Header Ads

Politik Industri Migas Perspektif Syariah

Oleh: Hidayatulah Muttaqin, SE, MSI

Pendahuluan

Kebijakan pembatasan subsidi BBM merupakan bentuk lain dari kebijakan pencabutan subsidi. Tujuannya dalam rangka menciptakan liberalisasi sektor migas Indonesia. Liberalisasi sektor migas artinya menyerahkan sektor hulu dan hilir migas dari tangan negara kepada mekanisme pasar. Dengan demikian liberalisasi dapat dimaknai sebagai privatisasi atau swastanisasi sektor migas Indonesia.

Bagi rezim neoliberal, subsidi merupakan ”musuh negara”. Karena itu subsidi harus dihapuskan agar pelayanan negara pada investor di sektor migas menjadi optimal. Hanya saja resistensi kuat masyarakat sebagai korban kebijakan membuat pemerintah harus menggunakan strategi pencabutan subsidi yang lebih ”lembut”.

Kebijakan pencabutan subsidi dan liberalisasi sektor migas mengukuhkan negara yang tidak memiliki empati terhadap rakyat yang hidupnya semakin terhimpit. Negara juga seperti tidak mampu ”mengidera” bahwasanya sektor migas merupakan sektor yang sangat strategis.

Migas Industri Milik Umum

Dalam HR at-Tirmidzi, Abyadh bin Hammal penah meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola tambang garam. Rasulullah SAW sebagai kepala negara dan pemerintahan memberikan tambang tersebut kepada Abyadh. Kemudian ada seseorang yang memberitahukan kepada Rasulullah SAW bahwa yang diberikan kepada Abyad bin Hammal adalah seperti air yang mengalir (jumlahnya tidak terbatas). Mengetahui hal tersebut, Rasulullah SAW pun bersabda, ”Kalau begitu, cabut kembali barang tambang tersebut darinya.”

Berdasarkan HR at-Tirmidzi ini, tambang minyak dan gas bumi –yang dalam ukuran individu jumlahnya tidak terbatas– penguasaannya oleh swasta dan investor asing hukumnya haram. Sebab sektor hulu migas ini termasuk harta milik umum (milkiyyah ammah).

Sedangkan di sektor hilir migas, keberadaan fasilitas kilang minyak (refinery) untuk mengolah BBM dan infrasruktur pendistribusiannya adalah fasilitas umum yang juga menjadi harta milik umum. Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api” (HR Abu Dawud). Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan tiga benda dalam hadist tersebut dilihat dari ’illat-nya bahwa ketiganya dibutuhkan masyarakat sebagai fasilitas umum. Karakteritik fasilitas umum adalah jika tidak tersedia mengakibatkan sengketa untuk mendapatkannya (Sistem Ekonomi Islam: 2005). Dengan demikian secara keseluruhan industri migas termasuk harta milik umum.

Peran negara terhadap industri migas juga bukan sebagai pemilik melainkan pengelola. Negara berkewajiban menemukan dan mengeksploitasi ladang migas. Negara juga harus membangun kilang minyak dan infrastruktur pendistribusian BBM. Kewajiban ini tidak boleh diserahkan pada investor. Pengelolaan industri migas merupakan bentuk ri’ayah negara terhadap umat sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).

Migas Industri Strategis

Migas merupakan industri yang sangat strategis. Sebab migas masih menjadi sumber energi utama dunia. Menurut International Energy Agency (IEA) dalam Key World Energy Statistic 2010, lebih dari separuh tingkat konsumsi energi dunia pada tahun 2008 berasal dari migas dengan share 68,7% (lihat grafik di samping). Adapun konsumsi minyak atau BBM mencapai 48,7%. Posisi ini tidak jauh berubah dibandingkan tahun 1973 di mana share konsumsi global sebagai energi final untuk migas mencapai 74,6%.

Amerika Serikat merupakan konsumen minyak terbesar meski juga produsen nomer 3 dunia dengan kapasitas produksi 9 juta barel per hari. Tahun 2010 konsumsi minyak AS mencapai 19,1 juta barel per hari atau 22% dari konsumsi global yang setiap harinya memerlukan 86,7 juta barel (US Energy Information Administration, Short-Term Energy Outlook February 2011).

Tingkat konsumsi minyak AS ini mengalahkan jumlah konsumsi China, Jepang, India, dan Rusia yang mencapai 18,3 juta barel per hari. Sedangkan tingkat konsumsi perkapita AS lebih dari 10 liter per hari. Bandingkan dengan konsumsi perkapita Indonesia yang hanya 0,77 liter per hari dimana rakyatnya selalu ”dihantui” pencabutan subsidi dan kenaikan harga BBM.

