PEMIMPIN FASIK : Sebab Kehancuran Sebuah Negeri
Oleh : Rokhmat S. Labib, M.E.I
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (TQS al-Isra' [17]:16).
Dalam sebuah masyarakat, kedudukan penguasa, pemimpin dan pembesar, amat strategis. Jumlah mereka tidak banyak, tetapi kedudukan mereka amat strategis. Sikap dan tindakan mereka memberikan pengaruh amat besar bagi corak dan warna masyarakat. Bahkan, merekalah yang menjadi penentunya. Jika mereka taat syariah dan bersedia mengadopsinya dalam kehidupan bernegara, tentu kebaikan akan dirasakan semua penduduknya. Sebaliknya, jika mereka membangkang dan menolak penerapan syariah, maka syariah pun terabaikan. Terlebih jika seluruh yang lainnya juga tidak peduli. Tatkala itu terjadi, datangnya azab Allah SWT hanya soal waktu. Inilah gambaran yang dapat dipahami dari ayat di atas.
Perintah Taat kepada Para Pemimpin
Allah SWT berfirman: Wa idzaa aradnaa an nuhlika qaryah (dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri). Dijelaskan al-Nasafi, pengertian al-qaryah di sini adalah ahlal-qaryah (penduduk negeri). Menurut al-Raghib al-Asfahani, kata al-qaryah berarti tempat berkumpulnya manusia. Bisa juga menunjuk kepada penduduknya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Inilah pengertian qaryah dalam beberapa ayat, seperti QS Yusuf [12]: 82, al-Nahl [16]: 112, Muhammad [47]: 13, dan Hud [11]:117.
Ayat ini masih kelanjutan masih dari ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa Allah SWT tidak akan menimpakan azab pada suatu kaum hingga mengutus seorang rasul. Ini bisa dipahami dengan mafhuum al-mukhaalafah, ketika telah diutus seorang rasul kepada mereka, kemudian mereka mengingkari dan melanggarnya, maka mereka berhak mendapatkan azab. Ayat ini menegaskan kesimpulan tersebut. Untuk menimpakan azab suatu qaryah (negeri), Allah SWT menetapkan sebuah ketentuan yang diberlakukan.
Ketentuan tersebut dijelaskan dalam frase berikutnya: amarnaa mutrafiihaa (maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menaati Allah]). Kata mutraf berasal dari kata al-taraf atau al-turfah. Menurut Ibnu Munzhir, al-taraf berarti al-tana’um (hidup mewah dan bersenang-senang); dan al-turafah berarti al-na'mah (kemewahan, kesenangan hidup). Sedangkan kata mutraf menunjuk kepada orang yang menyombongkan kemewahan dan kelapangan hidupnya serta menyelewengkan kemewahannya. Dalam beberapa ayat memang disebutkan mengenai kesombongan kaum mutrafin ini. Di antaranya adalah firman Allah SWT: Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan mutrafaaha (orang-orang yang hidup mewah di negeri itu) berkata, "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya" Dan mereka berkata, "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab (TQS Saba' [34]:34-35).
Pengertian ini pula yang diambil sebagian mufassir dalam menafsirkan pengertian mutrafin dalam ayat ini. Al-Baghawi menafsirkannya sebagai orang-orang yang hidup mewah dan kaya. Al-Jazairi juga menuturkan bahwa mutrafin adalah orang-orang yang hidup mewah dari kalangan orang-orang kaya dan para pemimpin. Sedangkan mufassir lainnya menafsirkannya sebagai para pemegang kekuatan dan kekuasaan. Di dalam tafsir tafsir al-Jalaalayn disebutkan bahwa mutrafiihaa bermakna ruasaa'haa (para pemimpinnnya). Bahkan menurut al-Syaukani, para mufassir menafsirkannya sebagai aljabbaaruun al-mutasallithuun wa al muluuk al-jaairuun (tiran yang berkuasa dan raja yang zhalim).
