RUU Intelijen untuk Paman SAM atau rakyat?
Oleh: Mujiyanto
Setelah sempat tertunda beberapa kali, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen akhirnya masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Ini berarti RUU ini akan menjadi agenda DPR untuk membahas dan mengesahkannya.
Usulan adanya UU Intelijen ini muncul beberapa tahun lalu. Saat itu yang berinisiatif adalah pemerintah. Namun, tahun 2006, draft rancangan pemerintah itu menunai kontroversi dan ditolak oleh DPR.
Yang menarik, draft itu muncul kembali. Secara substansial, RUU inisiatif DPR ini tidak jauh berbeda dengan RUU yang pernah diajukan Badan Intelijen Negara (BIN). Bedanya, draft ini lebih lengkap karena telah disertai dengan kajian akademik.
Pasal-pasal dalam RUU tersebut mengindikasikan adanya keinginan yang kuat agar intelijen diberi kewenangan yang lebih luas. Inilah yang menimbulkan kekhawatiran yang luas di tengah masyarakat. Jangan-jangan Opsus (operasi khusus) di zaman Orde Baru akan lahir kembali dalam bentuk baru. Kekhawatiran itu cukup beralasan mengingat tindakan sewenang-wenang aparat intelijen saat itu menimbulkan banyak korban.
Lalu mengapa justru RUU yang seperti ini muncul dari inisiatif DPR? Apakah ini inisiatif DPR sendiri atau merupakan pesanan dari pihak intelijen, atau malah ini pesanan asing?
Selama ini yang paling getol menyuarakan perlunya ada UU Intelijen adalah BIN dan Badan Penanggulangan PenanggulanganTerorisme (BNPT). Kepala BNPT Ansyaad Mbai dalam berbagai kesempatan selalu menuding kelemahan intelijen khususnya dalam bidang pencegahan tindak terorisme. Makanya perlu ada penguatan legal frame (regulasi/UU) yang diharap bisa menutupi kelemahan tersebut.
Namun yang menjadi pertanyaan, benarkah kelemahan deteksi dini ini merupakan kelemahan intelijen ataukah ada motif lain di balik itu? Bukan tidak mungkin, kejadian yang disebut sebagai 'terorisme' adalah bagian dari operasi intelijen.
Kasus Woyla misalnya di zaman Orde Baru—yang kalau sekarang pasti disebut terorisme—terbukti adalah bagian dari operasi intelijen untuk memperburuk citra Islam. Penguasa saat itu berada di balik skenario tersebut. Dalam kasus ini, jelas tidak ada kaitan dengan kelemahan intelijen. Justru yang memainkannya adalah intelijen itu sendiri.
Memberi kewenangan lebih kepada intelijen sama saja dengan memutar kembali arah jarum jam ke masa Orde Baru. Kekejaman Orde Baru dengan Opsus, kemudian Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lalu Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) tak terelakkan. Sudah banyak korban yang jatuh karenanya. Mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi di penjara-penjara 'angker'. Malah ada pula yang hilang tak berbekas.
Saat itu, intelijen seperti lembaga 'superbody', yang bisa bertindak semaunya tanpa ada yang bisa mengontrol. Operasi-operasi intelijen menyebar luas. Tidak hanya ditujukan untuk menghadapi orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan negara tapi lebih luas, termasuk memberangus pihak-pihak yang tidak sejalan dengan penguasa pada waktu itu.
Dan, masih belum hilang dari ingatan kaum Muslimin, berbagai operasi intelijen di zaman Orde Baru nyata-nyata ditujukan kepada umat Islam. Islam dianggap sebagai ekstrim kanan yang harus dimusuhi oleh negara setelah ekstrim kiri yakni komunis. Sementara kapitalisme-sekuler dibiarkan berkembang, meskipun ideologi itu terbukti menghancurkan negeri ini.
Dalih perlunya UU Intelijen demi menjaga keamanan negara sebenarnya suatu yang wajar. Hanya saja, perlu definisi yang jelas menyangkut hat tersebut. Jangan sampai pasal-pasal yang ada di dalamnya bersifat multitafsir sehingga menjadi pasal karet yang bisa sedemikian rupa dipermainkan oleh penguasa demi kepentingan politiknya.
