatir menghasilkan keyakinan, sedangkan hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan. Kadang-kadang, kedhannn-an atau ke-yakinan-an suatu hadits berasal dari sisi dilalah lafadznya (makna/penunjukkannya; dan ini bisa saja terjadi pada hadits-hadits maupun al-Quran. Suatu lafadz, jka hanya mengandung satu makna saja, maka ia qath'iy dilalah. Jika suatu lafadz mengandung banyak kemungkinan makna, maka ia menjadi dhannniy dilalah. Seperti halnya lafadz al-'ain yang kadang-kadang bermakna mata, sumber air, emas, dan mata-mata. Lafadz fitnah, kadang-kadang bermakna ujian (imtihan), kekufuran (al-kufr), 'adzab, dan persengketaan diantara manusia. Bukti-bukti untuk masalah semacam ini (dhannniy dilalah) sangatlah banyak.

Atas dasar itu, jika ada perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu' yang dalilnya adalah khabar ahad (hadits ahad), maka orang yang menolak berhujjah dengan khabar ahad dalam masalah semacam ini, tidak menjadi kafir atau fasiq. Jika tidak seperti ini, tentunya predikat fasik dan kafir akan divoniskan kepada para ulama fikih yang berbeda pendapat satu dengan yang lain dalam berbagai masalah...(Fatawa Ma'aashirah karya Syaikh Jaad al-Haq 'Ali Jaad al-Haq, hal.49-60)". [Fatawa al-Azhar, al-'Amal bi Ahaadiits al-Ahad, juz 8, hal. 126].

Di dalam Tafsir Ibnu 'Arafah disebutkan:
وردّه ابن عرفة : بأن فروع الشريعة عندنا يكفي فيها الظنّ والأمور الاعتقادية لا بد فيها من العلم وهذا أمر اعتقادي.

"Ibnu 'Arafah membantahnya, "Menurut kami, cabang-cabang syari'ah cukup disangga oleh dalil-dalil dhannn, sedangkan perkara-perkara keyakinan (I'tiqaad) harus didasarkan kepada dalil-dalil yang menyakinkan (al-ilmu). Dan ini termasuk perkara 'aqidah..". Beliau juga menyatakan:
لأن المطلوب في الإيمان العلم اليقين ولا ( يجزئ ) فيه الظنّ بوجه .

..Sebab, yang dituntut dari keimanan adalah keyakinan pasti (al-'ilm al-yaqiin), dan tidak boleh dhannn". [Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 116 dan 189]

Imam Bazdawiy menyatakan:
(وَهَذَا) أَيْ خَبَرُ الْوَاحِدِ يُوجِبُ الْعَمَلَ، وَلا يُوجِبُ الْعِلْمَ يَقِينًا أَيْ لا يُوجِبُ عِلْمَ يَقِينٍ، وَلا عِلْمَ طُمَأْنِينَةٍ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَجُمْلَةِ الْفُقَهَاءِ.

"(Ini), maksudnya: khabar ahad wajib diamalkan tetapi tidak menghasilkan kepastian secara menyakinkan, atau ia tidak menghasilkan ilmu yaqin maupun 'ilmu tuma'ninah. Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu dan sebagian besar fukaha". [Imam al-Bazdawiy, Ushul Fakhr al-Islaam, bab Aqsaam al-Sunnah]

'Aalim al-'Allamah 'Abdul 'Aziz al-Bukhari dalam Kasyf al-Asraar , pada saat membantah orang yang berpendapat bahwa khabar ahad yang berbicara tentang ketetapan akherat, seperti ru'yatullah, siksa kubur, dan lain sebagainya menghasilkan ilmu yaqin, beliau berkata:
وَأَمَّا دَعْوَى عِلْمِ الْيَقِينِ بِهِ فَبَاطِلٌ بِلا شُبْهَةٍ لأَنَّ الْعِيَانَ يَرُدُّهُ مِنْ قِبَلِ أَنَّا قَدْ بَيَّنَّا أَنَّ الْمَشْهُورَ لا يُوجِبُ عِلْمَ الْيَقِينِ فَهَذَا أَوْلَى؛ وَهَذَا لأَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ مُحْتَمَلٌ لا مَحَالَةَ، وَلا يَقِينَ مَعَ الاحْتِمَالِ، وَمَنْ أَنْكَرَ هَذَا فَقَدْ سَفَّهُ نَفْسَهُ، وَأَضَلَّ عَقْلَهُ.