Dijelaskan al-Alusi, dikhususkannya penyebutan hanya mereka (yakni mutrafin), padahal perintah itu sesungguhnya ditujukan kepada semuanya disebabkan karena mereka adalah para pemimpin dalam kefasikan dan kesesatan. Sementara selain mereka adalah para pengikut mereka. Pendapat senada juga dikemukakan al-Qurthubi dan al Biqa'i. Di samping itu, menurut al Biqa'i, mereka adalah orang yang paling wajib bersyukur dan berhak mendapatkan hukuman.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan mereka. Hanya saja tidak disebutkan perkara apa yang diperintahkan itu. Menurut sebagian besar mufassir, perkara yang diperitahkan adalah ketaatan dan kebaikan. Artinya, mereka diperintahkan untuk mengimani dan menaati rasul dan risalah yang dibawanya. Sebab, Allah SWT tidak pernah memerintahkan perbuatan keji. Allah SWT berfirman:
Katakanlah, "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji."(TQS al-A'raf [7]:28).
Membangkang, Berhak Ditimpa Azab
Bahwa perkara yang diperintahkan adalah keimanan dan ketaatan juga dapat dipahami dari lafadz berikutnya, yakni: fafasaquu fiihaa (tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu). Pengertian al-fisq adalah al-'ishyaan wa al-tark li amril-Laah wa al-khuraaj 'an thariq al-haqq (membangkang dan meninggalkan perintah Allah SWT dan keluar dari jalan kebenaran). Karena demikian pengertian al-fisq, maka perkara yang diperintahkan tentu berbeda dengan kefasikannya. Mengenai frase ini, Ibnu Jarir al-Thabari menuturkan: Lalu mereka menyimpang dari perintah Allah dan keluar dari ketaatan kepada-Nya. Penjelasan senada juga dikemukakan al Jazairi, bahwa Allah telah memerintahkan mereka untuk menaati-Nya dengan menegakkan syara', menunaikan semua fardhu dan sunnah-sunnah, dan men¬jauhi perbuatan dosa-dosa besar dan keji. Akan tetapi, mereka tidak memenuhi perintah dan larangan itu.
Ketika sikap itu yang dilakukan, maka: fahaqq’alayhaa al-qawl (maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan [ketentuan Kami]). Kata fahaqqa berarti wajaba wujuub[an] laa syakka fi wuquu'ihi (menjadi keharusan yang tidak ada keraguan bagi jatuhnya). Sedangkan alayhaa al qawl adalah ancaman Allah SWT yang telah disampaikan melalui lisan Rasul terhadap orang-orang yang melakukan kefasikan secara langsung dan orang-orang yang mendiamkannya sesuai dengan tingkat pengakuan mereka. Demikian penjelasan al-Biqa'i. Itu artinya, ketika di sebuah negeri ada penyimpangan yang dilakukan sebagian orang, sementara yang lainnya mendiamkan dan tidak mencegahnya, maka mereka secara keseluruhan berhak mendapatkan azab dari-Nya. Ketentuan ini juga ditegaskan Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah 'azza wajalla tidak mengazab manusia secara umum hanya karena perbuatan dosa segelintir orang, sehingga mereka melihat kemungkaran dan mereka pun mampu untuk mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka telah melakukan hal itu, maka Allah akan menyiksa segelintir orang itu dan juga manusia secara menyeluruh."(HR Ahmad).
Kemudian disebutkan: fadammarnaahaa tadmir[an] (kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya). Ancaman Allah SWT yang telah banyak disampaikan kepada pembangkang dan pelanggar syariah-Nya itu pun diwujudkan menjadi kenyataan. Negeri beserta penghuninya itu dihancurkan dengan sehancur-hancurnya. Hal ini juga ditegaskan dalam firman-Nya: Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (TQS al-An'am [6]: 44).
Allah SWT telah menurunkan Islam sebagai sistem sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun saat ini hanya sebagian kecil yang dilaksanakan dalam kehidupan. Penyebab utamanya, para pemegang kekuasan dan pemilik kekuatan (militer, politik, dan ekonomi) banyak yang menolak penerapan syariah secara total. Kondisi ini. tentu harus segera diakhiri. Tidak boleh terus didiamkan. Bergerak dan berjuang untuk mengubah keadaan agar totalitas Islam dapat diterapkan dalam kehidupan menjadi keharusan. Hanya itu pilihannya jika kita tidak mau ditimpa dengan azab besar. Masih ada yang ragu? Wal-Laah a’lam bi al-shawaab.
وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Dalam sebuah masyarakat, kedudukan penguasa, pemimpin dan pembesar, amat strategis. Jumlah mereka tidak banyak, tetapi kedudukan mereka amat strategis. Sikap dan tindakan mereka memberikan pengaruh amat besar bagi corak dan warna masyarakat. Bahkan, merekalah yang menjadi penentunya. Jika mereka taat syariah dan bersedia mengadopsinya dalam kehidupan bernegara, tentu kebaikan akan dirasakan semua penduduknya. Sebaliknya, jika mereka membangkang dan menolak penerapan syariah, maka syariah pun terabaikan. Terlebih jika seluruh yang lainnya juga tidak peduli. Tatkala itu terjadi, datangnya azab Allah SWT hanya soal waktu. Inilah gambaran yang dapat dipahami dari ayat di atas.
Perintah Taat kepada Para Pemimpin
Allah SWT berfirman: Wa idzaa aradnaa an nuhlika qaryah (dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri). Dijelaskan al-Nasafi, pengertian al-qaryah di sini adalah ahlal-qaryah (penduduk negeri). Menurut al-Raghib al-Asfahani, kata al-qaryah berarti tempat berkumpulnya manusia. Bisa juga menunjuk kepada penduduknya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Inilah pengertian qaryah dalam beberapa ayat, seperti QS Yusuf [12]: 82, al-Nahl [16]: 112, Muhammad [47]: 13, dan Hud [11]:117.
Ayat ini masih kelanjutan masih dari ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa Allah SWT tidak akan menimpakan azab pada suatu kaum hingga mengutus seorang rasul. Ini bisa dipahami dengan mafhuum al-mukhaalafah, ketika telah diutus seorang rasul kepada mereka, kemudian mereka mengingkari dan melanggarnya, maka mereka berhak mendapatkan azab. Ayat ini menegaskan kesimpulan tersebut. Untuk menimpakan azab suatu qaryah (negeri), Allah SWT menetapkan sebuah ketentuan yang diberlakukan.
Ketentuan tersebut dijelaskan dalam frase berikutnya: amarnaa mutrafiihaa (maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menaati Allah]). Kata mutraf berasal dari kata al-taraf atau al-turfah. Menurut Ibnu Munzhir, al-taraf berarti al-tana’um (hidup mewah dan bersenang-senang); dan al-turafah berarti al-na'mah (kemewahan, kesenangan hidup). Sedangkan kata mutraf menunjuk kepada orang yang menyombongkan kemewahan dan kelapangan hidupnya serta menyelewengkan kemewahannya. Dalam beberapa ayat memang disebutkan mengenai kesombongan kaum mutrafin ini. Di antaranya adalah firman Allah SWT: Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan mutrafaaha (orang-orang yang hidup mewah di negeri itu) berkata, "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya" Dan mereka berkata, "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab (TQS Saba' [34]:34-35).
Pengertian ini pula yang diambil sebagian mufassir dalam menafsirkan pengertian mutrafin dalam ayat ini. Al-Baghawi menafsirkannya sebagai orang-orang yang hidup mewah dan kaya. Al-Jazairi juga menuturkan bahwa mutrafin adalah orang-orang yang hidup mewah dari kalangan orang-orang kaya dan para pemimpin. Sedangkan mufassir lainnya menafsirkannya sebagai para pemegang kekuatan dan kekuasaan. Di dalam tafsir tafsir al-Jalaalayn disebutkan bahwa mutrafiihaa bermakna ruasaa'haa (para pemimpinnnya). Bahkan menurut al-Syaukani, para mufassir menafsirkannya sebagai aljabbaaruun al-mutasallithuun wa al muluuk al-jaairuun (tiran yang berkuasa dan raja yang zhalim).