Masih tingginya peranan migas sebagai sumber utama energi dunia menempatkan industri migas sangat strategis dari sisi keamanan nasional. Tanpa pasokan migas yang memadai dan ketersediaan infrastrukturnya, sebuah negara dapat goncang baik dari sisi ekonomi, industri, pelayanan publik, transportasi, militer, pangan, dan sosial. Karena itu negara-negara ideologis yang memahami letak strategis industri migas berupaya mengamankan sektor migasnya, tidak terkecuali AS.

AS berupaya menguasai ladang-ladang migas dunia dengan menancapkan imperialisme ekonomi di berbagai negara yang memiliki cadangan migas. Jika ada negara yang menghalangi kepentingan AS, senjatalah yang akan ”bicara” sebagaimana invasi AS di Afghanistan dan Irak. Termasuk pemisahan Sudan Selatan melalui referendum baru-baru ini adalah bagian dari strategi AS untuk menguasai sumber daya alam dan cadangan migas.

Sangat strategisnya industri migas bagi keamanan nasional AS nampak dari kasus penolakan pemerintah AS terhadap tawaran akuisisi BUMN China CNOOC terhadap Unocal yang tidak lain hanyalah perusahaan swasta saja. Seorang politisi AS Byron Dorgan mengatakan, ”Unocal berada di AS dan telah menghasilkan 1,75 miliar barrel minyak. Sangat bodoh bila perusahaan ini menjadi milik asing” (Republika, 18/7/2005),

Kasus ini merupakan pelajaran, bahwasanya AS yang memaksakan liberalisasi ekonomi ke seluruh dunia ternyata tanpa malu ”menjilat ludahnya sendiri”. Ini adalah bukti bahwa liberalisasi merupakan bagian dari strategi politik imperialis AS.

Politik Industri Migas

Dalam perspektif syariah, politik industri migas menempatkan negara sebagai regulator sekaligus pelaku. Negara adalah pengelola industri migas sedangkan umat adalah pemegang hak miliknya. Ketika politik ini dijalankan maka sumber daya migas dan industri pengolahannya berada dalam kontrol negara.

Hal ini berbeda sekali dengan pemerintah Indonesia yang menerapkan liberalisasi sektor migas. Sebagai negara berpenduduk terbesar ke 4 dunia dengan hanya memiliki 0,3% dari cadangan minyak bumi dunia, pemerintah Indonesia menempatkan penguasaan sumber daya migas ke tangan para investor. Akibatnya untuk menaikkan tingkat produksi minyak nasional pemerintah sangat bergantung pada korporasi asing selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Untuk target produksi minyak rata-rata 970 ribu barel per hari tahun 2011, BUMN Pertamina EP hanya memegang peranan sekitar 13,61% atau sekitar 132 ribu barel per hari. Selebihnya adalah kontraktor asing dan swasta di mana korporasi AS Chevron ditargetkan berkontribusi sebesar 38,14% atau 370 ribu barel per hari (DetikFinance, 23/12/2010).

Konsekwensi penguasaan sumber daya migas oleh asing selain biaya pokok pengadaan BBM menjadi mahal juga produksinya bukan untuk kepentingan nasional. Padahal Indonesia defisit di sektor minyak. Pada tahun 2009, produksi minyak mentah Indonesia mencapai 826 ribu barel per hari sedangkan konsumsi BBM sebesar 1,187 juta barel per hari. Indonesia mengekspor rata-rata 250,4 ribu barel per hari sekaligus mengimpor 324,9 ribu barel per hari (OPEC, Annual Statistic Bulletin 2009).

Di sektor hilir migas, pemerintah Indonesia juga mempercayakan mekanisme pasar untuk menetapkan harga dan mendistribusikannya ke masyarakat. Maksud pemerintah dalam pembatasan subsidi adalah untuk memasukkan investor asing. Sulit bagi investor asing masuk ke bisnis BBM manakala SPBU-SPBU Pertamina masih menjual BBM di bawah harga pasar internasional. Dengan pembatasan subsidi, investor asing semakin siap menyerbu pasar BBM Indonesia.

Di Indonesia, perusahaan minyak Belanda Shell sudah berekspansi sejak pemerintahan SBY menaikkan harga BBM secara besar-besaran pada tahun 2005. Kini Shell telah memiliki 45 SPBU dari rencana pembangunan 500 SPBU selama 2007-2012. Selain Shell, Petronas juga telah membangun 18 SPBU di Indonesia. Sedangkan Total mentargetkan tahun ini dapat membangun 7 SPBU dari 8 SPBU yang sudah dimiliki (Kontan, 7/2/2011).