"Adapun klaim (hadits masyhur) menghasilkan ilmu yaqin, sesungguhnya, tanpa ada kesamaran lagi, klaim ini adalah bathil. Sebab, orang pasti akan menolaknya. Kami telah menjelaskan bahwa khabar masyhur tidak menghasilkan ilmu yaqin, dan inilah yang lebih utama. Pasalnya, khabar ahad masih mengandung kemungkinan. Dan tidak ada keyakinan jika masih mengandung kemungkinan. Siapa saja mengingkari ketentuan ini, maka ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya".['Abdul 'Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asraar, bab Khabar al-Ahad, juz 4/387]

Al-Hafidz Ibnu 'Abd al-Barr dalam Kitab al-Tamhiid, menyatakan:
واختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل هل يوجب العلم والعمل جميعا، أم يوجب العمل دون العلم؟ والذي عليه كثر أهل العلم منهم - أي المالكية - أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه والنظر ولا يوجب العلم عندهم إلا ما شهد به على الله وقطع العذر بمجيئه قطعا ولا خلاف فيه

"Para ulama madzhab kami dan ulama-ulama lain berbeda pendapat mengenai khabar ahad yang adil (shahih), apakah ia wajib diyakini dan diamalkan secara bersamaan, atau hanya wajib diamalkan namun tidak wajib diyakini? Pendapat yang dipegang oleh ahli ilmu, diantaranya adalah ulama-ulama madzhab Maliki, adalah hadits ahad wajib diamalkan, tetapi tidak menghasilkan keyakinan. Ini juga merupakan pendapat Imam Asy Syafi'i dan mayoritas ahli fikih dan tahqiq. Hadits ahad tidak menghasilkan ilmu kecuali yang disaksikan Allah swt, telah lenyap halangan (kesamaran) secara pasti, dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya". [Al-Hafidz Ibnu 'Abdil Baar, al-Tamhiid, juz 1/7]

Syaikh al-Muhadditsiin di masanya, al-Khathib al-Baghdadiy dalam Kitab Al-Kifaayah fi 'Ilm al-Riwaayah, hal. 432, berkata:
" باب ذكر ما يقبل فيه خبر الواحد وما لا يقبل فيه : خبر الواحد لا يقبل في شئ من أبواب الدين المأخوذ على المكلفين العلم بها والقطع عليها، والعلة في ذلك أنه إذا لم يعلم أن الخبر قول رسول الله صلى الله عليه وسلم كان أبعد من العلم بمضمونه فأما ما عدا ذلك من الاحكام التي لم يوجب علينا العلم بأن النبي صلى الله عليه وسلم قررها وأخبر عن الله عزوجل بها فإن خبر الواحد فيها مقبول والعمل واجب".

"Bab Apa Yang Bisa Diterima dan Tidak Bisa Diterima dari Hadits Ahad: Hadits ahad tidak diterima sedikitpun (itsbat) pada urusan-urusan agama yang harus diambil oleh para mukallaf secara pasti dan qath'iy. Alasan untuk hal itu adalah, sesungguhnya jika tidak bisa dipastikan bahwa sebuah khabar adalah sabda Rasulullah saw, maka khabar itu telah terjauh dari kepastiannya. Adapun ketentuan-ketentuan lain yang tidak mengharuskan adanya kepastian (ilmu) bagi kita, karena Nabi saw telah menetapkan ketentuan-ketentuan tersebut dan telah mengabarkan ketentuan-ketentuan itu dari Allah swt; maka khabar ahad dalam masalah seperti itu bisa diterima dan wajib diamalkan".[Al-Khathib al-Baghdadiy, Al-Kifaayah fi 'Ilm al-Riwaayah, hal.432] Beliau juga menyatakan pendiriannya terhadap hadits ahad dalam Kitab Al-Kifaayah, hal. 25, pada bab Dzikr Syubhah Man Za'ama Anna Khabar al-Waahid Yuujib al-'Ilm wa Ibthaaluha (Syubhat Orang Yang Berpendapat Bahwa Khabar Ahad Menghasilkan Ilmu, dan Kebathilan Pendapat Tersebut]

