Header Ads

Perang Terhadap Islam

Oleh : Humaidi

Munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen tak secara tiba-tiba. Wacana menghidupkan kembali UU Subversif yang sangat fenomenal di masa rezim Soeharto sempat terdengar sebelumnya. Bersamaan dengan itu diwacanakan pula perlunya pemberlakuan semacam ISA-nya Malaysia dan Singapura.

Mengapa? Banyak kejadian teror dan berbagai konflik sosial terjadi. Sementara pencegahannya selalu gagal. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto menyebut, hukum yang ada sangat lemah dibandingkan negara sahabat seperti Singapura dan Malaysia.

Ketika rapat kerja dengan Komisi I DPR Senin (4/4), teman SBY ini beralasan inilah yang menyebabkan institusi yang dipimpinnya tidak bisa bekerja secara optimal.- "Kalau kita diperkuat tentu kita dapat memberantas akar terorisme,"ujar Sutanto.

Penilaian yang sama dikemukakan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), Ansyaad Mbai. Menurutnya, Undang-Undang Intelijen sudah saatnya untuk dikuatkan agar apa yang menjadi harapan masyarakat dapat terwujud. "Hukum kita menyangkut penanganan terorisme masih terlalu lembek. Strategi kita penegakan hukum harus didukung kekuatan intelijen untuk bisa mencegah terorisme," kata Ansyaad.

Menurutnya, sebelum aksi teror terjadi seharusnya peran intelijen yang bertugas mencegah berjalan terlebih dahulu. Sedangkan untuk mencegah itu, undang-undang sebagai payung hukum belum cukup mendukung. "Buktinya setiap terjadi Noordin M Top ceramah di Malaysia langsung ditangkap. Di sana setiap dia ceramah menyebarkan kebencian, di sana langsung ditangkap oleh intelijen. Ditangkap dan ditahan," ujar Ansyaad.

Sutanto mengharapkan agar masyarakat tidak perlu khawatirakan peristiwa yang pernah terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Ia meyakinkan, pihaknya tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu."Tidak akan kembali ke sana (Orba). Langkah BIN tidak boleh bertabrakkan dengan UUD 1945,” tandas Sutanto.

Namun beberapa pihak tetap sangsi terhadap keinginan pemerintah tersebut. Adanya wewenang khusus untuk melakukan penangkapan, penanahan dan penyadapan telepon dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Intelijen mengindikasikan masih kuatnya paradigma Laksusda Kopkamtib (Pelaksana Khusus Daerah Komando Keamanan Ketertiban).

"Pemerintah ingin BIN diberi wewenang khusus seperti Laksusda Kopkamtib melakukan kegiatan intelijen pada warga negara sendiri," ujar anggota komisi I DPR RI Tjahjo Kumolo.

Ia menyebut, BIN belum siap menjadi intelijen kelas dunia yang modern dan canggih. Seken DPP PDIP ini menganggap BIN masih berkelas telik sandinya zaman dulu. "Belum optimalnya melakukan deteksi perilaku negara lain yang dengki dan mengancam NKRI”. Menurut Tjahjo, intelijen seharusnya terstruktur secara rapi. Ia melihat selama ini intelijen hanya melakukan pola operasional intelijen taktis semata dan gerakannya mempertemukan serta memblakab kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bisa saling berhadapan dengan remote control yang digerakkan.

Berbagai kalangan khawatir UU Intelijen itu nantinya hanya menjadi alat politik pemerintah untuk bertindak secara semena-mena dalam rangka membungkam lawan politik pemerintah. Apalagi, dalam RUU itu tertera dengan sangat jelas bahwa Intelijen adalah lembaga pemerintah, bukan lembaga negara.

Fokus Terorisme

Lahirnya RUU Intelijen tak bisa dilepaskan dari fenomena terorisme. Entah aksi terorisme itu rekayasa atau bukan, pemerintah menganggap UU Terorisme yang ada belum cukup sebagai payung hukum untuk menangani kasus tersebut. Keberadaan RUU Intelijen tersebut berperan menjadi penguat dan pendukung aturan UU terkait terorisme yang memang sudah ada yakni UU Nomor 15 Tahun 2003.

Terorisme yang semula hanya mengarah pada tindak kekerasan, akhir-akhir ini cakupannya diperluas dan digeneralisasi. Ansyaad Mbai dan Hendropriyono yang sering sekali dalam berbagai kesempatan menghubungkan antara terorisme dan upaya penegakan syariah Islam. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh simpatisan partai politik maupun masyarakat umum tak pernah dikatakan sebagai teror. Padahal korban dan dampaknya sama, bahkan jauh lebih besar.

Cukup berasalan bila ada yang menduga, RUU ini ditujukan secara khusus untuk mencegah bangkitnya Islam di Indonesia, paling tidak membendung arus Islamisasi atau yang sering disebut orang anti Islam sebagai radikalisasi. Melalui UU ini, gerakan Islam bisa diberangus atas nama stabilitas dan keamanan negara.

Menurut juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto, itu sangat mungkin dilakukan. Caranya pun mudah. "Bikin dulu opini bahwa pejuang syariah dan khilafah mengganggu atau mengancam keamanan nasional, karenanya mereka harus dianggap sebagai 'musuh dalam negeri'. Maka absahlah kalau mereka kemudian ditangkap. Canggih, kan?"katanya.

Ketua Lajnah Siasiyah DPP HTI Harist Abu Ulya meminta umat Islam mewaspadai upaya-upaya penguatan legal frame (regulasi) untuk dijadikan alat menggencet atau bahkan mengeliminasi Islam dan kaum Mus¬limin melalui bendera "War on terrorism" Mengapa? Sebab, sebagian pihak pemerintah suclah tidak lagi obyektif menyikapi persoalan terorisme di Indonesia. Ini sama persis dengan kejadian di zaman Orda Baru, Islam diang¬gap sebagai musuh negara dan disebut sebagai ekstrim kanan.

Akankah motif ini yang mendasari lahirnya RUU intelijen? Lihat saja!

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.