Header Ads

Konsep Tuhan dalam Islam : Final dan Otentik

Oleh: Kusnady Ar-Razi

Gelombang modernisme peradaban Barat yang begitu massif telah menyeret umat dalam arus syirik kontemporer. Melalui paham liberalisme yang berakar pada konsep relativisme, sebagian orang telah gemar melakukan penelaahan ulang terhadap konsep-konsep yang fundamental dalam agama Islam. Kemudian membentuk arus baru dengan apa yang disebut sebagai pluralisme agama yang tak lebih adalah paham syirik berwajah modern dan berlagak ilmiah. salah satu ‘penyakit’ yang disebar melalui paham ini adalah konsep mengenai Tuhan. John Hick misalnya, menggagas konsep “The Eternal One”, yaitu Tuhan yang menjadi tujuan semua agama. Apa pun jalannya,tujuannya tetap satu. Begitulah John Hick berpandangan. Jadi tak masalah Anda beragama apa karena semuanya benar.

Di Indonesia tren ini diperkuat oleh Anand Krishna yang mengatakan, “Jalan bisa berbeda. Jelas berbeda. Orang Iran ke Mekkah tidak harus lewat Indonesia. Orang Indonesia ke Mekkah tidak harus lewat Cina. Orang India ke Mekkah tidak harus lewat Amerika. Orang Mesir ke Mekkah tidak harus lewat Eropa. Orang Eropa ke Mekkah tidak harus lewat Australia. Jalan berbeda, jelas-jelas berbeda.Tetapi apabila kita menganggap tujuan pun berbeda, maka sesungguhnya kita musyrik. Justru kita yang menduakan Allah, menduakan Tuhan.”[1]

Kaum pluralis berpandangan bahwa agama adalah ekspresi budaya yang relatif sifatnya. Maka tak masalah menurut mereka jika umat Islam sesekali menyebut Tuhannya dengan Yahweh, God,Lord, atau Yesua. Toh muaranya tetap pada satu Tuhan. Sedangkan di kalangan penganut agama Kristen, terjadi perdebatan mengenai sebutan untuk Tuhan. Seperti kata “Yesus” diubah menjadi “Yesua” yang dilakukan oleh kelompok Kristen yang menyebut dirinya “Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh”.[2] Kelompok ini juga mengubah kata “Tuhan” menjadi “Yahwe”. Dalam agama Yahudi ada sebutan Lata, Uzza, Hubal, disamping sebutan untuk Allah sendiri. Gejala ‘spekulasi teologis’ semacam ini terjadi oleh sebab tak ada sumber yang otentik tentang kebenaran konsep dan nama Tuhan. Yang terjadi adalah dugaan-dugaan yang tak menghasilkan keyakinan sama sekali.

Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di dalam Al-Qur’an menandakan bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber dari Allah sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Dengan berdasar pada sumber yang otentik akan mencegah spekulasi akal. Konsep Tuhan dalam Islam juga menegaskan bahwa jalan menuju Tuhan hanya satu, yakni Islam. Jika tidak maka tak mungkin ada do’a, ihdinash shirathal mustaqim (Tunjukilah kami jalan yang lurus).

Konsep Tuhan dalam Islam telah memperlihatkan jalan yang berseberangan dengan konsep Tuhan dalam agama lain (Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dsb) maupun dengan konsep Tuhan dalam tren pluralisme agama. Kedua kalangan ini sama-sama menghadapi problem teologis. Kalangan non muslim membangun konsep Tuhan di atas landasan yang rapuh, sedangkan kalangan pluralis membangun doktrinnya di atas keraguan-raguan dengan meragukan kebenaran yang seharusnya diyakini.