Imam Al-Baihaqiy dalam Kitab Al-Asmaa' wa al-Shifaat, hal. 357 berkata:
ولهذا الوجه من الاحتمال، ترك أهل النظر من أصحابنا الاحتجاج بأخبار الآحاد في صفات الله تعالى، إذا لم يكن لما انفرد منها أصل في الكتاب أو الاجماع واشتغلوا بتأويله

"Dikarenakan adanya kemungkinan tersebut, maka para ahlu al-nadhr dari kalangan madzhab kami telah meninggalkan berhujjah dengan hadits-hadits ahad yang berbicara tentang Shifat-shifat Allah swt. Jika hal tersebut tidak ada asalnya dalam Al-Quran dan Ijma', mereka sibuk mentakwilnya". [Imam Al-Baihaqiy, Al-Asmaa' wa al-Shifaat, hal. 357]

Di dalam Kitab Ushuul al-Sarakhsiy, pada bab al-Kalaam fi Qabuul Akhbaar al-Ahad wa al-'Amal bihaa (Bab Menerima Hadits Ahad dan Beramal dengan Hadits Ahad) dinyatakan:
قال فقهاء الامصار رحمهم الله: خبر الواحد العدل حجة للعمل به في أمر الدين ولا يثبت به علم اليقين. وقال بعض من لا يعتد بقوله: خبر الواحد لا يكون حجة في الدين أصلا. وقال بعض أهل الحديث: يثبت بخبر الواحد علم اليقين، منهم من اعتبر فيه عدد الشهادة ليكون حجة، ومنهم من اعتبر أقصى عدد الشهادة وهو الاربعة.

"Para fukaha amshar berpendapat bahwa khabar al-ahad (hadits ahad) yang adil adalah hujjah yang harus diamalkan dalam urusan agama, dan ia tidak mengitsbatkan ilmu dan yakin (menetapkan ilmu dan keyakinan)[1]. Ada sebagian orang yang pendapatnya tidak perlu diperhitungkan, menyatakan, "Menurut asalnya, khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam urusan agama. Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa, hadits ahad mengitsbatkan ilmu yaqin. Hanya saja diantara mereka mensyaratkan jumlah kesaksian agar ia layak dijadikan hujjah, dan ada pula yang mensyaratkan dengan jumlah maksimal kesaksian, yakni 4 orang saksi......"[Imam al-Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1/321]

Setelah membantah pendapat yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak layak dijadikan hujjah dalam urusan agama, Imam Sarakhsiy menyatakan:
وأما من قال بأن خبر الواحد يوجب العلم فقد استدل بما روي أن النبي عليه السلام قال لمعاذ حين وجهه إلى اليمن: ثم أعلمهم أن الله تعالى فرض عليهم صدقة في أموالهم ومراده الاعلام بالاخبار، وأما إذا لم يكن خبر الواحد موجبا للعلم للسامع لا يكون ذلك إعلاما، ولان العمل يجب بخبر الواحد ولا يجب العمل إلا بعلم، قال تعالى: * (ولا تقف ما ليس لك بهعلم) * ولان الله تعالى قال في نبأ الفاسق: * (أن تصيبوا قوما بجهالة) * وضد الجهالة العلم وضد الفسق العدالة، ففي هذا بيان أن العلم إنما لا يقع بخبر الفاسق وأنه يثبت بخبر العدل.ثم قد يثبت بالآحاد من الاخبار ما يكون الحكم فيه العلم فقط نحو عذاب القبر، وسؤال منكر ونكير، ورؤية الله تعالى بالابصار في الآخرة، فبهذا ونحوه يتبين أن خبر الواحد موجب للعلم.

"Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, mereka berhujjah dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw berkata kepada Mu'adz tatkala beliau saw mengutusnya ke Yaman, "Lalu, beritahulah mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan zakat atas harta benda mereka". Maksud hadits ini adalah pemberitahuan terhadap suatu informasi (khabar). Seandainya khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) bagi pendengarnya, maka penyampaian itu tidak disebut pemberitahuan. Sebab, amal tersebut diwajibkan dengan hadits ahad, dan amal itu tidak diwajibkan kecuali dengan keyakinan (ilmu). Pasalnya, Allah swt berfirman, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya".[TQS Al Israa` (17):36). Selain itu, Allah swt juga berfirman mengenai beritanya orang fasik, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu".[TQS Al Hujurat (49):6]. Lawan "tidak tahu" (al-juhalah) adalah al-'ilm (tahu); sedangkan lawan fasik adalah adil. Ini menjelaskan bahwa al-'ilm (keyakinan) tidak dihasilkan oleh berita fasik. Ilmu hanya ditetapkan berdasarkan berita yang adil. Selain itu, telah ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad, berita-berita yang telah diyakini kebenarannya, misalnya, siksa kubur, pertanyaan Malaikat Mungkar dan Nakir, serta melihat Allah kelak di hari kiamat. Semua ini menunjukkan bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan". [Imam Al-Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1/329]