Permasalahan sektor migas di Indonesia semakin carut-marut manakala kapasitas pengilangan minyak (refinery) Indonesia sudah tidak memadai lagi. Untuk tahun 2009 kapasitas pengilangan minyak Indonesia hanya 1,050 juta barel per hari. Kapasitas ini masih di bawah kapasitas pengilangan minyak Singapura yang mencapai 1,344 juta barel per hari. Padahal Singapura tidak memiliki sumber daya minyak dan penduduknya hanya 4,7 juta jiwa. Lebih ironis lagi untuk penetapan harga BBM pemerintah Indonesia berpatokan pada harga BBM internasional di Singapura yaitu Mid Oil Platt’s Singapore atau MOPS (Lihat Peraturan Presiden Nomer 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Ecerean BBM Dalam Negeri pasal 1 ayat 4 dan 5).

Jika negara berani mengambil politik industri migas syariah, meski cadangan minyak nasional tidak sebesesar cadangan minyak negeri-negeri Islam lainnya di Timur Tengah maka pemerintah lebih mudah mengontrol industri migas untuk kepentingan nasional. Investasi migas memang mahal, namun pemerintah jangan terjebak pemahaman ekonomi Kapitalis bahwa negara dunia ketiga miskin modal. Pemahaman ini hanya menggiring negara lemah seperti Indonesia untuk berhutang atau pun mengundang investor asing dalam membangun industri migas.

Justru di balik perut bumi Indonesia itulah tersimpan kekayaan yang luar biasa yang menjadi incaran bangsa-bangsa penjajah. Menerapkan liberalisasi sektor migas sama saja membuang potensi pendapatan negara dari harta milik umum dan menciptakan jurang ketimpangan yang semakin lebar.

Pada tahun 2009, lima korporasi minyak utama dunia, yakni BP, ExxonMobil, Total, Shell, dan Chevron memiliki pendapatan kotor sebesar US$ 1,19 trilyun setara 2% nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dunia atau 220,21% PDB Indonesia. Keuntungan bersih lima korporasi ini mencapai US$ 68,018 milyar. Jumlah keuntungan bersih tersebut sebanding dengan 79,62% pendapatan negara dari nilai realisasi APBN-P 2009 (Sumber data: OPEC, World Bank, dan Departemen Keuangan).

Politik industri migas juga harus berada di bawah politik industri yang bertujuan menjadikan negara sebagai negara industri. Satu-satunya jalan untuk menjadi negara industri adalah menciptakan industri yang menjadi basis seluruh industri. Industri ini adalah industri yang menghasilkan industri alat-alat dan mesin (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).

Terkait industri migas, politik industri mendorong negara memiliki kemampuan menghasilkan peralatan, mesin, dan teknologi yang diperlukan untuk eksplorasi migas, lifting, dan refinery. Kemandirian ini akan membuat biaya investasi menjadi lebih efisien. Pengembangan teknologi dan industri migas selanjutnya akan menghasilkan industri turunan. Misalnya aspal, lilin, plastik, pupuk, keramik, minyak pelumas, dan lain sebagainya.

Politik industri migas juga harus mengikuti politik luar negeri negara Islam. AS bersama para sekutunya memusuhi Islam dan melakukan pendudukan atas negeri-negeri Islam. Statusnya adalah kafir harbi fi’lan.

Industri migas dapat dijadikan senjata untuk melawan negara-negara penjajah. Apalagi sebagian besar cadangan minyak dunia ada di negeri-negeri Islam seperti di Timur Tengah yang menyimpan defosit minyak sebesar 56,24% dari 1.337,2 trilyun barel cadangan minyak dunia (OPEC, Annual Statistic Bulletin 2009). Melalui embargo minyak, perekonomian AS dapat dilumpuhkan dengan cepat apalagi dengan penghapusan dolar sebagai alat pembayaran transaksi minyak.

Penutup

Dari uraian ini jelaslah di mana letak strategisnya industri migas serta bagaimana politik industri strategis ini dijalankan untuk menjadikan negeri Islam kuat dan mandiri. Tidak boleh negara membahayakan umat sebagaimana program liberalisasi oleh rezim neoliberal yang notabene bagian dari strategi imperialisme Barat. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan” (HR Ahmad & Ibn Majah).

Untuk mencapai tujuan ini, maka satu-satunya jalan adalah membebaskan Indonesia dari cengkraman penjajahan dan menerapkan syariah Islam sebagai solusi untuk negeri kita dalam bingkai sistem Khilafah. Sistem ini tidak hanya akan membuat Indonesia kuat tetapi juga terintegrasi dengan seluruh negeri Islam sehingga cadangan minyak kita pun akan lebih besar lagi. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS]

Hidayatullah Muttaqin adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Ekonomi dan Study Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.