Dia, Allah, Adalah Satu

Dia, Allah, adalah satu (Q.S. 112: 1).” Ayat ini merupakan bentuk penegasan bahwa konsep Tuhan dalam Islam adalah tauhidi sifatnya. Walaupun memiliki akar historis dan “nasab” yang sama dari agama Ibrahim a.s., tetap saja Yahudi dan Kristen memiliki konsep Tuhan yang bertolak belakang dengan Islam. Sebabnya karena kedua agama ini telah kehilangan sumber yang otentik dimana doktrin-doktrin yang fundamental seharusnya diambil. Teks-teks suci keduanya telah mengalami interpolasi sepanjang sejarah perkembangannya. Tak heran jika Kristen misalnya meramu sendiri konsep tentang Tuhan dalam Konsili Nicea pada tahun 325 M. Konsili ini digelar sebenarnya untuk menghantam kelompok pengikut Arius, -seorang Imam Alexandria-, yang mengajarkan bahwa Yesus bukanlah Allah sejati. Ia menyangkal keilahian Yesus. Maka kelompok ini dianggap sesat oleh kaum Katolik.

Konsep Tuhan ala Kristen inilah yang ditentang oleh Islam. Sayyid Muhammad Behesthi mengatakan, “Al-Qur’an dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa: tiada Tuhan selain Allah, titik. Konsep tauhid dalam Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak dinyatakan secara konsisten.”[3] Kekeliruan Yahudi dan Nasrani juga dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah: 18). Yang dimaksud dengan kalimat “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”, menurut Imam Ibnu Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s.[4]

Konsep Tuhan dalam Islam bersifat final dan otentik. Artinya tidak akan ada perubahan terhadap doktrin-doktrinnya yang fundamental. Dan juga otentik sebab berasal dari sumber yang tidak diragukan kebenarannya dan terbebas dari tahrif (perubahan).

Ketauhidan konsep Tuhan dalam Islam juga menjelaskan bahwa jalan menuju Allah hanya satu, yakni Islam. Tidak ada jalan lain. Jika mengakui jalan agama samawi lainnya yang telah diselewengkan, tak mungkin Ibnu Abbas, -seorang sahabat Nabi Saw yang juga ahli tafsir-, mengatakan: “Bagaimana mungkin kamu boleh bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu perkara, sedangkan Kitab kamu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw ini lebih baru. Bacalah ini saja, dan tidak perlu ditambah-tambah.”[5]

Sejak turunnya risalah Islam kepada Nabi Saw, maka semenjak itulah kebenaran agama-agama samawi lainnya dibatalkan oleh Islam. “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim). Begitulah sabda Nabi Saw bahwa satu-satunya jalan keselamatan bagi umat lain adalah mengimani risalah yang beliau bawa. Tak heran jika dalam sejarah tercatat beberapa kali Nabi Saw mengirim surat kepada para Raja dan Kisra dengan kalimat “Aslim taslam (masuk Islam lah maka engkau akan selamat).”

Jadi, pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan yang satu tanpa mengikuti metode dan cara yang dipersetujui-Nya, -sebagaimana keyakinan para pluralis-, dianggap salah dan sesat oleh Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mengingkari keesaan Allah adalah jelas merupakan kekafiran yang nyata, sebagaimana keyakinan agama-agama selain Islam. Konsep Tuhan dalam Islam memperinci metode yang benar untuk menyembahnya. Iblis saja yang mengakui akan keesaan Allah tetapi dia keluar dari ketaatan kepada Allah, dianggap ingkar dan dilaknat oleh Allah. Nah, jika demikian apa bedanya dengan orang yang mengakui Allah tetapi ingkar terhadap Islam dan mengakui kebenaran jalan lain selain Islam? Wallahu a’lam bi ash-showwab. []

[Penulis Majalah MiniIdeologis Re-ID]

Catatan:

[1] Adian Husaini dan Nuim Hidayat. 2002. Islam Liberal (Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya). Hlm. 83. GIP. Jakarta.
[2] Adian Husaini. Makalah: “Konsep Islam Sebagai Agama Wahyu”. http://www.insistnet.com/.
[3] Sayyid Muhammad Husayni Behesthi. 2002. Selangkah Menuju Allah. Hlm. 139. Pustaka Zahra. Jakarta.
[4] Hafidz Abdurrahman. 1998. Islam: Politik dan Spiritual. Hlm. 31. Penerbit Lisan Ul-Haq. Singapore
[5] Ibid

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.