Selanjutnya, Imam Sarakhsiy membantah argumen di atas dengan menyatakan:
هذا القائل كأنه خفي عليه الفرق بين سكون النفس وطمأنينة القلب وبين علم اليقين، فإن بقاء احتمال الكذب في خبر غير المعصوم معاين لا يمكن إنكاره ومع الشبهة والاحتمال لا يثبت اليقين وإنما يثبت سكون النفس وطمأنينة القلب بترجح جانب الصدق ببعض الاسباب، وقد بينا فيما سبق أن علم اليقين لا يثبت بالمشهور من الاخبار بهذا المعنى فكيف يثبت بخبر الواحد وطمأنينة القلب نوع علم من حيث الظاهر فهو المراد بقوله: (ثم أعلمهم) ويجوز العمل باعتباره كما يجوز العمل بمثله في باب القبلة عند الاشتباه، وينتفي باعتبار مطلق الجهالة لانه يترجح جانب الصدق بظهور العدالة، بخلاف خبر الفاسق فإنه يتحقق فيه المعارضة من غير أن يترجح أحد الجانبين.."

"Oang yang menyatakan pendapat itu, tidak bisa membedakan antara ketenangan jiwa dan ketentraman hati dengan ilmu yakin (keyakinan pasti). Sesungguhnya, selama masih ada kemungkinan dusta pada sebuah berita yang tidak terjaga, maka berita itu (berita orang yang adil) tidak mungkin diingkari, meskipun di dalamnya ada keraguan (syubhat). Sedangkan ihtimal (kemungkinan) tidak bisa menetapkan keyakinan. Ihtimaal hanya bisa menetapkan ketentraman dan ketenangan hati karena adanya sisi kebenaran yang lebih menonjol. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak bisa menetapkan keyakinan pasti (ilmu yaqiin), apa lagi khabar ahad. Ketenangan dan ketentraman hati termasuk jenis keyakinan jika ditinjau dari sisi dzahirnya, dan inilah maksud sabda Nabi saw, "Lalu, beritahulah mereka". Atas dasar itu, seseorang boleh beramal dengan anggapannya, sebagaimana bolehnya beramal pada kasus menghadap kiblat di saat ada keraguan[2]. Sedangkan ketidaktahuannya telah dieleminasi karena sisi kebenaran berita itu lebih kuat, disebabkan karena hadirnya keadilan perawi. Ini berbeda dengan beritanya orang fasik. Berita orang fasik masih mengandung kontradiksi yang salah satu sisinya tidak bisa dikuatkan[3]". [Imam Al-Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1/329]

Terhadap hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat, seperti siksa kubur, rukyatullah, al-haudl, dan lain sebagainya, Imam Al-Sarakhsiy menyatakan:
فأما الآثار المروية في عذاب القبر ونحوها فبعضها مشهورة وبعضها آحاد وهي توجب عقد القلب عليه، والابتلاء بعقد القلب على الشئ بمنزلة الابتلاء بالعمل به أو أهم، فإن ذلك ليس من ضرورات العلم، قال تعالى: * (وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم) * وقال تعالى: * (يعرفونه كما يعرفون أبناءهم) * فتبين أنهم تركوا عقد القلب على ثبوته بعد العلم به، وفي هذا بيان أن هذه الآثار لا تنفك عن معنى وجوب العمل بها.

