Header Ads

Keberadaan Ahmadiyah Cikeusik Sejak 1996

Kitab Ahmadiyah yang terbakar
Keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, diperkirakan sejak tahun 1996. Hal ini dikatakan seorang tokoh Islam Cikeusik, H. Kadi Ibrahim, kepada hidayatullah.com dari Cikeusik.

“Keberadaan Ahmadiyah di sini (Cikeusik) sejak tahun 1996,” kata Kadi, panggilan Kadi Ibrahim. Mantan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cikeusik ini merupakan salah satuh tokoh Islam di tempat ini.

Menurut Kadi, tahun 1996, ada 160 orang anggota Ahmadiyah di Cikeusik. Lalu oleh masyarakat, mereka diusir. Suparman, pimpinan Ahmadiyah Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik Kabupaten Pandeglang, kala itu masih baru lulus tsanawiyah. Masih menurut kadi, ia (Suparman) merupakan warga asli Cikeusik yang sering mondar-mandir ke Jakarta.

”Dia juga sering ke luar negeri. Pendidikan terakhirnya S2,” jelasnya.

Sejak hadirnya Ahmadiyah di Cikeusik, warga sudah berkali-kali menyampaikan penolakan kepada pemerintah kecamatan setempat. Keresahan warga memuncak saat Suparman bersama beberapa keluarganya, mulai menampilkan sikap berbeda dalam hal beribadah sejak Ramadhan tahun lalu.

Shalat-shalat fardhu ia laksanakan sendiri di dalam rumahnya, termasuk shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri, ujar Kadi.

”Bahkan Suparman mulai mengajak warga lain untuk bergabung,” papar Kadi.

Haji KadiUntuk mencari jalan keluar, lanjut Kadi, maka digelarlah musyawarah antara Majelis Ulama Indonesia (MUI), musyawarah pimpinan kecamatan (Muspika), dan pihak Suparman.

Menurut KH Amir, Ketua MUI Cikeusik, musyawarah itu digelar hingga empat kali.

”Kami sudah melakukan perundingan sebanyak empat kali dengan Suparman,” kata KH Amir saat ditemui hidayatullah.com di rumahnya.

Dalam perundingan itu, pihak MUI dan Muspika mengingatkan Suparman dan keluarganya yang menganut Ahmadiyah agar kembali kepada Islam yang sebernarnya. Atau jika tidak, Suparman harus meninggalkan Kampung Peundeuy di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Namun, Suparman selalu menolak untuk meninggalkan Ahmadiyah, apalagi sampai meninggalkan kampung yang juga tanah kelahirannya ini. Menurut satu sumber, dalam perundingan itu, Suparman sempat melontarkan tantangan. “Saya bersedia pergi, tapi harus bayar dulu kekayaan saya yang ada ini senilai satu milyar.”

KH Amir yang juga tetangga dekat dan hanya beda tiga rumah dengan Suparman, mengatakan, ia pernah datang ke rumah Suparman untuk mengingatkan agar meninggalkan Ahmadiyah. Tapi, Suparman malah beralasan.

“Kalau saya lepaskan Ahmadiyah, siapa yang nanti akan menggaji saya sebesar ini,” ujar KH Amir menirukan Suparman.

Penasaran dengan ucapan Suparman, Kiai Amir berusaha menelisik. “Memang kamu digaji berapa?” tanya Kiai Amir. “Sepuluh juta,” jawab Suparman kepada Kiai Amir. (hidayatullah)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.