Ini penting soalnya ada bau tak sedap dari munculnya RUU ini yakni mencegah bangkitnya Islam di Indonesia. Hal itu bisa dirasakan dari pernyataan para petinggi negeri yang masih saja menganggap bahwa Islam adalah musuh negara. Mereka secara tidak langsung telah menuduh, orang yang ingin menegakkan syariah dan khilafah identik dengan teroris.
Bahkan yang lebih kurang ajar Iagi, baru bom buku meledak, pelaku belum tertangkap, mereka sudah berani terang-terangan menyebut bahwa pelakunya adalah kelompok Islam dan ingin menegakkan negara Islam. Sepertinya mereka tak peduli dengan banyaknya gerakan Islam yang menyuarakan Islam secara damai tanpa kekerasan. Di mata mereka, semua dianggap sama.
Kalau demikian, sebenarnya paradigma Orde Baru masih lestari di negeri ini. Islam masih tetap dianggap 'musuh' yang membahayakan negara. Pertanyaannya, negara ada di posisi mana? Kalau Muslim, kenapa memusuhi Islam? Tentu bukan komunis, karena mengaku beragama. Jawaban yang paling memungkinkan, mereka adalah bagian dari komunitas kapitalis global yang nyata-nyata tak menginginkan Islam bangkit dan mewujud dalam sebuah negara. Sebab, ini berarti bisa membahayakan eksistensi ideologi kapitalis di muka bumi.
Ada benang merah yang bisa ditarik dengan lahirnya penangkapan orang-orang yang disangka teroris, lahirnya UU Terorisme dan kemudian disusul RUU Intelijen, Indonesia sedang berada dalam arus 'Global War on Terrorism' (GWOT). Pemerintah sedang menjalankan agenda global memerangi Islam. Soalnya, Amerika Serikat sendiri tanpa tedeng aling-aling menyebut bahwa perang terhadap teroris adalah perang terhadap Islam.
Wajar bila ada yang menduga kuat bahwa ada agenda asing di batik RUU Intelijen ini. Bukankah tidak masuk akal, orang yang ingin menerapkan aturan yang datang dari Yang Maha Baik dianggap sebagai musuh? Mereka tak melakukan aksi kekerasan sedikit pun. Mereka menawarkan solusi-solusi rasional bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa tidak boleh?
Setelah sempat tertunda beberapa kali, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen akhirnya masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Ini berarti RUU ini akan menjadi agenda DPR untuk membahas dan mengesahkannya.
Usulan adanya UU Intelijen ini muncul beberapa tahun lalu. Saat itu yang berinisiatif adalah pemerintah. Namun, tahun 2006, draft rancangan pemerintah itu menunai kontroversi dan ditolak oleh DPR.
Yang menarik, draft itu muncul kembali. Secara substansial, RUU inisiatif DPR ini tidak jauh berbeda dengan RUU yang pernah diajukan Badan Intelijen Negara (BIN). Bedanya, draft ini lebih lengkap karena telah disertai dengan kajian akademik.
Pasal-pasal dalam RUU tersebut mengindikasikan adanya keinginan yang kuat agar intelijen diberi kewenangan yang lebih luas. Inilah yang menimbulkan kekhawatiran yang luas di tengah masyarakat. Jangan-jangan Opsus (operasi khusus) di zaman Orde Baru akan lahir kembali dalam bentuk baru. Kekhawatiran itu cukup beralasan mengingat tindakan sewenang-wenang aparat intelijen saat itu menimbulkan banyak korban.
Lalu mengapa justru RUU yang seperti ini muncul dari inisiatif DPR? Apakah ini inisiatif DPR sendiri atau merupakan pesanan dari pihak intelijen, atau malah ini pesanan asing?
Selama ini yang paling getol menyuarakan perlunya ada UU Intelijen adalah BIN dan Badan Penanggulangan PenanggulanganTerorisme (BNPT). Kepala BNPT Ansyaad Mbai dalam berbagai kesempatan selalu menuding kelemahan intelijen khususnya dalam bidang pencegahan tindak terorisme. Makanya perlu ada penguatan legal frame (regulasi/UU) yang diharap bisa menutupi kelemahan tersebut.
Namun yang menjadi pertanyaan, benarkah kelemahan deteksi dini ini merupakan kelemahan intelijen ataukah ada motif lain di balik itu? Bukan tidak mungkin, kejadian yang disebut sebagai 'terorisme' adalah bagian dari operasi intelijen.