"Adapun riwayat-riwayat (atsar) yang menuturkan tentang siksa kubur dan lain sebagainya; sesungguhnya sebagian riwayat itu ada yang masyhur dan sebagian lagi riwayat ahad. Dan sesungguhnya, riwayat-riwayat ini telah mengharuskan hati untuk mengikatkan dirinya pada perkara-perkara tersebut. Sedangkan pengetahuan mengenai wajibnya hati mengikatkan diri kepada suatu perkara, kedudukannya sama dengan pengetahuan terhadap suatu amal atau sesuatu yang lebih penting. Hanya saja, semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy (ilmu kepastian). Pasalnya, Allah swt berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan".[TQS An Naml (27):14]. Allah swt juga berfirman, "Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui".[TQS Al Baqarah (2):146]. Ayat di atas menjelaskan bahwa, mereka (orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang telah terbukti kebenarannya, sesudah ada pengetahuan terhadapnya. Semua ini menunjukkan bahwa, atsar-atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari makna "wajibnya mengamalkan hadits-hadits tersebut".[4]

Kesimpulan; berdasarkan uraian di atas jelaslah sudah bahwa hadits ahad tidak absah dijadikan hujjah untuk mengitsbat perkara-perkara 'aqidah. Pasalnya, hadits ahad hanya berfaedah kepada dzann belaka, dan sama sekali tidak berfaedah kepada ilmu yaqin. Bagaimana bisa dinyatakan bahwa hadits ahad bisa mengitsbat perkara 'aqidah yang mengharuskan adanya ilmu yaqin, sedangkan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yaqin (kepastian)? Inilah pendapat benar yang dipegang oleh mayoritas ulama dari kalangan shahabat, tabi'un, dan tabi'ut tabi'iin dari hampir seluruh disiplin ilmu.

Sebagian orang menyatakan,"Jika hadits ahad tidak boleh (haram) dijadikan dalil untuk menetapkan perkara 'aqidah, tentunya hal ini akan berakibat ditolaknya khabar-khabar ahad yang berbicara tentang masalah-masalah keyakinan; dan juga akan menelantarkan ribuan hadits ahad?

Jawab atas pernyataan tersebut adalah, "Hadits-hadits ahad shahih, baik yang berbicara tentang keyakinan maupun amal, wajib untuk diterima, dan tidak boleh ditolak. Hanya saja, masalah-masalah "keyakinan" yang dijelaskan dalam hadits-hadits ahad harus dibenarkan (dzann), karena sisi kebenarannya lebih kuat dibandingkan sisi kesalahannya. Hanya saja, perkara-perkara keyakinan yang terkandung di dalam hadits-hadits ahad (dalil dzanniy) tersebut tidak boleh ditetapkan sebagai bagian dari 'aqidah Islamiyyah. Pasalnya, suatu perkara barulah absah ditetapkan sebagai bagian dari 'aqidah Islamiyyah, jika perkara tersebut ditetapkan oleh dalil-dalil qath'iy, baik tsubut maupun dilalahnya (sebagaimana telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya)".

Perhatikan penjelasan Al-Hafidz As Suyuthiy Asy Syafi'iy rahimahullah dalam Kitab Al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran:
لا خلاف أن كل ما هو من القرآن يجب أن يكون متواترا في أصله وأجزائه وأما في محله ووضعه وترتيبه، فكذلك عند محققي أهل السنة للقطع بأن العادة تقضي بالتواتر في تفاصيل مثله لأن هذا المعجز العظيم الذي هو أصل الدين القويم والصراط المستقيم مما تتوفر الدواعي على نقل جمله وتفاصيله. فما نقل آحادا ولم يتواتر يقطع بأنه ليس من القرآن قطعا .

“Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan urut-urutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“[ Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79.

Demikianlah, anda telah kami jelaskan secara jernih dan mendalam kedudukan hadits ahad dalam itsbat 'aqidah Islaamiyyah. Kesimpulannya, berdasarkan penjelasan para ulama mu'tabar dapatlah disimpulkan bahwasanya hadits ahad shahih tidak boleh dijadikan dalil untuk mengitsbat perkara-perkara 'aqidah. Pasalnya, hadits ahad tidak berfaedah apapun kecuali sekedar dzann belaka. Sedangkan dzann tidak absah digunakan untuk mengitsbat perkara-perkara yang membutuhkan ilmu yaqin. Inilah pendapat rajih yang dipegang oleh mayoritas ulama dari kalangan shahabat, tabi'un, dan tabi'ut tabi'iin, dari berbagai disiplin ilmu.