Dijelaskan al-Alusi, dikhususkannya penyebutan hanya mereka (yakni mutrafin), padahal perintah itu sesungguhnya ditujukan kepada semuanya disebabkan karena mereka adalah para pemimpin dalam kefasikan dan kesesatan. Sementara selain mereka adalah para pengikut mereka. Pendapat senada juga dikemukakan al-Qurthubi dan al Biqa'i. Di samping itu, menurut al Biqa'i, mereka adalah orang yang paling wajib bersyukur dan berhak mendapatkan hukuman.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan mereka. Hanya saja tidak disebutkan perkara apa yang diperintahkan itu. Menurut sebagian besar mufassir, perkara yang diperitahkan adalah ketaatan dan kebaikan. Artinya, mereka diperintahkan untuk mengimani dan menaati rasul dan risalah yang dibawanya. Sebab, Allah SWT tidak pernah memerintahkan perbuatan keji. Allah SWT berfirman:
Katakanlah, "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji."(TQS al-A'raf [7]:28).
Membangkang, Berhak Ditimpa Azab
Bahwa perkara yang diperintahkan adalah keimanan dan ketaatan juga dapat dipahami dari lafadz berikutnya, yakni: fafasaquu fiihaa (tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu). Pengertian al-fisq adalah al-'ishyaan wa al-tark li amril-Laah wa al-khuraaj 'an thariq al-haqq (membangkang dan meninggalkan perintah Allah SWT dan keluar dari jalan kebenaran). Karena demikian pengertian al-fisq, maka perkara yang diperintahkan tentu berbeda dengan kefasikannya. Mengenai frase ini, Ibnu Jarir al-Thabari menuturkan: Lalu mereka menyimpang dari perintah Allah dan keluar dari ketaatan kepada-Nya. Penjelasan senada juga dikemukakan al Jazairi, bahwa Allah telah memerintahkan mereka untuk menaati-Nya dengan menegakkan syara', menunaikan semua fardhu dan sunnah-sunnah, dan men¬jauhi perbuatan dosa-dosa besar dan keji. Akan tetapi, mereka tidak memenuhi perintah dan larangan itu.
Ketika sikap itu yang dilakukan, maka: fahaqq’alayhaa al-qawl (maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan [ketentuan Kami]). Kata fahaqqa berarti wajaba wujuub[an] laa syakka fi wuquu'ihi (menjadi keharusan yang tidak ada keraguan bagi jatuhnya). Sedangkan alayhaa al qawl adalah ancaman Allah SWT yang telah disampaikan melalui lisan Rasul terhadap orang-orang yang melakukan kefasikan secara langsung dan orang-orang yang mendiamkannya sesuai dengan tingkat pengakuan mereka. Demikian penjelasan al-Biqa'i. Itu artinya, ketika di sebuah negeri ada penyimpangan yang dilakukan sebagian orang, sementara yang lainnya mendiamkan dan tidak mencegahnya, maka mereka secara keseluruhan berhak mendapatkan azab dari-Nya. Ketentuan ini juga ditegaskan Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah 'azza wajalla tidak mengazab manusia secara umum hanya karena perbuatan dosa segelintir orang, sehingga mereka melihat kemungkaran dan mereka pun mampu untuk mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka telah melakukan hal itu, maka Allah akan menyiksa segelintir orang itu dan juga manusia secara menyeluruh."(HR Ahmad).
Kemudian disebutkan: fadammarnaahaa tadmir[an] (kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya). Ancaman Allah SWT yang telah banyak disampaikan kepada pembangkang dan pelanggar syariah-Nya itu pun diwujudkan menjadi kenyataan. Negeri beserta penghuninya itu dihancurkan dengan sehancur-hancurnya. Hal ini juga ditegaskan dalam firman-Nya: Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (TQS al-An'am [6]: 44).
Allah SWT telah menurunkan Islam sebagai sistem sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun saat ini hanya sebagian kecil yang dilaksanakan dalam kehidupan. Penyebab utamanya, para pemegang kekuasan dan pemilik kekuatan (militer, politik, dan ekonomi) banyak yang menolak penerapan syariah secara total. Kondisi ini. tentu harus segera diakhiri. Tidak boleh terus didiamkan. Bergerak dan berjuang untuk mengubah keadaan agar totalitas Islam dapat diterapkan dalam kehidupan menjadi keharusan. Hanya itu pilihannya jika kita tidak mau ditimpa dengan azab besar. Masih ada yang ragu? Wal-Laah a’lam bi al-shawaab.
Tidak ada komentar