Kasus Woyla misalnya di zaman Orde Baru—yang kalau sekarang pasti disebut terorisme—terbukti adalah bagian dari operasi intelijen untuk memperburuk citra Islam. Penguasa saat itu berada di balik skenario tersebut. Dalam kasus ini, jelas tidak ada kaitan dengan kelemahan intelijen. Justru yang memainkannya adalah intelijen itu sendiri.
Memberi kewenangan lebih kepada intelijen sama saja dengan memutar kembali arah jarum jam ke masa Orde Baru. Kekejaman Orde Baru dengan Opsus, kemudian Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lalu Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) tak terelakkan. Sudah banyak korban yang jatuh karenanya. Mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi di penjara-penjara 'angker'. Malah ada pula yang hilang tak berbekas.
Saat itu, intelijen seperti lembaga 'superbody', yang bisa bertindak semaunya tanpa ada yang bisa mengontrol. Operasi-operasi intelijen menyebar luas. Tidak hanya ditujukan untuk menghadapi orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan negara tapi lebih luas, termasuk memberangus pihak-pihak yang tidak sejalan dengan penguasa pada waktu itu.
Dan, masih belum hilang dari ingatan kaum Muslimin, berbagai operasi intelijen di zaman Orde Baru nyata-nyata ditujukan kepada umat Islam. Islam dianggap sebagai ekstrim kanan yang harus dimusuhi oleh negara setelah ekstrim kiri yakni komunis. Sementara kapitalisme-sekuler dibiarkan berkembang, meskipun ideologi itu terbukti menghancurkan negeri ini.
Dalih perlunya UU Intelijen demi menjaga keamanan negara sebenarnya suatu yang wajar. Hanya saja, perlu definisi yang jelas menyangkut hat tersebut. Jangan sampai pasal-pasal yang ada di dalamnya bersifat multitafsir sehingga menjadi pasal karet yang bisa sedemikian rupa dipermainkan oleh penguasa demi kepentingan politiknya.
Ini penting soalnya ada bau tak sedap dari munculnya RUU ini yakni mencegah bangkitnya Islam di Indonesia. Hal itu bisa dirasakan dari pernyataan para petinggi negeri yang masih saja menganggap bahwa Islam adalah musuh negara. Mereka secara tidak langsung telah menuduh, orang yang ingin menegakkan syariah dan khilafah identik dengan teroris.
Bahkan yang lebih kurang ajar Iagi, baru bom buku meledak, pelaku belum tertangkap, mereka sudah berani terang-terangan menyebut bahwa pelakunya adalah kelompok Islam dan ingin menegakkan negara Islam. Sepertinya mereka tak peduli dengan banyaknya gerakan Islam yang menyuarakan Islam secara damai tanpa kekerasan. Di mata mereka, semua dianggap sama.
Kalau demikian, sebenarnya paradigma Orde Baru masih lestari di negeri ini. Islam masih tetap dianggap 'musuh' yang membahayakan negara. Pertanyaannya, negara ada di posisi mana? Kalau Muslim, kenapa memusuhi Islam? Tentu bukan komunis, karena mengaku beragama. Jawaban yang paling memungkinkan, mereka adalah bagian dari komunitas kapitalis global yang nyata-nyata tak menginginkan Islam bangkit dan mewujud dalam sebuah negara. Sebab, ini berarti bisa membahayakan eksistensi ideologi kapitalis di muka bumi.
Ada benang merah yang bisa ditarik dengan lahirnya penangkapan orang-orang yang disangka teroris, lahirnya UU Terorisme dan kemudian disusul RUU Intelijen, Indonesia sedang berada dalam arus 'Global War on Terrorism' (GWOT). Pemerintah sedang menjalankan agenda global memerangi Islam. Soalnya, Amerika Serikat sendiri tanpa tedeng aling-aling menyebut bahwa perang terhadap teroris adalah perang terhadap Islam.
Wajar bila ada yang menduga kuat bahwa ada agenda asing di batik RUU Intelijen ini. Bukankah tidak masuk akal, orang yang ingin menerapkan aturan yang datang dari Yang Maha Baik dianggap sebagai musuh? Mereka tak melakukan aksi kekerasan sedikit pun. Mereka menawarkan solusi-solusi rasional bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa tidak boleh?
Tidak ada komentar