Perhatikan penjelasan sharih, Imam An Nawawiy dalam Muqaddimah Syarah Shahih Muslim:
وَأَمَّا خَبَر الْوَاحِد : فَهُوَ مَا لَمْ يُوجَد فِيهِ شُرُوطُ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاء كَانَ الرَّاوِي لَهُ وَاحِدًا أَوْ أَكْثَرَ . وَاخْتُلِفَ فِي حُكْمِهِ ؛ فَاَلَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِير الْمُسْلِمِينَ مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ : أَنَّ خَبَر الْوَاحِد الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا ، وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ ، وَأَنَّ وُجُوب الْعَمَل بِهِ عَرَفْنَاهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ... وَذَهَبَ بَعْضُ الْمُحَدِّثِينَ إِلَى أَنَّ الْآحَادَ الَّتِي فِي صَحِيح الْبُخَارِيّ أَوْ صَحِيح مُسْلِم تُفِيدُ الْعِلْمَ دُونَ غَيْرِهَا مِنْ الْآحَاد . وَقَدْ قَدَّمْنَا هَذَا الْقَوْل وَإِبْطَاله فِي الْفُصُول وَهَذِهِ الْأَقَاوِيل كُلّهَا سِوَى قَوْلِ الْجُمْهُور بَاطِلَةٌ ، وَإِبْطَالُ مَنْ قَالَ لَا حُجَّةَ فِيهِ ظَاهِرٌ ْ .. وَأَمَّا مَنْ قَالَ يُوجِبُ الْعِلْمَ : فَهُوَ مُكَابِرٌ لِلْحَسَنِ . وَكَيْفَ يَحْصُلُ الْعِلْمُ وَاحْتِمَالُ الْغَلَطِ وَالْوَهْمِ وَالْكَذِبِ وَغَيْرِ ذَلِكَ ، مُتَطَرِّقٌ إِلَيْهِ ؟ وَاَللَّه أَعْلَمُ .

"Adapun khabar ahad, ia adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, sama saja apakah karena perawinya satu atau lebih. Masih diperselisihkan hukum hadits ahad. Pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi'iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para shahabat dan tabi'un adalah: khabar ahad (hadits ahad) yang tsiqqah adalah hujjah syar'iy yang wajib diamalkan, dan khabar ahad hanya menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Wajibnya mengamalkan hadits ahad, kita ketahui berdasarkan syariat, bukan karena akal....Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits-hadits ahad yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim menghasilkan ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadits-hadits ahad lainnya. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan kesalahan pendapat ini secara rinci. Semua pendapat selain pendapat jumhur adalah bathil. Kebathilan orang yang berpendapat tanpa hujjah dalam masalah ini telah tampak jelas....Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya orang itu terlalu berbaik sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu), sedangkan hadits ahad masih mungkin mengandung ghalath, wahm, dan kadzb? Wallahu a'lam bish shawab". [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim]

Inilah penjelasan Imam al-Jalil al-Nawawiy, seorang ulama pilihan dari madzhab Asy Syafi'iy. Setelah penjelasan ini, terungkap sudah, mana yang berjalan di atas jalan lurus dan rajih, dan mana yang menebar kedustaan dan fitnah.

[1] Maksudnya hadits ahad tidak bisa digunakan hujjah untuk menetapkan perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan dan ilmu. Hadits ahad yang adil wajib diamalkan dalam perkara-perkara syariat, bukan dalam perkara aqidah.

[2] Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang bisa menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran yang dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya. Prasangka kuat ini muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut. Keadaan ini sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang arah kiblat. Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat yang dipilihnya. Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin (keyakinan yang pasti). Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin (keyakinan hati). Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan ketentraman hati.

[3] Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling kontradiksi, benar atau dusta. Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah satunya, apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat. Akibatnya, seseorang tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya. Atas dasar itu, berita orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati karena kefasikan orang yang membawa berita itu.

[4] Imam Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1, hal. 329-330. Dari keterangan beliau ini dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang bertutur tentang ketetapan akherat, seperti siksa kubur, melihat Allah, dan lain sebagainya adalah hadits ahad, dan tidak menghasilkan ilmu dlaruriy. Apabila menyakini dan qana'ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil. Hanya saja, menurut Imam Sarakhsiy, aqidah harus disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy, tidak cukup dengan dalil-dalil masyhur yang hanya menghasilkan ketentraman hati ('ilmu tuma'ninah).

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.